Poncke Princen Human Rights Prize

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 18 Januari 2012 08.39 oleh ArdBot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-sistim +sistem))

Poncke Princen Human Rights Prize adalah penghargaan yang diberikan untuk orang atau lembaga yang berani mengambil inisiatif pertama kali untuk melindungi dan memajukan HAM baik dalam bentuk aksi yang konsisten mempromosikan, memperjuangkan HAM dan nilai-nilai kemanusiaan maupun kesadaran penuh untuk menghentikan aksi kekerasan sistematik termasuk memberikan inisiasi pada proses perdamaian. Sesuai kriteria tersebut, penghargaan ini di ambil dari figur HJC Princen yang di catat sejarah sebagai orang yang mampu dan konsisten menunjukan kepeduliaannya terhadap martabat umat manusia, perdamaian dan hak asasi sejak ia remaja.

Penghargaan ini perlu dibuat untuk melestarikan semangat dan keberanian dalam menegakan HAM. Karena upaya penegakan HAM di Indonesia tidak hanya membutuhkan keberanian tapi juga konsistensi menempuh bahaya. Oleh karena itu, penegakan HAM Indonesia benar-benar membutuhkan lebih banyak pioneer yang memperjuangkan penegakan HAMseperti yang telah dilakukan Poncke pada masa lalu. Untuk alasan itu pula, penghargaan ini akan mendorong pencarian dan mendukung aktivitas pelopor penegakan HAM di seluruh tanah air setiap tahunnya secara terus menerus.

Nominator 2007

Poncke Princen Prize for Human Rights Life Time Achievement 2007

Melengkapi berbagai pengakuan yang telah diberikan kepada Alm.Munir, LPHAM mencoba memperkuat dedikasi beliau sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, Alm. Munir di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir HAM sebagaimana Poncke juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini diberikan karena Munir tidak saja memiliki komitmen untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi kemajuan HAM di Indonesia tapi lebih dari itu upayanya sedikit banyak telah memberi andil terhadap perubahan sistem hukum dan [po[litik]] Indonesia yang lebih peduli terhadap HAM dan demokrasi. Atas pertimbangan itu kami memilihnya sebagai suatu pencapaian besar sepanjang hayat (life time achievement) terhadap pemajuan HAM di Indonesia.

Poncke Princen Prize for Human Rights Promotor dan Educator 2007

Sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, usaha Inu yang telah mengungkap kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh institusi IPDN di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini diberikan karena konsistensi dan komitmennya untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi terhentinya kekerasan yang menginjak-injak HAM di STPDN/IPDN dan demi perubahan sebuah institusi pendidikan yang bertujuan mulia di Indonesia yang upayanya sedikit banyak telah memberi andil terhadap perubahan sistem hukum dan politik Indonesia yang lebih peduli terhadap HAM dan demokrasi walau baru hanya terfokus pada STPDN. Atas pertimbangan itu kami melihat upaya tersebut sebagai suatu kepeloporan yang penuh risiko bagi pendidikan dan promosi hak asasi manusia (Human Rights Promotor dan Educator) dan terhadap pemajuan HAM di Indonesia.

Poncke Princen Prize for Human Rights Campaigner 2007

Cerita seputar penayangan “Siksa di Balik Tembok STPDN” (21 September 2003), bermula dari sebuah telepon yang mampir ke ponsel seorang awak redaksi Liputan 6 SCTV. Kala itu STPDN menjadi objek cibiran publik ketika salah seorang mahasiswa atau praja bernama Wahyu Hidayat meninggal pada 2 September 2006. Selang beberapa hari pasca kematian praja asal Bogor ini, seseorang mengatakan via telepon bahwa dia memiliki VCD tentang proses pembinaan di kampus tersebut.

Informasi ini tentu saja tak langsung kami kunyah. Ada dilema apakah kaset ini perlu diambil atau tidak. Maka, dengan seluruh pertimbangan yang cukup matang, kami merasa kaset itu perlu kami ambil. Tidak ada yang bisa memastikan apa isi kaset itu, namun naluri kami mengatakan kaset ini bisa bermakna sesuatu.

Tim News Room selalu kontak dengan orang yang menjanjikan gambar itu. Dalam pada itu, redaksi juga menurunkan kontributor untuk bertemu dengan pihak yang akan mengantarkan kaset yang dimaksud.

Diluar dugaan, isi kaset itu membuat kami semua terhenyak. Memang, kami sudah punya firasat bahwa kaset itu bisa jadi ‘sesuatu’ tapi setelah melihat isi kaset itu, kami tetap saja terkejut.

Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Redaksi Liputan 6 sepakat untuk menyiarkan gambar itu dalam acara “Siksa di Balik Tembok STPDN”. Adegan-adegan di situ adalah rekaman tentang “ritual” penyematan lencana drum band kepada praja STPDN pada Juni 2003, tiga bulan sebelum Wahyu Hidayat tewas.

Kamipun membuka seluruh jaringan komunikasi dengan masyarakat yang tahu seperti apa suasana di STPDN, atau paling tidak mereka yang berani memberikan kesaksian. SMS, email, faks dan telepon tak berhenti dan terus sambung menyambung. Kantor kamipun seolah tak pernah berhenti kedatangan tamu dari pihak keluarga yang ingin memberikan kesaksian.

Namun, tentu saja ada pihak yang merasa hal ini tidak pas. Jajaran Depdagri dibawah pimpinan Hari Sabarno mengadukan SCTV ke Dewan Pers. Melalui Sekjen Depdagri, Siti Nurbaya berkirim surat ke Dewan Pers. Surat itu berisi keberatan atas tayangan kasus penganiayaan di SCTV. Hanya saja Mendagri (saat itu) Hari Sabarno berkilah. Menurutnya, somasi itu bukan untuk menyudutkan SCTV, melainkan mendesak Dewan Pers agar membuat standar penayangan berita televisi.

