Al-Baqarah ayat 256

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Redaksi Q.S. Al-Baqarah ayat 256 menggunakan rasm Utsmani.
Bacaan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sudais

Ayat 256 dari Surah Al-Baqarah adalah ayat yang sangat terkenal dalam kitab suci agama Islam, Al-Qur'an.[1] Ayat tersebut memuat ungkapan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”.[2] Segera setelah turunnya ayat ini, Allah kemudian memberikan alasan mengenai tidak adanya paksaan tersebut, yaitu karena wahyu telah melalui penjelasan, klarifikasi, dan pengulangan, dengan jelas membedakan jalan petunjuk dari jalan kesesatan, sekarang terserah orang untuk memilih satu atau jalan lain.[1] Ayat ini muncul tepat setelah Ayat Kursi.[3]

Mayoritas cendekiawan Muslim menganggap ayat itu sebagai ayat Madaniyah,[4][5] ketika umat Islam hidup dalam keadaan mandiri secara politik karena menguasai kota Madinah, dan tidak mengalami penasakhan atau pembatalan.[6] Cendekiawan yang mengikuti pandangan tersebut antara lain adalah Ibnu Taimiyah,[7] Ibnu Qayyim,[8] Al-Tabari,[9] Abi Ubaid,[10] Al-Jassas,[11] Makki bin Abi Thalib,[12] Al-Nahhas,[13] Ibnu Jizziy,[14] As-Suyuti,[15] Ibnu Asyur, [16] Mustafa Zayd,[17] dan masih banyak lagi.[18] Menurut semua teori bahasa yang dielaborasi oleh sarjana hukum Muslim, pernyataan Al-Quran bahwa "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat." adalah pernyataan yang mutlak dan universal dalam semua kondisi.[19] Sehingga dengan demikian, menurut Al-Quran, dalam kondisi apa pun seseorang tidak boleh dipaksa untuk menerima suatu agama atau kepercayaan yang bertentangan dengan keinginannya.[20][21][22]

Makna asas tidak ada paksaan dalam beragama tidak terbatas pada kebebasan individu untuk memilih agamanya sendiri. Islam juga memberi non-Muslim hak ekonomi, budaya, dan administrasi yang cukup besar.[23]

Teks dan makna[sunting | sunting sumber]

Teks dan transliterasi[sunting | sunting sumber]

لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ صلے قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ج فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا قلے وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۝٢٥٦

256 Lā ’ikrāha fi d-dīn(i), qa t-tabay-yana r-rusydu mina l-ghay(yi), faman y-yakfur biṭ-ṭāghūti wayu’mim bil-lāhi faqadi s-tamsaka bil‘urwati l-wutsqā la n-fiṣāma lahā, wal-lāhu samī‘un ‘alīm(un)


لَآ إِكۡرَاهَ فِے اِ۬لدِّينِ صلے قَد تَّبَيَّنَ اَ۬لرُّشۡدُ مِنَ اَ۬لۡغَىِّ ج فَمَن يَكۡفُرۡ بِالطَّٰغُوتِ وَيُومِنۢ بِاللَّهِ فَقَدِ اِٜسۡتَمۡسَكَ بِالۡعُرۡوَةِ اِ۬لۡوُثۡقَٜىٰ لَا اَٜنفِصَامَ لَهَا قلے وَاَ۬للَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۝٢٥٥

255 Lā ’ikha fi d-dīn(i), qa t-tabay-yana r-rusydu mina l-ghay(yi), faman y-yakfur biṭ-ṭāghūti wayūmim bil-lāhi faqadi s-tamsaka bil‘urwati l-wuts la n-fiṣāma lahā, wal-lāhu samī‘un ‘alīm(un)

Arti[sunting | sunting sumber]


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada ṭāgūt dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.




Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.




There shall be no compulsion in [acceptance of] the religion. The right course has become clear from the wrong. So whoever disbelieves in Taghut and believes in Allāh has grasped the most trustworthy handhold with no break in it. And Allāh is Hearing and Knowing.

