Lompat ke isi

Kasus Mortara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pengambilan Paksa Edgardo Mortara karya Moritz Daniel Oppenheim, 1862. Gambaran peristiwa dalam lukisan ini agak menyimpang dari catatan sejarah. Menurut catatan sejarah, tidak ada rohaniwan yang hadir saat pelaksanaan pengambilan paksa.[1]

Kasus Mortara (bahasa Italia: caso Mortara) adalah cause célèbre di Italia yang menyita perhatian masyarakat Eropa dan Amerika Utara pada dasawarsa 1850-an dan 1860-an. Kasus ini berkisar seputar tindakan pengambilan paksa yang dilakukan pemerintah Negara Gereja di Bologna terhadap Edgardo Mortara, seorang kanak-kanak Yahudi yang baru berumur enam tahun, atas dasar pengakuan seorang mantan pelayan keluarga Mortara bahwa Edgardo sudah ia baptis darurat saat sakit semasa bayi. Edgardo tumbuh menjadi pemeluk agama Kristen Katolik di bawah asuhan Paus Pius IX, yang selalu menolak memulangkan Edgardo setiap kali diminta kembali oleh ayah dan ibu kandungnya. Edgardo akhirnya menjadi seorang imam Katolik. Kecaman terhadap tindakan pengambilan paksa ini, baik dari dalam maupun dari luar negeri, menjadi salah satu dari sekian banyak faktor penyebab runtuhnya Negara Gereja pada masa penyatuan Italia.

Menjelang akhir tahun 1857, Inkuisitor Bologna, Padri Pier Feletti, mendengar selentingan bahwa Anna Morisi, yang pernah bekerja sebagai pelayan keluarga Mortara selama enam tahun, sudah membaptis Edgardo secara diam-diam lantaran khawatir anak itu akan mati ketika terserang penyakit semasa bayi. Kongregasi Suci Tertinggi Inkuisisi Roma dan Sedunia menegaskan bahwa pembaptisan diam-diam ini telah membuat Edgardo menjadi warga Gereja Katolik. Karena Negara Gereja mengharamkan pengasuhan kanak-kanak Kristen oleh umat beragama lain, maka Kongregasi Suci Tertinggi Inkuisisi Roma dan Sedunia memerintahkan agar Edgardo dipisahkan dari keluarganya, dan diasuh oleh Gereja. Polisi baru mendatangi rumah keluarga Mortara selepas senja tanggal 23 Juni 1858, dan baru melaksanakan pengambilan paksa pada malam hari tanggal 24 Juni 1858.

Setelah ayah kandung Edgardo diizinkan mengunjunginya pada bulan Agustus dan bulan September, beredar dua versi berita yang saling bertentangan. Menurut versi yang satu, Edgardo rindu pulang ke rumah keluarganya dan kembali memeluk agama leluhurnya, sementara menurut versi yang lain, Edgardo sudah menamatkan pelajaran katekismus dengan gemilang dan menghendaki kedua orang tuanya ikut memeluk agama Kristen Katolik. Kecaman dunia Internasional datang bertubi-tubi, tetapi Sri Paus bergeming. Setelah rezim Negara Gereja di Bologna tumbang pada tahun 1859, Padri Pier Feletti diperkarakan dengan dakwaan terlibat dalam kasus pengambilan paksa terhadap Edgardo Mortara. Pengadilan memutuskan bahwa Padri Pier Feletti hanya sekadar menjalankan tugas, oleh karena itu pengadilan membebaskannya dari segala dakwaan. Di bawah asuhan Sri Paus selaku ayah angkat, Edgardo Mortara menjalani pendidikan imamat di Roma sampai Kerajaan Italia merebut kota itu sekaligus menamatkan riwayat Negara Gereja pada tahun 1870. Edgardo Mortara hijrah meninggalkan Italia, dan ditahbiskan menjadi imam di Prancis tiga tahun kemudian, saat berumur 21 tahun. Padri Edgardo Mortara selanjutnya lebih banyak tinggal di luar Italia sampai tutup usia di Belgia pada tahun 1940, saat berumur 88 tahun.

Sejumlah sejarawan mengedepankan kasus ini sebagai salah satu peristiwa terpenting pada masa jabatan Paus Pius IX, dan menghubung-hubungkan kebijakan Sri Paus dalam penanganan Kasus Mortara pada tahun 1858 dengan hilangnya sebagian besar wilayah Negara Gereja pada tahun 1859. Kasus Mortara bahkan membuat Kaisar Prancis, Napoleon III, berubah sikap dari menentang menjadi mendukung gerakan penyatuan Italia. Historiografi Italia tradisional seputar gerakan penyatuan Italia tidak banyak mengungkit Kasus Mortara, dan sebagian besar ahli sejarah yang masih ingat akan kasus ini pada akhir abad ke-20 adalah ahli-ahli sejarah Yahudi. Meskipun demikian, sebuah kajian atas Kasus Mortara yang dilakukan pada tahun 1997 oleh sejarawan Amerika Serikat, David Kertzer, telah memelopori penelaahan kembali kasus ini secara lebih mendalam.

Latar belakang

Konteks politik

Gambar Paus Pius IX (menjabat 1846–1878) dalam majalah mingguan Harper's Weekly pada tahun 1867
Peta Italia pada tahun 1843. Kala itu, Roma adalah ibu kota Negara Gereja.

Negara Gereja, yang didirikan sekitar tahun 754, adalah sekumpulan daerah di Italia yang diperintah secara langsung oleh Sri Paus selaku seorang penguasa berdaulat.[2] Kedaulatan Gereja Katolik atas kota Roma dan daerah-daerah di sekitarnya dipandang sebagai perwujudan wewenang duniawi Sri Paus yang bersifat sementara selaku kepala monarki, bukan wewenang rohani Sri Paus selaku rohaniwan tertinggi Gereja Katolik.[2][3] Negara-negara lain yang lumayan besar di Jazirah Italia pasca-Perang Napoleon tahun 1815 adalah Kerajaan Sardinia di kawasan pangkal jazirah, Kadipaten Agung Toskana di kawasan barat jazirah, serta Kerajaan Dua Sisilia di kawasan selatan jazirah berikut pulau Sisilia.[4] Pendudukan Prancis di Italia pada dasawarsa 1790-an memang melambungkan ketenaran maupun kewenangan rohani Sri Paus,[2] tetapi sekaligus menghancurkan kredibilitas geopolitik Negara Gereja. Sejarawan David Kertzer berpendapat bahwa sepanjang kurun waktu 1850-an, Negara Gereja "yang dulu begitu perkasa—hasil dari penerapan syariat—sudah terlihat sangat ringkih".[5]

Paus Pius IX, yang terpilih pada tahun 1846, mula-mula dipandang banyak pihak sebagai sosok pembaru dan pemutakhir, yang diharapkan mampu memberi sumbangsih besar bagi gerakan penyatuan Italia, yakni gerakan yang disebut risorgimento (kebangunan kembali) di Italia. Akan tetapi ketika revolusi meletus di Italia pada tahun 1848, ia justru menolak mendukung perlawanan konfederasi pan-Italia terhadap Kekaisaran Austria yang bercokol di Kerajaan Lombardia–Venesia, negara di kawasan timur laut Jazirah Italia.[6] Sikap Sri Paus ini memicu pemberontakan rakyat di wilayah Negara Gereja, sampai-sampai Sri Paus terpaksa mengungsi ke Kerajaan Dua Sisilia. Dengan dalih membela Sri Paus, Austria dan Prancis menyerbu dan membubarkan negara Republik Roma yang baru saja didirikan pada tahun 1849. Pasukan-pasukan Prancis selanjutnya disiagakan melindungi kota Roma, sementara pasukan-pasukan Austria ditempatkan di daerah-daerah Negara Gereja. Penempatan pasukan-pasukan asing ini sangat menjengkelkan rakyat.[7] Paus Pius IX masih berpegang pada pandangan tradisional yang meyakini bahwa keberadaan Negara Gereja sangat diperlukan untuk menjamin kemerdekaan Sri Paus selaku kepala Gereja Katolik.[2] Ketenarannya agak pulih pada dasawarsa 1850-an,[8] tetapi gerakan penyatuan Italia yang dipelopori oleh Kerajaan Sardinia terus-menerus meresahkannya.[2]

Umat Yahudi di Negara Gereja, yang berjumlah kira-kira 15.000 jiwa pada tahun 1858,[5] merasa berutang budi kepada Paus Pius IX karena menghapus hukum lama yang mewajibkan mereka untuk mendengarkan khotbah di gereja sebanyak empat kali dalam setahun. Khotbah ini didasarkan atas bacaan Taurat mingguan untuk pekan yang bersangkutan, dan bertujuan mengajak umat Yahudi memeluk agama Kristen.[9] Paus Pius IX juga merubuhkan pintu-pintu gerbang kampung Yahudi kota Roma, sekalipun ditentang oleh banyak orang Kristen.[10] Meskipun demikian, keleluasaan umat Yahudi masih tetap dibatasi banyak aturan, dan sebagian besar umat Yahudi masih tetap bermukim di kampung Yahudi.[10]

Keluarga Mortara dan Anna Morisi

Edgardo Levi Mortara[a] adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Salomone Mortara alias Momolo, seorang saudagar Yahudi, dan istrinya, Marianna dari keluarga Padovani. Edgardo lahir pada tanggal 27 Agustus 1851 di Bologna, salah satu dari empat legazioni pontificie (daerah tingkat I) di ujung utara wilayah Negara Gereja.[7] Pada tahun 1850, keluarga Mortara pindah dari Kadipaten Modena ke kota Bologna.[7] Umat Yahudi Bologna, yang berjumlah sekitar 900 jiwa, pernah diusir dari kota itu oleh Paus Klemens VIII pada tahun 1593.[14] Beberapa orang Yahudi, yang kebanyakan berprofesi sebagai saudagar seperti Momolo, kembali bermukim di Bologna pada dasawarsa 1790-an, sehingga komunitas umat Yahudi dengan jumlah sekitar 200 jiwa kembali terbentuk di kota itu. Umat Yahudi Bologna mengamalkan ajaran agamanya secara diam-diam, tanpa tuntunan rabi maupun naungan sinagoga.[5] Negara Gereja secara resmi melarang umat Yahudi mempekerjakan pelayan yang beragama Kristen, tetapi keluarga-keluarga Yahudi yang taat beragama menganggap keberadaan pelayan-pelayan non-Yahudi di rumah mereka sangat penting, karena pelayan non-Yahudi tidak terikat syariat agama Yahudi sehingga boleh tetap mengerjakan tugas-tugas rumah tangga selagi umat Yahudi menunaikan kewajiban beristirahat pada hari Sabat.[15] Pada praktiknya, pejabat Gereja menutup mata terhadap pelanggaran ini, dan hampir semua keluarga Yahudi mempekerjakan sekurang-kurangnya satu orang pelayan perempuan yang beragama Kristen Katolik.[15]

Beberapa bulan setelah Edgardo lahir, keluarga Mortara mempekerjakan pelayan baru yang bernama Anna Morisi, gadis Katolik berusia 18 tahun asal San Giovanni in Persiceto, desa yang terdekat dari Bologna. Sebagaimana kaum kerabat dan handai tolannya, Anna tidak berpendidikan.[16] Ia datang ke Bologna, mengikuti ketiga saudarinya, untuk bekerja dan menabung upahnya dalam rangka mengumpulkan harta sesan supaya dapat berumah tangga.[16] Pada awal tahun 1855, Anna hamil di luar nikah. Kejadian semacam ini lazim dialami gadis-gadis pelayan di Bologna kala itu.[17] Para majikan biasanya akan memecat pelayan yang hamil di luar nikah, tetapi keluarga Mortara justru mengongkosi Anna untuk tinggal di rumah seorang bidan sejak empat bulan menjelang bersalin sampai selesai bersalin, kemudian kembali bekerja di rumah mereka. Demi menjaga nama baik Anna maupun nama baik keluarga Mortara sendiri, para tetangga diberitahu bahwa Anna sedang sakit dan pulang kampung untuk memulihkan diri.[17] Anna menyerahkan bayinya ke panti asuhan, sesuai dengan ketentuan Negara Gereja bagi perempuan-perempuan yang melahirkan anak di luar nikah, dan selanjutnya kembali bekerja di rumah keluarga Mortara.[17] Ia terus mengabdi pada keluarga itu sampai dipekerjakan oleh keluarga lain di Bologna pada tahun 1857. Tak lama sesudah berganti majikan, Anna Morisi menikah dan pulang ke San Giovanni in Persiceto.[18]

