Satin Merah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Satin Merah
PengarangBrahmanto Anindito & Rie Yanti
Perancang sampulDwi Annisa Anindhika
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel, Thriller, Misteri
PenerbitGagasMedia
Tanggal terbit
2010
Halamanxvi + 314 halaman
ISBNISBN 978-979-780-443-5

Satin Merah adalah sebuah novel thriller-misteri karya duet Brahmanto Anindito dan Rie Yanti yang diterbitkan pada tahun 2010 oleh GagasMedia, Jakarta. Novel bersubjudul aku cuma ingin menjadi signifikan ini menceritakan satu periode dalam hidup Nadya, 17 tahun, yang berambisi melestarikan Sastra Sunda yang terancam punah.

Penulisan novel yang pernah dinominasikan dalam ajang Anugerah Pembaca Indonesia 2011[1] ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Beberapa tokohnya, meskipun cerita ini bertemakan sastra daerah, digambarkan menguasai teknologi, terutama internet.[2] Kedua pengarang meramu konflik dan ketegangan psikis dalam kata-kata yang lugas dan bab-bab yang pendek.

Jalan Cerita[sunting | sunting sumber]

Ninditha Irani Nadyasari, atau akrab dipanggil Nadya, adalah gadis yang cerdas. Siswi SMA Priangan 2 Bandung ini sudah langganan menjadi juara kelas. Maka tak heran jika dia terpilih sebagai salah seorang wakil sekolahnya untuk mengikuti Pemilihan Siswa Teladan Se-Bandung Raya. Dalam kompetisi tersebut, para peserta diminta membuat makalah dalam tenggat tertentu. Nadya sengaja memilih tema Sastra Sunda untuk makalahnya, supaya terlihat beda di mata juri. Tapi teman-temannya tidak setuju dan malah memandangnya "nggak gaul" karena memilih tema itu. Nadya tak surut langkah. Bahkan dia sampai rela mengorbankan persahabatannya dan menggarap makalah itu sendiri.[3]

Nadya terus mempelajari Sastra Sunda. Hingga akhirnya dia bertemu Yahya Soemantri, seorang sastrawan Sunda yang sudah sering mempublikasikan cerpen, puisi, novel, artikel dan esai dalam bahasa Sunda maupun Indonesia. Melalui Yahya, Nadya mulai belajar menulis. Namun apa yang terjadi kemudian bukanlah suatu hal yang diharapkan Nadya. Setelah berguru dua minggu, Yahya terang-terangan mengatakan tulisan-tulisan Nadya jelek. Kritik pedas ini membuat Nadya marah dan kehilangan emosi.

Yahya berlalu, Nadya melanjutkan pelajaran sastra Sunda-nya kepada Didi Supena Pamungkas, mantan Redaktur Kriminal Harian Pro Rakyat. Didi merupakan seorang wartawan handal di bidang kriminologi. Rasa ingin tahunya terhadap sesuatu begitu tinggi. Didi pun sangat handal dalam menganalisis logika dari kejadian-kejadian sepele. Pria itu akhirnya curiga kenapa selama ini Yahya, yang kebetulan merupakan temannya di komunitas Sastra Sunda, tidak pernah terlihat. Didi lalu mengajak Nadya mencari tahu permasalahan ini dan menuangkannya dalam tulisan investigatif yang menarik. Nadya tentu saja panik, karena dialah yang terakhir bersama Yahya, sebelum pujangga itu menghilang selamanya dari muka bumi. Maka, menghilangnya Yahya pun segera disusul dengan berita menghilangnya Didi.

Nadya kemudian beralih ke sastrawan mentor ketiga, Nining Tisna Munandar, seorang sastrawan berfilosofi cinta. Kemudian mentor keempat, Hilmi, seorang sastrawan yang sekaligus penulis bayangan. Lalu mentor kelima, Lina Inawati, sastrawan Sunda yang sekaligus dosen di Universitas Padjadjaran. Semua rentetan kejadian yang membuat jagat kasusastraan Sunda berduka itu menunjukkan bahwa Nadya bukanlah gadis yang sekadar memiliki passion. Dia begitu ambisius untuk menjadi gadis yang signifikan di lingkungannya. Tapi caranya salah.[4]

Pembaca Pertama[sunting | sunting sumber]

Berikut ini daftar kelima pembaca pertama novel Satin Merah[5] dan komentar mereka:

  • Suparto Brata: "Saya tercengang sejak awal membaca Satin Merah. Saya benar-benar bisa merasakan apa yang ditulis di sini."
  • Feby Indirani: "Tema yang nyaris tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang. Dipadukan dengan kehidupan anak muda yang sangat akrab dengan teknologi internet. Menarik sekali. Unik. Orisinal."
  • Tarlen Handayani: "Saya merasakan kedekatan dengan cerita dan tempat kejadian novel misteri ini. Seolah menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa di dalamnya."
  • Kirana Kejora: "Drama suspens menyelimuti perjalanan ruh para pelakon. Menggigit dan menggigilkan tubuh pembacanya."
  • Teddi Muhtadin: "Seperti sihir naratif, Satin Merah mampu meramu adegan dan peristiwa yang mengacu ke realitas, tapi tetap utuh sebagai fiksi. Ada tradisi Sastra Sunda yang menyembul, tetapi larut bersama latar, alur, dan konflik."

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Anugerah Pembaca Indonesia 2011 Longlist Tahap II (diakses 2 Juni 2013)
  2. ^ "Merah di Bumi Pasundan", artikel di Harian Jawa Pos, Senin, 28 Februari 2011.
  3. ^ "Situs penerbit novel Satin Merah (diakses 15 Mei 2013)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-09. Diakses tanggal 2013-06-02. 
  4. ^ "Satin Merah, Aku Cuma Ingin Jadi Signifikan", artikel di Harian Pikiran Rakyat, Selasa, 1 Maret 2011.
  5. ^ Situs resmi novel Satin Merah (diakses 23 Februari 2013)