Warisan Tradisi Mataram

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Tradisi Mataram adalah ke khasan Style Mataram yang dipergunakan oleh para elite kerajaan yang kemudian diwariskan ke generasi selanjutnya. Ke khasan itu mencakup di dalam nya budaya yang khas dalam mengelola kepemilikan dan dalam mengelola kekuasaan.Warisan tradisi Mataram adalah warisan dari para pendahulu yang diwariskan ke generasi berikutnya secara turun temurun.

Surakarta atau yang terkenal dengan sebutan Solo adalah kota Kraton Mataram yang pindah akibat kraton lama di Kartasura sudah diduduki oleh kelompok yang dalam istilah jawanya adalah Njongkeng Kawibawan lan Keprabon. Solo dipilih sebagai kota Kerajaan yang baru bagi Mataram

Perjumpaan Kultur Belanda Dengan Jawa[sunting | sunting sumber]

Belanda mendapatkan apa yang diinginkan sehingga hak dan kewenangan untuk mengelola Mataram berada ditangannya setelah Sunan Mataram berhasil diperdaya menandatangani perjanjian. Inilah gaya Belanda dalam mendapatkan kekuasaan di tanah Jawa.

Sebagai kekuatan dagang di Nusantara, Belanda memiliki seperangkat hak dan wewenang tidak ubahnya bagai sebuah negara yang hadir dalam percaturan kekuasaan di tanah Jawa untuk tujuan tujuan dagangnya. Belanda berhasil menancapkan pengaruh dan kemauannya atas raja raja sesudah Sultan Agung.

Responsivitas Kultur Jawa[sunting | sunting sumber]

Kemenangan Belanda merebut Mataram mengundang respon kalangan elite dan ningrat jawa yang memobilisasi massa rakyatnya untuk menanggapi style Belanda yang dengan gemilang mencapai maksud dan tujuannya. Mataram melalui para pewaris tahta yang sudah kehilangan keabsahannya serentak bersatu padu angkat senjata melawan Belanda. Ini lah gaya Jawa dalam menanggapi pencurian kekuasaan dari Belanda.Sang Pencuri diburu dan diserbu bersama.

Persatuan itu penting dan memiliki kekuatan maka masyarakat Jawa secara tidak langsung yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekuatan bersenjata, menghadapi Belanda yang mencuri kekuasaan tumbuh kesadaran untuk bersatu.

Musyawarah Permulaan[sunting | sunting sumber]

Kekuatan yang bersatu di tanah Jawa secara drastis berbalik menjadi perpecahan.Lagi lagi disini style Jawa menampakan karakter yang dalam meraih kekuasaan mengabaikan peran dan pesan sponsor dari yang namanya moral.Dua tokoh pucuk pimpinan barisan yang berkekuatan mampu membekuk Belanda tiba tiba berkonflik sendiri dan pecah kelompok.Dari kelompok Mangkubumi melihat peluang bahwa musyawarah dengan Belanda untuk mencapai kata mufakat memberikan keuntungan untuk mendapat kesempatan memegang kekuasaan di Jawa.Kesempatan emas yang bakal menghilang kalau tidak digunakan dengan sebaik baiknya ini tentu akan melayang hilang.mangkubumi yang sebelumnya bermusuhan dengan Belanda sekarang mengadakan musyawarah di Giyanti untuk mencapai kata mufakat.

Musyawarah Lanjutan[sunting | sunting sumber]

Musyawarah yang sudah di laksanakan di giyanti ternyata hanya permulaan bagi bagi kekuasaan dan disini Mas Said yang dikibuli oleh Mangkubumi melampiaskan kemarahan kepada mereka berdua.Garnisun Belanda dihadang dan dihancurkan kemudian pasukan pasukan yang dikonsentrasikan di Surakarta dan Yogyakarta serta tempat tempat strategis lainnya.Terhadap Mangkubumi disini Mas Said memberi tekanan militer dan ancaman terhadap robohnya Keraton yang sedang dibangun.

Mangkubumi dan Paku Buwono III berunding dengan Belanda untuk nyaman dan tenang dalam mendirikan Kratonnya yang baru. Akhirnya Paku Buwono III mendekati Mas Said untuk berunding dan bermusyawarah.Kesepakatan tercapai dengan hasil mufakat yang berat karena Mas Said memperoleh wilayah dari dua kerajaan terbagi.Dari Yogyakarta dapat Ngawen di Gunung Kidul kemudian dari Surakarta mendapat karanganyar, Wonogiri dan Malangjiwan.

Surakarta dan Yogyakarta dengan berat hati terpaksa melepas wilayah wilayah itu berhubung ingin segera cepat terselesaikannya pembangunan Kraton sehingga dengan segera dapat dihuni dan dipergunakan untuk bekerja sebagaimana layaknya Kerajaan.

