Terapi keluarga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Terapi keluarga atau disebut juga sebagai terapi keluarga dan pasangan dan terapi sistem keluarga adalah cabang dari psikoterapi yang bekerja dengan keluarga dan pasangan dalam hubungan intim untuk memelihara perubahan dan perkembangan. Ini cenderung untuk melihat perubahan dalam hal sistem interaksi antar anggota keluarga. Ini menekankan hubungan keluarga sebagai faktor penting dalam kesehatan psikologis.

Ciri-ciri[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga merupakan jenis psikoterapi untuk penanganan secara psikologis atas gangguan jiwa yang terjadi dalam lingkup keluarga.[1] Terapi ini hanya mengutamakan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan situasi keluarga. Penyelenggaraannya melibatkan seluruh anggota keluarga.[2] Sudut pandang yang digunakan dalam terapi keluarga yaitu keluarga sebagai satu kesatuan dan satu kelompok yang tidak dapat dipisahkan.[3]

Pada terapi keluarga, anggota keluarga bersama dengan terapis melakukan pembetulan dan pembaharuan tentang pengalaman emosional. Terapi diadakan dalam kondisi keterbukaan dengan anggota keluarga sebagai partisipan aktif. Terapi keluarga bersifat memperkuat daya psikologis dari keluarga dan anggotanya. Setelah terapi diadakan, masing-masing anggota keluarga telah mengetahui cara menolong anggota keluarga yang bermasalah. Karena ini, pertolongan dapat diberikan meskipun terapi tidak dilakukan kembali.[4]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga strategis[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga strategis menerapkan konsep sibernetika. Konsep ini mempelajari sistem pemrosesan informasi yang terbentuk akibat adanya umpan balik. Dalam terapi keluarga strategis diberikan asumsi bahwa perilaku psikotik pada anggota keluarga terjadi akibat adanya komunikasi yang bersifat patologis di dalam keluarga.[5]

Terapi keluarga strategis singkat[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga strategis singkat adalah jenis terapi keluarga yang umum digunakan untuk menghadapi permasalahan perilaku pada remaja. Target yang ditetapkan untuk diatasi dalam jenis terapi ini adalah pola interaksi maladaptif yang terjadi di dalam keluarga secara berulang-ulang. Kegagalan pola interaksi ini yang dijadikan sebagai penyebab dar pencapaian tujuan yang diharapkan oleh remaja, sehingga menimbulkan masalah perilaku pada remaja. Terapi keluarga strategis singkat hanya dilakukan untuk meningkatkan hubungan komunikasi antar-anggota keluarga. Hasil yang diharapkan adalah penyelesaian masalah perilaku pada remaja dengan permasalahan berkurang dengan sendirinya.[6]

Terapi keluarga Bowen[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga Bowen secara khusus diterapkan pada keluarga dengan pasangan yang mengalami konflik. Landasan pemikirannya didasarkan kepada teori yang dikemukakan oleh Thomas Ambrose Bowen. Penekanan utama dalam terapi ini adalah pemenuhan kebutuhan diferensiasi dalam tingkat perilaku dan kognitif. Pemenuhannya dapat melalui interaksi interpersonal dan intrapersonal secara lebih baik. Individu yang berbeda diberi definisi sebagai mereka yang mengendalikan situasi dengan kesadaran akan pikiran, perasaan dan opini dalam situasi yang sangat emosional. Sebaliknya, individu yang tidak dibedakan diberi definisi sebagai mereka yang menggunakan emosi dalam pengambilan keputusan.[7]

Terapi keluarga eksperiensial[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga eksperiensial memberikan penekanan terhadap pentingnya memperoleh pengalaman dan memberikan ekspresi emosi. Konsepnya adalah penerapan pengalaman "di sini dan sekarang". Jenis terapi ini mengutamakan proses pertumbuhan secara alami di dalam keluarga. Para anggota keluarga dibantu dalam meningkatkan rasa memiliki keluarga. Terapi ini juga membantu meningkatkan kemampuan keluarga itu untuk memberikan kebebasan individu kepada setiap anggotanya. Terapi keluarga eksperiensial bersifat eksistensialis, humanistik dan fenomenologis. Pengembangan terapi keluarga eksperiensial dilakukan oleh beberapa tokoh yaitu Carl Whittaker, Virginia Satir, August Napier, David Keith, dan Leslie Greenberg.[8]

Pendekatan yang digunakan dalam terapi keluarga eksperiensial adalah humanistik. Hasil terapinya cenderung mewujudkan aktualisasi diri. Keberhasilan pelaksanaan terapi keluarga eksperiensial ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor utamanya meliputi kualitas dan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga dan konselor, kualitas hubungan terapeutik, dan harapan akan adanya perubahan. Ada pula faktor-faktor lain seperti perilaku, kognitif dan afektif pembinaan.[9]

Terapi keluarga eksperiensial simbolik[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga eksperiensial simbolik merupakan jenis terapi keluarga yang tidak terstuktur. Pendekatan yang digunakannnya adalah non-teoretis dan pragmatis. Dalam terapi ini, terapis menggunakan kepribadian, spontanitas, dan kreativitasnya. Terapi keluarga eksperiensial menekankan pada hubungan dalam keluarga yang efisien untuk mengungkapkan emosi. Perbedaan utama dari terapi keluarga eksperiensial simbolik dengan terapi lainnya adalah penggunaan metode non-verbal, permainan, dan adanya asisten terapis selama terapi berlangsung.[10]