2 April 2007. Sejarah berulang. Kembali seorang praja yunior meninggal akibat penganiayaan dari para seniornya. Kali ini Cliff Muntu asal Sulawesi Utara. Dalam kasus kematian Cliff Muntu, redaksi Liputan 6 meneruskan tradisi pemberitaan yang berani, tegas dan lantang. Semua itu didasari satu pandangan bahwa satu nyawa terlalu mahal dibandingkan sebuah institusi pendidikan yang tak pernah jera!

Sejak mendapat kabar bahwa Cliff Muntu tewas, Liputan 6 adalah media pertama yang melakukan telewicara dengan rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi. Dalam dialog dengan Liputan 6, Selasa siang, 3 April 2007, kembali tercium kebohongan dari petinggi kampus tersebut. Nyoman menyebut bahwa Cliff meninggal karena menderita penyakit lever akut. Tapi, satu penjelasan dari otoritas IPDN amatlah meragukan. Apalagi keluarga Cliff di Manado menangkis kalau anaknya menderita lever akut.

Dari RS Islam Bandung, kami mengumpulkan informasi bahwa Cliff sudah meninggal ketika tiba di RS tersebut. Liputan 6 mewawancarai Nyoman. Kali ini usai dipanggil Presiden SBY di Jakarta. Saat itu Nyoman, masih menutup-nutupi penyebab kematian Cliff. Dalam wawancara ketiga dengan Liputan 6, Nyoman menyebut bahwa pihak IPDN kecolongan. Dia mengaku tak bisa mengawasi proses “pembinaan” dari para praja senior IPDN, yang biasanya melaksanakan ritual kekerasan di malam hari.

Tak berhenti di situ, Liputan 6 terus menginvestigasi penyebab kematian Cliff Muntu. Dari sini, Liputan 6 memperoleh rekaman perbincangan yang makin membenarkan bahwa Cliff tewas karena ‘dibina’ para seniornya. Sebuah model pembinaan yang sarat dengan kekerasan dan lembaga pendidikan IPDN tahu hal ini!

Sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, usaha Liputan 6 SCTV yang telah mengungkap kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh institusi IPDN di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini diberikan karena konsistensi dan komitmen Liputan 6 SCTV untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi terhentinya kekerasan yang menginjak-injak martabat kemanusiaan dan budaya kekerasan di STPDN/IPDN. Penghargaan ini juga dianugerahkan karena, atas upaya tersebut telah memicu berbagai evaluasi dan perubahan sebuah institusi pendidikan yang bertujuan mulia di Indonesia yang upaya Liputan 6 SCTV sedikit banyak telah memberi andil terhadap perubahan sistem hukum dan politik Indonesia yang lebih peduli terhadap HAM dan demokrasi walau dalam kasus ini baru hanya terfokus pada STPDN.

Atas pertimbangan itu kami melihat upaya tersebut sebagai suatu kepeloporan yang penuh risiko bagi sosialisasi dan kampanye publik hak asasi manusia (Human Rights Campaigner) dan terhadap pemajuan HAM di Indonesia.

Nominator 2008

Poncke Princen Prize for Human Rights Promotor dan Educator 2008

Sebagai penghargaan dengan kekhususan kepeloporan dalam bidang Hak Asasi Manusia, usaha insitiatif ‘Ibu Kembar’ Sri Rosiati dan Sri Irianingsih yang telah membuat pendidikan alternatif bagi orang-orang tak mampu secara konsisten dan kontinyu di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir pendidik dan promotor hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Inisiatif tersebut tetap dilakukan padahal Ibu kembar tidak hanya mampu secara materi sehingga membiayai sekolah tersebut secara berpuluh-puluh tahun tapi juga tetap bertahan dan konsisten walaupun ditekan dan diintimidasi oleh aparat negara. Atas pertimbangan itu kami melihat upaya tersebut sebagai suatu kepeloporan yang penuh risiko bagi pendidikan dan promosi hak asasi manusia (Human Rights Promotor and Educator) dan terhadap pemajuan HAM di Indonesia.

Poncke Princen Prize for Human Rights Campaigner 2008

Usaha Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo yang telah mengungkap kebenaran atas apa yang secara jahat disembunyikan oleh pemerintah, Korban KasusLumpur Lapindo dan pihak-pihak lain di nilai pantas untuk dikenal sebagai pionir kampanye hak asasi sebagaimana HJC Princen (1925-2002) juga telah lakukan di awal-awal hidupnya. Dedikasi ini juga diberikan karena konsistensi dan komitmen Korban dan pendamping Korban Kasus Lumpur Lapindo untuk mempertaruhkan apa yang dimiliki dan dicintainya demi terungkapnya kejahatan yang menginjak-injak martabat kemanusiaan serta budaya merusak dalam Kasus Lumpur Lapindo. Penghargaan ini juga dianugerahkan karena, atas upaya tersebut telah memicu berbagai evaluasi dan kritik terhadap kebijakan negara

Panel Juri

Mengawali penyelenggaraan penghargaan ini, pemilihan para nominee di usulkan oleh Dewan Pengurus LPHAM yang diketuai oleh Ahmad Hambali berdasarkan kriteria dan monitoring tertentu yang dinilai dan disepakati oleh sebuah panel juri yang beranggotakan Dewan Penasehat LPHAM yaitu:

Pranala luar