Sapta Darma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sapta Darma
Tokoh penting
Hardjosapoero
(Bapa Panuntun Agung Sri Gutama)
Soewartini Martodihardjo
(Ibu Tuntunan Agung Sri Pawenang)
Ajaran

SujudWewarah TujuhSesanti

Sanggar
Sanggar Candi Sapta Rengga
Sanggar Agung Candi Busana
Sanggar Candi Busana
Lihat pula

Tuntunan

Sapta Darma merupakan aliran kebatinan dan salah satu ajaran penghayat kepercayaan di Indonesia.[1] Aliran ini diyakini bermula dari turunnya wahyu kepada Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada dini hari Jumat Wage tanggal 27 Desember 1952 di kediamannya di Kampung Koplakan, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.[2]

Aliran kerohanian ini memiliki tiga ajaran utama, yaitu sujud, Wewarah Tujuh, dan sesanti. Ibadah penganut Sapta Darma dapat dilakukan secara pribadi di rumah atau secara bersama-sama di tempat ibadah yang disebut sanggar.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Penerima ajaran Sapta Darma adalah Hardjosapoero yang lahir di Desa Semanding, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, pada tahun 1910. Hardjosapoero yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur menerima wahyu pertama mengenai ajaran aliran kerohanian ini pada tanggal 27 Desember 1952 yang berlanjut hingga wafatnya pada tanggal 16 Desember 1964. Sepeninggal Hardjosapoero yang bergelar Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, pucuk pimpinan aliran kerohanian ini diserahkan kepada Soewartini Martodihardjo yang bergelar Ibu Tuntunan Agung Sri Pawenang hingga wafatnya pada tanggal 24 Mei 1996.

Pada tahun 1961, Sapta Darma telah mempunyai cabang di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Pada tahun 2014, penganut aliran kerohanian ini di Jawa Tengah tersebar di sejumlah wilayah seperti Pati dengan jumlah penganut sebanyak 5.000 orang, Klaten sebanyak 2.611 orang, dan Purworejo sebanyak 1.027 orang.[4]

Ajaran[sunting | sunting sumber]

Ajaran Sapta Darma sekilas memiliki makna yang sederhana, tetapi sebenarnya sangat luas karena meliputi segala aspek kehidupan di dunia manusia, roh, jin, dan setan. Inti sari dari ajaran ini bersumber pada sujud, Wewarah Tujuh, dan sesanti.

Konsepsi[sunting | sunting sumber]

Kerohanian Sapta Darma bertujuan untuk kebahagiaan pengikut-pengikutnya, baik di dunia maupun di akhirat. Intisari dari ajaran ini adalah membentuk pribadi manusia yang asli berdasarkan keluhuran budi dan menjadikan penganutnya memiliki sikap kesatria utama (Jawa: manghayu-hayu bagya buwana).

Ketuhanan[sunting | sunting sumber]

Tuhan dalam ajaran Sapta Darma disebut Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu Zat yang mutlak, bebas dari segala hubungan sebab akibat dan sumber dari alam semesta beserta isinya. Allah Hyang Maha Kuasa memiliki lima sifat luhur yang disebut Pancasila Allah, yaitu Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.

Kemanusiaan[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Sapta Darma, manusia dianggap sebagai gabungan dari roh dan materi. Roh manusia berupa sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan dengan-Nya, sedangkan materi berupa tubuh manusia. Gabungan roh dan materi ini dihasilkan melalui perantara orang tua, ayah dan ibu. Manusia juga dianggap sebagai makhluk tertinggi di atas hewan dan tumbuhan sehingga menurut aliran ini, di dalam tubuh manusia terdapat radar yang apabila dilatih dengan baik akan dapat memberikan kewaspadaan dalam menjalani hidup.

Sujud[sunting | sunting sumber]

Sujud adalah ritual ibadah penganut Sapta Darma. Ritual ini dilakukan sehari sekali, selebihnya dianggap sebagai keutamaan, baik secara individu maupun secara bersama-sama di sanggar.

Wewarah Tujuh[sunting | sunting sumber]

Wewarah Tujuh yang berarti 'tujuh petuah' merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap penganut Sapta Darma. Secara umum, isi Wewarah Tujuh adalah sebagai berikut.

  • Setia dan tawakal kepada Pancasila Allah, yaitu bahwa Tuhan menpunyai lima sifat luhur yang mutlak.
  • Bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.
  • Turut serta membela nusa dan bangsa.
  • Menolong siapa saja tanpa pamrih.
  • Berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri.
  • Bersikap susila dan berbudi pekerti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
  • Meyakini bahwa dunia tidak abadi dan selalu berubah.

Sesanti[sunting | sunting sumber]

Sesanti atau semboyan penganut Sapta Darma dalam bahasa Jawa berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara." (Indonesia: "Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya."). Sesanti ini bermakna bahwa setiap warga Sapta Darma berkewajiban untuk selalu siap membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.

Ibadah[sunting | sunting sumber]

Penganut Sapta Darma menganggap segala sesuatu yang dilakukannya sebagai ibadah. Akan tetapi, ibadah utama yang wajib dilakukan adalah sujud, racut, ening, dan olah rasa. Sujud adalah ibadah paling utama yang dilakukan minimal sekali sehari, sedangkan racut adalah ibadah Hyang Maha Suci (roh manusia) menghadap Allah Hyang Maha Kuasa terlepas dari raganya sebagai bekal perjalanan roh setelah kematian. Sementara itu, ening adalah ritual semadi dengan memasrahkan diri kepada Sang Pencipta. Adapun olah rasa adalah proses relaksasi untuk mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras atau olahraga.

Sanggar[sunting | sunting sumber]

Sanggar adalah tempat ibadah penganut Sapta Darma yang dipimpin oleh seorang tuntunan dengan tanggung jawab membina kerohanian para penganut di sanggar tersebut. Ada dua jenis sanggar, yaitu Sanggar Candi Sapta Rengga dan Sanggar Candi Busana. Sanggar Candi Sapta Rengga merupakan pusat kegiatan kerohanian Sapta Darma di Yogyakarta, sedangkan Sanggar Candi Busana merupakan sanggar yang tersebar di daerah. Adapun sanggar tempat kelahiran aliran kerohanian ini di Pare, Kediri, disebut sebagai Sanggar Agung Candi Busana.

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 11 Oktober 2008, Front Pembela Islam merusak rumah milik seorang penganut Sapta Darma yang dijadikan sanggar di Dusun Pereng Kembang, Desa Balecatur, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, karena dianggap sebagai aliran sesat.[5]

Pada tanggal 7 Desember 2014, seorang warga penganut Sapta Darma yang meninggal dunia di Desa Siandong, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, tidak diizinkan untuk dimakamkan di pemakaman umum desa setempat sehingga dimakamkan di pekarangan rumahnya.[6][7]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

Pustaka lanjutan[sunting | sunting sumber]

  • Hadiwijono, Harun. 2006. Kebatinan dan Injil. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Kartapradja, Kamil. 1990. Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: CV Haji Masagung.