Pengambilan paksa

Pemicu

Pada bulan Oktober 1857, Inkuisitor Bologna, seorang padri Dominikan yang bernama Pier Gaetano Feletti, mendengar selentingan bahwa seorang pelayan Katolik pernah membaptis seorang kanak-kanak Yahudi secara diam-diam di Bologna.[19] Menurut pandangan Gereja, kanak-kanak tersebut sudah sah menjadi pemeluk agama Kristen Katolik, andaikata desas-desus ini memang benar. Keadaan semacam ini dapat menimbulkan dampak-dampak yang bersifat sekuler maupun agamawi. Gereja berpendirian bahwa kanak-kanak Kristen tidak boleh diasuh oleh umat beragama lain, dan oleh karena itu kanak-kanak Yahudi yang sudah dibaptis harus dipisahkan dari kedua orang tuanya.[20] Kasus-kasus semacam ini bukannya tidak lumrah terjadi di Italia pada abad ke-19, dan sering kali berkisar seputar tindakan pembaptisan terhadap seorang kanak-kanak Yahudi oleh seorang pelayan Kristen.[21] Secara resmi, Gereja tidak membenarkan umat Katolik membaptis kanak-kanak Yahudi tanpa persetujuan orang tuanya, kecuali jika si kanak-kanak sudah dalam sakratulmaut. Gereja menganggap syarat meminta persetujuan orang tua boleh ditangguhkan demi menyelamatkan jiwa kanak-kanak yang sudah dalam sakratulmaut, agar jiwa kanak-kanak yang bersangkutan dibenarkan masuk surga.[22] Banyak keluarga Yahudi khawatir anak-anak mereka dibaptis secara diam-diam oleh para pelayan Kristen mereka, sehingga beberapa di antaranya mewajibkan karyawan-karyawan Kristen, yang hendak berhenti mengabdi pada mereka, untuk menandatangani akta notaris berisi pernyataan tidak pernah membaptis anak-anak majikan mereka.[23]

Serambi wisma tarekat Dominikan di lingkungan Basilika San Domenico, Bologna, foto tahun 2006

Pelayan yang didesas-desuskan melakukan pembaptisan diam-diam ini adalah Anna Morisi. Setelah mendapatkan surat izin penyelidikan dari Kongregasi Suci Tertinggi Inkuisisi Roma dan Sedunia (disebut pula Jawatan Suci), yakni badan pemantau dan pembela doktrin Kristen Katolik yang beranggotakan para kardinal, Padri Pier Feletti menginterogasi Anna Morisi di Basilika San Domenico, Bologna.[24] Anna menuturkan bahwa sewaktu masih menjadi pelayan keluarga Mortara, bayi keluarga itu, Edgardo, sakit berat dalam perawatannya. Karena khawatir nyawa si bayi tak terselamatkan lagi, Anna membaptisnya secara darurat, yakni memercikkan air ke kepala si bayi seraya berkata, "aku membaptis engkau dalam Nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus". Anna tidak pernah memberitahukan tindakannya ini kepada keluarga Mortara, dan kesehatan Edgardo berangsur-angsur pulih seperti sediakala. Setelah menyuruh Anna bersumpah untuk merahasiakan pernyataannya, Padri Feletti mengirim berita acara pemeriksaan Anna Morisi ke Roma bersama permohonan izin pengambilan paksa terhadap Edgardo, yang baru berumur enam tahun, dari keluarganya.[25]

Para sejarawan tidak dapat memastikan apakah Paus Pius IX ikut serta dalam pembahasan awal perihal kasus Mortara di Jawatan Suci, maupun tahu-menahu perihal tindakan penyelidikan awal yang dilakukan Padri Pier Feletti. Kendati mengepalai Jawatan Suci, Sri Paus hanya sesekali menghadiri pertemuan-pertemuannya, dan agaknya tidak diberi laporan seputar urusan-urusan yang dianggap para kardinal sebagai pekerjaan rutin.[24] Bagi Jawatan Suci, masalah-masalah seperti yang dilaporkan Padri Pier Feletti menciptakan situasi serba salah. Di satu pihak, Gereja secara resmi menentang tindakan memaksa orang berganti agama.[26] Di lain pihak, Gereja sangat meluhurkan sakramen pembaptisan, sehingga tiap-tiap orang yang sudah dibaptis adalah bagian yang sah dari umat Kristen di mata Gereja.[26] Berdasarkan bula Postremo Mense (Pada Bulan Terakhir) tahun 1747, undang-undang Negara Gereja mengharamkan tindakan pengambilan kanak-kanak dari keluarga non-Kristen tanpa sepengetahuan orang tuanya untuk dibaptis (kecuali jika kanak-kanak yang bersangkutan sudah dalam sakratulmaut), tetapi jika kanak-kanak yang bersangkutan telanjur dibaptis maka Gereja wajib memisahkannya dari orang tua kandungnya serta memberinya pendidikan agama Kristen.[27][b] Para kardinal mengkaji berita acara dari Padri Pier Feletti, dan sepakat bahwa penuturan Anna Morisi dalam berita acara itu "sepenuhnya benar tanpa sedikit pun keraguan mengenai kenyataan dan validitas pembaptisan yang dilakukannya".[28] Padri Pier Feletti diperintahkan untuk mengatur pengambilan paksa atas diri Edgardo, dan mengantar kanak-kanak itu ke Wisma Katekumen di kota Roma, asrama sekaligus majelis taklim bagi orang-orang yang baru atau hendak memeluk agama Kristen Katolik.[29][c]

Pelaksanaan

Satu regu carabinieri (kesatuan dalam angkatan bersenjata yang berwenang menangani urusan keamanan dalam negeri) Negara Gereja dipimpin Marsekal Pietro Lucidi dan Brigadir Giuseppe Agostini mendatangi kediaman keluarga Mortara di Bologna pada senja hari tanggal 23 Juni 1858. Setelah melontarkan satu dua pertanyaan seputar hal-ihwal keluarga itu, Marsekal Pietro Lucidi akhirnya berkata, "Signor Mortara, dengan sangat menyesal harus saya sampaikan bahwa anda telah dikhianati orang".[30] Marsekal Pietro Lucidi selanjutnya menjelaskan bahwa mereka datang atas perintah Padri Pier Feletti untuk mengambil paksa Edgardo karena anak itu telah dibaptis.[30] Marianna menjerit histeris, lari menghampiri ranjang Edgardo, dan melarang mereka mengambil anak itu sebelum melangkahi mayatnya.[30] Marsekal Pietro Lucidi berulang-ulang menjelaskan bahwa ia hanya sekadar melaksanakan perintah Padri Pier Feletti. Selepas peristiwa itu, Marsekal Pietro Lucidi melaporkan bahwa "aku seribu kali lipat lebih memilih menghadapi bahaya besar dalam bertugas, ketimbang harus menyaksikan kejadian yang memilukan semacam itu."[30][d]

Marsekal Pietro Lucidi mengajak ayah Edgardo untuk bersama-sama menemui si inkuisitor guna membicakan permasalahan itu, tetapi ditolak Momolo. Marsekal Lucidi selanjutnya mengizinkan Momolo untuk mengutus putra sulungnya, Riccardo, pergi memanggil kaum kerabat dan para tetangga. Paman Marianna, Angelo Padovani, salah seorang pemuka paguyuban Yahudi Bologna, menyimpulkan bahwa satu-satunya peluang yang terbuka bagi mereka adalah mengajukan permohonan resmi kepada Padri Pier Feletti.[30] Si inkuisitor menerima Angelo Padovani beserta ipar Marianna, Angelo Moscato, di Basilika San Domenico tak lama selepas pukul 23.00. Sama seperti Marsekal Lucidi, Padri Pier Feletti menjelaskan bahwa ia hanya sekadar menjalankan perintah atasan. Ia menolak mengungkap sebab musabab munculnya dugaan bahwa Edgardo sudah dibaptis, dengan dalih rahasia negara. Si inkuisitor menurut saja ketika diminta memberi kesempatan setidaknya satu hari bagi keluarga Mortara untuk menghabiskan waktu bersama Edgardo, dengan syarat tidak boleh ada usaha apa pun untuk membawa lari anak itu. Ia menerbitkan selembar surat izin kepada Angelo Padovani, yang harus diperlihatkannya kepada Marsekal Lucidi. Marsekal Lucidi meninggalkan kediaman keluarga Mortara seturut arahan yang termaktub dalam surat izin dari Padri Pier Feletti, dan membiarkan Angelo Padovani beserta Angelo Moscato menunggui Edgardo di kamar tidur keluarga Mortara.[30]

Sepanjang pagi hari tanggal 24 Juni, keluarga Mortara berusaha membatalkan perintah pengambilan paksa yang dikeluarkan Padri Pier Feletti dengan meminta persetujuan dari Kardinal Legatus Bologna, Giuseppe Milesi Pironi Ferretti, atau Uskup Agung Bologna, Michele Viale-Prelà, tetapi kedua-duanya sedang keluar kota.[31] Sekitar tengah hari, keluarga Mortara akhirnya memutuskan untuk melakukan sejumlah tindakan guna sedapat mungkin meringankan dukacita akibat perpisahan. Saudara-saudara Edgardo diantar mengunjungi kaum kerabat mereka, sementara Marianna dengan berat hati akhirnya bersedia melewatkan waktu sepanjang sore hari itu bersama istri Giuseppe Vitta, salah seorang dari handai taulan Yahudi mereka.[31] Sekitar pukul 17.00, Momolo datang ke Basilika San Domenico guna memohon pembatalan untuk terakhir kalinya kepada Padri Pier Feletti. Si inkuisitor mengulangi perkataan yang sudah ia sampaikan sehari sebelumnya kepada Angelo Padovani dan Angelo Moscato. Ia juga menenangkan Momolo agar tidak perlu mengkhawatirkan Edgardo, karena anak itu akan diurus dengan baik, di bawah perlindungan Sri Paus sendiri. Ia memperingatkan bahwa tidak seorangpun akan diuntungkan jika ada orang yang menimbulkan kegaduhan pada saat pasukan carabinieri kembali ke rumah keluarga Mortara malam hari nanti.[31]

Momolo akhirnya pulang dan mendapati tempat tinggalnya sudah sepi, hanya ditunggui oleh Vitta, saudara Marianna (juga bernama Angelo Padovani), dua orang petugas polisi, dan Edgardo sendiri.[31] Sekitar pukul 20.00, pasukan carabinieri tiba dengan dua kendaraan, satu kendaraan untuk mengangkut Marsekal Lucidi beserta anak buahnya, dan satu kendaraan lagi untuk Brigadir Agostini yang akan mengantar Edgardo. Marsekal Lucidi masuk ke kediaman keluarga Mortara dan mengambil Edgardo dari bopongan ayahnya. Kedua orang petugas polisi yang menjaga Edgardo pun ikut merasa iba sampai-sampai meneteskan air mata.[31] Momolo mengikuti langkah pasukan menuruni tangga menuju jalanan, lalu jatuh pingsan. Edgardo diserahkan kepada Brigadir Agostini, yang membawanya pergi meninggalkan tempat itu.[31]

Mencari keadilan

Upaya banding; Anna Morisi dimintai keterangan

Giacomo Antonelli, ketua penyelenggara pemerintahan Sri Paus dengan pangkat Kardinal Sekretaris Negara

Karena tidak tahu ke mana Edgardo dibawa pergi (Momolo baru tahu pada awal bulan Juli), keluarga Mortara, dengan dukungan komunitas Yahudi Bologna, Roma, dan tempat-tempat lain di Italia, mula-mula mengerahkan seluruh daya upaya mereka untuk mengajukan banding serta mencari dukungan dari masyarakat Yahudi di luar negeri.[32] Pendapat khalayak ramai yang digaungkan orang-orang Yahudi di negara-negara Eropa barat selepas kemunculan gerakan kebebasan pers, ditambah lagi dengan emansipasi politik Yahudi di Kerajaan Sardinia, Inggris, Prancis dan Amerika Serikat, menyebabkan perkara pengambilan paksa terhadap Edgardo Mortara menyita perhatian pers lebih dari yang sudah-sudah.[33] Pemerintah Negara Gereja mula-mula mengabaikan pengajuan banding Momolo, tetapi kemudian menindaklanjutinya setelah surat-surat kabar mulai menyiarkan kasus ini; sekian banyak pihak yang menentang Negara Gereja sengaja mengedepankan peristiwa ini sebagai contoh tirani Sri Paus.[34]

Demi mengukuhkan kembali posisi diplomatik Negara Gereja yang goyah, Kardinal Sekretaris Negara Giacomo Antonelli bekerja sama dengan paguyuban umat Yahudi kota Roma untuk mengatur pertemuan dengan Momolo Mortara, dan menyambut kedatangannya dengan santun pada awal bulan Agustus 1858.[35] Kardinal Antonelli berjanji akan meneruskan perkara ini kepada Sri Paus, dan mengabulkan permintaan Momolo untuk diizinkan mengunjungi Edgardo secara teratur di Wisma Katekumen.[35] Menurut Kertzer, tindakan Kardinal Antonelli memberi izin kepada Momolo untuk berulang kali mengunjungi Edgardo, yang bertolak belakang dengan kelaziman pemberian izin 1 kali kunjungan, adalah tanda pertama yang menunjukkan bahwa kasus Mortara akan menjadi sangat penting.[35]

Usaha keluarga Mortara dan rekan-rekannya mencari tahu siapa orang yang telah membaptis Edgardo akhirnya membuahkan hasil dalam waktu singkat. Karena pelayan mereka saat itu, Anna Facchini, bersikukuh tidak tahu apa-apa, kecurigaan pun beralih kepada para mantan pelayan, termasuk Anna Morisi. Pada akhir bulan Juli 1858, kediaman keluarga Mortara didatangi oleh Ginerva Scagliarini, salah seorang sahabat Anna yang pernah mengabdi pada saudara ipar Marianna, Cesare De Angelis. Saudara Marianna, Angelo Padovani, memancing informasi dari Ginerva dengan berkata secara sambil lalu bahwa ia dengar Annalah yang membaptis Edgardo. Ginerva Scagliarini mengaku diberitahu demikian oleh saudari Anna, Monica.[36]

