Saidullah dari Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 April 2013 02.39 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q10975742)
Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah
Ratu Anom
Pangeran Kasuma Alam
Raden Kasuma Alam
Berkuasa1644 1660
PendahuluSultan Inayatullah
PenerusSultan Rakyatullah
SultanLihat daftar
WangsaDinasti Banjarmasin
AyahSultan Inayatullah
AnakRaden Bagus/Suria Angsa (anak Nyai Wadon)
♂ Raden Basus/Suria Negara (anak Nyai Wadon Raras)
♀ Gusti Gade (anak Nyai Wadon Gadung)

Sultan Sa'idullah[1] (Sultan Sa'idillah[2] ) alias Ratu Anom[1] atau Sultan Ratu adalah Sultan Banjar tahun 1647-1660. Sultan Saidullah merupakan gelar yang dipakai dalam khutbah, sedangkan gelar yang dimasyhurkan/dipopulerkan adalah Ratu Anom. Sesuai gelarnya Ratu Anom yang bermakna raja yang masih muda, maka dalam menjalankan kekuasaannya dia sangat tergantung dengan pamannya Panembahan di Darat yang menjabat mangkubumi semenjak almarhum Sultan Inayatullah (ayahandanya). Setelah menjabat mangkubumi selama lima tahun Panembahan di Darat mangkat, kemudian digantikan oleh Ratu Bagawan (Raja Kotawaringin I) yang menjabat mangkubumi selama lima tahun pula. Ratu Bagawan mengundurkan diri karena alasan uzur maka kemudian jabatan mangkubumi diserahkannya kepada Pangeran Dipati Tapesana yang bergelar Pangeran Dipati Mangkubumi. Ketiga orang tersebut merupakan paman Ratu Anom. Masa kekuasaan Ratu Anom selama lima belas tahun.[1] Jarak waktu antara mangkatnya Sultan Inayatullah hingga dia ditabalkan sebagai Sultan Banjar adalah satu tahun. Selama masa tersebut kekuasaan "dipegang" oleh mangkubumi.

Menurut tradisi suksesi kesultanan yang berjalan normal, di antara putera-putera dari seorang Sultan yang sedang berkuasa, salah seorang puteranya kelak akan dilantik sebagai Sultan dan seorang yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) menggantikan mangkubumi sebelumnya yang meninggal dunia. Dalam suksesi yang berjalan wajar semestinya pengganti Panembahan di Darat (Pangeran Dipati Anom ke-1) sebagai mangkubumi adalah saudara Sultan Saidullah yaitu Pangeran Kasuma Lalana/Pangeran Dipati Anom (ke-2), tetapi hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kelak pada tahun 1663 Pangeran Dipati Anom (ke-2) mengambil alih dengan paksa jabatan Pangeran Dipati Mangkubumi/Pangeran Dipati Tapesana yang saat itu menjadi Sultan Banjar bergelar Sultan Rakyatullah (1660-1663).

Silsilah Keluarga

Sultan Saidullah merupakan keturunan ke-11 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-11 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata (nama lahir Raden Putra) dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (gadis pribumi yang menjadi saudara angkat Lambung Mangkurat).

Semasa muda namanya adalah Raden Kasuma Alam. Ayahnya adalah Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha (ke-1), raja Banjar kelima. Ibundanya adalah Nyai Mas Tarah binti Tuan Haji Umar. Setelah menikah Raden Kasuma Alam dikenal sebagai Pangeran Kasuma Alam. Pada masa itu Raden merupakan gelar bagi putra Raja tetapi setelah menikah dipanggil Pangeran. [1]

