Sumurjomblangbogo, Bojong, Pekalongan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sumurjomblangbogo
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenPekalongan
KecamatanBojong
Kode pos
51156
Kode Kemendagri33.26.11.2003
Luas+- 6,43 km² (643 ha)
Jumlah penduduk5.804 Jiwa (2020)

Sumurjomblangbogo adalah desa di kecamatan Bojong, Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Desa Sumurjomblangbogo adalah salah satu desa di Kabupaten Pekalongan yang terletak di wilayah Kecamatan Bojong. Menurut masyarakat, nama desa ini diambil dari gabungan 3 nama dusun yaitu Sumurwatu, Jomblang dan Jebogo. Hal ini sebagaimana dilansir dari website PortalBrebes, yang mana sudah mempublikasikan sejarah desa ini lebih dulu.

Desa dengan jumlah penduduk sekitar 5.804 jiwa, mempunyai sejarah yang menarik. Mulai dari sejarah asal-usul adanya desa hingga tempat-tempat yang menjadi ciri khasnya. Banyak versi pendapat mengenai sejarah di Desa Sumujomblangbogo. Meskipun begitu, tulisan ini disampaikan berdasarkan informasi yang mendekati kebenaran dari berbagai narasumber dan bukti-bukti sejarahnya.

Desa Sumurjomblangbogo terletak di bagian selatan Kecamatan Bojong, yang mana menurut masyarakat desa ini dulunya merupakan hutan belantara yang belum dihuni oleh manusia. Sampai pada suatu waktu ada seorang tokoh sakti penyebar agama Islam, bernama Ki Gede Jebog Arum. Warga desa menyampaikan bahwa Ki Gede Jebog Arum adalah salah satu pengelana yang hidup pada zaman raja Mataram Islam pertama.

Berdasarkan cerita, ada yang berpendapat bahwa Ki Gede Jebog Arum hanya bermaksud singgah saja untuk menghilangkan lelah, tidak ada tujuan untuk menetap ataupun membabat hutan tersebut. Di sisi lain, ada pendapat bahwa Ki Gede Jebog Arum diutus oleh salah satu tokoh di Kerajaan Mataram Islam untuk membabat atau membuka hutan yang mana akan dijadikan tempat hunian manusia. Selaras dengan adanya tugas babad tanah jawa yang dilakukan oleh Tumenggung Bahurekso.

Singkat cerita, setelah perjalanan jauh dan sampai di hutan belantara, Ki Gede Jebog Arum melihat terdapat kekayaan alam yang melimpah. Kualitas tanahnya sangat subur dan banyak sumber mata air. Lantas, Beliau menggunakan kesaktiannya untuk memanggil sahabat-sahabatnya supaya membantu membuka lahan di hutan tersebut.

Setelah lama mereka bekerja keras membabat alas, akhirnya pemukiman baru telah terbentuk. Ki Gede Jebog Arum dan sahabat-sahabatnya membawa keluarga untuk menetap di tempat tersebut.

Dalam rangka menghargai jerih payah Ki Gede Jebog Arum, beliau diangkat sebagai pemimpin (kepala pemerintahan) dan tempat ini dinamakan Desa Jebogo. Seiring bertambahnya hari, Desa Jebogo semakin ramai bagaikan desa pada umumnya.

Berkat kekayaan alam dan kesuburan tanahnya, Desa Jebogo mengalami peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat. Selain itu, beberapa tumbuhan dan sayuran tumbuh subur di sana. Sehingga hal ini juga yang mempengaruhi ketertarikan orang-orang luar untuk singgah dan menetap di Desa Jebogo.

Suatu ketika, ada seorang lelaki paruh baya yang datang ke Desa Jebogo. Beliau mengenakan pakaian berwarna putih, berjenggot, dan berjalan dengan tongkat. Masyarakat desa tampak asing melihat wajah lelaki itu. Beliau datang dan bertanya lokasi padepokan Jebog Arum, dan kemudian ditunjukkan oleh warga di mana letaknya.

Setelah berjalan menuju ke padepokan, ternyata lelaki tersebut adalah sahabat Ki Jebog Arum dan beliau juga seorang sakti mandraguna yang terkenal alim. Menurut warga setempat, seorang lelaki alim itu disebut Ki Ageng Santri.

Selang beberapa waktu ketika tengah berbincang, ada warga yang datang membawa informasi bahwa Desa Jebogo telah diserang oleh ular yang menyerupai naga berukuran raksasa. Setelah diberi informasi oleh beberapa warga, ternyata Naga itu telah lama menyerang desa, khususnya di persawahan milik masyarakat. Karena sangat mengganggu warga dan membuat geram Ki Jebog Arum, beliau dan sahabatnya mendatangi Naga tersebut.

Dengan dibersamai oleh beberapa penduduk desa, Ki Jebog Arum menanyakan alasan sang naga mengganggu rakyatnya. Dari jauh, beberapa warga mendengar percakapan antara keduanya, warga terkejut karena mengetahui ternyata naga bisa berbicara bagaikan manusia.

