Tiki-taka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tiki-taka (secara umum dieja tiqui-taca dalam bahasa Spanyol; pengucapan bahasa Spanyol: [ˈtiki ˈtaka] ) adalah gaya permainan sepak bola yang cirinya adalah umpan-umpan pendek dan pergerakan yang dinamis, memindahkan bola melalui beragam saluran, dan mempertahankan penguasaan bola.

Tiki-taka dikaitkan terutama dengan klub La Liga FC Barcelona (khususnya skuat Josep Guardiola pada tahun 2008-2012), klub Premier League Arsenal FC di bawah Arsène Wenger dan Swansea City A.F.C. di bawah Brendan Rodgers, serta tim nasional Spanyol di bawah manajer Luis Aragonés dan Vicente del Bosque. Menurut banyak pihak, tiki-taka merupakan pengembangan dari taktik totaalvoetbal yang pernah digunakan oleh tim-tim seperti FC Barcelona dan Ajax Amsterdam pada masa lalu.[1][2][3][4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penyiar asal Spanyol Andrés Montes secara umum dianggap sebagai orang yang menciptakan dan mempopulerkan istilah tiki-taka dalam komentarnya di televisi di saluran LaSexta pada Piala Dunia FIFA 2006,[5][6] meskipun istilah ini sendiri sudah sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam sepak bola Spanyol[7] dan mungkin dicetuskan oleh Javier Clemente.[8] Dalam komentar langsungnya pada pertandingan Spanyol melawan Tunisia, Montes menggunakan istilah tiki-taka untuk menggambarkan gaya umpan Spanyol yang presisi dan elegan. Dia menyebutkan, "Estamos tocando tiki-taka tiki-taka."[6] Istilah ini kemungkinan merupakan onomatopoeia,[6] merujuk pada umpan umpan pendek cepat antarpemain atau dapat pula berasal dari mainan juggling yang disebut tiki-taka di Spanyol.[9]

Meskipun demikian, selama bertahun-tahun, permainan tim nasional Kolombia digambarkan sebagai "toque-toque" oleh banyak komentator di Kolombia, sebuah istilah yang mirip dengan "sentuh-sentuh". Istilah ini dicetuskan oleh William Vinasco ketika Francisco Maturana mengembangkan permainan yang berpusat pada gaya pemain depan Carlos Valderrama yang langsung mengembalikan bola pada sentuhan pertama kepada rekan main mereka yang maju dengan pola triangulasi dan amat bergantung pada permainan pertahanan sisi mati, sebuah gaya yang memberi Kolombia tim tersuksesnya sepanjang sejarah. Valderrama terkenal karena kemampuannya merebut bola dalam tekanan. Istilah ini amat terkenal dan banyak diketahui di kalangan komentator sepak bola sebelum Montes mencetuskan nama versinya sendiri untuk jenis taktik yang sama.[10] Vinasco juga dianggap sebagai pencipta frasa "mucho toque-toque y de aquello nada" ("tak ada yang lain selain banyak sentuhan") ketika tim nasional Kolombia gagal secara spektakuler pada Piala Dunia 1994 setelah sebelumnya memasuki kompetisi dengan tanpa terkelahkan.[11]

Perayaan tim nasional Spanyol setelah menjuarai Piala Eropa 2008, yang berhasil diperoleh dengan gaya permainan tiki-taka. Gelar ini kemudian diikuti oleh Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012.

Menurut banyak pihak, apa yang menjadi dasar tik-taka merupakan gaya bermain yang dipopulerkan dan diterapkan oleh Johan Cruyff semasa menjadi manajer Barcelona pada tahun 1988 hngga 1996. Gaya ini terus dikembangkan di bawah pelatih asal Belanda lainnya, Louis van Gaal dan Frank Rijkaard dan kemudian diadopsi oleh tim-tim La Liga lainnya[1][12] seperti Villarreal CF di bawah pelatih Manuel Pellegrini dan Juan Carlos Garrido.[13]

Tradisi tiki-taka Barcelona menghasilan kesuksesan yang lebih besar pada masa manajer Josep Guardiola pada tahun 2008 hingga 2012, dan sistem ini terkenal dengan dihasilkannya generasi pemain yang sering kali bertubuh kecil namun secara teknik amat berbakat, misalnya Xavi Hernandez, Andrés Iniesta, Cesc Fàbregas, dan Lionel Messi;[14][15] mereka dianggap sebagai pemain dengan sentuhan, visi dan kemampuan umpan yang luar biasa, serta sangat baik dalam menjaga penguasaan bola.[16]

Raphael Honigstein menggambarkan tiki-taka yang dimainkan oleh tim nasional Spanyol pada Piala Dunia FIFA 2010 sebagai "sebuah gaya yang radikal yang berkembang hanya dalam waktu empat tahun," menyusul keputusan Spanyol pada tahun 2006 bahwa "mereka secara fisik tidak cukup kuat dan tangguh untuk mengalahkan lawan, sebagai gantinya mereka ingin berkonsentrasi untuk menguasai bola."[2]

