Poliuretana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Poliuretan)

Poliuretana, yang umumnya disingkat PU, adalah polimer yang terdiri atas sebuah rantai unit organik yang dihubungkan oleh tautan uretana (karbamat). Polimer poliuretana dibentuk oleh reaksi sebuah monomer yang mengandung setidaknya dua gugus fungsional isosianat dengan monomer lainnya yang mengandung setidaknya dua gugus alkohol didorong dengan katalis. Perumusan poliuretana meliputi kekakuan, kekerasan, serta kepadatan yang amat beragam. Bahan-bahan ini di antaranya adalah:

  • Busa fleksibel berdensitas (kepadatan) rendah yang digunakan dalam bekleding dan pelapisan,
  • Busa kaku berdensitas rendah yang digunakan untuk isolasi termal dan dasbor mobil,
  • Elastomer padat yang empuk yang digunakan untuk bantalan gel serta penggiling cetakan, dan
  • Plastik padat yang keras yang digunakan sebagai bagian struktural dan bezel instrumen elektronik.

Poliuretana digunakan secara meluas dalam dudukan busa fleksibel berdaya lenting (daya pegas) tinggi, panel isolator busa yang kaku, segel busa mikroseluler dan gasket, roda dan ban karet yang tahan lama, senyawa pot elektrik, segel dan lem berkinerja tinggi, serat Spandeks, alas karpet, dan bagian plastik yang keras.

Berbagai produk dari poliuretana sering disebut "uretana". Jangan samakan poliuretana dengan substansi uretana yang spesifik, yang juga dikenal sebagai etil karbamat. Poliuretana tidak mengandung dan bukan hasil dari etil karbamat.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Usaha menciptakan polimer poliuretana pertama kali dirintis oleh Otto Bayer dan rekan-rekannya pada tahun 1973 di labolatorium IG Farben di Leverkusen, Jerman[1] Mereka menggunakan prinsip polimerisasi adisi untuk menghasilkan poliuretana dari diisosianat cair dan polieter cair atau diol poliester seperti menunjuk ke berbagai kesempatan spesial, khususnya saat dibandingkan dengan berbagai plastik yang dihasilkan dari olefin, atau dengan polikondensasi. Awalnya, usaha difokuskan pada produksi serat dan busa yang fleksibel. Kendati pengembangan terintangi oleh Perang Dunia II (saat itu PU digunakan dalam skala terbatas sebagai pelapisan pesawat),[2] poliisosianat telah menjadi tersedia secara komersial sebelum tahun 1952. Produksi komersialnya busa poliuretana yang fleksibel dimulai pada 1954, didasarkan pada toluena diisosianat (TDI) dan poliol poliester. Penemuan busa ini (yang awalnya dijuluki keju Swiss imitasi oleh beberapa penemu) adalah berkat jasa air yang tak sengaja dicampurkan ke dalam campuran reaksi. Bahan-bahan ini digunakan pula untuk memproduksi busa kaku, karet gom, dan elastomer. Serat linear diproduksi dari heksametilena diisosianat (HDI) dan 1,4-butanadiol (BDO).

Poliol polieter yang tersedia secara komersial untuk pertama kalinya, poli(tetrametilena eter) glikol, diperkenalkan oleh DuPont pada 1956 dengan mempolimerisasikan tetrahidrofuran. Glikol polialkilena yang tak begitu mahal diperkenalkan BASF dan Dow Chemical setahun selanjutnya, 1957. Poliol polieter menawarkan sejumlah keuntungan teknis dan komersial seperti biaya yang rendah, penanganan yang mudah, dan stabilitas hidrolitik yang lebih baik; dan poliol poliester bisa digantikan dengan cepat dalam pembuatan barang-barang dari poliuretana. Pada 1960, lebih dari 45.000 ton busa poliuretana yang fleksibel diproduksi. Seiring dengan perkembangan zaman, tersedianya bahan tiup klorofluoroalkana, poliol polieter yang tak mahal, dan metilena difenil diisosianat (MDI) menjadi bukti dan penggunaan busa kaku poliuretana sebagai bahan isolator berkinerja tinggi. Busa kaku yang didasarkan pada MDI polimerik menawarkan karakteristik pembakaran dan stabilitas suhu yang lebih baik daripada busa kaku berbasis TDI. Dalam 1967, diperkenalkan busa kaku poliisosianurat yang termodifikasi uretana, menawarkan sifat yang tak mudah terbakar serta stabilitas termal yang jauh lebih baik kepada berbagai produk isolator berdensitas rendah. Selain itu, dalam era 1960-an diperkenalkan pula sejumlah komponen pengaman bagian dalam otomotif seperti panel pintu dan instrumen yang dihasilkan dengan kulit termoplastik isian penguat dengan busa semi-kaku.