Angelo Padovani Junior berkunjung ke San Giovanni in Persiceto bersama Cesare De Angelis untuk menjumpai serta meminta keterangan dari Anna. Angelo ingat waktu itu Anna Morisi sempat mencucurkan air mata.[37] Setelah dapat diyakinkan bahwa Angelo dan Cesare tidak bermaksud jahat pada dirinya, Anna pun mengulangi penuturannya kepada Padri Pier Feletti. Ia mengaku telah menuruti anjuran untuk membaptis Edgardo berikut petunjuk pelaksanaannya dari Cesare Lepori, seorang pedagang bahan pangan yang ia ceritai tentang sakit yang diderita Edgardo. Ia tidak menceritakan tindakannya itu kepada siapa pun sampai saudara kandung Edgardo, Aristide, wafat saat berumur setahun pada tahun 1857. Menurut Anna, saat itu seorang pelayan tetangga bernama Regina berkata bahwa Anna seharusnya membaptis Aristide, dan Anna pun "keceplosan" mengaku telah membaptis Edgardo .[37] Menurut Angelo, Anna mengaku menangis ketika dienterogasi oleh Padri Pier Feletti, dan mengungkapkan penyesalannya terkait pengambilan paksa atas diri Edgardo. "Sesudah tahu bahwa semua itu terjadi gara-gara saya, saya merasa sangat terpukul, bahkan sampai sekarang," kata Anna.[37] Anna bersedia membuat pengakuan resmi, hitam di atas putih, tetapi sudah tidak ada di tempat ketika Angelo dan Cesare kembali tiga jam kemudian bersama seorang notaris dan dua orang saksi.[e] Sesudah sia-sia mencari Anna, Angelo dan Cesare akhirnya pulang ke Bologna membawa keterangan berdasarkan pengakuan lisan belaka, yang Angelo yakini sebagai pernyataan yang jujur dari mulut Anna. "Kata-katanya, tindak-tanduknya, dan air mata yang ia cucurkan sebelum mulai mengaku, membuat saya yakin bahwa semua penuturannya pada saya benar adanya."[37]

Dua versi berita

Dari pertengahan bulan Agustus sampai pertengahan bulan September 1858, Momolo beberapa kali menjenguk Edgardo di bawah pengawasan Rektor Wisma Katekumen, Enrico Sarra. Bermacam-macam keterangan mengenai apa yang terjadi selama berlangsungnya pertemuan kedua anak-beranak ini akhirnya berkembang menjadi dua versi berita yang saling bertentangan mengenai keseluruhan kasus. Versi Momolo, yang disukai komunitas Yahudi dan para pendukung lainnya, adalah berita tentang hancurnya sebuah keluarga akibat fanatisme keagamaan pemerintah. Kabarnya Edgardo, yang tidak berdaya untuk melawan, menangis mencari orang tuanya sepanjang perjalanan menuju Roma, dan hanya ingin pulang ke rumah.[38][f] Versi yang disukai Gereja dan para pendukungnya, dan disebarluaskan lewat media massa Katolik di seluruh Eropa, adalah berita mengharukan tentang terselamatkannya jiwa seorang insan seturut kehendak ilahi, dan tentang seorang kanak-kanak yang terlahir dengan karunia kekuatan rohani yang melampaui taraf pertumbuhannya. Kabarnya si neofitus (mualaf) Edgardo dulunya menempuh jalan hidup sesat yang kelak berbuntut laknat abadi, tetapi kini sudah mantap menempuh jalan keselamatan Kristen, dan merisaukan kedua orang tuanya yang tidak ikut berpindah keyakinan bersama-sama dengannya.[38]

Tema utama dalam hampir semua ulasan tentang berita yang berpihak pada keluarga Mortara adalah kondisi kesehatan Marianna Mortara. Sejak bulan Juli 1858, tersiar kabar di seluruh Eropa bahwa akibat didera dukacita mendalam, ibu Edgardo mengalami guncangan jiwa, kalau tidak bisa dikatakan sudah gila, bahkan sudah sekarat.[40] Gambaran pilu seorang ibu yang patah hati sengaja dikedepankan oleh keluarga Mortara kepada khalayak ramai, dan juga kepada Edgardo sendiri. Momolo dan sekretaris komunitas Yahudi kota Roma, Sabatino Scazzocchio, mengabari Edgardo bahwa keselamatan nyawa ibunya bakal berada di ujung tanduk jika ia tidak segera pulang.[40] Sabatino Scazzocchio menolak mengirimkan surat yang ditulis Marianna kepada Edgardo pada bulan Agustus, dengan alasan isi surat itu bernada relatif tenang dan menentramkam sehingga akan merusak kesan yang hendak mereka tanamkan di benak Edgardo bahwasanya Marianna sudah hilang akal dan hanya bisa selamat jika Edgardo pulang.[40] Pada bulan Januari 1859, salah seorang koresponden surat kabar melaporkan bahwa "si ayah memang terlihat tegar, tetapi si ibu sukar sekali menutup-nutupi kesedihannya,... Andaikata Bapa Suci melihat sendiri keadaan perempuan ini seperti saya, beliau pasti tidak akan tega menahan anaknya lebih lama lagi."[41][g]

Ada banyak versi dari berita yang disiarkan pihak Gereja, tetapi intinya sama saja. Semuanya sama-sama memberitakan bahwa Edgardo menerima dengan segera dan penuh semangat, serta berusaha semampunya memahami ajaran agama Kristen.[42] Kebanyakan memaparkan kisah dramatis mengenai Edgardo yang konon mengamati lukisan Bunda Maria Berdukacita dengan pandangan takjub, mungkin di Roma, atau dalam perjalanan dari Bologna.[42] Agostini, polisi yang mengantarnya ke Roma, melaporkan bahwa mula-mula Edgardo mati-matian tidak mau masuk bersamanya ke dalam gereja untuk mengikuti Misa, tetapi mendadak secara ajaib berubah sikap setelah memandangi lukisan itu.[h] Salah satu tema umum adalah Edgardo sudah menjadi semacam anak ajaib. Menurut keterangan seorang saksi mata yang dimuat dalam surat kabar Katolik, L'armonia della religione colla civiltà, Edgardo sudah menguasai katekismus hanya dalam beberapa hari saja, "memberkati hamba Tuhan yang membaptisnya," dan mengaku ingin menarik semua orang Yahudi menjadi pemeluk agama Kristen.[42] Artikel pro-Gereja tentang kasus Mortara yang paling berpengaruh adalah artikel yang dimuat dalam majalah berkala tarekat Yesuit, La Civiltà Cattolica, pada bulan November 1858, yang lantaran kepopulerannya kemudian dicetak ulang atau dikutip dalam surat-surat kabar Katolik di seluruh Eropa.[44] Menurut artikel ini, Edgardo memohon kepada Rektor Wisma Katekumen untuk tidak memulangkannya ke rumah orang tuanya tetapi membiarkannya tumbuh besar dalam sebuah keluarga Kristen. Kisah ini adalah cikal bakal dari pernyataan yang menjadi salah satu unsur utama dari versi berita pro-Gereja, bahwasanya Edgardo sudah punya keluarga baru, yakni Gereja Katolik.[44] Dalam artikel ini, Edgardo juga dikisahkan pernah berkata "aku sudah dibaptis, aku sudah dibaptis, dan ayahku adalah Sri Paus."[44]

Menurut Kertzer, para pendukung versi berita yang pro-Gereja agaknya tidak sadar bahwa banyak keterangan di dalamnya yang terkesan "terlalu muluk untuk dipercaya" dan "tidak masuk akal."[44] Kertzer mengemukakan bahwa "jika Edgardo memang pernah memberi tahu ayahnya bahwa ia tidak mau pulang bersamanya, sudah menganggap Sri Paus sebagai ayah kandungnya, dan hendak membaktikan hidupnya untuk menarik orang Yahudi menjadi pemeluk agama Kristen, maka pesan ini agaknya tidak sampai pada Momolo."[44] Kaum liberal, umat Protestan, dan umat Yahudi di seluruh Eropa mencemooh berita yang disiarkan media massa Katolik.[44] Sebuah selebaran yang diterbitkan di Brussel pada tahun 1859 merangkum dua versi berita yang saling bertolak belakang ini, lalu menyimpulkan bahwa "antara mukjizat seorang rasul berusia enam tahun yang hendak mengubah keyakinan orang Yahudi dan tangisan seorang kanak-kanak yang terus-menerus mencari ibu dan kakak-kakaknya, tidak sedetik pun kami ragu untuk menentukan mana yang benar."[44] Orang tua Edgardo dengan berang menuding berita-berita pro Katolik sebagai kebohongan, tetapi sejumlah pendukung mereka tidak begitu yakin mengenai ke kubu mana Edgardo kini berpihak. Salah satunya adalah Sabatino Scazzocchio, yang beberapa kali turut hadir dalam acara pertemuan anak-beranak yang dipersengketakan itu di Wisma Katekumen.[44]

Penyangkalan Cesare Lepori; Anna Morisi didiskreditkan

Momolo pulang ke Bologna pada akhir bulan September 1858 setelah diberi tahu lewat surat oleh kedua iparnya bahwa keluarganya akan hancur berantakan jika ia terus berlama-lama tinggal di Roma.[45] Ia memberi kuasa kepada Sabatino Scazzocchio untuk menangani upaya hukum keluarganya di Roma.[46][i] Momolo kini lebih mementingkan usaha untuk menghancurkan kredibilitas Anna Morisi, baik dengan cara menyanggah keterangan-keterangan tertentu dalam pengakuannya maupun dengan jalan menciptakan kesan bahwa ia bukanlah pribadi yang layak dipercaya. Momolo juga berusaha meminta keterangan dari Cesare Lepori, pedagang bahan pangan yang menyarankan dan mengajarkan cara baptis darurat menurut pengakuan Anna.[47] Berdasarkan pengakuan Anna, sejumlah pemerhati kasus ini berpandangan bahwa Cesare Leporilah biang kerok sesungguhnya yang patut disalahkan.[47] Tatlaka dimintai keterangan oleh Momolo di tokonya pada awal bulan Oktober, Cesare Lepori mati-matian menyangkal pernah membincangkan kondisi Edgardo maupun urusan baptis-membaptis dengan Anna, bahkan menyatakan kesediaannya untuk bersaksi di hadapan pengadilan mana pun.[47] Ia mengaku tidak paham tata cara membaptis orang, sehingga mustahil timbul percakapan seperti yang dikisahkan Anna.[47]

Carlo Maggi, kenalan Momolo yang beragama Katolik sekaligus seorang pensiunan hakim, mengirimkan laporan mengenai penyangkalan Cesare Lepori kepada Sabatino Scazzocchio, yang meminta bantuan Kardinal Giacomo Antonelli untuk meneruskannya kepada Sri Paus. Sepucuk surat pengantar yang dilampirkan pada laporan Carlo Maggi menerangkan bahwa laporan itu adalah bukti kebohongan Anna Morisi.[48] Sabatino Scazzocchio juga meneruskan sepucuk surat pernyataan yang dibuat di bawah sumpah dari dokter keluarga Mortara, Pasquale Saragoni, yang membenarkan bahwa Edgardo pernah jatuh sakit saat berumur kira-kira satu tahun, tetapi tidak sampai terancam maut, dan sesungguhnya Anna sendiri sedang terbaring sakit di tempat tidur pada waktu yang sama dengan waktu ia membaptis Edgardo dalam pengakuan tertulisnya.[49] Pada Oktober 1858, datang lagi warkat dari Bologna yang memuat pernyataan delapan orang perempuan dan satu orang laki-laki, semuanya beragama Katolik, yang membenarkan pernyataan dokter keluarga Mortara perihal sakit yang dialami Edgardo Mortara maupun Anna Morisi, dan menuduh si mantan pelayan sebagai seorang perempuan yang suka mencuri dan bertindak asusila.[49] Empat orang perempuan, termasuk Anna Facchini, pelayan keluarga Mortara, dan Elena Pignatti, majikan baru Anna Morisi selepas berhenti bekerja pada keluarga Mortara, mengaku mengetahui bahwa Anna kerap bermain mata dengan perwira-perwira Austria dan mengundang mereka ke rumah majikannya untuk bersebadan.[49]

Ulang-alik Roma-Alatri

Momolo sekali lagi berangkat ke Roma pada tanggal 11 Oktober 1858, kali ini disertai Marianna. Momolo berharap kehadiran Marianna akan lebih mengesankan Gereja maupun Edgardo.[50] Demi menghindari akibat-akibat yang mungkin saja timbul dari perjumpaan dramatis ibu-anak, Rektor Wisma Katekumen, Enrico Sarra, mengungsikan Edgardo ke Alatri, kampung halamannya, yang berjarak kira-kira 100 kilometer (62 mil) dari Roma. Suami-istri Mortara menyelisik keberadaan mereka sampai tiba di sebuah gereja di Alatri. Dari gawang pintung Gereja, Momolo menyaksikan seorang imam sedang merayakan Misa didampingi Edgardo selaku misdinar.[50] Momolo menunggu di luar gereja sampai selesai Misa, kemudian membujuk Enrico Sarra untuk mengizinkannya menjumpai Edgardo. Sebelum pertemuan terlaksana, suami-istri Mortara ditahan dan diberangkatkan ke Roma atas perintah Wali Kota Alatri. Wali kota sendiri mengeluarkan perintah ini atas permintaan Uskup Alatri. Kardinal Giacomo Antonelli justru menganggap tindakan tersebut tidak pantas dilakukan, dan jelas-jelas dapat dijadikan sumber amunisi oleh pihak-pihak yang menentang Gereja, sehingga memerintahkan Enrico Sarra untuk memulangkan Edgardo ke Roma agar dapat berjumpa dengan kedua orang tuanya.[50]