Tinjauan[sunting | sunting sumber]

Tiki-taka secara beragam digambarkan sebagai "gaya bermain yang didasarkan pada mencari jalan membuat gol ke gawang lawan melalui umpan-umpan pendek dan pergerakan,"[15] sebuah "gaya umpan pendek yang memindahkan bole secara cermat melalui berbagai saluran,"[17] dan sebuah "gaya bermain yang mementingkan umpan pendek, kesebaran, dan penguasaan di atas yang lainnya."[18] Gaya ini meliputi pergerakan jelajah dan pergantian posisi antara para gelandang, memindahkan bola dalam pola yang rumit,[19] serta umpan sentuhan satu-dua yang tajam.[20]

Tiki-taka adalah gaya yang "ofensif sekaligus defensif - tim yang memainkan tiki-taka selalu menguasai bola, sehingga tidak perlu adanya pergantian antara bertahan dan menyerang.[2] Sejumlah komentator membandingkan tiki-taka dengan "fisikalitas rute satu"[15] serta dengan umpan-umpan bertempo cepat dalam tim Arsenal tahun 2007-2008 di bawah Arsène Wenger, yang mengandalkan Cesc Fàbregas sebagai satu-satunya saluran antara pertahanan dan penyerangan.[17] Tiki-taka dikaitkan dengan kejelian, kreativitas, dan sentuhan,[21] namun dapat pula dianggap sebagai gaya "ekstrem yang lambat dan tak terarah" yang mengorbankan efektivitas demi keindahan.[18]

Dalam satu wawancara televisi, Xavi Hernandez mengatakan bahwa tika-tika didasarkan pada suatu latihan yang oleh para pemain disebut "el rondo". Dalam latihan ini, satu pemain berada di tengah lapangan dan berusaha untuk memotong umpan dari pemain lain sambil berada dalam lingkaran. Latihan ini, diulang secara rutin, membuat para pemain Barcelona mampu mengumpan dalam jarak pendek secara akurat.[22][23] Ini disebut juga triangulasi.

Sementara itu, menurut Xabi Alonso:

Kesuksesan[sunting | sunting sumber]

Josep "Pep" Guardiola melatih Barcelona pada tahun 2008 hingga 2012. Dengan mengandalkan gaya permainan tiki-taka, dia berhasil membawa Barcelona meraih 14 trofi dalam empat musim, antara lain 3 gelar La Liga, 2 Piala Raja, 3 Piala Super Spanyol, 2 Liga Champions Eropa, 2 Piala Super Eropa, dan 2 Piala Dunia Antarklub.

Tiki-taka dimainkan oleh tim nasional Spanyol dan membuat mereka berhasil memenangkan Piala Eropa UEFA 2008, Piala Dunia FIFA 2010 dan Piala Eropa EUFA 2012. Tiki-taka juga membuat FC Barcelona berhasil meraih enam trofi pada musim 2008-2009, termasuk Trebel Benua, diikuti oleh Piala Super Eropa, Piala Super Spanyol, dan Piala Dunia Antarklub FIFA.

Sid Lowe mengidentifikasi gaya Luis Aragonés yang menggabungkan tiki-taka dengan pragmatisme sebagai faktor kunci dalam keberhasilan Spanyol pada Piala Eropa 2008. Aragonés menggunakan tiki-taka untuk "melindungi pertahanan yang tampak lemah [...], menjaga penguasaan bola dan mendominasi permainan" tanpa membawa gaya ini menjadi "terlalu ekstrem." Tak satupun dari enam gol Spanyol pada turnamen ini yang berasal dari tiki-taka: lima gola berasal dari serangan langsung dan satu gol terjadi akibat bola mati.[18] Bagi Lowe, keberhasilan Spanyol pada Piala Dunia 2010 adalah bukti dari bertemunya dua tradisi dalam sepak bola Spanyol, yaitu gaya "langsung yang agresif dan kuat" yang menghasilkan medali perak pada Olimpiade tahun 1920 di Antwerp dan membuat tim ini memperoleh julukan La Furia Roja ("Murka Merah"), serta gaya tiki-taka pada tim Spanyol kontemporer, yang berfokus pada permainan yang mengandalkan kolektivitas, umpan pendek, teknik, dan penguasaan bola.[24]