Terjemahan:Saheeh International, 1997

Konteks[sunting | sunting sumber]

Menurut sebagian ahli tafsir, ayat tersebut hanya ditujukan kepada sekelompok kecil penduduk Madinah. Pada masa nabi, seorang anak laki-laki dari salah satu keluarga Muslim, yang dididik di sekolah-sekolah Yahudi di kota itu, memutuskan untuk pergi bersama suku Yahudi yang saat itu diusir dari Madinah. Orang tuanya yang bingung diberitahu oleh Nabi dalam ayat ini bahwa mereka tidak dapat memaksa putra mereka untuk tetap tinggal di Madinah dan memeluk Islam. [24] [25]

Bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, "Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi". Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Ansar. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah".

Diriwayatkan bahwa Mujahid mengatakan bahwa "Ayat ini diturunkan tentang seorang laki-laki dari orang-orang Anshar yang memiliki seorang anak laki-laki kulit hitam bernama Subaih yang dulu dia paksa untuk menjadi Muslim".[26]

Dalam semua kasus, para ulama mengikuti kaidah terkenal yang berbunyi "العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب" (Pertimbangan diberikan pada keumuman lafaz, bukan pada kekhususan sebab [untuk Wahyu])[27][28][29] disimpulkan bahwa ayat tersebut bersifat umum maknanya, [24][25] dan dengan demikian ayat tersebut telah dipahami selama berabad-abad sebagai perintah umum bahwa orang tidak dapat dipaksa untuk masuk Islam.[24][30]

Perdebatan[sunting | sunting sumber]

Relevansi dengan kemurtadan[sunting | sunting sumber]

Menurut Khaled Abou El Fadl, dan cendekiawan lainnya seperti Syeikh Abdur Rahman, [31] frasa "tidak ada paksaan dalam agama" dari ayat Q.2:256[2] menyiratkan prinsip umum yang utama dan tidak dapat dibantah dengan Sunnah Nabi yang pernah beliau lakukan bahwa ayat tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa Allah tidak pernah bermaksud menetapkan hukuman mati untuk kemurtadan dalam Islam. [31] [32]

Ulama Islam lainnya tidak setuju.[33] Pertama, frasa "tidak ada paksaan" tidak boleh digunakan di luar konteks dan semua tafsir Al-Qur'an yang bersifat analisis "linier atomistik" dari satu frasa kecil dalam satu ayat adalah cacat.[34] Kelengkapan redaksi ayat dan ayat-ayat terdekat[35] harus dibaca untuk memahami "totalitas hermeneutik yang kompleks" dari konteks apa pun yang ada dalam Al-Qur'an.

Dilaporkan bahwa Mujahid berkata bahwa "Ayat ini diturunkan tentang seorang laki-laki dari Anshar yang memiliki seorang anak laki-laki kulit hitam bernama Subaih yang dulu dia paksa untuk menjadi Muslim".[26] Selain itu, para ulama berpendapat bahwa tidak ada satu frasa atau ayat dalam Al-Quran yang kurang atau lebih relevan antara satu sama lain. Ayat-ayat lain dalam Quran semacam ayat 66 [36] dari At-Taubah menyatakan "Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.”,[36] atau Surah Al-Kahfi ayat 29 "Katakanlah, "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" ,[37] serta Surah Yunus ayat 99 “Dan jika Tuhanmu berkehendak, pastilah beriman semua yang ada di muka bumi, seluruhnya; apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?”,[38] dan Surah Al-Ghasyiyah ayat 22 “Oleh karena itu ingatkan, karena kamu hanyalah pengingat. Kamu tidak mengawasi mereka",[39] dan ayat 28 dari Surah Hud "Dia berkata:" Wahai umatku! Apakah kamu melihat jika (akan) aku memiliki Tanda yang Jelas dari Tuhanku, dan bahwa Dia telah mengirimkan Rahmat kepadaku dari hadapan-Nya sendiri, tetapi Rahmat itu telah dikaburkan dari pandanganmu? haruskah kami memaksamu untuk menerimanya ketika kamu menolaknya?",[40] menurut beberapa sarjana barat, para ulama tafsir menganggap ayat tersebut dianggap sebagai wahyu awal, dan dibatalkan oleh ayat-ayat yang diturunkan kepada Muhammad pada tahap selanjutnya dalam hidupnya.[41] Namun, seperti yang dikatakan oleh orientalis terkenal Inggris, Sir Thomas Walker Arnold, ayat 256 Surah Al-Baqarah adalah ayat Madinah yang mana umat Islam hidup ketika mereka sudah memiliki kekuasaan politik. [4] Selain itu, ulama Muslim menetapkan ayat-ayat kebebasan beragama sebelumnya yang dibatalkan dan Surah Al-Baqarah ayat 256 tidak termasuk di dalamnya. [15] [18] Akhirnya, untuk memahami Al-Qur'an, ucapan dan tindakan Muhammad yang tercatat dalam koleksi Hadits dipertimbangkan oleh para sarjana Islam. Secara bersama-sama, sebagian besar sarjana Islam dari setiap fikih secara tradisional berpendapat bahwa harus ada hukuman bagi kemurtadan dalam Islam.[42]