Keturunan

Mula-mula Pangeran Kasuma Alam menikah dengan permaisuri sepupunya Putri Intan, puteri dari pasangan Pangeran Singasari/Raden Timbako dengan Ratu Hayu/Putri Busu, tetapi kemudian bercerai. Perceraian tersebut terjadi bersamaan pada saat pengiriman persembahan terakhir kepada Kesultanan Mataram pada tahun 1641 masih dalam pemerintahan Marhum Panembahan/Sultan Mustainbillah. Kemudian Pangeran Kasuma Alam mengambil beberapa gundik (selir). Tiga tahun setelah dilantik menjadi sultan ia mengambil seorang gundik/Selir bernama Nyai Wadon yang kemudian meninggal ketika melahirkan puteranya yang bernama Raden Bagus.[1] Raden Bagus kelak dilantik oleh Pangeran Tapesana (Sultan Rakyatullah) menjadi Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma.[3] Dari selir bernama Nyai Wadon Raras, Pangeran Kasuma Alam memperoleh putera dinamakan Raden Basus. Raden Basus inilah yang kelak ditunjuk sebagai Raja Tanah Bumbu ke-1 dengan gelar Pangeran Dipati Tuha. Sedangkan dengan Nyai Wadon Gadung, Pangeran Kasuma Alam memperoleh seorang anak perempuan bernama Gusti Gade. Ketika Ratu Anom mangkat pada tahun 1660, Raden Bagus sudah melewati usia kepinggahan (tanggal gigi) sedangkan Raden Basus baru mulai kepinggahan.[1]

Menjadi Kepala Negara

Dengan mangkatnya ayahnya Sultan Inayatullah/Ratu Agung, Pangeran Kasuma Alam naik tahta sebagai Sultan Banjar (kepala negara) dengan dilantik oleh pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma yang menjadi Raja Kotawaringin (bahasa Banjar : Ratu Kota Waringin), yang sengaja datang dari Kotawaringin (Kalimantan Tengah) setelah mendengar mangkatnya kakaknya. Pangeran Kasuma Alam ditabalkan sebagai Sultan Banjar dengan gelar dalam khutbah Sultan Saidullah atau gelar yang dimasyhurkan adalah Ratu Anom.[1]

Mangkubumi (kepala pemerintahan) diputuskan dijabat oleh pamannya, Pangeran di-Darat dengan gelar Panembahan di-Darat. Panembahan di-Darat ini memiliki wewenang kekuasaan politik negara dan pemerintahan yang besar, sehingga Sultan Saidullah menjadi raja boneka belaka. Ketika Panembahan di-Darat meninggal setelah menjabat mangkubumi selama 5 tahun, penggantinya adalah Ratu Kota Waringin (Pangeran Dipati Anta-Kasuma) yang juga menjabat selama 5 tahun kemudian mengundurkan diri karena uzur. Kemudian Pangeran Dipati Anta-Kasuma mengusulkan mangkubumi baru, adik tirinya yaitu Raden Halit/Pangeran Dipati Tapasena yang dilantik dengan gelar Pangeran Dipati Mangkubumi. [1]

Sultan Saidullah mangkat pada tahun 1660. Tiga tahun sebelumnya pamannya Ratu Kota Waringin yang bergelar Ratu Bagawan juga telah mangkat. Atas persetujuan Ratu Hayu, satu-satunya anak almarhum Sultan Mustain Billah yang masih hidup dan disetujui pembesar istana lainnya kemudian Pangeran Dipati Mangkubumi dilantik menggantikan Sultan Saidullah sebagai Wali Sultan dengan gelar Sultan Ri'ayatullah atau Pangeran Ratu, karena ketika itu putera dari Sultan Saidullah belum dewasa. Swargi (= almarhum) Sultan Saidullah memiliki dua orang putera dari selir yaitu Raden Bagus dan Raden Basus yang berhak menggantikannya sebagai raja.[1]

Perang Anti VOC tahun 1638 di Masa Sultan Inayatullah

Pada tanggal 4 September 1635 telah dilakukan kontrak dagang antara VOC dengan kesultanan Banjar. Isi kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjarmasin untuk menaklukkan Pasir, dan melindungi Kesultanan Banjar terhadap serangan Mataram.

Namun kedatangan kapal Pearl Inggris di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory tanggal 17 Juni 1635 menambah masalah baru, sebab Inggris juga meminta diperbolehkan secara resmi, untuk ikut berdagang dan mendirikan loji, yang bagi VOC tentunya membahayakan eksistensinya di Banjarmasin.

Sultan memberi izin pada VOC membangun loji, sedangkan terhadap Inggris Sultan sangat marah. Hal ini disebabkan Inggris telah menghasut orang Makassar, agar menyerang Banjarmasin. Penolakan Sultan atas Inggris tidak seluruhnya disetujui kerabat istana Banjarmasin, sehingga menimbulkan klik-klik istana. Sebagian anggota Dewan Mahkota memihak Inggris seperti Pangeran Marta Sahary, Raja Kotawaringin dan Raja Sukadana.

