Islam di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Islam di Indonesia
Masjid Istiqlal
مسجد الاستقلال, masjid terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Total populasi
Kenaikan 231,069,932 (2018)
86.7% dari populasi.
Bahasa
Liturgi

Islam adalah agama terbesar di Indonesia, dengan 86,7% penduduk Indonesia mengidentifikasi diri mereka sebagai Muslim dalam survei tahun 2018.[2][3] Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar kedua di Dunia setelah Pakistan, dengan sekitar 231 juta penganut.[4]

Dalam hal denominasi, mayoritas (98,8%) adalah Muslim Sunni, sementara 1-3 juta (1%) adalah Syiah, dan terkonsentrasi di sekitar Jakarta,[5] dan sekitar 400.000 (0,2%) Muslim Ahmadiyah.[6] Dari segi mazhab fikih, berdasarkan statistik demografi, 99% umat Islam Indonesia sebagian besar mengikuti mazhab Syafi'i,[7][8] meskipun ketika ditanya, 56% lainnya tidak mengikuti mazhab tertentu.[9]

Islam di Indonesia:

  Sunni (98.8%)
  Syiah (1%)
  Ahmadiyah (0.2%)

Kecenderungan pemikiran dalam Islam di Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua orientasi: "modernisme", yang menganut erat teologi ortodoks sambil merangkul pembelajaran modern, dan "tradisional", yang cenderung mengikuti interpretasi tokoh agama setempat dan ustaz di pesantren. Ada juga kehadiran penting secara historis dari bentuk sinkretis Islam yang dikenal sebagai kejawen.

Islam di Indonesia dianggap telah menyebar secara bertahap melalui aktivitas pedagang oleh para pedagang Muslim Arab, adopsi oleh penguasa lokal, dan pengaruh sufisme sejak abad ke-13.[10][11][12] Selama era kolonial akhir, itu diadopsi sebagai panji melawan kolonialisme.[13] Sekarang, meskipun Indonesia mempunyai mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia bukanlah sebuah Negara Islam, namun secara konstitusional merupakan negara sekuler (tidak berkaitan agama) yang pemerintahannya secara resmi mengakui enam agama formal. Pemerintah secara resmi mengakui enam agama: Islam, Protestan, Katolik Roma, Hindu, Budha, dan Konghucu. [14] meskipun pemerintah juga secara resmi mengakui agama lokal Indonesia. [15]

Persebaran

Peta menunjukan komposisi keagamaan di Indonesia. Islam mewakili keyakinan spiritual 86,7% dari orang Indonesia

.

Islam di Indonesia berdasarkan kelompok etnis (2010)[16]

  jawa (44.7%)
  Sunda (17.6%)
  Melayu (4.17%)
  Madura (3.46%)
  Betawi (3.19%)
  Minangkabau (3.11%)
  Bugis (3.06%)
  Banten (2.24%)
  Banjar (1.98%)
  Batak (1.81%)
  Aceh (1.64%)
  Sasak (1.52%)
  Dayak (0.49%)
  Tionghoa (0.06%)
  Bali (0.06%)
  Others (11.2%)

Muslim merupakan mayoritas di sebagian besar wilayah Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, wilayah pesisir Kalimantan, dan Maluku Utara. Muslim membentuk minoritas yang berbeda di Papua, Bali, Nusa Tenggara Timur, sebagian Sumatera Utara, sebagian besar wilayah pedalaman Kalimantan, dan Utara Sulawesi. Bersama-sama, daerah non-Muslim ini awalnya merupakan lebih dari sepertiga dari Indonesia sebelum upaya transmigrasi besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah Suharto dan migrasi internal spontan baru-baru ini.[butuh rujukan]

Migrasi internal telah mengubah susunan demografis negara selama tiga dekade terakhir. Ini telah meningkatkan persentase Muslim di bagian timur negara yang sebelumnya didominasi Kristen. Pada awal 1990-an, orang Kristen menjadi minoritas untuk pertama kalinya di beberapa wilayah Kepulauan Maluku. Sementara transmigrasi yang disponsori pemerintah dari Jawa yang berpenduduk padat dan Madura ke daerah berpenduduk lebih sedikit berkontribusi pada peningkatan populasi Muslim di daerah pemukiman kembali, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah bermaksud untuk menciptakan mayoritas Muslim di daerah Kristen peninggalan Belanda itu.[butuh rujukan]