Tafsir Ibnu Katsir[sunting | sunting sumber]

Mufassir Al-Qur'an Ibnu Katsir yang merupakan penganut Sunni menunjukkan bahwa ayat tersebut menyiratkan bahwa umat Islam tidak boleh memaksa siapa pun untuk masuk Islam karena kebenaran Islam begitu jelas sehingga tidak ada yang perlu dipaksa ke dalamnya, [25]

Yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.

Mereka menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari kalangan Ansar, sekalipun hukum yang terkandung di dalamnya bersifat umum.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi, dari Syu'bah, dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang wanita yang selalu mengalami kematian anaknya, maka ia bersumpah kepada dirinya sendiri, "Jika anakku hidup kelak, aku akan menjadikannya seorang Yahudi". Ketika Bani Nadir diusir dari Madinah, di antara mereka ada anak-anak dari kalangan Ansar. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan menyeru anak-anak kami (untuk masuk Islam)." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.

Imam Abu Daud dan Imam Nasai meriwayatkan pula hadis ini, kedua-duanya meriwayatkannya dari Bandar dengan lafaz yang sama. Sedangkan dari jalur-jalur yang lain diriwayatkan hal yang semakna, dari Syu'bah. Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, di mana Anas mengatakan bahwa Rasulullah berkata kepada seorang laki-laki, أَسْلِم "Masuklah ke dalam Islam. Laki-laki itu berkata, "Aku tidak menyukainya. Nabi berkata, وَإِنْ كُنْتَ كَارِهًا "Bahkan jika kamu tidak menyukainya. Pertama, ini adalah Hadits shahih, dengan hanya tiga perawi antara Imam Ahmad dan Nabi. Namun, ini tidak relevan dengan subjek yang dibahas, karena Nabi tidak memaksa orang itu untuk menjadi Muslim. Nabi hanya mengajak orang ini untuk menjadi Muslim, dan dia menjawab bahwa dia tidak menemukan dirinya ingin menjadi Muslim. Nabi berkata kepada pria itu bahwa meskipun dia tidak suka memeluk Islam, dia harus tetap memeluknya, "karena Tuhan akan memberimu ketulusan dan niat yang benar."[43]

Tafsir Kashani[sunting | sunting sumber]

