Gangguan jiwa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Sakit jiwa)
Gangguan jiwa
Ilustrasi yang berupa lukisan para penderita gangguan jiwa yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa
Informasi umum
SpesialisasiPsikiatri, psikologi klinis, Psikoterapi Sunting ini di Wikidata

Gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau gangguan mental adalah pola psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait dengan stres atau kelainan jiwa yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal manusia.[1] Gangguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku, komponen kognitif atau persepsi yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial manusia. Penemuan dan pengetahuan tentang kondisi kesehatan jiwa telah berubah sepanjang perubahan waktu dan perubahan budaya, dan saat ini masih terdapat perbedaan tentang definisi, penilaian dan klasifikasi, meskipun kriteria pedoman standar telah digunakan secara luas. Lebih dari sepertiga orang di sebagian besar negara-negara melaporkan masalah pada satu waktu pada hidup mereka yang memenuhi kriteria salah satu atau beberapa tipe umum dari kelainan jiwa.

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Penyebab gangguan jiwa berkaitan dengan kondisi psikososial individu maupun kondisi tubuh manusia. Gangguan jiwa terjadi ketika psikososial individu dalam keadaan tidak stabil. Gangguan jiwa yang terjadi akibat kondisi tubuh manusia umumnya disebabkan oleh organ atau sel saraf tertentu yang berhenti berfungsi.[2]

Faktor yang menjadi penyebab gangguan jiwa bersifat beragam dan banyak.[3] Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan gangguan jiwa pada individu, yaitu faktor organobiologi, psikoedukasi dan sosiokultural. Faktor organobiologi berkaitan dengan kelainan pada otak. Kelainan ini dapat ditinjau secara biokimia, fisiologi maupun anatomi. Faktor psikoedukasi berkiatan dengan adanya hambatan perkembangan kepribadian. Sedangkan faktor sosiokultural berkaitan dengan kegagalan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.[4]

Ketidakpastian kondisi ekonomi dan politik cenderung meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa. Prevalensi gangguan jiwa dialami oleh kelas menengah ke bawah maupun kelas menengah ke atas. Gangguan jiwa dalam hal ini disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh ketidakmampuan individu dalam beradaptasi dengan perubahan sosial yang terus berubah.[5]

Stres[sunting | sunting sumber]

Gangguan jiwa dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan individu dalam mengendalikan stres. Penyebab timbulnya stres ini berkaitan dengan persoalan kehidupan yang sulit seperti ekonomi rendah, kekerasan, bencana alam, konflik di masyarakat dan ketidakmampuan beradaptasi dengan teknologi.[6]

Gejala[sunting | sunting sumber]

Gejala: batuk-batuk. Suka robi. Gangguan jiwa memiliki beberapa gejala awal. Gejala-gejala ini berkaitan dengan ketenangan batin dan kesesuaian struktur kepribadian. Beberapa gejala gangguan jiwa yaitu rasa cemas, ketakutan, sikap apatis, kemarahan, kecemburuan, keirian, dan sikap asosial.[7] Penderita gangguan jiwa umumnya tidak menyadari bahwa ia telah mengalami gangguan jiwa. Gejala gangguan jiwa baru disadari setelah tingkat pengendalian diri dari penderitanya sudah sangat berkurang atau telah melakukan perilaku menyimpang.[8]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Dewi sakit jiwa. Gejala awal: menyukai Toji Fushiguro (dia miskin gak pantas disukain) Gangguan jiwa dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu psikosis dan neurosis. Gangguan jiwa psikosis merupakan gangguan jiwa yang terjadi akibat penyakit syaraf. Tingkatan gangguan jiwa psikosis termasuk gangguan jiwa berat. Sedangkan gangguan jiwa neurosis merupakan jenis gangguan jiwa ringan. Gangguan jiwa neurosis juga disebut gangguan jiwa psikoneurosis.[9]

Indikasi seseorang mengalami gangguan jiwa berat adalah gangguan dalam melakukan penilaian atas kenyataan atau pengartian mendalam yang buruk. Gangguan jiwa berat memiliki indikasi yang meliputi halusinasi, ilusi, waham, gangguan pola pikir dan perilaku aneh seperti agresif atau katatonia.[10] Salah satu jenis gangguan jiwa berat adalah skizofrenia.[11]