Islam di Indonesia berdasarkan provinsi & kawasan

Ini data tabel presentase muslim di Indonesia menurut provinsi, disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri:[17]

Provinsi Populasi Muslim Total populasi Presentase Muslim
Aceh (Presentase Muslim tertinggi) 5,248,397 5,325,010 98.56
Bali (Populasi Muslim terendah) 430,918 4,273,992 10.08
Kepulauan Bangka Belitung 1,309,857 1,455,485 89.99
Banten 11,177,615 11,788,728 94.81
Bengkulu 1,985,322 2,032,767 97.66
Jawa Tengah 36,208,129 37,227,604 97.26
Kalimantan Tengah 1,956,985 2,639,990 74.12
Sulawesi Tengah 2,394,259 3,034,513 78.90
Jawa Timur 39,852,053 40,994,515 97.21
Kalimantan Timur 3,324,889 3,803,972 87.40
Nusa Tenggara Timur (Presentasi Muslim terendah) 517,744 5,484,580 9.43
Gorontalo 1,175,051 1,198,765 98.02
Ibukota Jakarta 9,391,996 11,204,714 83.82
Jambi 3,381,844 3,557,073 95.07
Lampung 8,502,231 8,853,275 96.03
Maluku 990,547 1,875,506 52.81
Kalimantan Utara 507,775 692,239 73.35
Maluku Utara 981,118 1,316,973 74.49
Sulawesi Utara 843,682 2,655,970 31.76
Sumatera Utara 10,064,383 15,180,796 66.29
Papua 644,175 4,552,037 14.15
Riau 5,622,998 6,454,751 87.11
Kepulauan Riau 1,609,210 2,055,278 78.29
Kalimantan Selatan 3,981,492 4,103,719 97.02
Sulawesi Selatan 8,261,698 9,192,621 89.87
Sumatera Selatan 8,250,366 8,490,335 97.17
Sulawesi Tenggara 2,556,327 2,669,840 95.74
Jawa Barat (Populasi Muslim Tertinggi) 46,297,810 47,586,943 97.29
Kalimantan Barat 3,284,816 5,461,993 60.13
Nusa Tenggara Barat 5,234,183 5,405,385 96.83
Papua Barat 437,110 1,148,538 38.05
Sulawesi Barat 1,207,743 1,441,407 83.78
Sumatera Barat 5,461,836 5,596,336 97.59
D. I. Yogyakarta 3,413,493 3,675,662 92.86
Kawasan populasi Muslim Total populasi Muslim %
Jawa 146,341,096 152,478,166 95.97
Kalimantan 13,055,957 16,701,913 78.17
Kepulauan Sunda Kecil 6,182,845 15,163,957 40.77
Kepulauan Maluku 1,971,665 3,192,479 61.75
Sumatra 51,436,444 59,001,106 87.17
Sulawesi 16,438,760 20,193,116 81.40
Nugini Barat 1,081,285 5,700,575 18.96
Indonesia 236,508,052 272,431,312 86.81

Perbedaan Islam di Indonesia

Dokumentasi klasik membagi Muslim Indonesia antara Muslim "nominal", atau abangan, yang gaya hidupnya lebih berorientasi pada budaya non-Islam, dan Muslim "ortodoks", atau santri, yang menganut norma-norma Islam Ortodoks.[18][19] Di Jawa, santri tidak hanya merujuk pada orang yang secara sadar dan eksklusif Muslim, tetapi juga menggambarkan orang-orang yang telah melepaskan diri dari dunia sekuler untuk berkonsentrasi pada kegiatan kebaktian di sekolah-sekolah Islam yang disebut pesantren—secara harafiah berarti "tempat santri".[18] Istilah dan sifat yang tepat dari diferensiasi ini diperdebatkan sepanjang sejarah, dan hari ini dianggap usang.[20]

Pesantren Tebuireng di Jombang. Pesantren adalah tempat para santri tinggal dan mempelajari ajaran Islam dan ilmu lainnya.