Edgardo kembali ke Wisma Katekumen pada tanggal 22 Oktober, dan berulang kali dikunjungi kedua orang tuanya selama bulan November.[51] Sama seperti yang pernah terjadi seusai kunjungan kali pertama Momolo, dua versi berita kembali beredar di tengah masyarakat. Menurut suami-istri Mortara, Edgardo jelas-jelas diintimidasi oleh para rohaniwan di sekelilingnya, dan serta-merta menghamburkan diri ke dalam pelukan ibunya tatkala melihatnya. Kemudian hari Marianna berkata, "berat badannya turun dan wajahnya tampak pucat, sinar matanya mengisyaratkan ketakutan;... Aku beri tahu dia bahwa dia terlahir Yahudi sama seperti kita, dan harus tetap Yahudi sama seperti kita, lalu dia menjawab: 'Si, mia cara mamma, aku tidak akan pernah lupa mengucapkan Syema setiap hari.'"[51][j] Menurut salah satu warta yang dimuat dalam surat kabar Yahudi, para padri menyampaikan kepada kedua orang tua Edgardo bahwa putra mereka telah dipilih Allah menjadi "rasul Kristen bagi kaum keluarganya, dengan tugas khusus untuk mengubah keyakinan kedua orang tua dan saudara-saudarinya",[51] dan bahwasanya Edgardo hanya dapat berkumpul kembali bersama-sama mereka jika mereka memeluk agama Kristen. Para padri dan biarawati kemudian berlutut dan berdoa agar seisi rumah keluarga Mortara memeluk agama Kristen, sehingga kedua orang tua Edgardo langsung angkat kaki lantaran ngeri.[51]

Di lain pihak, kubu pro Gereja memberitakan bahwa Edgardo sudah bertekad untuk tetap Kristen, dan sangat risau ketika dinasihati ibunya untuk kembali memeluk agama leluhurnya.[53] Dalam narasi kubu pro Gereja, sebab utama dari dukacita yang diderita suami-istri Mortara bukanlah kehilangan anak, melainkan kenyataan bahwa anak mereka sudah bulat hati memeluk agama Kristen. Menurut surat kabar La Civiltà Cattolica, Marianna berang melihat medali bergambar Bunda Maria yang terkalung di leher Edgardo, dan merenggutnya hingga putus. Salah satu artikel di surat kabar ini bahkan memberitakan bahwa Marianna merenggut medali itu sambil berkata, "aku lebih memilih melihat kau mati daripada melihat kau jadi orang Kristen!"[53] Sejumlah pengecam Gereja menuding Gereja telah menyalahi Perintah Allah yang mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada ayah dan ibunya, karena sengaja memisahkan Edgardo dari orang tuanya. La Civiltà Cattolica menampik tudingan ini dengan memberitakan bahwa Edgardo tetap sayang pada keluarganya, kendati sudah berbeda agama, dan sesungguhnya sesudah diajari baca tulis oleh para padri, surat pertama yang ia tulis ditujukan kepada Ibunya dan diakhiri dengan kalimat "dari putra kecilmu yang teramat menyayangimu".[53] Louis Veuillot, editor ultramontanis harian L'Univers sekaligus salah seorang pembela Sri Paus yang paling gigih, melaporkan bahwa ketika berjumpa dengan Edgardo di Roma, anak itu mengungkapkan "betapa ia menyayangi ayah dan ibunya, dan akan tinggal bersama mereka kalau sudah besar... sehingga ia dapat bercerita kepada mereka tentang Santo Petrus, Allah, dan Santa Maria".[54]

Kehebohan

Skandal internasional; muslihat politik

Kaisar Prancis, Napoleon III, adalah salah seorang tokoh dunia yang dibuat gusar oleh tindakan-tindakan Negara Gereja dalam kasus Mortara.

Karena tidak ada kemajuan di Roma, Momolo dan Marianna Mortara akhirnya pulang ke Bologna pada awal bulan Desember 1858.[55] Tak lama kemudian, keluarga Mortara pindah ke kota Turin di Kerajaan Sardinia.[56] Kasus Mortara, yang dijuluki "impian humas" anti-Katolik oleh David Kertzer, ketika itu sudah menghebohkan Eropa dan Amerika Serikat. Desakan kepada Sri Paus agar memulangkan Edgardo kepada kedua orang tuanya terus-menerus disuarakan oleh banyak pihak dari segala lapisan masyarakat.[57] Kasus Mortara menjadi cause célèbre bukan hanya di kalangan umat Yahudi melainkan juga di kalangan umat Kristen Protestan, khususnya di Amerika Serikat, negara yang sarat dengan sentimen anti-Katolik. Selama bulan Desember 1858 saja, harian The New York Times sudah memuat lebih dari 20 artikel tentang Kasus Mortara.[58] Di Inggris, mingguan The Spectator mengedepankan Kasus Mortara sebagai bukti bahwa pemerintah Negara Gereja adalah "pemerintah terburuk sejagat, yang paling bobrok dan yang paling angkuh, yang paling kejam dan yang paling zalim".[59] Media massa Katolik di Italia maupun di luar Italia bersikukuh membela tindakan-tindakan Sri Paus.[60] Artikel-artikel pro-Gereja sering kali terang-terangan menampakkan semangat antisemit, misalnya dengan menuduh bahwa pemberitaan Kasus Mortara yang penuh dengan kecaman terhadap Sri Paus di Inggris, Prancis, atau Jerman tidaklah mengherankan "karena banyak surat kabar Eropa belakangan ini memang sudah dikuasai Yahudi".[61] Sabatino Scazzocchio merasa serangan media massa terhadap Gereja sesungguhnya merugikan perjuangan keluarga Mortara, karena serangan-serangan itu membangkitkan murka Sri Paus sehingga semakin berkeras untuk tidak berkompromi.[62]

Tidak jelas apakah Paus Pius IX terlibat atau tidak terlibat secara pribadi dalam pengambilan keputusan untuk memisahkan Edgardo Mortara dari kedua orang tuanya, dan tidak jelas pula apakah ia pernah atau belum pernah sebelumnya ditentang dengan sedemikian sengitnya lewat media massa, yang jelas ia benar-benar dibuat kaget oleh letupan kemarahan internasional terkait kasus Mortara. Atas dasar bula Postremo Mense, ia berpendirian bahwa tindakan mengembalikan anak yang sudah dibaptis kepada orang tua non-Kristen adalah perbuatan yang menyalahi doktrin Gereja.[63] Kendati pemerintah negara-negara asing dan berbagai cabang keluarga Rothschild satu demi satu melaknat tindakan-tindakannya, Paus Pius IX tetap berpegang teguh pada apa yang ia anggap sebagai urusan prinsip.[64] Salah seorang pemimpin dunia yang ikut berang adalah Kaisar Prancis, Napoleon III. Kaisar Napoleon III menganggap kasus ini cukup mengkhawatirkan, mengingat sintasnya pemerintah Negara Gereja adalah jasa garnisun Prancis di kota Roma.[65] Kaisar mendukung pemerintahan duniawi Sri Paus secara acuh tak acuh karena didukung sebagian besar warga Katolik Prancis, tetapi kasus Mortara telah menyurutkan dukungan. Menurut sejarawan Roger Aubert, kasus Mortara juga merupakan peristiwa yang memicu perubahan sikap Prancis.[65] Pada bulan Februari 1859, Kaisar Napoleon III diam-diam bermufakat dengan Kerajaan Sardinia. Ia menjanjikan pengerahan bala tentara Prancis ke Italia untuk membantu Kerajaan Sardinia mengusir penjajah Austria dan mempersatukan seluruh Italia dengan mencaplok wilayah Negara Gereja, wilayah Kerajaan Dua Sisilia, dan wilayah negara-negara kecil lainnya.[66][k]

Pasa masa itu Sri Paus lazim menerima kunjungan silaturahmi tahunan dari rombongan perwakilan umat Yahudi kota Roma, tak lama selepas Tahun Baru. Acara kunjungan silaturahmi tahunan pada tanggal 2 Februari 1859 dengan cepat berubah menjadi pertengkaran sengit. Paus Pius IX mengomeli para tamunya karena sudah "menimbulkan kehebohan besar di seantero Eropa sehubungan dengan Kasus Mortara ini".[67] Saat menyangkal keterlibatan umat Yahudi kota Roma dengan artikel-artikel antirohaniwan, Sabatino Scazzocchio malah dituding tidak berpengalaman dan bodoh oleh Sri Paus, yang selanjutnya berseru, "surat-surat kabar boleh tulis apa saja semau mereka. Aku tidak peduli apa kata dunia!"[67] Sri Paus kemudian menjadi agak tenang dan berkata, "sedemikian besar rasa kasihanku kepadamu, sehingga aku memaafkanmu, aku memang mesti memaafkanmu."[67] Salah seorang anggota rombongan menganjurkan supaya Gereja tidak terlalu mempercayai kesaksian Anna Morisi, mengingat budi pekertinya patut dipertanyakan. Sri Paus menampik anjuran ini dengan mengatakan bahwa sebaik atau seburuk apa pun budi pekerti gadis pelayan itu, sejauh yang ia pahami, Anna Morisi tidak punya alasan untuk mengarang-ngarang cerita semacam itu, dan bagaimanapun juga Momolo Mortara seharusnya sedari awal tidak mempekerjakan seorang pelayan yang beragama Kristen Katolik.[67]

Kegigihan Paus Pius IX mempertahankan Edgardo berkembang menjadi rasa kasih sayang ayah terhadap anak. Menurut memoar Edgardo, Sri Paus secara teratur melewatkan waktu bersamanya dan bermain-main dengannya. Sri Paus suka membuat si kecil Edgardo kegirangan dengan cara menyembunyikan kanak-kanak itu di balik mantelnya lalu pura-pura mencari sambil berseru "mana anak itu?"[68] Pernah sekali dalam pertemuan mereka, Sri Paus berkata kepada Edgardo, "Anakku, engkau sudah sangat menyusahkan aku, dan aku sudah menanggung banyak derita lantaran engkau."[67] Ia kemudian berkata pula kepada orang-orang lain yang juga hadir saat itu, "baik yang berkuasa maupun yang tanpa kuasa berusaha mencuri anak ini dariku, juga bilang aku biadab dan tidak berbelaskasihan. Mereka meratapi kedua orang tuanya, tetapi lupa bahwa aku juga adalah bapaknya."[67]

Petisi Sir Moses Montefiore; Bologna lepas

Sir Moses Montefiore, Ketua Perwakilan Umat Yahudi Inggris, yang turut memperjuangkan kepentingan keluarga Mortara.

Upaya banding umat Yahudi Italia menarik perhatian Sir Moses Montefiore, Ketua Perwakilan Umat Yahudi Inggris. Orang sudah mafhum akan kerelaan Sir Moses untuk bepergian jauh demi menanggulangi masalah yang dihadapi saudara-saudari seimannya, seperti yang pernah ia lakukan dalam kasus fitnah darah di Damaskus pada tahun 1840.[69] Dari bulan Agustus sampai bulan Desember 1858, ia mengetuai sebuah panitia yang khusus dibentuk di Inggris untuk memperjuangkan kepentingan keluarga Mortara. Panitia ini meneruskan laporan-laporan dari Piemonte kepada surat-surat kabar dan para pemuka agama Katolik di Inggris, dan mendapatkan dukungan terbuka dari umat Protestan Inggris, teristimewa dari Aliansi Injili pimpinan Sir Culling Eardley.[69] Setelah gagal mendesak pemerintah Inggris untuk mengajukan surat keberatan resmi kepada Vatikan, Sir Moses datang sendiri ke Roma untuk mengajukan petisi kepada Sri Paus, mengimbau pemulangan Edgardo kepada kedua orang tuanya. Ia tiba di Roma pada tanggal 5 April 1859.[69][l]

Sir Moses gagal mendapatkan izin tatap muka dengan Sri Paus, dan hanya diterima oleh Kardinal Antonelli pada tanggal 28 April. Sir Moses menyerahkan petisi Perwakilan Umat Yahudi Inggris kepadanya untuk diteruskan kepada Sri Paus, disertai pemberitahuan bahwa ia akan tinggal di Roma selama seminggu untuk menunggu balasan Sri Paus.[70] Dua hari kemudian, kabar sampai di Roma bahwa telah pecah pertempuran antara pasukan Austria dan pasukan Piemonte di utara. Perang tahun 1859 sudah meletus. Kendati kebanyakan pembesar asing sesegera mungkin angkat kaki dari Roma, Sir Moses masih saja bersabar menanti balasan Sri Paus yang tak kunjung datang. Ia akhirnya meninggalkan Roma pada tanggal 10 Mei.[70] Setibanya di Inggris, lebih dari 2.000 tokoh masyarakat, antara lain 79 orang wali kota dan provos, 27 orang bangsawan penyandang gelar pusaka, 22 orang uskup dan uskup agung Anglikan, serta 36 anggota parlemen, menandatangani surat keberatan yang menyebut tindakan Sri Paus telah "menistakan agama Kristen", "bertentangan dengan naluri kemanusiaan".[71] Sementara itu, Gereja diam-diam menerimakan sakramen krisma kepada Edgardo di sebuah kapel pribadi pada tanggal 13 Mei 1859.[70] Ketika itu Edgardo tidak lagi tinggal di Wisma Katekumen, tetapi sudah pindah ke San Pietro in Vincoli, sebuah basilika di Roma yang dipilih sendiri oleh Sri Paus untuk menjadi tempat Edgardo dididik.[72]

Ketika kubu Austria mulai terdesak dalam perang melawan Piemonte, garnisun di Bologna ditarik meninggalkan kota pada dini hari tanggal 12 Juni 1859. Pada petang hari itu, bendera Negara Gereja yang berkibar di alun-alun kota sudah diganti dengan bendera triwarna Italia, kardinal legatus sudah angkat kaki dari kota, dan sekelompok orang yang menyebut diri Pemerintah Sementara Bologna sudah mempermaklumkan keinginan bergabung dengan Kerajaan Sardinia.[73] Bologna dengan segera dijadikan bagian dari provinsi Romagna. Uskup Agung Michele Viale-Prelà berusaha mempengaruhi warga untuk tidak bekerja sama dengan pejabat-pejabat sipil yang baru, tetapi tidak begitu berhasil.[74] Salah satu tindakan resmi dari rezim baru ini adalah memberlakukan kebebasan beragama dan kesetaraan hukum bagi segenap warga negara. Pada bulan November 1859, Gubernur Luigi Carlo Farini mengeluarkan maklumat pembubaran lembaga inkuisisi.[74]

Pembalasan

Penangkapan Padri Pier Feletti

Luigi Carlo Farini, Gubernur Romagna sesudah bubarnya pemerintah Negara Kepausan di Bologna pada tahun 1859, memerintahkan penyidikan terhadap "para dalang pengambilan paksa".

