Sintong Panjaitan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sintong Panjaitan
Sintong Panjaitan, 1985
Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana ke-13
Masa jabatan
12 Agustus 1988 – 1 Januari 1992
Sebelum
Pendahulu
Djoko Pramono
Pengganti
HBL Mantiri
Sebelum
Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ke-10
Masa jabatan
Mei 1985 – Agustus 1987
Sebelum
Pengganti
Kuntara
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Sintong Hamonangan Panjaitan

4 September 1940 (umur 83)
Tarutung, Sumatera, Hindia Belanda
KebangsaanIndonesia
Suami/istriLentina Napitupulu
Anak
  • Henry Dian Panjaitan
  • Ani Oranda Panjaitan
Tempat tinggalJakarta
Alma materAkademi Militer Nasional (1963)
PekerjaanTNI (Purnawirawan)
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1963—1991
Pangkat Letnan Jenderal TNI (Kehormatan)
NRP19294[1]
SatuanInfanteri (Kopassus)
Pertempuran/perangOperasi Dwikora
Operasi Seroja
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sintong Hamonangan Panjaitan atau biasa dirujuk Sintong Panjaitan (lahir 4 September 1940)[2] adalah seorang purnawirawan TNI lulusan Akademi Militer Nasional (kini Akademi Militer) tahun 1963. Penasihat Militer Presiden BJ Habibie, Sesdalopbang (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan), Pangdam IX/Udayana, Danjen Kopassus. Ia menerima 20 perintah operasi/penugasan di dalam dan luar negeri selama karier militernya. Pencopotan jabatannya sebagai pangdam akibat Insiden Dili di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 banyak dianggap sebagai awal dari kemunduran kariernya di bidang militer sebelum ia menjadi Purnawirawan dengan pangkat Letnan Jenderal.

Masa Kecil[sunting | sunting sumber]

Sintong dilahirkan di Tarutung, sebagai anak ketujuh dari 11 bersaudara. Saudara-saudaranya bernama: Johan Christian, Nelly, Humalatua, Hiras, Erne, Wilem, Tiurma, Dame, Anton dan Emmy. Ayahnya, Simon Luther Panjaitan (sebelumnya bernama Mangiang Panjaitan) adalah seorang Mantri di Centrale Burgelijke Ziekenhuis (RSU) Semarang.[3] Ibunya, Elina Siahaan adalah puteri dari seorang raja di Aek Nauli, Raja Ompu Joseph Siahaan.[2] Keduanya menikah di Semarang, pada tahun 1925. Minat Sintong pada bidang militer muncul saat berumur tujuh tahun yang pada saat itu rumahnya kerap terkena bom P-51 Mustang Angkatan Udara Kerajaan Belanda. Sintong mulai memanggul senjata di bangku Sekolah Menengah Atas (1958) saat ia mengikuti latihan kemiliteran 3 bulan yang dilaksanakan gerakan PRRI di bawah pimpinan Kolonel Maludin Simbolon.[4]

Karier Militer[sunting | sunting sumber]

Sintong mulai mencoba memasuki dunia militer saat mencoba melamar masuk Akademi Angkatan Udara pada tahun 1959. Saat menunggu hasil lamarannya tadi, Sintong juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional pada tahun 1960, dan lulus sebagai bagian dari 117 taruna AMN angkatan V. Sintong lulus dari AMN pada tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua. Selanjutnya ia mengikuti sekolah dasar cabang Infanteri di Bandung dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964 dan ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elit TNI Angkatan Darat (kini bernama Komando Pasukan Khusus - Kopassus).

Pada periode Agustus 1964-Februari 1965 Sintong menerima perintah operasi tempur pertamanya di dalam Operasi Kilat penumpasan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sejak Februari 1965, Sintong mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando AD di Batujajar. Ia memperoleh atribut Komando di Pantai Permisan, 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan mengalami 3 kali terjun. Setelah itu ia menerima perintah untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka Konfrontasi Malaysia.

Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan di atas. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Inf. Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin 1 Peleton pasukan untuk merebut stasiun/kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen AD Brigjen TNI Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya.[5] Setelah itu Sintong menerima tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin 1 Peleton di bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.[6]

Pada tahun 1969 Kapten Inf. Feisal Tanjung mengikutsertakan Sintong dalam upaya membujuk kepala-kepala suku di Irian Barat untuk memilih bergabung bersama Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat.[7] Berbagai prestasi Sintong di kesatuan khusus TNI-AD ini mengantarkannya ke kursi Komandan Kopassandha di periode 1985-1987, menggantikan Brigjen TNI Wismoyo Arismunandar.

Sintong Panjaitan adalah pemimpin Grup-1 Para Komando yang terjun dalam operasi pembebasan kontra terorisme dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tanggal 31 Maret 1981. Operasi ini dijalankan saat pangkatnya adalah Letnan Kolonel. Walaupun terdapat dua korban jiwa (satu Pilot dan satu anggota Para Komando), operasi tersebut dinilai sukses oleh pemerintah Indonesia karena selamatnya seluruh awak dan penumpang pesawat yang lain, sehingga ia beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat.[8]

Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur kemudian menjadi salah satu penyebab diangkatnya Sintong menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Sintong kemudian dicopot dari jabatannya sebagai pangdam akibat Insiden Dili yang terjadi di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan skandal internasional. Beberapa pihak menyatakan bahwa peristiwa ini turut mengakhiri karier militer Sintong.[9] Akibat keterlibatannya dalam insiden tersebut ia dituntut pada 1992 oleh keluarga seorang korban jiwa dan divonis, pada 1994, untuk membayar ganti rugi sebanyak total 14 juta US Dollar.[10]

Jabatan Militer[sunting | sunting sumber]

Letnan Dua
  • Danton 1/A Yonif 321 Galuh Taruna/Brigif 13 Galuh/Kostrad (Operasi Kilat Menumpas DI/TII Kahar Muzakar)
  • Danton 1/A Kompi Suryo Batalyon 2 RPKAD (Operasi Kilat Menumpas DI/TII Kahar Muzakar)
  • Danton 1/A Kompi Tanjung Batalyon 2 RPKAD (Operasi Ganyang Malaysia Kuching-Serawak)
  • Danton 1/A Kompi Tanjung Batalyon 2 RPKAD (Operasi Penumpasan G-30S/PKI)
Letnan Satu
  • Komandan Prayudha 3 RPKAD (Pada Operasi Tempur Penumpasan OPM Di Irian Jaya)
  • Perwira Operasi Tim Expedisi RPKAD Lembah X Irian Jaya
  • Komandan Kompi 251 Grup 2 RPKAD
Kapten
  • Kasi 1 Intel Grup 4 Sandhi Yudha RPKAD
  • Perwira Operasi Pada Pusat Intelijen Strategis (PUSINTELSTRAT)
  • Kasi 2 Ops Grup 4 Sandhi Yudha RPKAD
  • Wadan Operasi PUSINTELSTRAT
Mayor
  • Komandan Karsayudha Grup 4 Sandhi Yudha
  • Komandan Satgas 42 Kopassandha Di Kalimantan Barat (Penumpasan Pemberontakan Gerombolan Komunis BARA/PGRS/PARAKU)
  • Komandan Operasi GARU TNI Di Kalimantan Barat (Penumpasan Pemberontakan Gerombolan Komunis BARA/PGRS/PARAKU)
  • Wakil Komandan Grup 4 Sandhi Yudha Kopassandha
  • Wakil Komandan Grup 1 Parako Pada Operasi Lintas Udara Seroja Timor-Timur
Letnan Kolonel
  • Wakil Asisten Operasi Kopassandha
  • Komandan Satuan Pengamanan VVIP/Presiden Soeharto Di Timor-Timur
  • Asisten Operasi Kopassandha
  • Komandan Tim Operasi Khusus Intelijen Di Aceh (Penumpasan Gerakan Aceh Merdeka/GAM)
  • Komandan Satuan Anti-Teror 81 (Penumpasan Pembajakan Pesawat Garuda DC-9 Woyla 206)
Kolonel
  • Komandan Grup 3 Para Komando / Kopassandha Di Kariango Maros
  • Komandan Grup 4 Sandhi Yudha / Kopassandha
  • Komandan Pusat Sandhi Yudha & Lintas Udara/Pusdikpassus (PUSSHANDALINUD)
Brigadir Jenderal
Mayor Jenderal
  • Panglima Kodam IX/Udayana
  • Panglima Komando Operasi Militer Kolakops/Koopskam/Teritorial TNI Di Timor Timur
  • Perwira Tinggi MABES TNI
  • Koorsahli Panglima ABRI
Letnan Jenderal
  • Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (SESDALOPBANG)
  • Penasihat Wakil Presiden Bidang HANKAM
  • Penasihat Presiden Bidang HANKAM