Di era kontemporer, sering dibuat perbedaan antara "tradisionalisme" dan "modernisme". Tradisionalisme, yang dicontohkan oleh organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama, dikenal sebagai pendukung setia Islam Nusantara, sebuah merek khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sejalan dengan sosial budaya kondisi di Indonesia.[21].[22] Di spektrum lain adalah modernisme, yang sangat diilhami oleh Modernisme Islam, dan organisasi masyarakat Muhammadiyah dikenal sebagai pendukung Islam Berkemajuan.[23] Muslim modernis mengadvokasi reformasi Islam di Indonesia, yang dianggap telah menyimpang dari ortodoksi Islam historis. Mereka menekankan otoritas Qur'an dan Hadits, dan menentang sinkretisme dan taqlid kepada ulama. Pembagian ini, bagaimanapun, juga telah dianggap sebagai penyederhanaan yang berlebihan dalam analisis baru-baru ini.[20] Sejak 1990-an, Muhammadiyah telah bergerak ke arah yang lebih berorientasi Salafi. Salafisme adalah cabang Islam yang menyerukan untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah menurut generasi pertama umat Islam, dan untuk menghindari hal-hal yang diperkenalkan kemudian dalam agama, telah terlihat ekspansi dalam masyarakat Indonesia.[24]

Masjid Tiban dan Pesantren Salafi, Turen, Jawa Timur

Denominasi

Banyak denominasi Islam yang beragam dipraktikkan di Indonesia.
Markas besar Nahdlatul Ulama, gerakan Islam Sunni tradisionalis yang berpengaruh di negara ini.

Sekolah dan cabang Islam di Indonesia mencerminkan aktivitas doktrin dan organisasi Islam yang beroperasi di Indonesia. Dari segi denominasi, Indonesia adalah negara mayoritas Sunni dengan minoritas sekte lain seperti Islam Syiah dan Ahmadiyah. Dalam hal mazhab fiqih, mazhab Syafi'i dominan di Indonesia pada umumnya. [7] Berkembang biaknya madzhab Syafi'i dianggap karena para saudagar Arab dari selatan Semenanjung Arab yang mengikuti madzhab fiqih ini.[25][26]

Sejarah awal

Penyebaran Islam menurut sejumlah catatan

Peta persebaran Islam di Indonesia

Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton.[27] Waktu masuknya Islam di Nusantara sudah berlangsung sejak abad ke-7 dan 8 Masehi. Namun, perkembangan dakwah baru betul dimulai kala abad ke-11 dan 12.[28] Artinya dakwah di Nusantara sudah merentang selama beberapa abad pada masa-masa awal.[28] Indonesia sendiri pada masa-masa itu, tidaklah asing dari pandangan musafir Arab. Sulaiman at-Tajir misalnya, sampai ke kawasan Zabij yang ada di timur India.[29] Dilengkapi pula oleh catatan ahli geografi sejaman, Ibnu Khurdadzbih bahwa Zabij dipimpin seorang Maharaja, yang juga disetujui oleh pendapat Yaqut al-Hamawi dan Al-Mas'udi.[30] Belakangan, pendapat soal negeri Maharaja ini disetujui sejarawan Arab modern, Husain Mu'nis, bahwa ia merujuk pada daerah yang kini ada di kawasan Indonesia modern.[31] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah GujaratIndia melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[32] Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak interaksi orang-orang Perlak di Aceh, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini, dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-faktor politik alih-alih karena niaga.[33] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya kembali dengan semangat yang lebih Islami.[34] Peranan agamawan itu yang bisa dilihat dalam proses sejarah Islamisasi kawasan. Di Samudera Pasai misalnya, pelopor dakwah Islam adalah seorang ulama yang disebut Syekh Ismail dan bertanggung jawab memperkenalkan Islam sampai kepada rajanya, Merah Silu dan masuk Islam dengan nama Malik al-Saleh. Begitu pun pada kasus Islamisasi kerajaan Malaka, yang raja pertamanya adalah Iskandar Syah, masuk Islam dengan perantara ulama yang dalam catatan Sejarah Melayu adalah Maulana Sadar Jahan.[35] Dari kondisi-kondisi di atas, hal itu menjelaskan bahwa Islam telah menjadi posisi sentral dalam sosial politik dan budaya tempatan, malahan hingga menjadi unsur terbentuknya kerajaan. Selain itu pula, sejarah di atas menunjukkan bahwa masa awal sejarah dakwah Islam di Nusantara berlangsung dari kawasan pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, dan terlibat secara intensif dalam kawasan dagang jarak jauh Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan.[36]

Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang geografer asal Turki Utsmani.

Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan setempat dengan para Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula sempat singgah di Hadramaut untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari Ulama Minang di wilayah Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bone untuk memeluk agama Islam.[37] Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan Ternate turut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi bagian tengah dan Utara. Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam paling berpengaruh di Semenanjung Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan Timur.[38] Selain pengaruh Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah jazirah utara dan tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di wilayah ini. Selain itu, Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, telah berhasil melakukan upaya penyebaran agama Islam hingga mencapai wilayah Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.

Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[39] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai barat Sumatra.[40]

Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[41] Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[42]

Pada tahun 718 M raja Sriwijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[43] Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di sana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[44]

Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[45]

Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[46]

Umat Islam Indonesia tengah membaca Al Quran setelah menunaikan salat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia

Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat, pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung kebebasannya.[40] Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.[40]

Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan Banten.[47]

Masa kolonial

Pada abad ke-18 masehi atau tahun 1700 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini dan memaksakan penyebaran ajaran agama mereka. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC (1602-1799), namun pada waktu itu mereka belum menjajah daerah Nusantara. Pada tahun 1800, VOC dibubarkan dan Hindia Belanda didirikan, sejak itu seluruh wilayah Nusantara dikuasainya. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.

Anak-anak mengaji Al Quran di Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda

Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan.

Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[48]

Setidak-tidaknya dalam tren menuju masa kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, pergumulan umat Islam di Indonesia berlangsung dalam 3 jalan: organisasi, konsepsi pemikiran-pemikiran ortodoks, dan politik. Organisasi di Hindia Belanda dari berbagai spektrum Keislaman muncul, tapi yang menentukan tren keumatan ke depan sejarah kala itu adalah NU dan Muhammadiyah.[49] Organisasi-organisasi itu bergerak dengan beberapa cara, antaranya menghubungkan masyarakat dari pelbagai daerah, menyuarakan persamaan gagasan komunitas umat Islam secara global dengan mengirimi buletin perkabaran umat Islam dari penjuru bumi, ataupun mengumpulkan orang banyak untuk kegiatan reli massa.[50]

Demografi

Sebagian besar ummat Islam di Indonesia berada di wilayah Indonesia bagian Barat, seperti di pulau Sumatra, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan untuk wilayah Timur, penduduk Muslim banyak yang menetap di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku Utara dan enklave tertentu di Indonesia Timur seperti Kabupaten Alor, Fakfak, Haruku, Banda, Leihitu, Tual dan lain-lain.

Distribusi geografi

Berikut merupakan persebaran umat Islam per provinsi Indonesia. Sensus dihadirkan pada tahun 2010.

Provinsi Muslim[51] %
 Aceh 4.413.244 98.2%
 Sumatera Utara 8.579.830 60.4%
 Sumatera Barat 4.721.924 97.4%
 Riau 4.872.873 88%
 Jambi 2.950.195 95.4%
 Sumatera Selatan 7.218.951 96.9%
 Bengkulu 1.669.081 97.3%
 Lampung 7.264.783 95.5%
 Bangka Belitung 1.088.791 89%
 Kepulauan Riau 1.332.201 77,5%
 DKI Jakarta 8.200.796 83.4%
 Jawa Barat 41.763.592 97%
 Jawa Tengah 31.328.341 96.7%
 Daerah Istimewa Yogyakarta 3.179.129 91.9%
 Jawa Timur 36.113.396 96.4%
 Banten 10.065.783 94.7%
 Bali 520.244 13.4%
 Nusa Tenggara Barat 4.341.284 96.5%
 Nusa Tenggara Timur 423.925 9%
 Kalimantan Barat 2.603.318 59.2%
 Kalimantan Tengah 1.643.715 74.3%
 Kalimantan Selatan 3.505.846 96.7%
 Kalimantan Timur 3.033.705 85.4%
 Sulawesi Utara 701.699 30.9%
 Sulawesi Tengah 2.047.959 77.7%
 Sulawesi Selatan 7.200.938 89.6%
 Sulawesi Tenggara 2.126.126 95.2%
 Gorontalo 1.017.396 97.8%
 Sulawesi Barat 957.735 82.6%
 Maluku 776.130 49.6%
 Maluku Utara 771.110 74.3%
 Papua Barat 292.026 38.4%
 Papua 450.096 15.9%
TOTAL 207.176.162 87.2%