Skizofrenia[sunting | sunting sumber]

Skizofrenia termasuk salah satu jenis gangguan jiwa yang berat.[12] Penyebab utamanya adalah disfungsi otak.[13] Penderita skizofrenia tidak dapat membedakan antara suatu hal yang berrsifat khayalan dan sesuatu hal yang merupakan kenyataan.[14] Gejala skizofrenia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala nyata dan gejala samar. Gejala nyata meliputi waham, halusinasi, disorganisasi pikiran, serta berbicara dan berperilaku secara tidak teratur. Sedangkan gejala samar meliputi sikap tidak berkeinginan melakukan tindakan apapun, merasa tidak nyaman di lingkungan masyarakat dan menjauhkan diri dari lingkungan tersebut.[15]

Depresi[sunting | sunting sumber]

Depresi merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang umum terjadi.[16] Gejala depresi adalah adanya kesedihan dengan kondisi psikopatologi. Kondisi perasaan dari penderita depresi adalah tidak berdaya dan kehilangan harga diri. Penderita depresi juga mengalami perasaan putus asa, tercela, penolakan, pesimisme dan kebosanan.[17]

Penyakit penyerta[sunting | sunting sumber]

Gangguan jiwa dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik karena kesehatan jiwa dalam keadaan terganggu. Kondisi demikian memberikan kemungkin timbulnya penyakit penyerta pada penderita gangguan jiwa.[18] Pasien gangguan jiwa yang memiliki penyakit fisik dapat memperlihatkan beberapa perilaku setelah mendapatkan tindakan perawatan di ruang rawat inap. Perilaku-perilaku ini antara lain memukul, menggigit, menendang, mencakar, menarik, mendorong dan merusak barang. Pelecehan seksual juga sering terjadi pada perawat wanita selama maupun setelah proses perawatan. Bentuk pelecehan seksual ini berupa tindakan maupun tutur kata yang menyatakan ancaman.[19]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Kehilangan pengendalian diri[sunting | sunting sumber]

Gangguan jiwa diakibatkan oleh gangguan pada otak. Adanya gangguan pada otak menyebabkan emosi, perilaku dan persepsi dari indra juga mengalami gangguan. Akibatnya, penderita gangguan jiwa mengalami stres dan penderitaan. Penderita gangguan jiwa menjadi tidak mampu melakukan penilaian terhadap kenyataan. Pengendalian dirinya juga mengalami penurunan sehingga dapat menimbulkan tindakan yang menyakiti dirinya sendiri atau menyakiti orang lain.[20]

Ketergantungan zat[sunting | sunting sumber]

Beberapa jenis gangguan jiwa dapat menyebabkan ketergantungan zat. Ketergantungan ini dapat terjadi akibat menderita gangguan jiwa yang disertai dengan penyakit penyerta. Kondisi ketergantungan zat menjadi salah satu perhatian dalam penanganan pasien yang menderita gangguan jiwa atau pasien yang menderita ketergantungan zat saja.[21]

Disfungsi keluarga[sunting | sunting sumber]

Penderita gangguan jiwa dapat mempengaruhi para anggota keluarganya karena mereka merupakan orang terdekat dengannya. Keluarga dari pasien penderita gangguan jiwa dapat mengalami stres. Stres ini dapat diakibatkan karena adanya gangguan tugas dan fungsi keluarga yang disebabkan oleh penderita gangguan jiwa.[22]

Disfungsi keluarga dapat terjadi karena penderita gangguan jiwa mengalami penurunan pengendalian emosi dan interaksi sosial. Kondisi ini mempengaruhi keintiman dari pasangan suami-istri. Pernikahan dengan pasangan yang mengalami gangguan jiwa dapat mengakibatkan perceraian antara suami-istri dan depresi dengan tingkatan yang tinggi.[23] Pada kondisi pasien gangguan jiwa yang mengamuk, timbul risiko terjadinya penganiayaan dan penyiksaan.[24]