Pada 1969, Bayer AG memamerkan sebuah mobil yang semua komponennya dari plastik di Dusseldorf, Jerman. Komponen-komponen mobil itu dibuat dengan menggunakan sebuah proses baru bernama RIM (Reaction Injection Molding). Teknologi RIM menggunakan tumbukan bertekanan tinggi dari komponen cair yang dilanjutkan dengan mengalirkan campuran reaksi dengancepat ke dalam rongga cetak. Bagian-bagian berukuran besar, seperti panel bodi dan fasia otomotif, bisa dicetak dengan cara tersebut. Polyurethane RIM lambat laun berkembang menjadi berbagai macam produk serta proses. Penggunaan teknologi trimerisasi dan pemuai rantai diamina memberikan poli(uretana urea), poli(uretana isosianurat), dan poliurea RIM. Penambahan bahan pengisi, seperti kaca berigi (milled glass), mika, dan serat mineral olahan menghasilkan RRIM (reinforced RIM atau RIM yang diperkuat) yang memberikan berbagai peningkatan dalam modulus lendut (kekakuan) dan stabilitas termal. Modulus lendut semakin ditingkatkan dengan memasukkan glas mat praletak ke dalam rongga cetak RIM, yang juga dikenal sebagai SRIM, atau structural RIM.

Elastomer poliuretana yang sangat terisi maupun yang tak terisi kini digunakan dalam penerapan saringan minyak suhu-tinggi.

Busa poliuretana (termasuk juga karet busa) sering dibuat dengan menambahkan bahan asiri dalam jumlah kecil, yang disebuat bahan pembusa, ke campuran reaksi. Bahan asiri yang sederhana menghasilkan berbagai karakteristik kinerja yang penting, terutama sekali isolator termal. Di awal 1990-an, karena berdampak pada penyusutan ozon, Protokol Montreal mengakibatkan pada banyak berkurangnya penggunaan sebagian besar bahan pembusa yang mengandung klor, seperti triklorofluorometana (CFC-11). Alkil halida yang lain, seperti hidroklorofluorokarbon 1,1-dikloro-1-fluoroetana (HCFC-141b), digunakan sebagai pengganti sementara sampai penggunaannya dihapuskan secara bertahap di bawah perintah IPPC mengenai gas rumah kaca dalam 1994 dan oleh perintah Volatile Organic Compounds (VOC) dari Uni Eropa pada 1997. Di akhir 1990-an, penggunaan bahan pembusa seperti karbon dioksida, pentana, 1,1,1,2-tetrafloroetana (HFC-134a), dan 1,1,1,3,3-pentafluoropropana (HFC-245fa) mulai digunakan secara meluas dalam Amerika Utara dan Uni Eropa, meski bahan pembusa berklor tetap digunakan di kebanyakan negara sedang berkembang.[3]

Berdasarkan pada teknologi pelapisan semprot poliuretana serta kimia polieteramina yang sudah ada, elastomer semprot poliurea dua-komponen mulai dikembangkan secara meluas pada era 1990-an. Reaktivitas yang cepat dan ketidakpekaan relatifnya terhadap kelembaban membuatnya berguna untuk melapisi berbagai proyek wilayah permukaan yang besar, seperti pengurungan sekunder, pelapisan lubang got dan terowongan, serta tabung tangki. Adhesi yang sempurna bagi beton dan baja diperoleh dengan pengolahan permukaan yang tepat. Dalam periode yang sama, teknologi elastomer poliuretana-poliurea hibrid dan poliuretana dua-komponen digunakan untuk memasuki pasar bed liner muat semprot-di-tempat. Teknik untuk pelapisan truk pickup ini dan ruang kargo yang lain menciptakan sebuah komposit anti abrasi yang tahan lama dengan substrat logam, serta meniadakan korosi dan kerapuhan yang diasosiasikan dengan bed liner termoplastik yang drop-in.

Poliol dari minyak nabati untuk menghasilkan berbagai produk dari poliuretana mulai menarik perhatian pada 2004, sebagian disebabkan meningkatnya biaya bahan mentah petrokimia dan sebagian lagi disebabkan oleh semakin kuatnya tuntutan masyarakat atas produk-produk yang ramah lingkungan.[4]

Kimia[sunting | sunting sumber]