Budaya

Bahasa & adat istiadat

Di Indonesia, telah diketahui bahwa Islam sampai ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-7 dan berkembang pada abad ke-12 dan kemudian ke-16. Pada masa ini, selain kata serapan, sistem aksara yang disebut huruf Jawi dan aksara daerah juga tercipta, suatu hal yang sebelumnya tidak ada. Pada masa ini, bahasa Melayu sebagai lingua franca berpadu mengembangkan kebudayaan Islam di jazirah ini. Pengaruh Islam, lewat bahasa Arab, juga memengaruhi perkembangan daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bima, bahasa Bugis, bahasa Lampung dan bahasa Sasak.[52]

Arsitektur

Islam sangat banyak berpengaruh terhadap arsitektur bangunan di Indonesia. Rumah Betawi salah satunya, adalah bentuk arsitektur bangunan yang banyak dipengaruhi oleh corak Islam. Pada salah satu forum tanya jawab di situs Era Muslim,[53] disebutkan bahwa Rumah Betawi yang memiliki teras lebar, dan ada bale-bale untuk tempat berkumpul, adalah salah satu ciri arsitektur peradaban Islam di Indonesia.

Masjid

Masjid Raya Medan al Ma'shun, adalah salah satu ciri bangunan berarsitektur Islam yang ada di Indonesia

Masjid adalah tempat ibadah Muslim yang dapat dijumpai diberbagai tempat di Indonesia. Menurut data Lembaga Ta'mir Masjid Indonesia, saat ini terdapat 125 ribu masjid yang dikelola oleh lembaga tersebut, sedangkan jumlah secara keseluruhan berdasarkan data Departemen Agama tahun 2004, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 643.834 buah, jumlah ini meningkat dari data tahun 1977 yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia saat ini antara 600-800 ribu buah.[54] Adapun menurut penuturan Komjen Pol Syafruddin Wakil Ketum Dewan Masjid Indonesia menyebut sesuai data tahun 2017, bahwa Indonesia memiliki sekitar 800 ribu masjid. Dalam pada itu, pengelolaan masjid di Indonesia berbeda dengan masjid di negara lain. Pemerintah tak secara langsung membangun dan mengelola masjid, tetapi lewat swadaya masyarakat, begitu juga dalam hal pengelolaannya.[55]

Pendidikan

Pesantren adalah salah satu sistem pendidikan Islam yang ada di Indonesia dengan ciri yang khas dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendidikan paling tua di Indonesia.[56] Pendidikan Islam dalam konteks institusi mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah, dan Madrasah sebagai sekolah umum yang memiliki ciri khas Islam. Peran strategis Pondok Pesantren dalam pendidikan Islam telah diakui, dan hal ini terlihat dari beberapa aspek:[57]

Kiblat Umat Islam

Pondok Pesantren masih dianggap sebagai kiblat utama bagi umat Islam Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat bahwa penuntutan ilmu agama akan lebih berkualitas jika dilakukan di pesantren.

Pendidikan Integratif dan Komprehensif

Pesantren telah mengembangkan program pendidikan yang mampu memberikan pendidikan yang integratif (penggabungan berbagai disiplin ilmu) dan komprehensif (menyeluruh). Ini terlihat dari paduan ilmu dengan moralitas santri.

Pendidikan Sepanjang Hidup

Pesantren tidak membatasi usia pesertanya, menyelenggarakan pendidikan sepanjang hidup dengan waktu belajar 24 jam.

Moralitas dan Etika

Pesantren menekankan pada kejujuran, keikhlasan, dan akhlak yang baik dalam proses pembelajaran.

Persaudaraan Santri

Santri di pesantren hidup dalam suasana persaudaraan yang erat. Mereka tinggal dalam satu kompleks dengan banyak penghuni dan makan bersama dengan menu yang disediakan.

Jika melihat sejarah pendidikan di Jawa sebelum Islam, terdapat lembaga pendidikan yang disebut pawiyatan. Pawiyatan merupakan lembaga di mana seorang guru (Ki Ajar) mengajar beberapa murid (cantrik). Konsep ini mirip dengan model pesantren, di mana seorang guru (kiai) mengajar beberapa murid (santri) dan mereka hidup bersama dalam satu kompleks.

Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Model pendidikan seperti pawiyatan telah ada sebelum masuknya Islam. Dengan masuknya Islam, muncul kebutuhan akan sarana pendidikan, dan model pawiyatan dijadikan acuan dengan melakukan perubahan pada sistem pendidikan Islam.[57]

Pendidikan pesantren pada awalnya fokus pada ilmu agama dan sikap beragama. Setelah murid memiliki kecerdasan tertentu, mereka mulai diajarkan kitab-kitab klasik. Mahmud Yunus membagi pesantren ke dalam empat tingkatan: dasar, menengah, tinggi, dan khusus. Sistem administrasi pendidikan pesantren masih bersifat tradisional dan belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Ada lima unsur pokok pesantren menurut Zamaksyari Dhofier, yaitu kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik.[57]

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki perjalanan tersendiri. Sejak awal, pesantren sering kali diabaikan atau dikucilkan dari sistem pendidikan nasional. Pada masa Orde Baru, bahkan pesantren secara formal diputus hubungannya dengan pendidikan formal di Indonesia. Ijazah pesantren tidak diakui lagi sebagai kualifikasi untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat yang lebih tinggi. Ini berlaku bahkan jika di dalam pesantren diselenggarakan pendidikan berjenjang seperti madrasah diniyah. Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahkan secara tegas menguatkan pemutusan hubungan ini dari segi hukum.[58]

Meskipun ada kemungkinan pesantren atau madrasah diniyah dapat dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional, namun pengelompokannya sebagai pendidikan luar sekolah telah menimbulkan ketidaksesuaian dan kurangnya kesinambungan dengan lembaga pendidikan formal, khususnya madrasah yang telah beralih fungsi menjadi sekolah.[58]

Hal ini menunjukkan bahwa pesantren telah mengalami penolakan atau ketidakpengakuan dalam konteks pendidikan nasional formal. Meskipun pesantren memiliki tradisi dan peran penting dalam pendidikan Islam, namun di beberapa periode sejarah pendidikan di Indonesia, pesantren menghadapi tantangan dalam memperoleh status dan pengakuan yang setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya.[58]

Politik

Dengan mayoritas berpenduduk Muslim, politik di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan peranan umat Islam. Kebangunan akan kesedaran berpolitik ini diawali kalangan kaum haji yang membawa kabar-kabar akan serangan Prancis terhadap Maroko, umat Islam Libya diserang, dan gerakan nasionalis Mesir melawan imperialis Inggris. Ini juga membentuk perasaan setia kawan sesama kaum Muslimin, dan membangkitkan ketidaksukan terhadap kolonialisme dan imperialisme Eropa.[59] Meskipun Islam menjadi mayoritas, Indonesia tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Walau demikian, Indonesia bukanlah negara yang sepenuhnya berasaskan hukum Islam, tetapi ada daerah yang diberikan keistimewaan untuk menerapkan hukum Islam secara kaffah, seperti di Aceh.

Seiring dengan reformasi 1998, di Indonesia jumlah partai politik Islam kian bertambah. Pada Pemilu 1999, 17 partai Islam—yaitu 12 partai Islam dan 5 partai lain berazaskan Islam dan Pancasila—ikut berlaga dalam pemilihan tersebut. Kesiapan mereka dalam hal administrasi—terkecuali PPP yang memang sudah tua—mengagumkan mengingat mereka dapat mengikuti segala syarat pemilu yang cukup ketat, serupa bahwa setiap partai harus punya cabang sekurangnya di 14 provinsi. Dalam Pemilu tersebut, PPP meraih 11.329.905 suara (10,7 persen) dan bercokol pada peringkat ketiga,[60] karena itu Partai Persatuan Pembangunan meraih 5 besar. Partai Bulan Bintang mampu membentuk fraksi sendiri walau cuma 13 anggota, dan Partai Keadilan hanya memperoleh 7 kursi DPR saja.[61] Bila sebelumnya hanya ada satu partai politik Islam, yakni Partai Persatuan Pembangunan-akibat adanya kebijakan pemerintah yang membatasi jumlah partai politik, pada pemilu 2004 terdapat enam partai politik yang berasaskan Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bintang Reformasi, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Bulan Bintang.