Keadaan yang memperburuk[sunting | sunting sumber]

Stigma[sunting | sunting sumber]

Gangguan jiwa menimbulkan anggapan negatif karena perilaku penderitanya bersifat merugikan.[25] Di dalam masyarakat tetap ada pemikiran bahwa penderita gangguan jiwa harus dijauhi karena dapat memberikan ancaman kepada orang lain. Kondisi ini memperburuk keadaan penderita gangguan jiwa akibat kurangnya dukungan perawatan. Akibatnya penyakit gangguan jiwa pada pasien dapat kambuh.[26] Pemikiran tersebut disebut dengan stigma. Adanya pandangan demikian membuat masyarakat tidak dapat sepenuhnya menerima keberadaan penderita gangguan jiwa. Masyarakat dengan pemikiran ini akan cenderung melakukan diskredit dan diskriminasi kepada penderita gangguan jiwa.[27]

Ekspresi emosi[sunting | sunting sumber]

Keluarga yang memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa biasanya memberikan ekspresi emosi. Ekspresi emosi ini disampaikan secara verbal maupun non-verbal. Bentuk ekspresinya terbagi menjadi dua macam, yaitu komentar kritis dan keterlibatan emosional secara berlebihan. Komentar kritis dapat dinyatakan melalui sikap memarahi, mengkritik mencela dan menghina penderita gangguan jiwa. Sedangkan keterlibatan emosional secara berlebihan dinyatakan dengan tindakan melindungi, mengatur dan membatasi perilaku penderita gangguan jiwa. Kedua jenis ekspresi emosi ini memperburuk keadaan disabilitas pada penderita gangguan jiwa atau menyebabkan kekambuhan pada penyakitnya.[28]

Penanganan[sunting | sunting sumber]

Penanganan medis[sunting | sunting sumber]

Penanganan pasien gangguan jiwa tidak sama dengan penanganan pasien dengan penyakit fisik. Pada rentang waktu yang sama, dokter hanya dapat menangani pasien gangguan jiwa dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan penanganan pasien dengan penyakit fisik. Dokter harus memiliki waktu yang intensif dalam penanganan pasien gangguan jiwa. Tujuannya agar tidak timbul bias selama proses diagnosis dari gejala penyakit gangguan jiwa.[29] Penanganan pasien gangguan jiwa di rumah sakit untuk penyembuhan dilakukan sejak dini. Hal-hal positif harus diberikan kepada pasien sehingga produktivitas hidupnya meningkat.[30]

Komunikasi terapeutik merupakan salah satu langkah awal dalam penanganan pasien gangguan jiwa. Kegiatan komunikasi ini melibatkan komunikasi antara perawat dengan pasien. Tujuan komunikasi adalah untuk memperjelas dan mengurangi beban pada perasaan dan pikiran pasien. Komunikasi terapeutik berlangsung selama perawat mengadakan komunikasi dengan pasien. Dalam bidang keperawatan, komunikasi terapeutik menjadi salah satu teknik penyembuhan bagi pasien. Pelaksanaannya memerlukan kepercayaan di antara pasien dan perawatan selama asuhan keperawatan. Landasan kepercayaan ini meliputi keterbukaan, saling memahami, pengertian akan kebutuhan, serta harapan dan kepentingan dari pasien dan perawat. Keterangan yang benar sebagai hasil dari komunikasi terpeutik ini dapat membantu meningkatkan keakuratan diagnosis penyakit, penanganan dan pengobatan oleh dokter.[31]

Setelah pasien sembuh melalui penanganan di rumah sakit jiwa, kemampuan interaksi sosialnnya telah pulih. Pasien ini sudah mampu berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Kemandirian dari orang dengan gangguan jiwa diakui ketika dirinya telah memiliki inisiatif untuk melakukan semua aktivitas hariannya secara mandiri. Dirinya juga harus melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa bantuan dari pihak keluarga.[32]

Bantuan aktivitas harian[sunting | sunting sumber]