Jelang akhir tahun 1859 dan bulan Januari 1860, Momolo Mortara berada di Paris dan London dalam rangka mencari dukungan. Selama kepergian Momolo, ayahnya, Simon Mortara, yang tinggal di Reggio Emilia, kurang lebih 30 kilometer (19 mil) di sebelah barat dari kota Bologna, berhasil meminta pejabat rezim baru di Romagna untuk melakukan pengusutan atas kasus Mortara. Pada tanggal 31 Desember 1859, Gubernur Romagna memerintahkan Kepala Kantor Pengadilan Provinsi untuk melacak keberadaan "para dalang pengambilan paksa".[75] Filippo Curletti, Direktur Jenderal Kepolisian Romagna yang baru, ditugaskan melakukan pengusutan. Setelah dua orang opsir menetapkan Padri Pier Feletti, mantan inkuisitor Bologna, sebagai pihak yang memerintahkan pengambilan paksa, Filippo Curletti beserta satu detasemen polisi mendatangi Basilika San Domenico dan menangkap si padri sekitar pukul 02:30 tanggal 2 Januari 1860.[75]

Pardi Pier Feletti menjalani pemeriksaan di kepolisian, tetapi menolak memberi jawaban setiap kali ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan diri Edgardo maupun tindakan pengambilan paksa terhadap Edgardo. Ia berdalih masih terikat sumpah keramat untuk tidak membeberkan urusan Jawatan Suci. Saat diminta Filippo Curletti untuk menyerahkan semua berkas yang berkaitan dengan kasus Mortara, Feletti mengatakan bahwa berkas-berkas yang dimaksud sudah dimusnahkan. Saat ditanya mengenai waktu dan cara pemusnahannya, ia kembali berdalih masih terikat sumpah keramat untuk tidak membeberkan urusan Jawatan Suci.[76] Setelah didesak lebih lanjut, Padri Pier Feletti berkata, "sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang saya lakukan selaku inkuisitor Jawatan Suci Bologna, saya hanya wajib memberi penjelasan kepada satu pihak saja, yaitu Kongregasi Suci Tertinggi di Roma, yang diketuai oleh Yang Mulia Sri Paus Pius IX, tidak kepada pihak lain."[76] Polisi menggeledah wisma tarekat Dominikan, tetapi tidak berhasil mendapatkan satu pun dokumen yang berkaitan dengan kasus Mortara. Seusai penggeledahan yang tanpa hasil itu, Padri Pier Feletti pun digiring ke dalam penjara.[76] Kabar penangkapan Padri Pier Feletti membuat media massa kembali ramai mengulas kasus Mortara yang kala itu sudah hilang dari pemberitaan, sehingga kembali menghebohkan seantero Eropa.[76]

Pengusutan

Pengadilan Padri Pier Feletti merupakan kasus kriminal besar yang pertama di Bologna setelah berada di bawah rezim baru.[77] Pada tanggal 18 Januari 1860, Pejabat Kehakiman Francesco Carboni mengumumkan bahwa Padri Pier Feletti dan Letnan Kolonel Luigi De Dominicis akan diadili, tetapi Marsekal Pietro Lucidi dan Brigadir Giuseppe Agostini tidak akan diadili.[m] Ketika dimintai keterangan oleh Francesco Carboni di penjara pada tanggal 23 Januari, Padri Pier Feletti mengungkap bahwa, sehubungan dengan tindakan pengambilan paksa atas diri Edgardo, ia hanya menjalankan perintah Jawatan Suci, "yang tidak pernah mengeluarkan satu pun maklumat tanpa persetujuan Sri Paus".[77] Padri Pier Feletti selanjutnya mengulas kembali kasus Mortara menurut salah satu versi Gereja, bahwasanya "niat Edgardo untuk tetap memeluk agama Kristen tidak kunjung tergoyahkan", dan kini sedang giat belajar dengan penuh prestasi di Roma.[77] Ia menyimpulkan bahwa suatu hari nanti Edgardo akan menjadi sosok "andalan dan kebanggaan" keluarga Mortara.[77][n]

Pada tanggal 6 Februari, Momolo Mortara memberi keterangan sendiri yang nyaris sepenuhnya bertentangan dengan keterangan yang diberikan Padri Pier Feletti. Di Roma, menurut Momolo, Edgardo "merasa takut dan terintimidasi oleh kehadiran Rektor Wisma Katekumen, [tetapi] secara terang-terangan mengungkap keinginannya untuk pulang bersama kami".[79] Francesco Carboni selanjutnya berkunjung ke San Giovanni in Persiceto untuk meminta keterangan Anna Morisi, yang mengaku berumur 23 tahun, padahal sesungguhnya 26 tahun.[o] Anna Morisi mengungkapkan bahwa Edgardo jatuh sakit pada musim dingin tahun 1851–1852, saat baru berumur kurang lebih empat bulan. Ia ingat ketika itu keluarga Mortara duduk di samping buaian Edgardo dengan raut muka sedih dan "mendaraskan isi sebuah buku berbahasa Ibrani yang biasanya didaraskan orang Yahudi bilamana satu dari mereka sudah dalam sakratulmaut".[80] Ia mengulangi pengakuannya bahwa pembaptisan darurat terhadap Edgardo dilakukannya atas anjuran Cesare Lepori, si pedagang bahan pangan, dan kemudian hari menceritakan perbuatannya kepada salah seorang pelayan keluarga tetangga yang bernama Regina, serta menambahkan bahwa ia juga menceritakan tindakan pembaptisan itu kepada saudari-saudarinya.[80][p] Sama seperti sebelumnya, Cesare Lepori menyangkal terlibat dalam urusan itu, bahkan tidak ingat pada Anna Morisi.[81] Orang yang disebut-sebut bernama Regina dalam penurutan Anna Morisi diidentifikasi sebagai Regina Bussolari. Kendati Anna Morisi mengaku sudah menceritakan seluruh kejadian kepadanya, Regina Bussolari menegaskan bahwa ia tidak tahu apa-apa mengenai kasus itu. Regina Bussolari mengaku berbincang dengan Anna Morisi "cuma sekali dua kali, bilamana ia naik ke gudang untuk mengambil barang", dan tidak pernah membincangkan apa-apa mengenai anak-anak keluarga Mortara.[81][q]

Elena Pignatti, majikan baru Anna Morisi sesudah berhenti bekerja di rumah keluarga Mortara pada tahun 1857—keterangannya tentang kelakuan buruk Anna Morisi turut dimasukkan ke dalam surat banding yang diajukan keluarga Mortara kepada Sri Paus—memberi kesaksian sebagai berikut:

Tujuh atau delapan tahun lalu... salah seorang putra keluarga Mortara, yang tidak saya ketahui namanya, jatuh sakit dan kabarnya sudah sekarat. Waktu itu, suatu pagi... saya menghampiri Anna Morisi. Di tengah-tengah obrolan kami, tanpa bilang apa-apa tentang sakitnya anak itu, ia bertanya, 'dengar-dengar kalau kita membaptis kanak-kanak Yahudi yang sekarat, dia nanti masuk Surga dan beroleh ampunan; apa benar begitu?' Saya tidak ingat apa yang saya katakan kepadanya, tetapi waktu si kecil Mortara diambil paksa atas perintah si padri Dominikan, saya jadi yakin kalau dialah anak yang sakit itu".[82]

Elena Pignatti mengaku pernah melihat sendiri Edgardo terbaring sakit, dan Marianna duduk di samping buaiannya—"waktu itu ibunya menangis dan mencemaskan keselamatan nyawanya, sehingga saya menyangka anak itu sudah sekarat, juga karena saya lihat matanya terpejam, dan badannya tidak bergerak."[82] Elena menambahkan pula bahwa selama tiga bulan bekerja di rumahnya menjelang akhir tahun 1857, Anna Morisi sudah empat atau lima kali dipanggil ke San Domenico, dan pernah mengaku dijanjikan harta sesan oleh si inkuisitor.[82]

Penyangkalan Regina Bussolari terhadap pernyataan bahwa ia pernah berbincang tentang pembaptisan dengan Anna Morisi membangkitkan keingintahuan mengenai siapa sesungguhnya yang pertama kali menyampaikan selentingan itu kepada si inkuisitor.[83] Pada tanggal 6 Maret, Francesco Carboni sekali lagi meminta keterangan dari Anna Morisi. Ketika diberi penjelasan oleh Francesco Carboni bahwa kesaksiannya tidak bersesuaian dengan kesaksian dokter keluarga Mortara, kesaksian keluarga Mortara sendiri, kesaksian Cesare Lepori, maupun kesaksian Regina Bussolari, Anna menjawab, "saya bersaksi sejujur-jujurnya".[82] Francesco Carboni menyampaikan kepada Anna Morisi bahwa mungkin saja ia sengaja mengarang-ngarang seluruh kisah itu dengan maksud mencelakai keluarga Mortara karena mengharapkan imbalan dari Gereja.[r] Ketika Francesco Carboni bertanya, apakah ia pernah berkunjung ke San Domenico selain untuk diinterogasi, Anna mengaku pernah berkunjung dua kali untuk meminta harta sesan yang dijanjikan Padri Pier Feletti. Francesco Carboni menduga Anna sendiri yang sengaja membuat dirinya dimintai keterangan dengan cara menceritakan tindakannya membaptis Edgardo dalam salah satu dari dua kunjungan itu, tetapi Anna bersikeras bahwa dua kunjungan itu terjadi sesudah ia diinterogasi.[83][s]

Setelah meminta keterangan untuk terakhir kalinya dari Padri Pier Feletti—yang lagi-lagi tidak bersedia memberi keterangan dengan dalih sumpah keramat—Francesco Carboni menyampaikan kepada si padri bahwa menurut sepengetahuannya, tidak ada bukti yang menguatkan keterangan tentang kejadian pengambilan paksa versi Padri Pier Feletti. Si padri menjawab, "saya turut merasakan dukacita suami-istri Mortara akibat derita perpisahan dengan putra mereka, tetapi saya berharap Allah mengabulkan doa-doa orang yang tak bersalah, dan mempersatukan mereka sekalian dalam agama Kristen... Sedangkan soal hukuman terhadap diri saya, memang sudah saya pasrahkan kepada Tuhan, tetapi saya juga yakin bahwa pemerintah manapun akan mengakui keabsahan tindakan saya."[84] Keesokan harinya, Padri Pier Feletti dan Letnan Kolonel Luigi De Dominicis secara resmi dikenai dakwaan tindak pidana "pemisahan paksa kanak-kanak Edgardo Mortara dari keluarga kandungnya yang beragama Yahudi". Sebelum dikenai dakwaan, Letnan Kolonel Luigi De Dominicis sudah melarikan diri ke wilayah yang masih dikuasai Negara Gereja.[84]

Diadili dan dibebaskan

Mahkamah mengadili Padri Pier Feletti dengan berpedoman pada hukum yang berlaku di Bologna pada waktu kejadian perkara.[85] Di hadapan mahkamah, Francesco Carboni mengemukakan bahwa di mata hukum Negara Gereja sekalipun, tindakan pengambilan paksa tersebut tidaklah sah. Ia Mengaku tidak menemukan bukti yang mendukung pernyataan terdakwa bahwa terdakwa hanya bertindak mengikuti petunjuk dari Roma, dan ada bukti kuat bahwa terdakwa meragukan keterangan Anna Morisi, tetapi menurut sepengetahuannya terdakwa sama sekali tidak berusaha untuk memastikan kebenaran keterangan itu sebelum memerintahkan pengambilan paksa.[85] Lantaran Padri Pier Feletti menolak menunjuk penasihat hukum sendiri ketika diminta, dengan dalih sudah memasrahkan pembelaan dirinya kepada Allah dan Bunda Maria, negara menetapkan Francesco Jussi, pengacara kawakan di Bologna, menjadi penasihat hukum terdakwa.[85]

