Sentot Prawirodirdjo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Gambar Sentot Prawirodirdjo oleh G. Kepper (1900)

Sentot Prawirodirdjo (1807 - Bengkulu, 17 April 1855) yang juga di kenal sebagai Sentot Ali Pasha, atau orang-orang mengenalnya sebagai Sentot Ali Basha. Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo adalah seorang panglima perang pada masa Perang Diponegoro. Ia adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Ayahnya dianggap pahlawan karena melawan Belanda dan terbunuh oleh penjajah Belanda yang saat itu dipimpin oleh Daendels. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda sehingga akhirnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro.

Gelar Ali Pasha yang juga berarti Panglima Tinggi diberikan Sentot Prawirodirjo oleh Pangeran Diponegoro terinspirasi militer kerajaan Turki.

Asal usul[sunting | sunting sumber]

Ali Basah Sentot Prawirodirjo (sekitar 1808-1855) adalah putra Raden Ronggo Prawirodirjo III, Bupati Wedana Madiun (menjabat 1796-1810), dengan seorang garwa paminggir (selir), Nyi Mas Ajeng Genosari. Sebagai adik lelaki istri sah kedua Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Maduretno (sekitar 1798-1827), Sentot ikut dengan keluarga Pangeran di Tegalrejo setelah pernikahan kakak perempuannya dengan Pangeran Diponegoro pada 28 September 1814.

Sebagai bocah 6 tahun, Sentot lebih suka main di istal luas Pangeran dan lebih senang menjadi pembalap kuda daripada menjadi seorang calon santri di pesantren seperti yang didambakan oleh Pangeran Diponegoro, sehingga beliau sangat dikenal mahir dan gesit selama peperangan dikarenakan kemampuannya tersebut dan menjadi basah (komandan tentara) Pangeran Diponegoro yang pemberani. Karena keengganannya untuk menjadi santri Sentot tidak dapat membaca atau menulis dan sejak kecil sangat tidak menyukai sikap Diponegoro yang mengginginkan supaya basah ini dididik menjadi santri.

Sentot menikahi keponakan perempuan Pangeran Diponegoro, putri saudaranya sendiri, Pangeran Prawirodininggrat atau Suryobrongto (sekitar 1789-1854).

Gelar Sentot Ali Basah[sunting | sunting sumber]

Nama "Sentot" adalah nama samaran perang yang berarti "terbang" atau "melesat" ini merujuk pada karekter perilaku orangnya. Sentot berarti meloloskan diri, melarikan diri, menarik diri, terbang, dan pada umumnya orang menafsirkannya sebagai karakter yang tidak mudah dikenal, seseorang yang temperamennya rumit dan kompleks. Digambarkan oleh kolonel Belanda selama perang, Mayor de Stuers sebagai "muda", "berapi-rapi", dan dalam segala hal seorang Jawa yang cemerlang yang tahu merambah jalan sendiri berkat kekuatan dan akalnya, dia mendapatkan nama dan pamornya dengan komandan medan Belanda karena keberanian dan mutu kepemimpinannya dalam pertempuran. Mayor Errembault memujinya sebagai;

"pemimpin pemberontak yang memiliki keberanian dan cara berjuang yang terbaik. Dia telah membayar cukup sering dengan badannya sendiri, karena telah kerap kali menerima luka sejak awal perang".

Ali Basah adalah pangkat panglima komandan yang terinspirasi dari unit militer Dinasti Usmaniyah di Turki diberikan oleh Pangeran Diponegoro atas keberaniannya tersebut pada saat beliau baru saja berumur 17 tahun pada awal 1826. Menurut Sejarawan Peter Carey, Gelar "Ali Basah" kemungkinan diambil dari istilah Turki Utsmani "Ali Pasha" (Pasha yang Mulia) atau dari nama Muhammad Ali Pasha, penguasa Mesir (berkuasa 1805-1849), gubernur atau wakil (pasha) terkemuka kesultanan Turki Utsmani awal abad ke-19.

Akhir hayat[sunting | sunting sumber]

Dalam perjuangannya melawan penindasan kerajaan Belanda di tanah jawa Sentot Prawirodirdjo akhirnya dibujuk Belanda untuk meletakkan senjata pada tanggal 1829 dan dikirim ke Sumatera Barat untuk melawan pemberontakan para ulama dalam Perang Padri. Namun itu semua tidak lain merupakan strategi yang monumental dari Sentot dalam upaya mendapatkan persenjataan dari kerajaan Belanda, untuk digunakan dalam membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol melawan penjajahan Belanda dan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Alam Bagagarsyah dalam Perang Padri.

Sentot Prawirodirjo wafat dalam usia 48 tahun dalam pembuangannya oleh Belanda di Bengkulu.

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Peter Carey, (Percakapan dengan Diponegoro), Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022, ISBN 9786024819002