Penanganan pasien gangguan jiwa juga memerlukan bantuan orang lain dalam melakukan kegiatan harian. Ini disebabkan adanya kondisi disabilitas yang kompleks. Keterbatasan hidup ini disebabkan oleh perubahan pola pikir, pola perilaku dan emosi. Penurunan produktivitas dari penderita gangguan jiwa menjadi beban bagi pemerintah, masyarakat dan keluarga. Penanganannya memerlukan biaya yang mahal. Kondisi gangguan jiwa akan semakin memburuk jika penanganan dilakukan secara tidak efektif.[33]

Penderita gangguan jiwa yang telah memperoleh perawatan di rumah sakit akan melanjutkan perawatan di rumah. Peran keluarga dalam perawatan menjadi hal utama karena terapi berlangsung lama. Keluarga penderita gangguan jiwa harus memiliki kesabaran dan kerja sama dalam merawatnya. Kewajiban keluarga dalam perawatan penderita gangguan jiwa adalah memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga ketenangan jiwanya.[34]

Keluarga merupakan orang terdekat yang memberikan penanganan langsung kepada penderita gangguan jiwa. Semangat keluarga dalam melakukan perawatan terhadap penderita gangguan jiwa dapat diberikan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini dapat memulihkan keadaan penderita gangguan jiwa sekaligus meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keluarga dalam penanganan masalah gangguan jiwa.[35]

Pandangan masyarakat[sunting | sunting sumber]

Suatu masyarakat dapat memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat lain mengenai gangguan jiwa. Penyebabnya adalah adanya kecenderungan dalam meyakini sistem kepercayaan lokal sebagai dasar bagi kepercayaan atas gangguan jiwa. Keputusan individu untuk mencari dan mengadakan tindak lanjut untuk pengobatan gangguan jiwa dipengaruhi oleh norma-norma dan budaya yang berlaku di dalam masyarakat. Perbedaan pandangan ini memberikan dampak buruk khususnya terhadap kepatuhan pencarian pengobatan dan keperawatan gangguan jiwa.[36]

Kondisi global[sunting | sunting sumber]

Gangguan jiwa merupakan salah satu permasalahan global yang serius menurut Organisasi Kesehatan Dunia.[37] Di berbagai wilayah di dunia mengalami peningkatan penderita gangguan jiwa tiap tahunnya.[38] Pada tahun 2009, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia akan mengalami gangguan jiwa. Persentase penderita gangguan jiwa dengan usia dewasa diperkirakan sebesar 10%. Sedangkan 25% lainnya diperkirakan mengalami gangguan jiwa pada usia awal kedewasaan. Rentang usianya antara usia 18–21 tahun.[39] Lalu pada tahun 2014, Organisasi Kesehatan Dunia menyampaikan bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa khususnya penderita depresi.[40] Pada tahun 2016, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa gangguan jiwa menjadi masalah paling serius di dunia. Gangguan jiwa diderita oleh seperempat dari jumlah orang di dunia.[41] Pada tahun 2016, Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa depresi dialami oleh penduduk dunia dengan jumlah sekitar 35 juta orang. Gangguan bipolar diderita oleh 60 juta. Demensia diderita oleh 47,5 juta orang dan skizofrenia diderita oleh 21 juta orang.[42]

Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa hingga tahun 2017, jumlah penderita gangguan jiwa telah mencapai 450 juta orang. Jumlah ini sudah termasuk penderita skizofrenia.[43] Pada tahun 2017, Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa jenis gangguan jiwa yang paling umum dan paling tinggi prevalensinya adalah depresi dan kecemasan. Sedikitnya 200 juta jiwa manusia di dunia menderita kecemasan. Persentasenya sebesar 3,6% dari total populasi dunia. Sementara itu, jumlah penderita depresi sebanyak 322 juta orang di seluruh dunia. Jumlah ini setara dengan 4,4% dari populasi dunia. Hampir separuh pasien gangguan jiwa berasal dari wilayah Asia Tenggara dan Asia-Pasifik. Penyakit depresi menjadi penyumbang kematian utama dengan kasus bunuh diri. Rata-rata jumlah kasus bunuh diri akibat depresi tiap tahunnya adalah 800.000 kejadian.[44] Pada tahun 2017, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa jumlah penderita gangguan jiwa akan meningkat khususnya di negara-negara dengan tingkat pendapatan yang rendah dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.[45] Sedangkan di negara maju, gangguan jiwa menjadi salah satu masalah kesehatan utama selain penyakit degeneratif, kanker dan kecelakaan.[46]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "USU Institutional Repository" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2014-10-30. Diakses tanggal 2014-10-30. 
  2. ^ Herdiyanto, Y. K., dkk. (2017). "Stigma Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa di Bali" (PDF). Inquiry: Jurnal Ilmiah Psikologi. 8 (2): 121. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-05. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  3. ^ Mawaddah, N., dkk. (2020). "Faktor Predisposisi dan Presipitasi Terjadinya Gangguan Jiwa di Desa Sumbertebu Bangsal Mojokerto". Hospital Majapahit. 12 (2): 116–117. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-05. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  4. ^ Praman, I. B. G. A. Y., dan Herdiyanto, Y. K. (2018). "Penerapan Kearifan Lokal Masyarakat Bali yang Dapat Mengurangi Stigma Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa". Jurnal Psikologi Udayana. 5 (2): 227. ISSN 2654-4024. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-05. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  5. ^ Ismail, Muhammad Wirasto (2020). "Perlindungan Hukum Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Khusus Jiwa". Wal'afiat Hospital Journal: Jurnal Nakes Rumah Sakit. 1 (1): 2. ISSN 2722-9017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  6. ^ Restiana, Nia (2019). "Kemampuan Keluarga Dalam Merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Tamansari Kota Tasikmalaya". Jurnal Medika Cendikia. 6 (2): 83. doi:10.33482/medika.v6i2.110. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-23. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  7. ^ Mubasyaroh (2013). "Pengenalan Sejak Dini Penderita Mental Disorder". Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 4 (1): 129–130. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-28. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  8. ^ Gaol, R. L., dan Derang, I. (2021). "Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Kontrol Berobat pada Klien Gangguan Jiwa di Poli Rawat Jalan RSJ Prof. DR. Muhammad Ildrem Medan". Jurnal Online Keperawatan Indonesia. 4 (1): 43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-07. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  9. ^ Fadli, F, dkk. (2019). Maryam, S., dan Fadli, F., ed. Bunga Rampai Apa Itu Psikologi?: Rangkaian Catatan Ringkas Tentang Gangguan Jiwa (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 5. ISBN 978-602-464-072-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-11-05. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  10. ^ Astuti, Mulia (2017). "Kondisi Orang dengan Gangguan Jiwa Pasung, Keluarga dan Masyarakat Lingkungannya di Kabupaten 50 Kota". Sosio Konsepsia. 6 (3): 257. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-21. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  11. ^ Widodo, D., dan Djuwadi, G. (2020). "Determinan Faktor Stres Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa di Rumah". Jurnal Keperawatan Terapan. 6 (2): 96. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-05. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  12. ^ Windarsyah, dkk. (2017). "Sistem Pakar Diagnosa Jenis Gangguan Jiwa Skizofrenia Menggunakan Kombinasi Metode Forward Chainingdan Certainty Factor". JTIULM. 2 (2): 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  13. ^ Wintari, Santi Tri (2020). "Studi Kasus Dinamika Psikologis Pasien dengan Gangguan Mental Psikotik Skizoafektif" (PDF). Psyche 165 Journal. LPPM UPI YPTK Padang. 13 (1): 114. ISSN 2502-8766. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-09-25. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  14. ^ Yosep, I., dkk. (2009). "Pengalaman Traumatik Penyebab Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi" (PDF). MKB. 41 (4): 195. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  15. ^ Darsana, I. W., dan Suariyani, N. L. P. (2020). "Trend Karakteristik Demografi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (2013-2018)". Archive of Community Health. 7 (1): 41–42. doi:10.24843/ACH.2020.v07.i01.p05. ISSN 2527-3620. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  16. ^ Nuryati dan Kresnowati, L. (2018). Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit dan Masalah Terkait III: Anatomi, Fisiologi, Patologi, Terminologi Medis dan Tindakan pada Sistem Panca Indra, Saraf, dan Mental. Jakarta Selatan: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. hlm. 4. 
  17. ^ Effendy, Elmeida (2021). Amin, M. M., dkk., ed. Gejala dan Tanda Gangguan Psikiatri (PDF). Medan: Yayasan Al-Hayat. hlm. 112–113. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-10-04. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  18. ^ Livana PH, dkk. (2017). "Gambaran Penyakit Peserta Pasien Gangguan Jiwa" (PDF). Jurnal Keperawatan. 5 (2): 116. ISSN 2338-2090. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-05. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  19. ^ Mukarromah, I., dkk. (2017). "Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien dengan Masalah Fisik Disertai Gangguan Jiwa di Ruang Bedah: Studi Fenomenologi". Medica Majapahit. 9 (2): 144. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-05. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  20. ^ Endriyani, S., dkk. (2016). "Hubungan Pengetahuan Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Gangguan Jiwa di Poliklinik Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang". Jurnal Kesehatan. XI (2): 395. ISSN 0126-107X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-29. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  21. ^ Lesmana, Cokorda Bagus Jaya (2017). Sudira, P. G., dan Saraswati, M. R., ed. Buku Panduan Belajar Koas: Ilmu Kedokteran Jiwa (PDF). Denpasar: Udayana University Press. hlm. 11. ISBN 978-602-294-182-8. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-08-14. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  22. ^ Santosius, dkk. (2021). "Gambaran Tingkat Stres Keluarga Penderita Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesma Kabupaten Kutai Barat". Jurnal Keperawatan Wiyata. 2 (1): 2–3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  23. ^ Rizqa, A. A., dkk. (2020). "Gambaran Keberfungsian Keluarga Penderita Gangguan Jiwa" (PDF). Psychiatry Nursing Journal. 2 (2): 46. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  24. ^ Mugianti, S., dan Suprajitno (2014). "Predikis Penderita Gangguan Jiwa Dipasung Keluarga". Jurnal Ners. 9 (1): 118. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  25. ^ Varamitha, S., dkk. (2014). "Stigma Sosial pada Keluarga Miskin dari Pasien Gangguan Jiwa". Jurnal Ecopsy. 1 (3): 106. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  26. ^ Yuliant, T. S., dan Wijayanti, W. M. P. (2016). "Hubungan Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pengetahuan tentang Kesehatan Jiwa dengan Sikap Masyarakat terhadap Pasien Gangguan Jiwa di RW XX Desa Duwet Kidul, Baturetno, Wonogiri". Kosala JIK. 4 (1): 2. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-28. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  27. ^ Sulistyani, E. S., dkk. (2015). "Hubungan antara Karakteristik Demografi dengan Stigma Publik terhadap Penderita Gangguan Jiwa di Dusun Demen Kecamatan Pakem Sleman Yogyakarta". Media Ilmu Kesehatan. 4 (1): 37–38. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-29. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  28. ^ Gani, A. (2019). "Dukungan Keluarga terhadap Kekambuhan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo di Magelang". Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang. 14 (1): 60. ISSN 2654-3427. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-29. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  29. ^ Prasistayanti, N. W. N., dkk. (2017). "Sistem Pendukung Keputusan Diagnosa Penyakit Gangguan Jiwa dengan Metode Dempster-Shafer" (PDF). Janapati. 6 (3): 219. ISSN 2089-8673. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-05. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  30. ^ Massuhartono dan Mulyanti (2018). "Terapi Religi Melalui Dzikir Pada Penderita Gangguan Jiwa". Journal of Islamic Guidance and Counseling. 2 (2): 202–203. ISSN 2442-8795. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-01. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  31. ^ Kartikasari, R., dkk. (2019). "Komunikasi Terapeutik Perawat terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Ruang Tenang Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat dan Klinik Utama Kesehatan Jiwa Hurip Waluya Sukaja di Bandung Jawa Barat". Jurnal Kesehatan Aeromedik. V (2): 3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-02. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  32. ^ Khamida (2018). "Dukungan Keluarga dengan Kemandirian Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)". Wirajaya Medika. 8 (2): 3. doi:10.24929/fik.v8i2.645. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-03. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  33. ^ Lestari, R. dlkk. (2020,). "Review Sistematik: Model Pemulihan Penderita Gangguan Jiwa Berat Berbasis Komunitas". ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan. 1 (2): 124. doi:10.37148/arteri.v1i2.44. ISSN 2715-4432. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-11-28. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  34. ^ Widodo, Dyah (2018). "Lamanya Klien Mengalami Gangguan Jiwa dengan Stres Keluarga dalam Merawat Klien di Rumah". Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia. 4 (2): 90. ISSN 2615-5516. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-05. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  35. ^ Hertiana dan Saleh, A. (2019). "Pengaruh Peran Edukator Perawat Perkesmas Terhadap Kemandirian Keluarga dalam Merawat Klien Gangguan Jiwa". Celebes Health Journal. 1 (2): 79. ISSN 2657-2281. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-03. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  36. ^ Naibili, M. J. E., dan Rochmawati, E. (2019). "Keyakinan Kesehatan dan Persepsi Masyarakat tentang Gangguan Jiwa". Jurnal Penelitian Keperawatan. 5 (2): 89. ISSN 2407-7232. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-25. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  37. ^ Akbar K., F., dkk. (2020). "Gambaran Stigma Masyarakat terhadap Pasien Gangguan Jiwa di Desa Buku". Jurnal Perawat Indonesia. 4 (3): 447. ISSN 2548-7051. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-07. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  38. ^ Kartikasari, R., dan Lestari, I. (2018). "Mekanisme Koiping Keluarga dengan Anggota Keluarga yang Menderita Gangguan Jiwa (Skizofrenia, Depresi dan Cemas) di Poliklinik Psikiatri RSAU dr. M. Salamun". Jurnal Kesehatan Aeromedika. IV (2): 66. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  39. ^ Rinawati, F., dan Alimansur, M. (2016). "Analisa Faktor-Faktor Penyebab Gangguan Jiwa Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Stres Stuart". Jurnal Ilmu Kesehatan. 5 (1): 34. ISSN 2303-1433. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-06. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  40. ^ Kusumawaty, I., dkk. (2020). "Penyegaran Kader Kesehatan Jiwa Mengenai Deteksi Dini Gangguan Jiwa dan Cara Merawat Penderita Gangguan Jiwa". Jurnal of Community Engagement in Health. 3 (1): 26. ISSN 2620-3758. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-26. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  41. ^ Usraleli, dkk. (2020). "Hubungan Stigma Gangguan Jiwa dengan Perilaku Masyarakat Pada Orang dengan Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Karya Wanita Pekanbaru" (PDF). Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 20 (2): 354. doi:10.33087/jiubj.v20i2.940. ISSN 1411-8939. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  42. ^ Rokayah, C., dan Rima, P. M. (2020). "Relaps pada Pasien Skizofrenia". Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa. 3 (4): 461. ISSN 2621-2978. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-10-07. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  43. ^ Indrayani, Y. A., dan Wahyudi, T. (2019). Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia (PDF). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. hlm. 2. ISSN 2442-7659. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-07-17. Diakses tanggal 2022-03-05. 
  44. ^ Kurniawan, D., dkk. (2020). Keperawatan Jiwa Keluarga: Terapi Psikoedukasi Keluarga ODGJ (PDF). Batu: Literasi Nusantara. hlm. 1. ISBN 978-623-6841-05-1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-03-06. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  45. ^ Fadilla, S. N., dkk. (2021). "Gambaran Dukungan Sosial Masyarakat Terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa". Health Care: Jurnal Kesehatan. 10 (2): 279. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-29. Diakses tanggal 2022-03-06. 
  46. ^ "Intisari Hubungan Peran Serta Keluarga Pasien Gangguan Jiwa dengan Perawatan Pasca Hospitalisasi di Desa Gedangan Grogol Sukoharjo". Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia. 7 (2): 104. 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-29. Diakses tanggal 2022-03-06. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]