Referensi

  1. ^ Al-Jallad, Ahmad (30 May 2011). "Polygenesis in the Arabic Dialects". Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics. BRILL. doi:10.1163/1570-6699_eall_EALL_SIM_000030. ISBN 9789004177024. 
  2. ^ [go.id/agamadanstatistik/umat "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut"] Periksa nilai |url= (bantuan) [Population by Region and Religion]. Sensus Penduduk 2018. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 15 May 2018. Diakses tanggal 3 September 2020. Religion is belief in Almighty God that must be possessed by every human being. Religion can be divided into Muslim, Christian (Protestant), Catholic, Hindu, Buddhist, Hu Khong Chu, and Other Religions.  Muslim 231,069,932 (86.7), Christian (Protestant)20,246,267 (7.6), Catholic 8,325,339 (3.12), Hindu 4,646,357 (1.74), Buddhist 2,062,150 (0.72), Confucianism 71,999 (0.03),Other Religions/no answer 112,792 (0.04), Total 266,534,836
  3. ^ "The World Factbook — Central Intelligence Agency". www.cia.gov (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 May 2017. [pranala nonaktif]
  4. ^ "Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut" [Population by Region and Religion] (PDF). Sensus Penduduk 2018. Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik. 15 May 2018. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 28 July 2021. Diakses tanggal 3 September 2020. Religion is belief in Almighty God that must be possessed by every human being. Religion can be divided into Muslim, Christian (Protestant), Catholic, Hindu, Buddhist, Hu Khong Chu, and Other Religions.  Muslim 231,069,932 (86.7), Christian (Protestant)20,246,267 (7.6), Catholic 8,325,339 (3.12), Hindu 4,646,357 (1.74), Buddhist 2,062,150 (0.72), Confucianism 71,999 (0.03),Other Religions/no answer 112,792 (0.04), Total 266,534,836
  5. ^ Reza, Imam. "Shia Muslims Around the World". Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 May 2009. Diakses tanggal 11 June 2009. approximately 400,000 persons who subscribe to the Ahmadiyya 
  6. ^ "International Religious Freedom Report 2008". US Department of State. Diakses tanggal 31 March 2014. 
  7. ^ a b "Sunni and Shia Muslims". 27 January 2011. 
  8. ^ Religious clash in Indonesia kills up to six, Straits Times, 6 February 2011
  9. ^ "Chapter 1: Religious Affiliation". The World’s Muslims: Unity and Diversity. Pew Research Center's Religion & Public Life Project. 9 August 2012. Diakses tanggal 6 September 2015. 
  10. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ha
  11. ^ Burhanudin, Jajat; Dijk, Kees van (31 January 2013). Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam University Press. ISBN 9789089644237 – via Google Books. 
  12. ^ Lamoureux, Florence (1 January 2003). Indonesia: A Global Studies HandbookPerlu mendaftar (gratis). ABC-CLIO. ISBN 9781576079133 – via Internet Archive. 
  13. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama ReferenceA
  14. ^ Yang, Heriyanto (August 2005). "The History and Legal Position of Confucianism in Post Independence Indonesia" (PDF). Marburg Journal of Religion. 10 (1): 8. Diakses tanggal 2 October 2006. 
  15. ^ "Pemerintah Setuju Penghayat Kepercayaan Tertulis di Kolom Agama KTP". Detikcom. 8 May 2017. Diakses tanggal 11 July 2017. 
  16. ^ Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies, 2015. p. 273.
  17. ^ "ArcGIS Web Application". gis.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 2021-08-17. 