Reaksi poliuretana yang umum Poliuretana berada dalam kelas senyawa yang disebut polimer reaksi, termasuk juga epoksi, poliester tak jenuh, dan fenol.[5][6][7][8][9] Sebuah rangkaian uretan dihasilkan dengan mereaksikan satu gugus isosianat, -N=C=O dengan satu gugus hidroksil (alkohol), -OH. Poliuretana dihasilkan oleh reaksi poliadisinya sebuah poliisosianat dengan sebuah polialkohol (poliol) dalam kehadiran sebuah katalis dan zat aditif yang lain. Dalam kasus ini, polisosianat merupakan molekul dengan dua atau lebih gugus fungsional isosianat, R-(N=C=O)n ≥ 2 sedang poliol adalah molekul dengan dua atau lebih gugus fungsional hidroksil, R'-(OH)n ≥ 2. Produk reaksi adalah sebuah polimer yang mengandung rangkaian uretan, -RNHCOOR'-. Isosianat akan bereaksi dengan apapun molekul yang mengandung satu hidrogen aktif. Di samping bereaksi dengan air untuk membentuk rangkaian urea dan gas karbon dioksida; isosianat bereaksi pula dengan polieteramina untuk membentuk poliurea. Secara komersial, poliuretana diproduksi dengan mereaksikan isosianat cair dengan campuran cairnya poliol, katalis, dan zat tambahan yang lain. Dua komponen itu mengacu pada sebuah sistem poliuretana. Campuran ini disebut pula 'resin' atau 'campuran resin'. Beberapa contoh dari zat tambahan campuran resin adalah pemanjang rantai, pertautan silang, surfaktan, penghambat nyala, bahan pembusa, pigmen, dan bahan pengisi.

Komponen penting pertamanya polimer poliuretana adalah isosianat. Molekul yang mengandung dua gugus isosianat disebut diisosianat. Molekul tersebut juga dikaitkan dengan monomer sebab digunakan untuk menghasilkan isosianat polimerik yang mengandung tiga atau lebih gugus fungsional isosianat. Isosianat dapat digolongkan sebagai aromatik, seperti difenilmetana diisosianat (MDI) atau toluena diisosianat (TDI); atau alifatik, seperti heksametilena diisosianat (HDI) atau isoforon diisosianat (IPDI). Salah satu contoh dari isosianat polimerik adalah difenilmetana diisosianat polimerik, yang merupakan campuran molekul dengan dua-, tiga-, dan empat- atau lebih banyak gugus isosianat, dengan fungsionalitas rata-rata 2,7. Isosianat bisa lebih jauh dimodifikasi dengan mereaksikan sebagian dengan sebuah poliol untuk membentuk sebuah prapolimer. Kuasi-prapolimer terbentuk saat rasio stoikiometrinya isosianat ke gugus hidroksil lebih besar daripada 2:1. Sebuah prapolimer sejati terbentuk saat rasio stoikiometrinya 2:1. Karakteristik pentingnya isosianat adalah tulang punggung molekulnya, % kandungan NCO, dan viskositas.

Komponen penting keduanya polimer poliuretana adalah poliol. Molekul yang mengandung dua gugus hidroksil disebut diol, molekul dengan tiga gugus hidroksil disebut triol, dll. Dalam praktiknya, poliol dibedakan dari rantai pendek atau pemuai rantai glikol dengan berat molekul yang rendah dan pertautan silang (cross linker) seperti etilena glikol (EG), 1,4-butanadiol (BDO), dietilena glikol (DEG), gliserin, dan trimetilol propana (TMP). Poliol juga termasuk polimer. Poliol dibentuk oleh adisi berkatalis basanya propilena oksida (PO), etilena oksida (EO) ke sebuah inisiator yang mengandung hidroksil atau amina, atau dengan poliesterifikasinya sebuah di-acid, seperti asam adipat, dengan glikol, seperti etilena glikol atau dipropilena glikol (DPG). Poliol diperpanjang dengan PO atau EO merupakan poliol polieter. Poliol yang dibentuk dengan poliesterifikasi adalah poliol poliester. Baik inisiator yang digunakan, pemuai, serta berat molekulnya poliol sangat memengaruhi keadaan fisik dan sifat fisiknya polimer poliuretana. Karakteristik poliol yang penting adalah tulang belakang molekul, inisiator, berat molekul, % gugus hidroksil utama, fungsionalitas, dan viskositas.

Mekanisme reaksi PU dengan sebuah amina tersier
Mekanisme reaksi PU dengan sebuah amina tersier
Karbon dioksida yang terbentuk dengan mereaksikan air dan isosianat
Karbon dioksida yang terbentuk dengan mereaksikan air dan isosianat

Reaksi polimerisasi dikataliskan dengan amino, seperti dimetilsikloheksilamina, dan senyawa organologam, seperti dibutiltin dilaurat atau bismut oktanoat. Lebih jauh lagi, katalis bisa dipilih berdasarkan reaksi uretan (gel), seperti 1,4-diazabisiklo[2.2.2]oktana (yang disebut pula DABCO atau TEDA), atau reaksi urea (tiup), seperti bis-(2-dimetilaminoetil) eter, atau secara spesifik mengendalikan reaksi trimerisasi isosianat, seperti potassium octoate.