Kashani, seorang Syiah, [44] menafsirkan Q.2:256 sebagai berikut

{ لاَ إِكْرَاهَ فِي ٱلدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِٱلطَّاغُوتِ وَيْؤْمِن بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لاَ ٱنفِصَامَ لَهَا وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ } Tidak ada paksaan dalam beragama, karena sesungguhnya agama adalah hidayah yang diperoleh dari cahaya kalbu yang sejalan dengan fitrah manusia dan yang diperlukan untuk kepastian iman, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus. [Q. 30:30], dan Islam, yang merupakan aspek eksoteris dari agama, dibangun di atas [petunjuk] ini dan merupakan sesuatu yang tidak memiliki tempat bagi paksaan. Bukti bahwa aspek esoteris dan sejati dari agama adalah iman, sebagaimana aspek eksoterik dan bentuk [luar]nya adalah Islam, adalah sebagai berikut: Kebenaran telah menjadi jelas, yaitu dibedakan dari kesesatan melalui bukti-bukti, bagi orang yang memiliki pandangan (baṣhīrah) dan akal ('aql), seperti yang mereka katakan, 'Pagi cerah bagi dia yang memiliki mata'; jadi siapa pun yang tidak percaya pada tuhan palsu, yaitu, [dalam] apa yang selain Tuhan dan mengingkari keberadaannya dan efeknya, dan percaya pada Tuhan, keyakinan kesaksian dan kebenaran, telah memegang pegangan yang paling kuat [bahwa tidak dapat dipisahkan], yaitu, dia telah berpegang pada Kesatuan Esensial yang ikatan dan cara kerjanya berada di dalam Dirinya Sendiri, sehingga sedemikian rupa sehingga tidak ada yang lebih kokoh dari Itu, karena setiap hal yang berpegang pada Itu melekat erat, bahkan setiap keberadaan. Dia ada melalui Itu dan tidak ada dalam dirinya sendiri. Jadi jika seseorang mempertimbangkan keberadaan [sesuatu] seperti itu, maka ia terbelah (infiṣām) dengan sendirinya karena keterikatan dan keberadaan sesuatu yang kontingen hanya melalui [Keberadaan] Yang Diperlukan. Ketika pertimbangan [dari Wujud ini] terputus dari hal [kontingen] itu, maka eksistensi kontingen itu berakhir dan bukan lagi apa-apa dalam dirinya sendiri. [Wujud Wajib] ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan esensi-Nya karena Dia tidak memerlukan pembagian (tajazzuÌ) atau dualitas (ithnayniyya). Ada detail halus dalam [konsep] 'pemisahan' (infiṣām) ini, yaitu bahwa pemecahan (infiṣām) adalah pemecahan (inkisār) tetapi tanpa pemisahan (infiṣāl). Karena tidak ada kontingen yang dapat dipisahkan dari Dzat-Nya, ditinggikan menjadi Dia, atau melepaskan diri dari-Nya - mengingat bahwa itu akan menjadi tindakan-Nya atau sifat-Nya - sama sekali tidak ada pemisahan. Bahkan, jika akal akan mempertimbangkan [kontingen] semacam itu dalam isolasi, itu akan tampak terbelah, yang tidak memiliki keberadaan [independen], keberadaannya melekat pada keberadaan-Nya, ditinggikan Dia. Dan Allah Maha Mendengar, mendengar ucapan orang-orang yang beragama, Maha Mengetahui, akan niatnya dan keimanannya.[45]

Ayat-ayat yang berhubungan dengan Surah Al-Baqarah ayat 256[sunting | sunting sumber]

Sejumlah ayat berhubungan dengan Quran 2:256 dan ini termasuk,

Dan jika Tuhanmu berkehendak, pastilah beriman semua yang ada di muka bumi, seluruhnya; apakah kamu akan memaksa manusia hingga mereka beriman?

Dia (Nuh) berkata, ”Wahai kaumku! Apa pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan aku diberi rahmat dari sisi-Nya, sedangkan (rahmat itu) disamarkan bagimu.

— Qur'an Hud:28

Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan. Engkau tidak diutus untuk menjaga atas mereka.