Sidang dengar pendapat yang digelar di hadapan enam orang anggota majelis hakim pada tanggal 16 April 1860 tidak dihadiri oleh keluarga Mortara maupun Padri Pier Feletti. Keluarga Mortara tidak dapat hadir karena sedang berada di Torino, dan baru menerima pemberitahuan tanggal sidang dua hari sebelum sidang digelar, sementara Padri Pier Feletti menolak hadir karena tidak sudi mengakui hak rezim baru untuk mengadili dirinya. Kendati bukti-bukti dari Filippo Curletti dan Francesco Carboni sudah terkumpul, tidak ada saksi yang dapat dipanggil.[85] Jaksa Radamisto Valentini, yang baru pertama kali menangani kasus besar, menyatakan bahwa Padri Pier Feletti seorang diri dan atas inisiatif sendiri telah memerintahkan pengambilan paksa, kemudian menyoroti pokok pikiran kedua dalam pernyataan Francesco Carboni, yakni mungkin saja para petinggi di Romalah yang berkesimpulan bahwa Anna Morisi telah memberi keterangan dengan sejujur-jujurnya. Jaksa selanjutnya menjabarkan satu demi satu keterangan Anna Morisi, dan mengemukakan bahwa sekalipun kejadian sesungguhnya sama dengan keterangan Anna, pembaptisan tidak dilaksanakan secara layak dan oleh karena itu tidak sah.[86] Jaksa kemudian membeberkan ketidaksesuaian keterangan Anna dengan keterangan-keterangan dari pihak lain, dan mengecam Anna sebagai gadis tolol "yang sudah dicemari napas dan sentuhan mesum prajurit-prajurit asing... [yang] berjinak-jinak dengan mereka tanpa rasa malu", dan akhirnya mendakwa Padri Pier Feletti sebagai pihak yang memerintahkan sendiri pengambilan paksa tersebut lantaran sifat megalomania dan "kebencian seorang inkuisitor terhadap agama Yahudi".[87]

Francesco Jussi merasa serba salah karena berusaha membela seorang klien yang menolak membela diri sendiri.[85] Tanpa bukti apa-apa yang dapat memperkuat kesaksian kliennya, ia terpaksa lebih banyak mengandalkan kemahirannya bersilat lidah. Francesco Jussi mengedepankan sejumlah aspek dari urut-urutan kejadian yang ia anggap menyiratkan bahwa perintah pengambilan paksa memang berasal dari Roma. Misalnya saja, terdakwa langung memberangkatkan Edgardo ke ibu kota tanpa menjumpainya lebih dahulu. Terdakwa juga menegaskan bahwa Jawatan Suci dan Sri Paus jauh lebih pantas menilai kesahihan pembaptisan tersebut daripada sebuah mahkamah sekuler. Ia mengutip secara panjang lebar keterangan Angelo Padovani tentang pertemuan yang bersangkutan dengan Anna Morisi pada bulan Juli 1858, serta mempertanyakan kebenaran keterangan Cesare Lepori, si penjual bahan pangan, yang mengaku tidak tahu apa-apa mengenai tentang cara membaptis seorang kanak-kanak. Francesco Jussi memperlihatkan sebuah laporan polisi yang memuat keterangan bahwa Cesare Lepori adalah salah sahabat karib seorang padri Yesuit.[88] Ia menduga Cesare Lepori maupun Regina Bussolari mungkin saja berdusta demi melindungi diri sendiri, dan sekalipun berperilaku seksual yang melanggar nilai-nilai kesusilaan bukan berarti Anna Morisi telah memberi keterangan palsu.[88] Ia berkesimpulan bahwa, karena memegang jabatan inkuisitor kala itu, Padri Pier Feletti hanya sekadar menjalankan tugas-tugas yang diwajibkan oleh jabatannya, dan dengan demikian tidak melakukan tindak kejahatan apa pun.[88]

Majelis hakim, yang diketuai oleh Calcedonio Ferrari, sesudah berembuk sebentar, memutuskan bahwa Padri Pier Feletti harus dibebaskan karena semata-mata bertindak mengikuti arahan dari rezim yang berkuasa kala itu.[89] Jarak waktu antara penangkapan dan pengadilan Padri Pier Feletti serta dengan pesatnya kemajuan usaha penyatuan Italia, membuat kasus Mortara kehilangan gaungnya, sehingga hanya segelitir pihak yang menyuarakan keberatan terhadap putusan tersebut.[89] Media massa Yahudi mengungkapkan rasa kecewa. Salah satu tajuk rencana dalam surat kabar Yahudi Italia, L'Educatore israelitico, mengemukakan bahwa kiranya tidak bijak menyasar Padri Pier Feletti alih-alih pihak lain yang lebih tinggi jabatannya.[89] Di Prancis, Archives Israélites menyuarakan pendapat yang senada, bahwa "apa guna memukul tangan kalau kepala yang menggagas, melaksanakan, dan membenarkan serangan?"[89][t]

Rencana merebut kembali Edgardo

Putusan bebas yang diterima Padri Pier Feletti tidaklah mengejutkan keluarga Mortara. Momolo berharap permasalahan putranya akan menjadi pokok bahasan utama dalam salah satu konferensi internasional yang rencananya akan diselenggarakan guna membahas masa depan Italia, tetapi akhirnya kecewa ketika pertemuan-pertemuan tingkat tinggi tersebut tak kunjung terselenggara.[91] Perjuangannya mencari keadilan serta kunjungannya ke Paris turut mendorong dibentuknya Alliance Israélite Universelle (Aliansi Bani Israel Sedunia) pada tahun 1860. Organisasi yang berpusat di Paris ini dibentuk untuk memperjuangkan pengentasan hak-hak sipil orang Yahudi di seluruh dunia.[91] Manakala angkatan bersenjata nasionalis Italia bergerak menyusuri Jazirah Italia, kejatuhan Roma pun kian nyata di pelupuk mata. Pada bulan September 1860, Alliance Israélite Universelle mengirim surat kepada Momolo berisi tawaran bantuan dana dan logistik andaikata ia hendak merebut kembali putranya dengan jalan kekerasan, karena "merebut kembali anakmu adalah cita-cita perjuangan segenap Bani Israel".[91] Carl Blumenthal, seorang Yahudi Inggris yang turut bergabung dengan korps sukarelawan nasionalis Giuseppe Garibaldi, menyusun rencana sendiri. Ia bersama-sama tiga orang lain akan menyamar menjadi rohaniwan, mencari Edgardo sampai ketemu, lantas melarikannya. Rencana ini mendapat persetujuan Giuseppe Garibaldi pada tahun 1860, tetapi agaknya batal lantaran salah seorang anggota yang akan beraksi sudah keburu wafat.[91]

Kesudahan

Penyatuan Italia; Edgardo hengkang

Wilayah Kerajaan Italia (merah) dan wilayah Negara Gereja (ungu) pada tahun 1870 (nama-nama tempat pada peta adalah nama-nama tempat dalam bahasa Jerman).

Sri Paus tetap tidak bersedia melepaskan Edgardo. "Apa yang aku perbuat bagi anak ini, adalah hak dan kewajibanku. Andaikata terulang kembali, aku akan bertindak sama," tegasnya.[92] Tatkala menghadiri tatap muka tahunan di Vatikan pada bulan Januari 1861, rombongan perwakilan umat Yahudi kota Roma terperangah melihat Edgardo, yang kala itu berumur sembilan tahun, berada di samping Sri Paus.[93] Kerajaan Italia diproklamasikan sebulan kemudian, dengan Victor Emmanuel II sebagai rajanya. Negara Gereja, dengan wilayah yang susut sampai tersisa Roma dan sekitarnya saja, tetap merdeka di luar Kerajaan Italia, karena Kaisar Napoleon III enggan mengecewakan rakyatnya yang beragama Katolik dengan menarik mundur garnisun Prancis.[93] Ia baru menarik mundur pasukan Prancis pada tahun 1864, sesudah satu orang lagi kanak-kanak Yahudi dibawa masuk ke Wisma Katekumen, yakni Giuseppe Coen, kanak-kanak berumur sembilan tahun asal kampung Yahudi kota Roma.[94] Penarikan mundur garnisun Prancis membuat Permasalahan Roma mencuat dalam sidang parlemen Italia. Negarawan Marco Minghetti menampik usulan kompromi yang menghendaki Roma menjadi bagian dari Kerajaan Italia tetapi Sri Paus tetap memegang sejumlah kewenangan istimewa. Marca Minghetti menegaskan, "kita tidak boleh pergi menjaga bocah Mortara itu untuk Sri Paus."[94] Garnisun Prancis kembali ditempatkan di Roma pada tahun 1867, sesudah Garibaldi gagal merebut kota itu.[95]

Pada permulaan tahun 1865, saat berumur 13 tahun, Edgardo menjadi novis (anggota pemula) paguyuban imam-imam reguler Lateran. Ia menambahkan nama Sri Paus di depan namanya sendiri sehingga menjadi Pio Edgardo Mortara.[u] Menurut Edgardo, ia berulang kali menyurati kaum keluarganya "menyangkut soal agama, dan berusaha semampu saya untuk meyakinkan mereka akan kebenaran iman Katolik", tetapi tidak pernah menerima balasan sampai dengan bulan Mei 1867. Kedua orang tuanya, yang kala itu sudah tinggal di Firenze, mengabarinya lewat surat bahwa mereka masih sangat menyayanginya, tetapi tidak dapat merasakan kehadiran putra mereka dalam surat-surat yang mereka terima.[95] Pada bulan Juli 1870, tepat sebelum Edgardo genap berumur 19 tahun, garnisun Prancis ditarik mundur dari Roma untuk selamanya sesudah Perang Prancis-Prusia meletus. Pasukan Italia merebut kota itu pada tanggal 20 September 1870.[95]

Momolo Mortara mengikuti Angkatan Darat Italia memasuki Roma dengan harapan dapat membawa pulang putranya. Menurut beberapa keterangan, Riccardo, abang Edgardo, sudah tiba di Roma mendahului ayahnya. Riccardo adalah perwira infanteri dalam angkatan bersenjata Kerajaan Italia. Riccardo Mortara berjuang sampai berhasil masuk ke San Pietro in Vincoli dan menemukan bilik adiknya. Edgardo memejamkan mata dan menuding Riccardo sambil berteriak, "enyah kau, Setan!"[96] Ketika Riccardo mengaku sebagai abangnya, Edgardo malah menjawab, "jangan dekat-dekat sebelum kau tanggalkan pakaian seragam pembunuh itu."[96][v] Seperti apa pun kejadiannya, yang pasti Edgardo sangat panik saat Roma direbut pasukan Italia. Kemudian hari Edgardo meriwayatkan dalam tulisannya bahwa, "sesudah pasukan-pasukan Piemonte memasuki Roma... mereka secara paksa mengambil si mualaf Coen dari Collegio degli Scolopi, [lalu] berbalik menuju San Pietro in Vincoli untuk mengambil aku juga."[96] Kepala Kepolisian Roma meminta Edgardo untuk kembali kepada kaum keluarganya menuruti opini masyarakat, tetapi Edgardo menolak. Selanjutnya ia berjumpa dengan panglima pasukan Italia, Jenderal Alfonso Ferrero La Marmora. Sang jenderal menyampaikan kepadanya bahwa ia sudah berumur 19 tahun sehingga bebas menuruti kemauan sendiri. Edgardo diselundupkan keluar dari Roma bersama-sama dengan seorang padri saat larut malam tanggal 22 Oktober 1870. Keduanya mengenakan pakaian sehari-hari masyarakat biasa sebagai samaran. Edgardo bertolak menuju kawasan utara Italia dan berhasil lolos ke Austria.[98][w]

Padri Pio Edgardo Mortara

Padri Pio Edgardo Mortara (kanan) bersama ibunya, Marianna, ca. 1878–1890

Edgardo ditampung di sebuah wisma paguyuban imam reguler di Austria, dan menggunakan nama samaran. Pada tahun 1872, ia pindah ke sebuah biara di Poitiers, Prancis. Paus Pius IX secara teratur bersurat-suratan dengan Uskup Poitiers perihal Edgardo. Setahun kemudian, Pio Edgardo Mortara ditahbiskan menjadi imam dengan dispensasi khusus karena baru berumur 21 tahun, terlalu muda untuk menjadi seorang imam. Sri Paus mengirimkan surat pribadi berisi ucapan selamat berikut dana amanah sebesar 7.000 lira sebagai tunjangan seumur hidup.[99]

Padri Edgardo Mortara melewatkan sebagian besar dari sisa hidupnya di luar Italia, berkeliling Eropa dan berkhotbah. Konon kabarnya ia mampu berkhotbah dalam enam bahasa, antara lain bahasa Euskara, dan mampu membaca dalam tiga bahasa tambahan, antara lain bahasa Ibrani.[99] David Kertzer mengemukakan dalam bukunya sebagai berikut:

Selaku pengkhotbah, ia sangat dicari orang, tidak lain lantaran kemampuannya menggugah hati pendengar dengan cara menyelipkan kisah masa kanak-kanaknya yang luar biasa itu ke dalam khotbah-khotbahnya. Sesuai penuturannya sendiri, kisah hidupnya adalah kisah tentang iman dan pengharapan, yakni kisah tentang bagaimana Allah memilih seorang gadis pelayan yang bersahaja dan buta huruf untuk menanamkan benih kuasa ajaib rahmat ilahi di dalam diri seorang anak kecil, sehingga menyelamatkannya dari keluarganya yang beragama Yahudi, orang-orang baik yang menempuh jalan fasik lantaran agama mereka.[100]

Momolo Mortara wafat pada tahun 1871, tak lama selepas tujuh bulan mendekam di dalam penjara selama proses peradilan perkara tewasnya seorang gadis pelayan yang jatuh dari jendela rumahnya. Momolo sudah diputuskan bersalah membunuh si gadis pelayan oleh pengadilan banding Firenze, tetapi kemudian dibebaskan dari dakwaan oleh pengadilan assise (peradilan oleh majelis hakim bersama dewan juri).[101] Paus Pius IX wafat pada tahun 1878. Pada tahun yang sama, Marianna berkunjung ke Perpignan, di kawasan barat daya Prancis, tempat yang sedang dikunjungi Edgardo dalam rangka berkhotbah menurut kabar yang ia terima. Pertemuan Marianna dan putranya sangat mengharukan. Edgardo bahagia berjumpa kembali dengan ibunya, tetapi kecewa dengan penolakan Marianna terhadap ajakannya untuk masuk Katolik.[99] Edgardo selanjutnya berusaha menyambung kembali ikatan silaturahmi dengan kaum keluarganya, tetapi tidak semua kerabatnya dapat menerima Edgardo apa adanya sebagaimana yang dilakukan ibunya.[99]

Sepeninggal Marianna pada tahun 1890, surat-surat kabar di Prancis memberitakan bahwa ia telah memeluk agama Kristen sebelum menghembuskan nafas terakhir disaksikan oleh Edgardo. Edgardo menyangkal kebenaran berita ini. "Aku senantiasa mengharapkan ibuku memeluk agama Katolik," tulisnya dalam sepucuk surat kepada harian Le Temps, "dan sudah berulang kali aku mencoba membujuknya untuk berbuat demikian. Sayangnya, tidak kunjung terlaksana".[102] Setahun kemudian, Padri Pio Edgardo Mortara pulang ke Italia untuk pertama kalinya dalam dua dasawarsa untuk berkhotbah di Modena. Salah seorang saudari dan beberapa orang saudara kandungnya juga datang mendengarkan khotbahnya, dan sampai akhir hayatnya Edgardo selalu mengundang kaum kerabatnya bilamana sedang berada di Italia.[99] Ketika singgah di Roma pada tahun 1919, Edgardo berkunjung ke Wisma Katekumen yang pernah ditinggalinya 61 tahun lampau.[99] Kala itu ia sudah menjadi penghuni tetap biara paguyuban imam reguler di Bouhay, Liège, Belgia. Di Bouhay ada sebuah tempat ziarah untuk menghormati Bunda Maria Perawan Lourdes. Edgardo merasa memiliki ikatan khusus dengan Sang Perawan Lourdes, karena peristiwa penampakan Bunda Maria di Lourdes terjadi pada tahun 1858, yakni tahun ketika Edgardo memeluk agama Kristen. Padri Pio Edgardo Mortara tinggal di Bouhay sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Maret 1940, saat berumur 88 tahun.[99]

Tinggalan sejarah

Kalaupun tercatat, kasus Mortara tidak banyak diulas dalam sebagian besar catatan sejarah Risorgimento.[103] Karya tulis ilmiah pertama dalam bentuk buku yang mengulas kasus Mortara adalah The American Reaction to the Mortara Case: 1858–1859 (1957) karangan Rabi Bertram Korn. Isi buku ini secara khusus menyoroti opini masyarakat di Amerika Serikat, kendati David Kertzer berpandangan bahwa detail-detail kasus Mortara di dalamnya sering kali tidak tepat.[103] Sumber sejarah utama mengenai kasus Mortara sampai dengan dasawarsa 1990-an adalah serangkaian artikel dari cendekiawan Italia, Gemma Volli, yang terbit dalam kurun waktu 1958–1960, kira-kira 100 tahun sesudah timbulnya kasus Mortara.[103] Saat baru mulai mendalami kasus Mortara, David Kertzer terkejut mendapati banyak rekan seprofesinya di Italia tidak begitu tahu akan kasus ini, sementara para pakar kajian Yahudi di seluruh dunia, menurut David Kertzer, telah melengserkan kasus Mortara "dari arus utama sejarah Italia ke ruang lingkup khusus sejarah bangsa Yahudi".[103] David Kertzer mendalami banyak sumber yang belum pernah dikaji, dan akhirnya menerbitkan buku The Kidnapping of Edgardo Mortara (1997), yang kini menjadi sumber rujukan utama mengenai kasus Mortara.[1][104][105]

Menurut Timothy Verhoeven, kasus Mortara merupakan kontroversi terbesar seputar Gereja Katolik pada pertengahan abad ke-19, karena "dibanding kasus-kasus lain, kasus ini mampu ... mengungkap perseteruan antara kubu pendukung dan kubu penentang Vatikan dengan lebih jelas".[106] Abigail Green mengemukakan dalam tulisannya bahwa "perbenturan wawasan dunia khas liberal dengan wawasan dunia ala Katolik yang terjadi manakala ketegangan internasional mencapai titik genting ini ... membuat kasus Mortara menyita perhatian dunia, dan menjadi peristiwa penting bagi umat Yahudi sedunia".[107] Edgardo Mortara sendiri mengemukakan pandangannya pada tahun 1893 bahwa peristiwa pengambilan paksa terhadap dirinya sempat "lebih kesohor daripada peristiwa pengambilan paksa terhadap anak-anak gadis orang Sabini".[27]

Beberapa bulan sebelum Paus Pius IX dibeatifikasi Gereja Katolik pada tahun 2000, para pengulas Yahudi dan pihak-pihak lain di kalangan media internasional mengungkit kembali kasus Mortara yang sudah nyaris lekang dari ingatan orang saat mengulik riwayat hidup dan jejak sejarah yang ditinggalkan mendiang.[13] Menurut Dov Levitan, fakta-fakta pokok kasus Mortara bukanlah fakta-fakta yang lain daripada yang lain, tetapi menjadi istimewa karena mempengaruhi opini masyarakat di Italia, Inggris, serta Prancis, dan merupakan contoh dari "tingginya rasa solidaritas antarsesama orang Yahudi yang muncul pada paruh kedua abad ke-19 [manakala] orang-orang Yahudi bangkit membela saudara-saudara seiman mereka di berbagai belahan dunia".[108] Kasus Mortara juga adalah salah satu faktor yang mendorong dibentuknya Alliance Israélite Universelle, salah satu organisasi Yahudi yang terkemuka di pentas dunia hingga abad ke-21.[109] Kasus Mortara dijadikan tema opera dua babak gubahan Francesco Cilluffo, dengan judul Il caso Mortara, yang dipentaskan untuk pertama kalinya di New York pada tahun 2010.[110] Diterbitkannya memoar Edgardo (ditulis dalam bahasa Kastila) dalam bahasa Italia oleh Vittorio Messori pada tahun 2005, yang versi Inggrisnya beredar sejak tahun 2017 dengan judul Kidnapped by the Vatican? The Unpublished Memoirs of Edgardo Mortara, memunculkan kembali perdebatan seputar kasus Mortara.[111] Kasus Mortara menjadi tema dari film drama sejarah tahun 2023 garapan Marco Bellocchio yang berjudul Kidnapped.[112]

Menurut Michael Goldfarb, kasus Mortara adalah "salah satu kasus memalukan yang menyingkap betapa kolotnya Gereja kala itu", dan memperlihatkan "ketidakmampuan Paus Pius IX dalam menuntun Gereja memasuki Zaman Modern".[113] David Kertzer mengemukakan pandangan senada. Menurutnya, "penolakan memulangkan Edgardo turut menyuburkan pandangan bahwa peran Sri Paus selaku penguasa temporer, dengan angkatan kepolisian sendiri, merupakan suatu anakronisme yang tidak dapat dipertahankan lagi."[114] David Kertzer bahkan berkesimpulan bahwa sebagai penyebab utama perubahan sikap Prancis yang memperlancar usaha penyatuan Italia pada kurun waktu 1859–1861, "cerita tentang seorang gadis pelayan buta huruf, seorang pedagang bahan pangan, dan seorang kanak-kanak Yahudi dari kota Bologna" ini boleh jadi telah mengubah jalan sejarah Italia maupun jalan sejarah Gereja.[115]

Keterangan

  1. ^ Nama lengkap Edgardo yang banyak tercatat adalah Edgardo Levi Mortara, yakni nama yang tercatat ia gunakan sesudah dewasa,[11][12] Edgardo Mortara Levi,[13] atau singkatnya Edgardo Mortara.[7]
  2. ^ Negara-negara Katolik lain, misalnya Kekaisaran Austria, memberlakukan undang-undang yang sama.[27]
  3. ^ Surat rekomendasi terakhir dari Jawatan Suci untuk Padri Pier Feletti terkait kasus Mortara tidak ditemukan—Kertzer menduga surat ini dibakar oleh pejabat Gereja saat daerah-daerah Negara Gereja direbut oleh Kerajaan Italia pada tahun 1859.[29]
  4. ^ Salah seorang tetangga keluarga Mortara mengatakan bahwa di kediaman kediaman keluarga itu, Marsekal Pietro Lucidi terdengar berujar bahwa ia "lebih baik disuruh menangkap seratus orang penjahat daripada disuruh mengambil paksa kanak-kanak itu".[30]
  5. ^ Saat kedua tamunya pergi mencari notaris dan saksi-saksi, saudari-saudari Anna beserta pastor paroki setempat menasihatinya agar tidak usah lagi memberi keterangan. Anna pun meninggalkan tempat tinggalnya dan bersembunyi di tempat lain di desa itu.[37]
  6. ^ Momolo juga mengabarkan bahwa menurut penuturan Rektor Wisma Katekumen, Edgardo mengaku merasa takut saat dijemput polisi, karena menyangka polisi hendak memancung kepalanya.[39]
  7. ^ Ia menambahkan bahwa "desas-desus yang sudah menyebar luas bahwasanya ia sudah gila sesungguhnya tidak benar. Ia masih sangat waras."[41]
  8. ^ Agostini bersaksi bahwa segera sesudah Edgardo yang berusia enam tahun itu masuk ke gereja, "berkat mukjizat dari surga, terjadi perubahan mendadak. Ia berlutut dan dengan tenang mengambil bagian dalam Kurban Ilahi," serta tekun menyimak penjelasan Agostini mengenai jalannya perayaan Misa. Agostini mula-mula mengajari Edgardo membuat tanda salib, selanjutnya mengajarinya mengucapkan doa Salam Maria.[43] Agostini melaporkan bahwa, sesudah itu Edgardo pun "lupa pada orang tuanya", dan bersikeras berkunjung ke gereja di tiap-tiap kota yang mereka lewati sampai tiba di Roma.[43]
  9. ^ Ketika itu sudah tersiar kabar angin di kalangan umat Yahudi Italia bahwa Edgardo telah dibaptis untuk kedua kalinya di Wisma Katekumen dengan cara yang lebih sesuai dengan tata upacara pembaptisan, tetapi Kertzer menduga kabar angin ini mungkin sekali tidak benar.[46]
  10. ^ Syema—"Dengarlah ya Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa"—adalah salah satu doa terpenting dalam agama Yahudi, dan diwajibkan untuk dilisankan orang Yahudi setiap pagi dan malam hari.[52]
  11. ^ Pakta ini dibuat menyusul perjanjian serupa yang disepakati Kaisar dengan Bupati Cavour, Perdana Menteri Raja Victor Emmanuel, pada tanggal 21 Juli 1858.[65] Kaisar Napoleon III diberi tahu mengenai kasus Mortara oleh Marquis Gioacchino Napoleone Pepoli, saudara sepupunya yang tinggal di Bologna, sebelum perwakilan komunitas Yahudi Prancis mengajukan permohonan tertulis pada bulan Agustus 1858.[65]
  12. ^ Ketika itu minat masyarakat terhadap kasus Mortara sudah meredup di Eropa, tetapi masih menyita perhatian khalayak rama di seberang samudra Atlantik; harian New York Herald pada bulan Maret melaporkan bahwa minat khalayak Amerika sudah "meraksasa".[58]
  13. ^ Dengan alasan keduanya cuma sekadar menjalankan perintah dari atasan langsung, sementara Letnan Kolonel Luigi De Dominicis turut bertanggung jawab memastikan sah tidaknya perintah tersebut.[77]
  14. ^ Padri Pier Feletti juga mengungkapkan kepada Francesco Carboni bahwa Sri Paus sudah mengatur agar kedua orang tua Edgardo diberi surat pas cuma-cuma sehingga bebas mengunjungi Edgardo di Roma. Francesco Carboni meminta keterangan mengenai surat pas ini dari kantor transportasi kereta kuda Bologna, tetapi pihak kantor transportasi tidak dapat menemukan bukti adanya permintaan dari Roma terkait pemberian izin semacam itu selama semester kedua tahun 1858.[78]
  15. ^ Anna Morisi yang tidak berpendidikan itu tidak pernah dapat memberi keterangan yang jelas mengenai umurnya. Seperti yang diungkap David Kertzer, hal ini lazimnya bukan perkara besar, tetapi besarnya perhatian media massa membuat kejelasan usianya menjadi pokok perdebatan.[80] Anna Morisi sendiri mengaku membaptis Edgardo saat berumur 14 tahun, yang justru dimanfaatkan para pendukung keluarga Mortara sebagai alasan lain untuk meragukan kesahihan baptisan yang dilakukannya. Akta kelahirannya bertarikh 28 November 1833, yang berarti sesungguhnya ia sudah berumur kira-kira 19 tahun saat membaptis Edgardo.[80]
  16. ^ Ketika Francesco Carboni mengandaikan jika Cesare Lepori memang pernah berbicang dengannya mengenai membaptis seorang kanak-kanak Yahudi maka tentu beberapa waktu kemudian ia akan menanyainya tentang sudah belumnya pembaptisan itu dilakukan, Anna Morisi menjawab bahwa mereka tak pernah mebincangkan soal itu lagi.[80]
  17. ^ Seperti Anna Morisi, Regina Bussolari berasal dari San Giovanni in Persiceto. Francesco Carboni menyelidiki latar belakangnya dan mendapati bahwa Regina Bussolari banyak melewatkan waktu di Gereja, yang ia anggap sebagai tanda orang yang lurus dan dapat dipercaya, tetapi tak lama kemudian laporan-laporan polisi menyingkap fakta bahwa Regina Bussolari adalah "seorang muncikari ... segala macam orang, bahkan para padri, kerap menyinggahi rumahnya untuk bergaul dengan perempuan."[81]
  18. ^ Momolo bersaksi bahwa Anna Morisi berhenti bekerja pada keluarga Mortara setelah "sedikit adu mulut dengan istri saya", tetapi "tidak menimbulkan rasa sakit hati sampai-sampai orang mesti mengkhawatirkan pembalasan dendam".[79]
  19. ^ Bagaimanapun juga, katanya, tidak ada harta sesan yang ia terima, dan ia sudah menikah tanpa harta sesan.[83]
  20. ^ Sikap Padri Pier Feletti yang mati-matian menolak mengakui keabsahan mahkamah membuat para pimpinan tarekat Dominikan maupun Sri Paus sangat terkesan. Seusai proses peradilan, ia diangkat menjadi kepala salah wisma paguyuban tarekat Dominikan di Roma, tempat ia menetap sampai akhir hayatnya pada tahun 1881, saat berumur 84 tahun.[90]
  21. ^ Di lingkungan religius, ia juga kadang-kadang dikenal dengan nama Pio Maria Mortara.[12]
  22. ^ Keterangan ini tercantum dalam Il caso Mortara nel primo centario, tulisan Gemma Volli mengenai kasus Mortara yang disusun pada tahun 1960. David Ketzner mengemukakan dalam tulisannya bahwa "sebagai sebuah drama, jalan ceritanya terlalu muluk untuk dipercaya... sayang sekali, saya tidak menemukan bukti pendukung yang kuat, kendati kita tahu bahwa Riccardo Mortara memang berkarier sebagai seorang perwira angkatan darat."[97]
  23. ^ Giuseppe Coen, yang kala itu berumur 16 tahun, dipulangkan ke keluarganya di luar kemauannya sendiri setelah pengadilan memutuskan bahwa ia belum cukup umur sehingga ayahnya masih berhak mengambil keputusan bagi dirinya. Giuseppe Coen kembali ke Roma begitu keadaan memungkinan dan akhirnya menjadi seorang imam.[96]