Salah satu sifat poliuretana yang disukai adalah kemampuannya diubah menjadi busa. Bahan pembusa seperti air, halokarbon tertentu seperti HFC-245fa (1,1,1,3,3-pentafluoropropana) serta HFC-134a (1,1,1,2-tetrafluoroetana]]), dan hidrokarbon seperti n-pentana, bisa ditambahkan sebagai arus bantu. Air bereaksi dengan isosianat untuk menciptakan gas karbon dioksida, yang mengisi dan mengembangkan sel yang diciptakan dalam proses pencampuran. Reaksinya merupakan proses tiga langkah. Molekul air bereaksi dengan gugus isosianat untuk membentuk asam karbamat. Asam karbamat tidak stabil, dan penguraiannya membentuk karbon dioksida dan sebuah amina. Amina bereaksi dengan lebih banyak isosianat untuk menghasilkan sebuah urea buatan. Air memiliki berat molekul yang amat rendah, jadi meski persen beratnya air kecil, perbandingan molarnya air tinggi dan menghasilkan urea berjumlah banyak. Urea tersebut tidak sangat mudah larut dalam campuran reaksi dan cenderung membentuk fase "segmen keras" terpisah sebagian besar terdiri dari poliurea. Konsentrasi serta organisasi dari fase poliurea memiliki dampak yang signifikan bagi sifatnya busa poliuretana.[10] Halokarbon dan hidrokarbon dipilih sebab memiliki titik didih pada atau mendekati suhu kamar. Karena reaksi polimerisasi bersifat isotermik, bahan pembusa ini menguap menjadi gas saat proses reaksi berlangsung. Keduanya mengisi dan memuaikan matriks polimer seluler, menciptakan sebuah busa. Penting diketahui bahwa gas tiup tidak menciptakan sel busa. Sel busa merupakan hasil gas tiup yang tercampur baur ke dalam gelembung yang diaduk ke dalam sistem di waktu pencampuran. Kenyataannya, busa mikroseluler berdensitas tinggi bisa dibentuk tanpa penambahan bahan tiup dengan pembuihan secara mekanis komponen poliol sebelum digunakan.

Surfaktan digunakan untuk memodifikasi karakteristik polimer dalam proses pembusaan. Surfaktan digunakan untuk mengemulsi komponen cair, mengatur ukuran sel, dan mengstabilkan struktur sel untuk mencegah keruntuhan dan cacat permukaan. Surfaktan busa yang kaku dirancang untuk menghasilkan sel yang baik dan kandungan sel yang sangat tertutup. Surfaktan busa yang fleksibel dirancang untuk mengstabilkan massa reaksi sambil memaksimalkan kandungan sel terbuka untuk mencegah busa dari mengecil. Kebutuhan akan surfaktan bisa dipengaruhi oleh pilihan isosianat, poliol, kompatibilitas komponen, reaktivitas sistem, perlengkapan serta kondisi proses, peranti, bentuk bagian, dan bobot tembakan.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Bayer, Otto (1947). "Das Di-Isocyanat-Polyadditionsverfahren (Polyurethane)". Angewandte Chemie. 59: 257–272. doi:10.1002/ange.19470590901. ; Lihat pula Paten Jerman 728.981 (1937) I.G. Farben
  2. ^ Seymour, Raymond B.; Kauffman, George B. (1992). "Polyurethanes: A Class of Modern Versatile Materials". J. Chem. Ed. 69: 909. doi:10.1021/ed069p909. 
  3. ^ Feske, Bert (October 2004). The Use of Saytex RB-9130/9170 Low Viscosity Brominated Flame Retardant Polyols in HFC-245fa and High Water Formulations. Las Vegas, NV: Alliance for the Polyurethane Industry Technical Conference.  line feed character di |title= pada posisi 57 (bantuan)
  4. ^ Niemeyer, Timothy (September, 2006). A Further Examination of Soy-Based Polyols in Polyurethane Systems. Salt Lake City, UT: Alliance for the Polyurethane Industry Technical Conference. 
  5. ^ Gum, Wilson (1992). Reaction Polymers. New York: Oxford University Press. ISBN 0-19-520933-8. 
  6. ^ Harrington, Ron (1991). Flexible Polyurethane Foams. Midland: The Dow Chemical Company. 
  7. ^ Oertel, Gunter (1985). Polyurethane Handbook. New York: Macmillen Publishing Co., Inc. ISBN 0-02-948920-2. 
  8. ^ Ulrich, Henri (1996). Chemistry and Technologyof Isocyanates. NewYork: John Wiley & Sons, Inc. ISBN 0-471-96371-2. 
  9. ^ Woods, George (1990). The ICI Polyurethanes Book. New York: John Wiley & Sons, Inc. ISBN 0-471-92658-2. 
  10. ^ Kaushiva, Byran D. (August 15, 1999). "Structure-Property Relationships of Flexible Polyurethane Foams". PhD Thesis. Virginia Polytechnic Institute.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]