Suku Bawean

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Bawean dimasukkan kedalam sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.[1] Masyarakat Melayu Malaka dan Malaysia lebih mengenal dengan sebutan Boyan daripada Bawean dan dalam pandangan mereka Boyan berarti sopir dan tukang kebun (kephun dalam bahasa Bawean), karena profesi sebagian masyarakat asal Bawean adalah bekerja di kebun atau sebagai sopir. Orang-orang Bawean merupakan satu kelompok kecil dari masyarakat Melayu yang berasal dari Pulau Bawean yang terletak di Laut Jawa antara dua pulau besar yaitu Pulau Kalimantan di utara dan Pulau Jawa di selatan. Pulau Bawean terletak sekitar 80 mil ke arah utara Surabaya, dan masuk kabupaten Gresik.[2] Pulau Bawean terdiri atas dua kecamatan, yaitu kecamatan Sangkapura dan kecamatan Tambak. Diponggo adalah salah satu kelurahan dari 30 kelurahan di pulau Bawean yang bahasanya berbeda jauh dari desa-desa yang lain. Masyarakat Diponggo berbahasa semi Jawa, hal mana merupakan warisan dari seorang ulama wanita yang pernah menetap di desa itu, yaitu waliyah Zainab, yang masih keturunan Sunan Ampel.

Model Dhurung Bawean ( sebelum tahun :1883)

Sulit untuk menentukan waktu yang tepat kedatangan orang-orang Bawean ke Malaka karena tidak ada bukti dan dokumentasi sejarah mengenai kedatangan mereka.[3] Tidak ada catatan resmi mengenai kedatangan mereka di Malaka. Berbagai pendapat yang dikemukakan tidak bisa menunjukkan waktu yang tepat. Pendapat pertama mengatakan bahwa ada orang yang bernama Tok Ayar datang ke Malaka pada tahun 1819.[4] Pendapat yang kedua mengatakan bahwa orang Bawean datang pada tahun 1824, kira-kira semasa penjajahan Inggris di Malaka. Pendapat yang ketiga mengatakan orang Bawean sudah ada di Malaka sebelum tahun 1900 dan pada tahun itu sudah banyak orang Bawean di Malaka. Masyarakat Bawean umumnya tinggal di kota atau daerah yang dekat dengan kota, seperti di Kampung Mata Kuching, Klebang Besar, Limbongan, Tengkera dan kawasan sekitar Rumah Sakit Umum Malaka. Jarang ditemui orang Bawean yang tinggal di kawasan-kawasan yang jauh dari kota dan jumlah orang Bawean yang terdapat di Malaka diperkirakan tidak melebihi seribu orang.

Selain di Malaka, orang Bawean juga tersebar di Lembah Klang, seperti di kawasan Ampang, Gombak, Balakong dan juga Shah Alam. Mereka membeli tanah dan membangun rumah secara berkelompok. Di Gelugor, Pulau Pinang terdapat sekurang-kurangnya 2 keluarga besar orang Bawean. Mereka menggunakan bahasa Melayu dialek Pulau Pinang untuk bertutur dengan orang bukan Bawean.

Anak-anak mereka yang lahir di Malaysia telah menjadi warga negaraMalaysia.[5] Perantau-perantau yang datang dari tahun 90-an ada yang telah menerima status penduduk tetap. Orang Bawean terkenal dengan keahlian membuat bangunan dan rumah. Ada juga yang menjadi usahawan kecil seperti sub-kontraktor pembersih bangunan dan peniaga runcit.


Orang Bawean dan Orang Madura

Model Rumah Tradisional Bawean ( sebelum tahun 1883)

Walaupun Bahasa Bawean dan Bahasa Madura mirip tetapi budaya dan adat mereka berbeda. Orang Bawean juga kurang familiar disebut sebagai Orang Madura karena perbedaan tersebut. Adanya perkawinan campuran dengan berbagai suku antara orang bawean dengan suku-suku lain seperti madura, jawa, bugis, mandar maupun palembang mempengaruhi pada kebiasaan dan adat istiadat mereka sehingga membentuk komunitas dengan ciri khas tersendiri, oleh karena itu mereka lebih menyukai disebut sebagai orang Bawean. Menurut Legenda Bawean [6] pada zaman pra Islam seorang raja yang dikenal dengan nama raja Babileono ( atau raja Babi) yang menganut paham animisme dan ahli sihir dipercaya sebagai nenek moyang orang Bawean, kemudian pada abad ke-16 pulau Bawean dipimpin oleh Syekh Maulana Umar Mas'ud atau dikenal dengan nama Pangeran Perigi yang beragama islam,dan makamnya terletak di Desa Kota Kusuma dibelakang Masjid Jamik Sangkapura .

Budaya-Budaya Orang Bawean

Berkas:H-538.jpg
Tikar Bawean ( sebelum tahun 1926)
Bakul Bawean ( sebelum tahun :1889)
  • Kercengan

Kercengan biasanya dipersembahkan sewaktu acara Perkawinan. Masyarakat Madura menyebut nama kercengan dengan Hadrah.[7]

Penari berbaris sebaris atau dua baris. Pemain kompang dan penyanyi duduk di barisan belakang. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu salawat kepada Nabi Muhammad SAW. Pemain kercengan terdiri dari laki-laki dan perempuan.

  • Cukur Jambul

Bayi yang telah genap usianya 40 hari mengikuti acara bercukur jambul. Adat ini sama seperti adat orang Melayu dan Jawa. Bacaan berzanji bersama paluan kompang merayakan bayi yang akan dicukur kepalanya.

  • Pencak Bawean

Pencak Bawean sering ditampilkan dalam acara hari besar seperti hari kemerdekan 17 agustus maupun acara perkawinan orang bawean. Pencak Bawean mengutamakan keindahan langkah dengan memainkan pedang.[8][9]

  • Dikker

Alunan puji-pujian dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW disertai dengan permainan terbang.[10]

  • Mandiling

Sejenis tari-tarian disertai dengan pantun.[11]

Rujukan