  18. ^ a b Kuipers, Joel C. (1993). "Islam". Dalam Frederick, William H.; Worden, Robert L. Indonesia: a country study. Area handbook series1057-5294 (edisi ke-5th). Washington, D.C.: Federal Research Division, Library of Congress. ISBN 9780844407906.  Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  19. ^ Clifford Geertz; Aswab Mahasin; Bur Rasuanto (1983). Abangan, santri, priyayi: dalam masyarakat Jawa, Issue 4 of Siri Pustaka Sarjana. Pustaka Jaya, original from the University of Michigan, digitized on 24 June 2009. 
  20. ^ a b Von Der Mehden, Fred R. (1995). "Indonesia.". In John L. Esposito. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Oxford: Oxford University Press.
  21. ^ "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Nahdlatul Ulama. 22 April 2015. 
  22. ^ Heyder Affan (15 June 2015). "Polemik di balik istiIah 'Islam Nusantara'". BBC Indonesia. 
  23. ^ Palmier, Leslie H. (September 1954). "Modern Islam in Indonesia: The Muhammadiyah After Independence". Pacific Affairs. 27 (3): 257. JSTOR 2753021. 
  24. ^ Hasan, Noorhaidi, The Salafi Movement in Indonesia. Project Muse, 2007. Retrieved 3 October 2017.
  25. ^ Randall L. Pouwels (2002), Horn and Crescent: Cultural Change and Traditional Islam, Cambridge University Press, ISBN 978-0521523097, pp 88–159
  26. ^ MN Pearson (2000), The Indian Ocean and the Red Sea, in The History of Islam in Africa (Ed: Nehemia Levtzion, Randall Pouwels), Ohio University Press, ISBN 978-0821412978, Chapter 2
  27. ^ Arnold 1985, hlm. 317.
  28. ^ a b Mahfud et al. Muyasaroh, hlm. 227.
  29. ^ Amnan 2021, hlm. 3.
  30. ^ Amnan 2021, hlm. 4.
  31. ^ Amnan 2021, hlm. 5.
  32. ^ Saifullah 2010, hlm. 15.
  33. ^ Reid 2019, hlm. 22.
  34. ^ Reid 2019, hlm. 23.
  35. ^ Burhanudin & Baedowi 2003, hlm. 2—3.
  36. ^ Burhanudin & Baedowi 2003, hlm. 5.
  37. ^ Abdullah, A. (2016). Islamisasi Di Sulawesi Selatan Dalam Perspektif Sejarah. Paramita: Historical Studies Journal, 26(1), 86-94.
  38. ^ Mashadi, M., & Suryani, W. (2018). Jaringan Islamisasi Gorontalo (Fenomena Keagamaan dan Perkembangan Islam di Gorontalo). Al-Ulum, 18(2), 435-458.
  39. ^ Amrullah 2017, hlm. 3-4.
  40. ^ a b c Arnold 1985, hlm. 318 – 319.
  41. ^ H Zainal Abidin Ahmad. Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Bulan Bintang, 1979. 
  42. ^ Amrullah 2017, hlm. 3.
  43. ^ Amrullah 2017, hlm. 136.
  44. ^ Amrullah 2017, hlm. 137.
  45. ^ Saifullah 2010, hlm. 11.
  46. ^ Saifullah 2010, hlm. 10.
  47. ^ Reid 2019, hlm. 31.
  48. ^ Ricklefs 1991, hlm. 353-356.
  49. ^ Fogg 2020, hlm. 69.
  50. ^ Fogg 2020.
  51. ^ admin (2017-11-07). "Jumlah Penganut Agama di Indonesia Tiap Provinsi". TUMOUTOUNEWS. Diakses tanggal 2021-08-08. 
  52. ^ Mahfud et al. Muyasaroh, hlm. 227, 230.
  53. ^ Pengaruh Arsistektur Peradaban Islam di Indonesia, situs Era Muslim
  54. ^ Gerakan Memakmurkam Masjid, Institut Manajemen Masjid
  55. ^ Tejomukti 2018, hlm. 12.
  56. ^ "Nurun Maksuni, Pesantren dalam wajah Islam Indonesia, nusyria.net:2007". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-05-07. Diakses tanggal 2008-06-12. 
  57. ^ a b c Rahman, Kholilur (2018-02-15). "Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia". Jurnal Tarbiyatuna : Kajian Pendidikan Islam (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 1–14. ISSN 2622-1942. 
  58. ^ a b c Hanipudin, Sarno (2019-10-26). "Pendidikan Islam di Indonesia dari Masa ke Masa". Matan : Journal of Islam and Muslim Society (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 39–53. doi:10.20884/1.matan.2019.1.1.2037. ISSN 2715-0119. 
  59. ^ Anwar 2011, hlm. 19.
  60. ^ Abdulsalam, Husein (25 Juni 2018). "Pemilu 1999: Parpol Islam dan Nasionalis Berlaga tanpa Komunis". Tirto.id. Diakses tanggal 28 Juli 2018. 
  61. ^ Usman 2001, hlm. 67.

Daftar pustaka

Pranala luar