Klik pro Inggris ini bertambah besar karena didorong keinginan terhadap perdagangan yang bebas, sehingga sikap ini menyebabkan munculnya Contract Craemer Opperkoopman VOC yang memaksakan agar kontrak tahun 1635 tetap diberlakukan.

Pelayaran perdagangan Banjar ke Batavia diberi VOC surat pas, sedangkan ke Cochin Cina tidak diberikan meskipun Sultan Banjar memintanya. Keadaan ini menunjukkan sikap VOC telah memaksakan monopoli perdagangannnya, hingga tidak mengizinkan bagi pedagang Jawa, Cina, Melayu, Makassar untuk menjalankan perdagangannya dengan kesultanan Banjarmasin.

Ketika Contract Craemer menolak permintaan Sultan Banjar untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC, pada tahun 1638. Sebanyak 108 orang Belanda, 21 orang Jepang dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal VOC. Peristiwa ini sangat merugikan VOC. Kerugian VOC ditaksir sebesar 160.000,41 real. Dalam hal ini hanya 6 orang Belanda di Martapura yang selamat, karena mau di-Islamkan secara paksa. Pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan Jepang tersebut, selain dilatarbelakangi faktor ekonomi juga karena faktor perbedaan agama dan adat-istiadat orang-orang Belanda yang tidak beradaptasi dengan adat-istiadat di Banjarmasin. Dan juga perilaku VOC yang selalu ingin monopoli (bahasa Banjar : kuluh) dalam perdagangan lada.

Taktik yang dilakukan kesultanan Banjarmasin untuk melepaskan diri dari politik VOC, dan menghindar dari pedagang-pedagang Inggris serta Portugis, menyebabkan hubungan Banjarmasin dengan Mataram menjadi normal kembali. Karena taktik tersebut, sehaluan dengan sikap Mataram yang anti terhadap para pedagang asing, khususnya VOC.

Surat Belanda

Kejadian tahun 1638 sangat merendahkan martabat bangsa Belanda dan Belanda berusaha menghancurkan Kerajaan Banjar sebagai balas dendam terhadap pembantaian orang-orang Belanda tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda adalah menyebarkan surat kepada Raja-raja Nusantara yang selama ini bersahabat baik dengan Belanda.

Surat yang ditujukan kepada Raja-raja Nusantara itu berbunyi, antara lain isinya : Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (Raad van Indie) dengan ini memberitahukan kepada Raja-Raja Nusantara, terutama di daerah-daerah VOC menjalankan perdagangan, bahwa :

  1. Antara VOC dan Kerajaan Banjar pada tahun 1635 telah diadakan suatu kontrak dagang.
  2. Kontrak itu menyatakan diberikannya monopoli lada kepada VOC dengan penetapan harga 5 real sepikul dan bea cukai 7% untuk Sultan. Di Martapura dibuat sebuah loji yang dengan orang-orang VOC beserta barang dagangannya dibawah perlindungan Sultan. VOC mengerahkan sebuah kapal perang untuk menjaga muara sungai Banjar terhadap serangan Mataram.
  3. Bahwa Sultan telah melakukan tindakan mengingkari kontrak 1635 itu dengan tindakan kekerasan pada tahun 1635 menghancurkan loji di Martapura serta membunuh orang-orang Belanda serta merampas milik VOC 100.000 real.
  4. Karena itu VOC akan membalas dengan segala kekuatannya dan minta bantuan kepada raja-raja Nusantara yang bersahabat dengan dia, bukan menghentikan bantuan senjata saja, melainkan diminta pula agar raja-raja Nusantara ini melarang rakyatnya berdagang ke Martapura, sebelum kota itu menjadi puing-puing dan hancur berantakan dan dinasti raja-raja musnah. Barulah sesudah itu VOC akan berdamai dengan rakyat Kerajaan Banjar.