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa pemaksaan beragama sangat dilarang.[19] [23] [25] [30] [32] [46] [47]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Mustansir Mir (2008), Understanding the Islamic Scripture, p. 54. Routledge. ISBN 978-0321355737.
  2. ^ a b [Qur'an Al-Baqarah:256].
  3. ^ Jacques Berque (1995), Le Coran : Essai de traduction, p.63, note v.256, éditions Albin Michel, Paris.
  4. ^ a b Sir Thomas Walker Arnold (1913), Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, p. 6. Constable.
  5. ^ Mapel, D.R. and Nardin, T., eds. (1999), International Society: Diverse Ethical Perspectives, p. 233. Princeton University Press. ISBN 9780691049724.
  6. ^ Richard Curtis (2010), Reasonable Perspectives on Religion, p. 204. Lexington Books. ISBN 978-0739141892. Quote: "While the pope, following many anti-Islam propagandists, seemingly argues that the oft-cited Quranic dictum "no compulsion in religion" was abrogated by subsequent revelations, this is not the mainstream Muslim interpretation. Indeed, the pope made a major scholarly blunder when he claimed that the "no compulsion in religion" verse was revealed during the Meccan period, "when Mohammed was still powerless and under threat." In fact, it was revealed during the later Medinan period--the same period as the verses that authorize armed struggle against the Meccan enemies of the nascent Muslim community in Medina, that is, "when Muhammad was in a position of strength, not weakness."" (emphasis added)
  7. ^ Ibn Taymiyya, Qāʿidah Mukhtaṣarah fī Qitāl al-Kuffār wa Muhādanatihim wa Taḥrīm Qatlihim li-Mujarrad Kufrihim: Qāʿidah Tubayyn al-Qiyam al-Sāmiyah lil-Haḍārah al-Islāmiyyah fī al-Harb wa al-Qitāl, p.123. Ed. ʿAbd al-ʿAzīz ibn ʿAbd Allah ibn Ibrāhīm al-Zayd Āl Hamad. Riyadh: N.p., 2004/1424. Quote: "جمهور السلف و الخلف على أنها ليست مخصوصة و لا منسوخة، ..." Translation: "Most of the salaf considered the verse to be neither specific nor abrogated but the text is general, ..."
  8. ^ Ibn Qayyim al-Jawziyya, Ahkam Ahl al-Dhimma, pp.21-22.
  9. ^ Al-Tabari, Jāmiʿ al-bayān ʿan ta'wīl āy al-Qur'ān 4, Dar Hajar, 2001, p.553.
  10. ^ Abi ʿUbayd, Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh, p.282.
  11. ^ Al-Jaṣṣās, Aḥkām al-Qur'ān 2, p.168.
  12. ^ Makki bin Abi Talib, al-Idah li Nasikh al-Qur'an wa Mansukhih, p. 194.
  13. ^ Abu Jaʿfar al-Nahhas, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Quran al-Karim, p.259.
  14. ^ Ibn Jizziy. at-Tasheel. hlm. 135. 
  15. ^ a b Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Itqān fi ʿUlum al-Qur’an 2. p.22-24.
  16. ^ Muhammad al-Tahir ibn Ashur, Al-Tahrir wa al-Tanwir, (2:256).
  17. ^ Mustafa Zayd, al-Naskh fi al-Qur'an al-Karim 2, p.510. Dar al-Wafa'. Quote: "تبطل دعوى النسخ في قوله جل تناؤه: لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ : ٢٥٦ في سورة البقرة."
  18. ^ a b Muhammad S. Al-Awa (1993), Punishment in Islamic Law, p.51. US American Trust Publications. ISBN 978-0892591428.
  19. ^ a b A.C. Brown, Jonathan (2014). Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's LegacyPerlu mendaftar (gratis). Oneworld Publications. hlm. 186. ISBN 978-1780744209. 
  20. ^ Yousif, Ahmad (2000-04-01). "Islam, Minorities and Religious Freedom: A Challenge to Modern Theory of Pluralism". Journal of Muslim Minority Affairs. 20 (1): 35. doi:10.1080/13602000050008889. ISSN 1360-2004. 
  21. ^ Leonard J. Swidler (1986), Religious Liberty and Human Rights in Nations and in Religions, p.178. Ecumenical Press.