Naga menjawab bahwa sebagai pemimpin, Ki Jebog Arum seharusnya memberi sesaji setiap saat kepada naga. Akan tetapi, Ki Jebog Arum menolak karena menganggap naga itu bukan siapa-siapa sehingga beliau tidak perlu repot – repot memberi sesaji. Setelah mendengar penolakan itu, naga marah dan akhirnya terjadi serangan oleh naga kepada Ki Jebog Arum dan sahabatnya.

Mendapat serangan yang tak terduga, Ki Jebog Arum dan sahabatnya jatuh terjungkal ke tanah. Suasana pada saat itu begitu hening, penduduk desa yang menyaksikan dari jauh semakin merasa takut. Sehingga sedikit demi sedikit mereka menjauh.

Ki Jebog Arum mengeluarkan keris milik beliau untuk menyerang sang naga. Bersama sahabatnya, beliau melakukan serangan kepada naga. Berkali – kali naga itu menyemburkan api ke arah Ki Jebog Arum dan sahabatnya. Keduanya bisa menghindarinya dengan mudah karena area pertarungan antara naga dan kedua tokoh itu cukup luas. Kemudian dengan gesit, Ki Gede Jebog Arum melompat naik ke punggung naga, sedangkan sahabatnya menyerangnya dari depan.

Sang naga berusaha menjatuhkan Ki Jebog Arum dari atas punggungnya. Dengan posisi beliau di atas punggung naga, beliau tidak akan membuang kesempatan ini untuk cepat menancapkan keris saktinya ke tubuh sang naga. Setelah tertancap, naga menjadi sangat lemas bagaikan daun kering terempas di atas tanah. Terdengar dari jauh sorakan penduduk atas aksi Ki Jebog Arum dan sahabatnya itu.

Melihat naga yang masih lemas dan berusaha memulihkan tenaganya, Ki Jebog Arum tidak membiarkan hal itu, sehingga dengan dibantu oleh sahabatnya, beliau memotong kepala naga menggunakan keris saktinya. Setelah itu, kepala naga dikubur di bawah batu besar yang berada tidak jauh dari area pertempuran. Sedangkan badan dan ekornya dibiarkan saja tergerletak.

Semenjak terkalahkannya sang penganggu itu, ketentraman Desa Jebogo kembali seperti sedia kala. Penduduk hidup damai dan sejahtera. Sampai pada suatu hari, seorang petani menemukan sumber mata air yang airnya sangat jernih. Sumber mata air itu keluar dari bawah batu besar yang merupakan lokasi Ki Jebog Arum pernah mengubur kepala naga.

Pada mulanya petani itu merasa aneh dengan keluarnya air tersebut karena baru kali ini ada sumber mata air dari tempat ini, akan tetapi kemudian petani merasa senang karena tidak perlu lagi repot – repot membawa banyak air dari rumah ketika bekerja di sawah. Petani itu menganggap bahwa adanya mata air itu hanya kejadian alam biasa. Sehingga tidak berpikir lebih jauh mengenai keanehan yang baru saja ditemukannya. Petani tersebut kemudian menceritakan kepada teman – temannya sesame petani. Akhirnya para petani memanfaatkan sumber mata air itu setiap kali pergi bercocok tanam di sawah.

Pada hari – hari selanjutnya petani pergi ke sawah, dia menemukan keanehan lain dari keluarnya mata air itu. Keanehan itu karena mata air yang muncul tidak pernah habis, padahal sering diambil untuk keperluan sawah. Sebab merasa penasaran dari mana sumbernya dan khawatir jikalau mata air ini berasal dari alam ghaib yang mana bisa membahayakan keselamatan, petani itu kemudian pergi menemui Ki Jebog Arum untuk menyampaikan temuannya itu. Setelah mendengar berita itu, lantas Ki Jebog Arum segera mendatangi tempat munculnya mata air tersebut.

Sesampainya di sana, Ki Jebog Arum menyelidiki sumber mata air itu. Beliau mengamati keanehan mata air tersebut dan menyimpulkan bahwa itu bukan mata air biasa melainkan iler sang naga. Menurut beliau, naga itu ngiler karena permintaannya dahulu untuk mengirimkan sesaji tidak turuti. Sebagian warga merasa terkejut akan hal itu. Ki Jebog Arum mengatakan bahwa sampai kapanpun belik ini tidak akan habis walaupun pada musim kemarau. Semenjak kejadian itu, wilayah Desa Jebogo yang terletak didekat “belik” (sumur = bahasa jawa) dinamakan Dusun Sumurwatu.

Cerita mengenai sumur tersebut mulai beredar dikalangan penduduk setempat. Masyarakat menganggap bahwa sumber mata air tersebut keramat dan biasa digunakan sebagai pemandian para bidadari.