Menganalisis kemenangan Spanyol atas Jerman di semifinal Piala Dunia 2010, Honigstein menggambarkan gaya tiki-taka tim Spanyol sebagai "versi sepak bola yang paling sulit: permainan umpan yang tapa kompromi, ditambah dengan tekanan yang tinggi dan intens." Bagi Honigstein, tiki-taka adalah "peningkatan yang signifikan dari totaalvoetbal karena tiki-taka lebih mengandalkan pergerakan bola daripada pergantian posisi anterpemain. Tiki-taka memungkinkan Spanyol "menguasai bola sekaligus menguasai lawan."[2]

Hambatan[sunting | sunting sumber]

Tim Barcelona, yang dilatih oleh Pep Guardiola dan mengandalkan tiki-taka, telah menjalani sekurang-kurangnya 52 pertandingan namun tidak pernah mampu mengalahkan Chelsea, sedangkan Lionel Messi tidak pernah mencetak gol ke gawang Chelsea dalam delapan pertandingan Liga Champions Eropa (termasuk tendangan penalti yang gagal pada laga semifinal kedua tahun 2012).[25][26] Pada semifinal Liga Champions 2009, Chelsea, yang ketika itu dimanajeri oleh Guus Hiddink, menerapkan pertahanan yang rapat dan memaksa para pemain Barcelona melakukan tendangan dari luar area penalti selain juga mengandalkan pemain bertahan José Bosingwa untuk menjaga Lionel Messi. Cara ini ampuh pada laga pertama yang berakhir seri 0-0 di Camp Nou, dan Chelsea menjadi tim tamu pertama yang tidak kebobolan di kandang Barcelona. Akan tetapi, pada laga kedua, dengan adanya keputusan wasit yang kontroversial, beberapa permintaan penalti dari Chlesea tidak digubris, kemudian Andrés Iniesta mencetak gol pada masa tambahan waktu untuk menyamakan kedudukan menjadi 1-1 dan membuat Barcelona melaju ke babak selanjutnya dengan keunggulan gol tandang.[27]

Manajer Chelsea Roberto Di Matteo menerapkan taktik ultradefensif untuk menghadapi tiki-taka saat timnya menghadapi Barcelona di semifinal Liga Champions Eropa 2011–12. Menurut pemain Chelsea, Fernando Torres, berkonsentrasi pada ruang alih-alih berusaha mencuri bola merupakan bagian dari strategi skuatnya dalam menghadapai Barcelona. Memenangkan permainan sayap, seperti Ramires melawan Daniel Alves, memaksa Barcelona mengalirkan serangan mereka ke arah tengah lapangan. Mantan pemain sayap Chelsea, Pat Nevin, mengatakan bahwa menempatkan tiga gelandang disiplin di depan empat pemain bertahan menutup ruang bagi Barcelona, memaksa Lionel Messi untuk mundur ke belakang tengah untuk memperoleh bola. Ketika Messi sedang membawa bola di depan, bolanya direbut oleh pemain Chelsea, Frank Lampard, yang berujung pada gol Chelsea pada laga pertama.[28]

Pada laga kedua, Di Matteo menerapkan formasi 5–4–1 dengan empat fulbek. Walaupun Barcelona memperoleh penguasaan bola sebanyak 73% pada dua laga itu dan melakukan 46 tembakan (11 tembakan tepat), dibandingkan Chelsea yang hanya melakukan 12 tembakan (4 tembakan tepat), mereka hanya mammpu mencetak dua gol karena Chelsea melakukan gaya bertahan sayng amat rapat, yang sering disebut dengan istilah "memarkir bus di depan gawang". Sebaliknya, Frank Lampard dari Chelsea hanya melakukan dua umpan dalam dua laga, dan keduanya berbuah gol. Menurut sejumlah pihak, kelemahan Barcelona adalah ketidakmampuan menguasai bola-bola atas, khususnya melawan Chelsea yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mengendalikan bola di dalam kotak penalti sendiri, apalagi Guardiola tidak memanfaatkan bek tengah sekaligus kapten tim Carles Puyol untuk maju ke depan gawang lawan.[29] Chelsea memperoleh kemenangan 1–0 pada laga pertama dan hasil seri 2-2 pada laga kedua, yang membuat mereka melaju ke final.[30][31][32][33][34]

Pada semifinal Liga Champions 2010, para pemain Internazionale, yang dilatih oleh José Mourinho, menyulitkan Barcelona karena mereka mengawal ganda Messi dan menghalangi Xavi menciptakan ritme umpan yang baik. Inter memenangkan laga pertama 3–1 dan kemudian kalah 0–1 untuk kemudian maju ke babak selanjutnya dengan keunggulan agregat.[35]