Purnawirawan[sunting | sunting sumber]

Menristek Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie menunjuk Sintong sebagai penasihat bidang militer di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1994. Sejak saat itu Sintong menjadi penasihat kepercayaan Habibie hingga Habibie menjadi Presiden Indonesia pada tahun 1998 di mana Sintong duduk sebagai penasihat Presiden di bidang Militer. Sebuah sumber menyatakan bahwa Habibie berdiskusi secara mendalam dengan Sintong, Jenderal Wiranto (Panglima ABRI dan Menhankam) dan Yunus Yosfiah (Menteri Penerangan) sebelum mengizinkan referendum Timor Timur bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap bergabung dalam Republik Indonesia atau menjadi negara sendiri.[11]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Tanda Jasa[sunting | sunting sumber]

Ia mendapatkan sejumlah tanda jasa, diantaranya;

Baris ke-1 Bintang Mahaputera Utama (6 Agustus 1998)[1]
Baris ke-2 Bintang Sakti (28 Maret 1981)[8] Bintang Kartika Eka Paksi Pratama Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
Baris ke-3 Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun Satyalancana G.O.M IV Satyalancana Wira Dharma
Baris ke-4 Satyalancana Dwidya Sistha Satyalancana Penegak Satyalancana G.O.M VIII Dharma Phala
Baris ke-5 Satyalancana G.O.M IX Raksaka Dharma Satyalancana Pepera Satyalancana Seroja

Buku[sunting | sunting sumber]

Pada Maret 2009, wartawan perang Hendro Subroto menerbitkan sebuah buku tentang Sintong yang berjudul "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando". Buku tersebut menuai kontroversi karena menuduh Prabowo Subianto yang pada Maret 1983 berpangkat kapten hendak melakukan upaya kudeta dengan menculik beberapa perwira tinggi ABRI. Buku yang diterbitkan menjelang Pemilu Legislatif 2009 itu memberikan kredit kepada Luhut Panjaitan yang waktu itu berpangkat mayor yang disebutkan menggagalkan upaya yang mengarah kepada kudeta tersebut.

Dalam budaya populer[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan Kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Kementerian Sekretariat Negara RI 2018, hlm. 107.
  2. ^ a b Subroto 2009, hlm. 38.
  3. ^ Subroto 2009, hlm. 40.
  4. ^ Subroto 2009, hlm. 44.
  5. ^ Subroto 2009, hlm. 129.
  6. ^ Subroto 2009, hlm. 51.
  7. ^ Hisyam 1999, hlm. 227.
  8. ^ a b Mappapa 2016.
  9. ^ Tanter, van Klinken & Ball 2006, hlm. 72.
  10. ^ Chomsky 2002, hlm. 52-53.
  11. ^ Purba 1999.

Bibliografi[sunting | sunting sumber]

Buku dan Jurnal[sunting | sunting sumber]

Surat Kabar dan Situs Web[sunting | sunting sumber]

  • Mappapa, Pasti Liberti (3 Oktober 2016). Sudrajat, ed. "Dobrak, Tembak, Granat Tak Meledak". Detik. Diakses tanggal 31 Oktober 2022. 
  • Purba, Kornelius (16 Februari 1999). "Habibie wants to be remembered for E. Timor". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). 
Jabatan militer
Didahului oleh:
Wismoyo Arismunandar
Danjen Kopassus
1983—1985
Diteruskan oleh:
Kuntara
Didahului oleh:
Djoko Pramono
Pangdam Udayana
1988—1992
Diteruskan oleh:
H. B. L. Mantiri