Rujukan

Catatan kaki

  1. ^ a b Benton, Maya (18 December 2013). "The Story Behind the Painting That Is the Basis for Steven Spielberg's Next Film". Tablet. New York. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-13. Diakses tanggal 6 Desember 2015. 
  2. ^ a b c d e Hearder 2013, hlm. 287–288.
  3. ^ Hearder 2013, hlm. 96.
  4. ^ Hearder 2013, hlm. vi.
  5. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. x–xi.
  6. ^ Kertzer 1998, hlm. 21.
  7. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 22–23.
  8. ^ Kertzer 1998, hlm. 79.
  9. ^ Kertzer 1998, hlm. 49, 59, 89.
  10. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 49, 59.
  11. ^ Gilley & Stanley 2006, hlm. 243.
  12. ^ a b Canestri 1966, hlm. 46.
  13. ^ a b De Mattei 2004, hlm. 153.
  14. ^ Kertzer 1998, hlm. 14.
  15. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 37–38.
  16. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 23, 39.
  17. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 95–96.
  18. ^ Kertzer 1998, hlm. 23, 39–41.
  19. ^ Kertzer 1998, hlm. 83.
  20. ^ Kertzer 1998, hlm. 33, 147.
  21. ^ Kertzer 1998, hlm. 34.
  22. ^ Kertzer 1998, hlm. 97.
  23. ^ Kertzer 1998, hlm. 34–39.
  24. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 83–84.
  25. ^ Kertzer 1998, hlm. 40–41, 83, 148.
  26. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 145–147.
  27. ^ a b c De Mattei 2004, hlm. 154.
  28. ^ Kertzer 1998, hlm. 148–149.
  29. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 54–55, 83–84.
  30. ^ a b c d e f g Kertzer 1998, hlm. 3–8.
  31. ^ a b c d e f Kertzer 1998, hlm. 8–12.
  32. ^ Kertzer 1998, hlm. 64, 85–86.
  33. ^ Kertzer 1998, hlm. 43.
  34. ^ Kertzer 1998, hlm. 65–66, 85–87.
  35. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 65–66.
  36. ^ Kertzer 1998, hlm. 39–40.
  37. ^ a b c d e Kertzer 1998, hlm. 40–41.
  38. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 50–52, 67–69, 70–71.
  39. ^ Kertzer 1998, hlm. 51–52.
  40. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 102–103.
  41. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 104.
  42. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 67–70.
  43. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 53–54.
  44. ^ a b c d e f g h Kertzer 1998, hlm. 70–71.
  45. ^ Kertzer 1998, hlm. 72.
  46. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 92–93.
  47. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 93–94.
  48. ^ Kertzer 1998, hlm. 94–95.
  49. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 97–101.
  50. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 104–108.
  51. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 109–112.
  52. ^ Appel 1991, hlm. 11.
  53. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 112–115.
  54. ^ Kertzer 1998, hlm. 172.
  55. ^ Kertzer 1998, hlm. 116–118.
  56. ^ Kertzer 1998, hlm. 184.
  57. ^ De Mattei 2004, hlm. 154; Kertzer 1998, hlm. 116–118.
  58. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 126–127.
  59. ^ "Analogues of the Mortara Case". The Spectator. No. 1585. London. 13 November 1858. hlm. 13–14. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-10-08. Diakses tanggal 2017-05-08. 
  60. ^ Kertzer 1998, hlm. 128.
  61. ^ Green 2012, hlm. 264; Kertzer 1998, hlm. 135.
  62. ^ Kertzer 1998, hlm. 162.
  63. ^ De Mattei 2004, hlm. 155–156; Jodock 2000, hlm. 41; Kertzer 1998, hlm. 83–85.
  64. ^ Kertzer 1998, hlm. 87–90.
  65. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 85–87.
  66. ^ Kertzer 1998, hlm. 167.
  67. ^ a b c d e f Kertzer 1998, hlm. 158–161.
  68. ^ Kertzer 1998, hlm. 255.
  69. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 163–167.
  70. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 168–170.
  71. ^ Green 2012, hlm. 279.
  72. ^ Kertzer 1998, hlm. 170–171.
  73. ^ Kertzer 1998, hlm. 175–176.
  74. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 179–183.
  75. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 185–191.
  76. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 191–194.
  77. ^ a b c d e Kertzer 1998, hlm. 196–201.
  78. ^ Kertzer 1998, hlm. 228.
  79. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 201–205.
  80. ^ a b c d e Kertzer 1998, hlm. 205–208.
  81. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 208–212.
  82. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 212–217.
  83. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 217–220.
  84. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 226–227.
  85. ^ a b c d e Kertzer 1998, hlm. 227–229.
  86. ^ Kertzer 1998, hlm. 229–231.
  87. ^ Kertzer 1998, hlm. 231–232.
  88. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 232–237.
  89. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 240–242.
  90. ^ Kertzer 1998, hlm. 244.
  91. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 247–252.
  92. ^ De Mattei 2004, hlm. 156.
  93. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 255–257.
  94. ^ a b Kertzer 1998, hlm. 258–260.
  95. ^ a b c Kertzer 1998, hlm. 260–261.
  96. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 262–263.
  97. ^ Kertzer 1998, hlm. 327.
  98. ^ Kertzer 1998, hlm. 263–265.
  99. ^ a b c d e f g Kertzer 1998, hlm. 295–298.
  100. ^ Kertzer 1998, hlm. 295.
  101. ^ Kertzer 1998, hlm. 293–294.
  102. ^ Kertzer 1998, hlm. 296.
  103. ^ a b c d Kertzer 1998, hlm. 299–302.
  104. ^ Levitan, Dov (27 November 2010). "'I Was Kidnapped from the Land of the Hebrews' (Gen. 40:15): The Kidnapping of Edgardo Mortara". Ramat Gan, Israel: Bar-Ilan University. hlm. 3. Diarsipkan dari versi asli (doc) tanggal 4 Maret 2016. Diakses tanggal 8 Februari 2016. 
  105. ^ Green 2012, hlm. 485; Grew 2000.
  106. ^ Verhoeven 2010, hlm. 55–57.
  107. ^ Green 2012, hlm. 264.
  108. ^ Levitan 2010, hlm. 3.
  109. ^ Kertzer 1998, hlm. 250.
  110. ^ Tommasini, Anthony (26 Februari 2010). "Boy Is Ensnared in 19th-Century Papal Politics". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-26. Diakses tanggal 7 Oktober 2016. 
  111. ^ Kokx, Stephen C. (24 February 2018). "The Mortara Affair: First Things Article Reignites Debate". Catholic Family News. Niagara Falls, Ontario: Catholic Family Ministries. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Juni 2018. Diakses tanggal 18 Juni 2018. 
  112. ^ Barraclough, Leo (3 May 2023). "Marco Bellocchio's 'Kidnapped' Debuts Trailer Ahead of Cannes World Premiere (EXCLUSIVE)". Variety. Diakses tanggal 3 May 2023. 
  113. ^ Goldfarb 2009, hlm. 250–251.
  114. ^ Kertzer 2005, hlm. 471.
  115. ^ Kertzer 1998, hlm. 173.

Kepustakaan

Appel, Gersion (1991) [1977]. The Concise Code of Jewish Law (dalam bahasa Inggris). 1. New York: Ktav Publishing House. ISBN 978-0-87068-298-8. 
Canestri, Alberto (1966). L'anima di Pio IX: quale si rivelò de fu compresa dai Santi (dalam bahasa Italia). 3. Marino, Lazio: Santa Lucia. OCLC 622875936. 
Coppa, Frank (2006). "Italy: The Church and the Risorgimento". Dalam Gilley, Sheridan; Stanley, Brian. The Cambridge History of Christianity. Jilid 8: World Christianities c. 1815 – c. 1914 (dalam bahasa Inggris). Cambridge, Inggris: Cambridge University Press. hlm. 233–249. doi:10.1017/CHOL9780521814560.016. ISBN 978-0-521-81456-0. 
De Mattei, Roberto (2004) [2000]. Pius IX (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Laughland, John. Leominster, Inggris: Gracewing. ISBN 978-0-85244-605-8. 
Goldfarb, Michael (2009). Emancipation: How Liberating Europe's Jews from the Ghetto Led to Revolution and ResistancePerlu mendaftar (gratis) (dalam bahasa Inggris). New York: Simon & Schuster. ISBN 978-1-4165-4796-9. 
Green, Abigail (2012) [2010]. Moses Montefiore: Jewish Liberator, Imperial Hero (dalam bahasa Inggris). Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-06419-5. 
Grew, Raymond (2000). "Review of The Kidnapping of Edgardo Mortara, oleh David I. Kertzer". Journal of the American Academy of Religion. Oxford: Oxford University Press. 68 (1): 189–191. doi:10.1093/jaarel/68.1.189. ISSN 1477-4585. JSTOR 1465729. 
Hearder, Harry (2013) [1983]. Italy in the Age of the Risorgimento, 1790–1870. Longman History of Italy (dalam bahasa Inggris). Abingdon, Inggris: Routledge. doi:10.4324/9781315836836. ISBN 978-1-317-87206-1. 
Jodock, Darrell (2000). Catholicism Contending with Modernity: Roman Catholic Modernism and Anti-Modernism in Historical Context (dalam bahasa Inggris). Cambridge, Inggris: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511520136. ISBN 978-0-521-77071-2. 
Kertzer, David I. (1998) [1997]. The Kidnapping of Edgardo Mortara (dalam bahasa Inggris). New York: Vintage Books. ISBN 978-0-679-76817-3. 
 ⸻  (2005). "Mortara Affair". Dalam Levy, Richard S. Antisemitism: A Historical Encyclopedia of Prejudice and Persecution (dalam bahasa Inggris). Santa Barbara, California: ABC-CLIO. hlm. 470–471. ISBN 978-1-85109-439-4. 
Verhoeven, Timothy (2010). Transatlantic Anti-Catholicism: France and the United States in the Nineteenth Century (dalam bahasa Inggris). New York: Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-230-10287-3. 

Pranala luar