Perjumpaan Kultur[sunting | sunting sumber]

Style budaya Belanda yang berkaca Barat dalam perjumpaannya dengan style kultur Jawa yang berkaca Timur melahirkan suatu sintesis Style baru yang kemudian diadopsi dan dilahirkan kembali menjadi Jawa. Bentukan dan wacana diri dari dua kultur menjadikan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan menyerap.Orang orang Belanda yang berkecimpung di lapangan pergaulan dengan Jawa menampakan style yang ke Jawa an bahkan dari mereka memiliki potensi dicintai orang Jawa lantaran style dan kebiasaan mereka melebihi orang jawa sendiri.Tidak mengherankan bahwa style kepura puraan yang menjadi tampilan untuk menjaga keselarasan umum untuk orang Belanda sudah bukan barang baru lagi.Belanda sangat mahir sekali dalam kepura puraan dalam menjalankan rencana globalnya menguasai setiap wilayah Jawa.Sikap kepura puraan sebagai taklukan yang membikin penguasa Jawa melambung melayang layang penuh keagungan adalah sebuah contoh tersendiri bagi perjumpaan kultur ini.

Jawa tidak berbeda jauh, sikap sikap Belanda yang saklek dan main kuasa tanpa tersadari merembet jauh dalam peri kehidupan masyarakat Jawa dan para pemimpinnya sehingga dalam menunjukan kekuasaan dan keagungannya model model Belanda banyak yang diangkut dan diJawakan.Bentukan diri dan wacana lingkungan telah melahirkan kultur baru dalam masyarakat Jawa dan terwariskan pada generasi berikutnya.Hubungan emosional antara Jawa dengan Belanda telah melahirkan elite elite baru kebudayaan yang kelak kemudian hari menjadi model bagi penguasa di bumi Nusantara/indonesia.

Sebagai suatu komparasi terhadap pertemuan pertemuan Kultur diatas dapat dikemukakan disini suatu perbedaan perbedaan yang menandakan bahwa kultur Belanda mengalir dan diJawakan,maksudnya sebagian yang merupakan kecocokan dan ketepatan bagi manusia Jawa kultur baru bukanlah sesuatu yang buruk.

1. Jawa Surakarta

Usai bermufakat di Giyanti, Surakarta tampil dengan gaya Jawa yang banyak mengadopsi dan menjinakkan style barat menjadi Jawa dan dipakai sebagai kepemilikannya.Segalam macam inovasi dan terobosan dalam perjumpaannya dengan kultur barat diolah dan diJawakan seturut dengan pangkat dan jabatannya.

Lingkungan Kasunanan meski mengambil terhadap yang baru tetapi cengkeraman terhadap yang lama tetap tidak tergoyahkan sehingga dalam beberapa hal pengambilan yang baru tidak melulu totalitas atau mengganti. Disamping Kasunanan di Surakarta terdapat juga Mangkunegaran yang terbuka terhadap ide ide baru sampai kemudian seluruh hal yang dikatakan baru yaitu Kultur barat dirombak dan dijadikan Jawa.

2. Jawa Yogyakarta

Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi zaman baru pasca permufakatan di Giyanti seolah olah membendung kultur kultur baru yang masuk tetapi beberapa yang menjadikan kebanggaan dan spirit diadopsinya juga kedalam keJawaannya semisal model berpakaian dan pengguntingan rambut menjadi pendek (walaupun masih ada pula yang tetap membiarkan rambutnya panjang). Paku Alaman di Yogyakarta condong meniru gaya Surakarta untuk melakukan adopsi adopsi baru yang kemudian sebagai pembentukan pribadi Jawa melahirkan keberbedaan dengan Kasultanan dalam wujud luar.

3. Kongres Kebudayaan Jawa

Kebudayaan tidak bakalan tunduk kepada kekuasaan atau juga bujuk rayu imbalan material, demikian juga yang namanya kebudayaan Jawa.Pangeran Mangkunegara VII untuk kebangkitan kebudayaan Jawa bersedia memprakarsai diselenggarakannya kongres kebudayaan jawa yang berlangsung di Surakarta.

4. Kebudayaan Yang Integral

Kebudayaan Jawa secara integral merupakan komponen yang membentuk kebudayaan bangsa Indonesia melalui beberapa bidang seperti kesenian, pola kepemimpinan sipil dan militer serta jiwa dan semangat kehidupan.

5. Inkulturasi Kebudayaan

Tradisi dan style dari luar yang sudah berkembang di dalam perjumpaan dengan Jawa kedalam kebudayaan Jawa dan Indonesia sendiri semakin diperkuat dan diidentitaskan menjadi semakin integral dengan bangsa Indonesia.

6. Menuju Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan Indonesia telah disusun berdasarkan dengan landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil Pancasila.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  • Soekanto, Dr., Sekitar Jogjakarta (1755-1825) dari Gianti ke Magelang, Djakarta:Mahabarat Amsterdam, 1952.
  • Lombard,Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya III (Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris), Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005.
  • Latif, Yudi, Menyemai Karakter Bangsa, Budaya Kebangkitan Berbasis Kesasteraan, Jakarta: KOMPAS, November 2009.
  • Panitia Forum Mangunwijaya III, Negara Minus Nurani, Esai Esai Kebijakan Publik, Jakarta: KOMPAS, Februari 2009.
  • Sutrisno, Mudji, dan Putranto, Hendar.,(ed)., Hermeneutika Pascakolonial, Soal Identitas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
  • Ricklefs, MC., Indonesia 1200-2004
  • Ricklefs, MC., Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792, Sejarah pembagian Jawa, Yogyakarta:Matabangsa, 2002.