Ratu Dewata

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ratu Dewata adalah raja dari Kerajaan Sunda yang memerintah di abad ke-16 M, menggantikan ayahnya Surawisesa. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perkasa dan pemberani, Ratu Dewata berwatak sangat alim dan taat kepada agama serta cenderung mengabaikan urusan kemiliteran negara. Sebagai penganut Hindu yang taat ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, yaitu tapa dengan konsumsi makan hanya buah-buahan dan minum susu layaknya vegetarian.

Resminya perjanjian perdamaian Sunda-Cirebon masih berlaku di era pemerintahannya, namun sejarawan menilai Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tonggak negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang memahami seluk-beluk politik.

Perjanjian perdamaian Demak-Pajajaran-Cirebon[sunting | sunting sumber]

Hasanuddin dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian Demak-Sunda-Cirebon di tahun 1531 M, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya (Susuhunan Jati) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur sungai Citarum. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan Pakuan Pajajaran. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikan sepanjang abad ke-18 melalui catatan khusus Belanda, terutama gerakan dari pasukan bentukan Syekh Yusuf.

Pertahanan Pakuan Pajajaran[sunting | sunting sumber]

Menurut Carita Parahyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibu kota Pakuan dari musuh yang tambuh sangkane (tidak dikenal asal-usulnya), namun Ratu Dewata masih beruntung karena masih didampingi para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran melawan Demak dan Cirebon. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu bertahan menghadapi serangan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan kakeknya Sri Baduga Maharaja menyebabkan serangan kilat dari Banten (dan mungkin juga dari Kalapa) tidak mampu menembus gerbang Pakuan. Alun-alun Empang (sekarang Kec. Bogor Selatan) pernah menjadi Ranamandala (medan tempur) dari pasukan Banten & Sunda yang mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya.

Pasukan penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi tercatat dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Terdapat dua faktor yang membuat benteng Pakuan sangat kokoh dari serangan musuh. Pertama adalah usaha dari Hariang Banga, raja Sunda ke-4 yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan di bawah kekuasaan Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan raja Manarah di Galuh. setelah berjuang selama 20 tahun dan berhasil, ia memulai pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian kokohnya benteng Pakuan diperkuat dan diperluas pada zaman Sri Baduga Maharaja seperti yang bisa dituliskan pada kitab Pustaka Nagarakretabhumi I/2.

Setelah gagal menaklukkan benteng kota Pakuan, pasukan penyerbu yang tidak dikenal ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di Sumedang, Ciranjang dan Jayagiri yang ketika zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan (kependetaan, mirip dengan Biara saat ini) yang dilindungi oleh negara.

Proyek telaga besar Maharena Wijaya[sunting | sunting sumber]

"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibu kota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"

Amateguh kedatwan (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini adalah kota tempat tinggal raja. Jadi Pakuan disini berarti ibu kota.

Tipe kota Lemah duwur dan Garuda ngupuk[sunting | sunting sumber]

Selain hal di atas, lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut lemah duwur atau lemah luhur (dataran tinggi, oleh Van Riebeeck disebut bovenvlakte). Pada posisi ini, pasukan Pakuan tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. Pasir Muara di Kec. Cibungbulang merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga jalur sungai pernah dijadikan pemukiman lemah duwur sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi. Pakuan didirikan di lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing sungai Ci Liwung, Ci Sadane dan Ci Paku merupakan pelindung alamiah dari kota ini.

Tipe pemukiman lemah duwur biasanya dipilih oleh masyarakat yang hidup dengan latar belakang kebudayaan ngahuma (berpindah ladang). Kota-kota modern dengan tipe ini contohnya Bogor, Sukabumi dan Soreang. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasar pengembangan perkebunan. Tipe kota lainnya adalah apa yang disebut garuda ngupuk. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah menetap. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan dilindungi oleh pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya Garut, Bandung dan Tasikmalaya. Sumedang memenuhi dua persyaratan tipe kota di atas, dimana Kutamaya dipilih oleh Pangeran Santri sebagai tempat tinggal sesuai dengan idealisme pesisir khas Cirebon karena ia berasal dari Sindangkasih (Majalengka) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru di kemudian waktu tipe kota Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota Sumedang sekarang.

Kritik[sunting | sunting sumber]

Sikap Ratu Dewata yang sangat alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidaklah tepat karena sebagai raja ia harusnya memerintah dengan baik. Menurut sejarawan, tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah ia turun takhta dan menempuh kehidupan manurajasuniya (penuh beribadah setelah turun takhta) seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan melalui sindiran kepada para pembaca:

Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan (Maka berhati-hatilan raja yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).

Penulis kisah kuno tersebut menilai bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan dimana kerajaannya terus melemah selama ia memerintah. Penulis kemudian berkomentar pendek, Samangkana ta precinta (begitulah zaman susah).

Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Surawisesa
Raja Sunda-Galuh
15351543
Diteruskan oleh:
Ratu Sakti