Utusan ke Makassar

Tindakan Kerajaan Banjar dengan cara yang spesifik ini untuk melepaskan diri dari segala ikatan monopoli, dilanjutkan dengan usaha mengajak Sultan Makassar bekerjasama menghancurkan perdagangan Belanda. Sultan mengirim utusan ke Sultan Makassar dipimpin oleh nakhoda Bahong.

Belanda sangat marah atas tindakan Kerajaan Banjar ini, dan membuat maklumat yang ditujukan kepada Raja-Raja Nusantara yang disebut insinuasi mengenai pembunuhan orang-orang Belanda oleh Raja Martapura. Kata-kata yang kasar dan kemarahan mendalam disebutkan dalam surat itu :

Kepada pemimpin ekspedisi penghukum Banjarmasin diberikan instruksi cara menyiksa yang seteliti-telitinya dan perintah itu ditutup dengan kalimat:

Ekspedisi Penghukuman I

Ekspedisi penghukuman atas Banjarmasin itu berupa blokade yang tak berarti dalam melakukan tugasnya. Mereka hanya menemukan dan menangkap 27 orang Banjar laki-laki dan perempuan yang tak mengerti persoalan politik dari perahu nelayan yang sedang berlayar. Orang-orang yang ditangkap inilah yang menerima instruksi penyiksaan itu dengan siksaan yang paling keji tak berperikemanusiaan sesuai dengan instruksi Batavia yaitu dengan membunuh dan menyiksa tanpa membedakan laki-laki, perempuan maupun anak-anak. Mereka disiksa dengan cara memotong hidung, telinga, tangan kanan, kaki kiri, mencungkil mata kanan, memotong sebagian lidah, memotong kelamin dan merampas yang dilakukan oleh awak kapal de Serpant. Setelah disiksa orang-orang ini dikirim ke darat, sehingga menimbulkan panik penduduk setempat.[4]

Ekspedisi Penghukuman II

Pada tahun 1638 itu pula VOC-Belanda mengirim ekspedisi penghukuman yang kedua dengan tugas yang sama, tetapi juga gagal karena perlawanan Kesultanan Banjarmasin cukup kuat. Tragedi pembantaian terhadap orang-orang Belanda ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Saidullah atau Ratu Anom (1637-1642). Ancaman Belanda terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana, hanya tinggal ancaman belaka, Belanda tidak mampu berbuat lebih banyak. Kemudian Belanda mengubah taktik untuk menutupi kekalahannya dengan mengajukan tuntutan kepada Sultan Banjar sebesar 50.000 real sebagai ganti rugi atas tragedi tahun 1638 itu, namun ditolak Sultan.

Penghentian permusuhan

Antonio van Diemen

Karena beberapa cara yang dilakukan tidak berhasil, maka pada tahun 1640 Gubernur Jenderal Antonio van Diemen memerintahkan agar permusuhan dengan Kesultanan Banjar dihentikan. Usaha Belanda mendekati Kesultanan Banjar dengan hanya menuntut 50.000 real sebagai ganti rugi kejadian tahun 1638 serta akan melupakan apa yang terjadi, sama sekali tidak mendapat layanan dari Kesultanan Banjar, sehingga akhirnya Belanda mengalah agar kontrak dagang yang lebih menitik-beratkan pada keuntungan dagang dari pada lainnya, yang penting bagi Belanda hubungan dengan Kesultanan Banjar perlu dipulihkan agar lada kembali diperoleh.

Lebih-lebih Belanda merasa khawatir dengan kehadiran Inggris di Banjarmasin, kalau Belanda tetap berpegang pada prinsip semula untuk menghukum Banjarmasin. Sikap lunak Belanda inilah yang menyebabkan Belanda berhasil membuat kontrak dagang dengan Kesultanan Banjar, pada 18 Desember 1660. Kontrak dibuat dan ditandatangani oleh sultan sendiri yang saat itu dijabat oleh Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah).


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405. ISBN 983-62-1240-X
  2. ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1986)
  3. ^ Menurut naskah Hikayat Banjar koleksi Belanda dari University Library, Leiden: Codex Or. 1701
  4. ^ (Indonesia) Gusti Mayur, Perang Banjar, Rapi, 1979


Didahului oleh:
Ratu Agung
Sultan Banjar
1644-1660
Diteruskan oleh:
Adipati Halid