Tidak berapa lama dari kemunculan belik di Sumurwatu, penduduk kembali menemukan mata air lainnya berupa sumur tua. Bedanya, mata air itu bentuknya menyerupai jomblangan, sehingga masyarakat setempat memberi nama Dusun Sumurjomblang. Sumur-sumur tersebut menyediakan sumber mata air yang bersih dan hampir tak pernah kering. Desa Jebogo, terutama di dusun Sumurwatu dan Sumurjomblang semakin lama semakin ramai dan berkembang pesat. Kedua tempat yang semula hanya dimanfaatkan untuk bercocok tanam mulai dijadikan tempat permukiman penduduk. Air merupakan kebutuhan vital yang dibutuhkan setiap makhluk hidup, terutama manusia.

Sehingga dimanapun, daerah yang berkecukupan sumber air bersih selalu dicari oleh penduduk. Terlebih pada zaman itu kebutuhan akan air bersih lebih banyak didapatkan dari sungai, belik ataupun sumber-sumber air. Penduduk belum banyak yang menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air. Dibawah kepemimpinan Ki Jebog Arum, penduduk desa Jebogo hidup damai dan kecukupan. Ki Jebog Arum membagi waktu dengan adil untuk mengurusi penduduk Desa Jebogo dan mengurusi padepokannya. Untuk membantu tugas-tugasnya, Ki Jebog Arum meminta sahabatnya menetap di desa Jebogo. Seiring dengan bertambahnya usia Ki Jebog Arum mulai merasa tenaganya sudah tidak mampu mengemban tugas berat sebagai pemimpin Desa Jebogo. Beliau meminta untuk beristirahat dari tugasnya dan meminta warga untuk mengangkat pemimpin pengganti.

Melihat kondisi Ki Jebog Arum yang sudah sepuh, warga kemudian mengangkat kepala desa baru sebagai pemimpin desa Jebogo. Walaupun Ki Jebog Arum sudah tidak menjadi pemimpin, beliau tetap dihormati penduduk. Fisik Ki Jebog Arum semakin lemah dan sering sakit-sakitan. Akhirnya beliau tutup usia meninggalkan seluruh penduduk Desa Jebogo dalam keadaan damai dan sejahtera. Seluruh penduduk desa merasa kehilangan. Ki Jebog Arum dimakamkan di area pemakaman Jebogo. Hingga sekarang makam Ki Jebog Arum dirawat dengan baik oleh penduduk sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh sekaligus pendiri desa. Kepergian Ki Jebog Arum diikuti oleh sahabat setianya. Sang kyai wafat karena faktor usia, beliau dimakamkan di dekat belik Sumurwatu. Hal ini dimaksudkan karena sang kyai telah membantu dalam mengalahkan sang naga raksasa, Bertahun-tahun kemudian, desa Jebogo terdiri dari dusun Jebogo, Sumurjomblang dan Sumurwatu terus mengalami peningkatan baik dari segi ekonomi, budaya, adat istiadat dan populasi penduduk.

Sekitar tahun 1925 pada masa pemerintahan Lurah Kasmojoyo, dilakukan penggabungan ketiga wilayah dengan nama Desa Sumurjomblangbogo. Dusun Sumurwatu diambil dari kata “sumur”nya. Sumurjomblang diambil dari kata “jomblang”nya, sedangkan Jebogo diambil dari kata “bogo”nya. Dengan menggabungkan ketiga nama menjadi satu, diharapkan ada keadilan yang seadil-adilnya. Pada tahun 1966, kompleks balai desa Sumurjomblangbogo diberi nama Kebon Arum sebagai wujud penghargaan atas pengabdian dan perjuangan Ki Jebog Arum dalam mendirikan desa Sumurjomblangbogo. Wilayah desa Sumurjomblangbogo terhampar seluas 507,55 hektar. Desa yang asri ini dihiasi persawahan dan perbukitan dengan ketinggian mencapai 700 meter dpl. Dengan area perbukitan tersebut, suhu di desa Sumurjomblangbogo relatif cukup sejuk.

Desa Sumurjomblangbogo berbatasan dengan desa Wangandowo di sebelah timur,  desa Kalipancur, desa Pantianom dan desa Bukur di sebelah barat, dan di sebelah utara berbatasan dengan desa Randumuktiwaren, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Rowolaku dan desa Gejlig kecamatan Kajen. Karakter masyarakatnya sangat agamis. Hampir seluruh penduduk desa Sumurjomblangbogo beragama Islam taat, tercermin dari aktivitas sosial keagamaan yang sangat kental seperti tahlilan, yasinan dan pengajian-pengajian rutin lainnya. Saat ini wilayah desa Sumurjomblangbogo dibagi menjadi 6 dusun, yakni Jebogo I Wetan, Jebogo I Kulon, Jebogo II, Jomblang, Sumurwatu Timur, dan Sumurwatu Barat. Demikianlah sejarah Desa Sumurjomblangbogo yang merupakan desa di Kabupaten Pekalongan yang terletak di Kecamatan Bojong.

[1]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]