Terapi keluarga segitiga[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga segitiga merupakan jenis terapi keluarga yang menerapkan konsep triangulasi. Tujuan terapi ini untuk mengatasi kecemasan dalam hubungan keluarga dan meningkatkan kemampuan diri tanpa menghilangkan hubungan keluarga. Penyelesaian masalah emosional yang terjadi pada keluarga inti dilakukan dengan sikap tidak membeda-bedakan anggota keluarga. Tiap anggota keluarga diberikan pemahaman mengenai hubungan mereka terhadap keluarga.[11]

Terapi keluarga terstruktur[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga terstruktur dilakukan dengan menemukan permasalahan utama dari subjek dalam konteks keluarga dan tidak bersifat individual. Penemuan masalah ini dilakukan oleh terapis. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi sikap menyalahkan salah seorang anggota keluarga.[12]

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Terapi keluarga dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain dan hanya dilakukan oleh sesama anggota keluarga. Keberadaan terapis keluarga hanya untuk mengusahakan penyesuaian keadaan pada perbedaan kondisi dari masing-masing anggota keluarga. Umumnya, terapi keluarga dimulai dengan fokus pada satu anggota keluarga yang mempunyai masalah.[13]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

Pembentukan dan peningkatan pola komunikasi yang baik dapat terjadi melalui terapi keluarga. Terapi keluarga yang diadakan dalam beberapa sesi mampu meningkatkan hubungan komunikasi antar-anggota keluarga. Mereka mengalami keterbukaan tentang keluh kesah yang sebelumnya tidak diungkapkannya kepada anggota keluarga yang lainnya. Selain itu, terapi keluarga juga dapat membentuk perilaku baru yang berkaitan dengan tugas masing-masing anggota keluarga di rumah.[14]

Terapi keluarga mampu mengatasi permasalahan yang sangat kompleks dan bervariasi. Bagi anak, terapi keluarga dapat mengatasi permasalahan seperti gangguan perasaan, gangguan makan, dan kenakalan remaja. Sedangkan bagi orang dewasa, terapi keluarga dapat mengatasi masalah psikiatri seperti skizofrenia.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Damayanti, R., dan Hernawaty, T. (2014). "Pengaruh Terapi Suportif Keluarga terhadap Kemampuan Keluarga Merawat Klien Gangguan Jiwa di Kecamatan Bogor Timur". Konseli: Jurnal Bimbingan dan Konseling. 1 (1): 21. ISSN 2355-8539. 
  2. ^ Wahyuni, Hera (2011). "Terapi Keluarga untuk Meningkatkan Harga Diri Individu yang Mengalami Retardasi Mental dan Gangguan Somatisasi". Personifikasi. 2 (2): 130. 
  3. ^ Hadi, S., dkk. (2020). "Disharmoni Keluarga dan Solusinya Perspektif Family Therapy: Studi Kasus Di Desa Telagawaru Kecamatan Labuapi Lombok Barat". Tasâmuh. 18 (1): 122–123. 
  4. ^ Viatrie, Diantini Ida (2014). "Terapi Keluarga Kontemporer". Jurnal Sains Psikologi. 3 (1): 3. 
  5. ^ Utami, Wahyu (2017). "Strategic Family Therapy untuk Memperbaiki Komunikasi dalam Keluarga di Nganjuk". Journal An-nafs:. 2 (2): 143. 
  6. ^ Martiningtyas, M. A. D., dan Paramastri, I. (2015). "Penerapan Brief Strategic Family Therapy (BSFT) untuk Meningkatkan Komunikasi Orang Tua-Anak". Gadjah Mada Journal of Professional Psychology. 1 (1): 65. ISSN 2407-7801. 
  7. ^ Fatma, Sofia Halida (2019). "Bowenian Family Therapi untuk Meningkatkan Self-Differentiation pada Keluarga dengan Kasus Poligami". Jurnal Psikologi Islam. 6 (2): 52. 
  8. ^ Mintarsih, Widayat (2013). "Peran Terapi Keluarga Eksperiensial dalam Konseling Anak untuk Mengelola Emosi". Sawwa. 8 (2): 298. 
  9. ^ Afdal. "Pemanfaatan Konseling Keluaga Eksperensial untuk Penyelesaian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga". Jurnal Educatio: Jurnal Pendidikan Indonesia. Indonesian Institute for Counseling, Education and Therapy. 1 (1): 77. 
  10. ^ Mujiyati dan Adiputra, S. (2019). "Symbolic-Experiential Family Therapy (SEFT) pada Konseling Keluarga" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling. 3 (1): 191. ISSN 2580-216X. 
  11. ^ Efendi, S., dkk. "Manajemen Beban dengan Pendekatan Terapi Keluarga Triangles dalam Mengatasi Beban Subjektif Keluarga Merawat Klien Diabetes Melitus". Jurnal Keperawatan Jiwa. 8 (2): 154. 
  12. ^ Devi, Dini Fidyanti (2016). "Mengatasi Masalah Komunikasi dalam Keluarga Melalui Strategic Family Therapy". Jurnal Intervensi Psikologi. 8 (2): 235. 
  13. ^ Marwa, Mentari (2019). "Strategic Family Therapy untuk Mengubah Pola Komunikasi pada Keluarga". Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan. 3 (1): 26. ISSN 2549-9092. 
  14. ^ Ariani, Annisa (2020). "Terapi Keluarga untuk Memperbaiki Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak". Procedia: Studi Kasus dan Intervensi Psikologi. 8 (4): 162. 
  15. ^ Jatmika, Y., dkk. (2018). "Pengaruh Terapi Keluarga terhadap Dukungan Keluarga dalam Merawat Masalah Diabetes Mellitus". The Indonesian Journal of Health Science Edisi Khusus: 116. ISSN 2476-9614.