  22. ^ Farhad Malekian (2011), Principles of Islamic International Criminal Law, p.69. Brill. ISBN 978-9004203969.
  23. ^ a b David Ray Griffin (2005), Deep Religious Pluralism, p.159. Westminster John Knox Press. ISBN 978-0664229146.
  24. ^ a b c A.C. Brown, Jonathan (2014). "3. The Fragile Truth Of Scripture". Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet's LegacyPerlu mendaftar (gratis). Oneworld Publications. hlm. 92. ISBN 978-1780744209. 
  25. ^ a b c d Yusuf al-Qaradawi, Ayat al-Sayf, pp.50-51.
  26. ^ a b Al-Wahidi, Asbab Al-Nuzul, (2:256).
  27. ^ Ali Gomaa, al-Tariq ila al-Turath, p.207.
  28. ^ Muhammad ash-Shawkani, Nayl al-Awtar, 8:112.
  29. ^ Ahmed Al-Dawoody (2011), The Islamic Law of War: Justifications and Regulations, p.51. Palgrave Macmillan. ISBN 9780230111608.
  30. ^ a b Sir Thomas Walker Arnold (1913), Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, p.420. Constable. Quote: "Forcible conversion was forbidden, in accordance with the precepts of the Qur'an : — " Let there be no compulsion in religion " (ii. 257). " Wilt thou compel men to become believers ? No soul can believe but by the permission of God " (x. 99, 100). The very existence of so many Christian sects and communities in countries that have been for centuries under Muhammadan rule is an abiding testimony to the toleration they have enjoyed, and shows that the persecutions they have from time to time been called upon to endure at the hands of bigots and fanatics, have been excited by some special and local circumstances rather than inspired by a settled principle of intolerance."
  31. ^ a b S. A. Rahman (2007). "Summary and Conclusions". Punishment of Apostasy in Islam. The Other Press. hlm. 132–142. ISBN 978-983-9541-49-6. 
  32. ^ a b Abou El Fadl, Khaled (January 23, 2007). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. HarperOne. hlm. 158–159. ISBN 978-0061189036. 
  33. ^ S. A. Rahman (2007). Punishment of Apostasy in Islam. The Other Press. hlm. 7–15, 110–123. ISBN 978-983-9541-49-6. 
  34. ^ Asma Barlas (2002), Believing Women in Islam, ISBN 978-0292709041, University of Texas Press, page 8
  35. ^ [Qur'an Al-Baqarah:254]
  36. ^ a b [Qur'an At-Taubah:66]
  37. ^ [Qur'an Al-Kahf:29].
  38. ^ [Qur'an Yunus:99].
  39. ^ [Qur'an Al-Ghasyiyah:21], [Qur'an Al-Ghasyiyah:22].
  40. ^ [Qur'an Hud:28].
  41. ^ Peters & De Vries (1976), Apostasy in Islam, Die Welt des Islams, Vol. 17, Issue 1/4, pp 15 (footnote 38)
  42. ^ Abdul Rashied Omar (2009), "The Right to Religious Conversion: Between Apostasy and Proselytization", in Peace-Building by, between, and beyond Muslim and Evangelical Christians, Editors: Abu-Nimer, Mohammed and David Augsburger, Lexington, pages 179-194
  43. ^ Tafsir Ibn Kathir Part 3: Surah Al-Baqaray, Ayat 253 to 286, Surah Al-Imran, Ayat 1 to 92, by Ar-Rafa'i, Muhammad Nasib, Al-Firdous Ltd., London, 1999: First Edition, Part 3, pp. 37-38
  44. ^ SHI'ITE COMMENTATORS (MUFASSIRIN) AND THEIR COMMENTARIES (TAFSIRS) Diarsipkan 2016-04-24 di Wayback Machine., The Principles Of Shi'i Tafsir And The Relation Between The Imams(a.s) And The Qur'an
  45. ^ Kashani, Tafsir Kashani, (2:256).
  46. ^ Hashim Kamali, Mohammad (2008). Shari'ah Law: An IntroductionPerlu mendaftar (gratis). Oneworld Publications. hlm. 202–3. ISBN 978-1851685653. 
  47. ^ Iḥsān, Al-Hindī (1993). Aḥkām al-Ḥarb wa al-Salām fī Dawlat al-Islām (dalam bahasa Arab). Damascus: Dār al-Numayr. hlm. 16–7.