Sindrom Turner

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pola kromosom 45, X pada penderita sindrom Turner.

Sindrom Turner (disebut juga sindrom Ullrich-Turner, sindrom Bonnevie-Ullrich, sindrom XO, atau monosomi X) adalah suatu kelainan genetik pada wanita karena kehilangan satu kromosom X.[1] Wanita normal memiliki kromosom seks XX dengan jumlah total kromosom sebanyak 46, tetapi pada penderita sindrom Turner hanya memiliki kromosom seks XO dan total kromosom 45.[1] Hal ini terjadi karena satu kromosom hilang atau nondisjunction saat atau selama gametogenesis (pembentukan gamet) ataupun pada tahap awal pembelahan zigot.[2]

(atas) Leher penderita sindrom Turner tanpa lipatan kulit dan (bawah) kembali normal setelah dioperasi.

Deteksi[sunting | sunting sumber]

Untuk mendeteksi adanya kelainan pada janin selama kehamilan berlangsung, dapat dilakukan USG.[3] Analisis kromosomal juga dapat dilakukan ketika bayi masih di dalam kandungan ataupun saat telah dilahirkan.[3] Untuk analisis kromosom diperlukan paling sedikit 20 sel untuk memastikan diagnosis dan sel yang diambil pun harus dari 2 sel yang berbeda, misalnya sel darah dan sel kulit.[1]

Ciri - ciri[sunting | sunting sumber]

Wanita dengan sindrom Turner memiliki kelenjar kelamin (gonad) yang tidak berfungsi dengan baik dan dilahirkan tanpa ovari atau uterus.[4] Apabila seorang wanita tidak memiliki ovari maka hormon estrogen tidak diproduksi dan wanita tersebut menjadi infertil.[4] Namun, apabila seorang penderita sindrom Turner memiliki sel normal (XX) dan sel cacat (sindrom Turner/XO) di dalam tubuhnya, maka ada kemungkinan wanita tersebut fertil.[5] Wanita dengan keadaan demikian disebut mosaikisme (mosaicism).[5] Penderita sindrom Turner memiliki beberapa cenderung ciri fisik tertentu seperti bertubuh pendek, kehilangan lipatan kulit di sekitar leher, pembengkakan pada tangan dan kaki, wajah menyerupai anak kecil, dan dada berukuran kecil.[4][6] Beberapa penyakit cenderung menyerang penderita sindrom ini, di antaranya adalah penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal dan tiroid, kelainan rangka tulang seperti skoliosis dan osteoporosis, obesitas, serta gangguan pendengaran dan penglihatan.[3]

Sebagian besar penderita sindrom ini tidak memiliki keterbelakangan intelektual, namun dibandingkan wanita normal, penderita memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita keterbelakangan intelektual.[6] Sebagian penderita sindrom Turner memiliki kesulitan dalam menghafal, mempelajari matematika, serta kemampuan visual dan pemahaman ruangnya rendah.[6] Perbedaan fisik dengan wanita normal juga membuat penderita sindrom Turner cenderung sulit untuk bersosialisasi.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c (Inggris) Frank J. Domino (2006). The 5-Minute Clinical Consult. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-0-7817-6334-9. Page.1274
  2. ^ a b (Inggris) Brian Stabler, Barry B. Bercu (2000). Therapeutic Outcome of Endocrine Disorders: Efficacy, Innovation and Quality of Life (Serono Symposia USA). ISBN 978-0-387-98962-4. Page.69-79
  3. ^ a b c (Inggris) Theresa Kyle, Terri Kyle (2007). Essentials of pediatric nursing. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-0-7817-5115-5. Page.1030-1031
  4. ^ a b c (Inggris) Richard A. Lippa (2005). Gender, nature, and nurture. Psychology Press. ISBN 978-0-8058-5345-2. Page.129-130
  5. ^ a b (Inggris) Robert J. Gorlin, Meyer Michael Cohen, Raoul C. M. Hennekam (2001). Syndromes of the head and neck. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-511861-2. Page.57-61
  6. ^ a b c (Inggris) Phil Foreman (2009). Education of Students with an Intellectual Disability: Research and Practice. Information Age Publishing. ISBN 978-1-60752-214-0. Page.29