Portugal telah tiga kali menghadapi Spanyol sejak tim nasional Spanyol disebutkan memainkan tiki-taka, dan filosofi sepak bola tidak banyak berpengaruh pada hasil akhir pertandingan antara keduanya. Pada Piada Dunia 2010, Spanyol menang 1-0 melalui gol sisi mati yang secara keliru disahkan.[36][37][38] Pada November 2010 Portugal menang 4-0 dalam sebuah pertandingan pershabatan, yang merupakan kekalahan terbesar Spanyol selama 47 tahun terakhir.[39] Pada semifinal Piala Eropa 2012, setelah tidak ada gol tercipta, Spanyol memenangkan adu penalti untuk kemudian maju ke babak final. Portugal memainkan gaya serangan balik yang dengan cepat menekan lini tengah Spanyol ketika kehilangan penguasaan bola.[40][41]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Martínez, Roberto (11 July 2010). "World Cup final: Johan Cruyff sowed seeds for revolution in Spain's fortunes". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-13. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  2. ^ a b c d Honigstein, Raphael (8 July 2010). "Why Spain were anything but boring". CBC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-09. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  3. ^ Antono, Fajar Eko (08-06-2012). "Euro 2012, 'tiki-taka' and soccer evolution". The Jakarta Post. Diakses tanggal 02-07-2012. 
  4. ^ Setiawan, Teguh (20-06-2012). "Perkembangan Sepak bola (I) dari Total Football ke Tiqui Taca". Republika Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-22. Diakses tanggal 01-07-2012. 
  5. ^ Hawkey, Ian (18 Oktober 2009). "Spain's voice of football dies". The Sunday Times. 
  6. ^ a b c Lavric, Eva (2008). The linguistics of football. Gunter Narr Verlag. hlm. 354. ISBN 978-3-8233-6398-9. 
  7. ^ Diez, Ramón (29 January 2006). "La imaginación de la Deportiva se topa hoy con el autobús de Fabri". Diario de León (dalam bahasa Spanish). 
  8. ^ "La polemica – Posible penalti de Cáceres a Magno – El Celta sonó... al ritmo de Vagner – El Alavés ...". MARCA (dalam bahasa Spanish). 31 March 2002. 
  9. ^ Lesay, Jean-Damien (30 June 2006). "'Tiki-taka'". Libération Cahier Spécial (dalam bahasa French). 
  10. ^ Córdob, Alejandro (12-10-2009). "¿Y qué pasó con el 'toque toque' de la selección Colombia?". UPIU. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-10-16. 
  11. ^ Orrantia, Marta. "William Vinasco, el que narra con cache". Revista DonJuan.com. 
  12. ^ Malinaro, John F (9 July 2010). "Spain's World Cup run has Dutch flavour". CBC. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  13. ^ Pepito Rossi prevede uno scontro di stili al Madrigal: “Possesso palla contro forza fisica” - Goal.com
  14. ^ Kay, Alex (27 March 2010). "Lionel Messi, Cesc Fabregas, Gerard Pique...all forged in Barcelona's hothouse of champions". Daily Mail. London. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  15. ^ a b c Marcotti, Gabriele (14 April 2008). "New coaching breed gives heart to Spain". The Times. London. Diakses tanggal 18 October 2010. 
  16. ^ "The quiet man finds his voice". FourFourTwo. 1 July 2008. 
  17. ^ a b Hynter, David (10 June 2008). "Fábregas takes positive view, from the bench". The Guardian. London. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  18. ^ a b c Lowe, Sid (2 July 2008). "The definitive story of how Aragonés led Spain to Euro 2008 glory". The Guardian. London. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  19. ^ Pearce, Jonathan (29 June 2008). "If Spain can reign it will be so good for the old game". Sunday Mirror. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  20. ^ Ladyman, Ian (8 July 2010). "Beat Spain? It's hard enough to get the ball back, say defeated Germany". London: Mail Online. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  21. ^ Clegg, Jonathan; Espinoza, Javier (31 March 2010). "Fantasy football comes alive". The Wall Street Journal. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  22. ^ [1]
  23. ^ [2]
  24. ^ Lowe, Sid (9 July 2010). "Spain's "Tiki-taka" style dominates". SI.com. Diakses tanggal 13 July 2010. 
  25. ^ [3]
  26. ^ [4]
  27. ^ [5]
  28. ^ [6]
  29. ^ [7]
  30. ^ [8]
  31. ^ [9]
  32. ^ [10]
  33. ^ [11]
  34. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-02. Diakses tanggal 2012-07-03. 
  35. ^ [12]
  36. ^ http://www.youtube.com/watch?v=TzaSp_lNnYU
  37. ^ http://www.goal.com/en-gb/news/2890/world-cup-2010/2010/07/03/2007311/world-cup-2010-argentina-coach-diego-maradona-claims
  38. ^ http://espnfc.com/en/blogs/portugal/tag/euro-2012
  39. ^ http://www.guardian.co.uk/football/2010/nov/18/international-friendlies-roundup
  40. ^ http://www.bbc.co.uk/sport/0/football/18355311
  41. ^ http://soccernet.espn.go.com/report/_/id/345929?cc=5739[pranala nonaktif permanen]