Politik Etis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
C.Th. van Deventer, merupakan salah seorang penganjur Politik Etis.

Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek) adalah politik pemikiran kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942. Pada 17 September 1901, Ratu Belanda Wilhelmina mengumumkan bahwa Belanda menerima tanggung jawab politik etis demi kesejahteraan rakyat kolonial mereka. Pengumuman ini sangat kontras dengan doktrin resmi sebelumnya bahwa Indonesia adalah wingewest (wilayah yang menghasilkan keuntungan). Ini juga menandai dimulainya kebijakan pembangunan modern; sedangkan kekuatan kolonial lainnya berbicara tentang misi peradaban, yang terutama melibatkan penyebaran budaya mereka kepada orang-orang terjajah.

Kebijakan tersebut menekankan pada perbaikan kondisi kehidupan material. Namun, kebijakan ini menderita karena kekurangan dana yang parah, ekspektasi yang membengkak dan kurangnya penerimaan dalam pembentukan kolonial Belanda, dan sebagian besar lenyap oleh permulaan Depresi Besar pada tahun 1930.[1][2]

Pemikiran politik etis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa. Munculnya kaum etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda yang ditulis oleh Abraham Kuyper, perdana menteri yang baru menjabat[3], bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van Deventer yang meliputi:

  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925), seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Perumusan[sunting | sunting sumber]

Siswa di Sekolah Pertanian untuk Indonesia di Jawa. Sekolah itu dibangun selama periode ini.

Pada tahun 1899, pengacara liberal Belanda Conrad Theodor van Deventer menerbitkan sebuah esai di jurnal Belanda De Gids yang menyatakan bahwa Pemerintah Kolonial memiliki tanggung jawab moral untuk mengembalikan kekayaan yang telah diterima Belanda dari Hindia Timur kepada penduduk pribumi.

Jurnalis Pieter Brooshooft (1845-1921),[4] menulis tentang kewajiban moral Belanda untuk memberi lebih banyak kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan dukungan kaum sosialis dan kelas menengah Belanda yang peduli, ia berkampanye melawan apa yang ia lihat sebagai ketidakadilan surplus kolonial. Dia menggambarkan masyarakat adat Hindia sebagai "kekanak-kanakan" dan membutuhkan bantuan, bukan penindasan. Surat kabar adalah salah satu dari sedikit media komunikasi Hindia Belanda dengan parlemen Belanda, dan sebagai editor De Locomotief, surat kabar berbahasa Belanda terbesar di Hindia, ia menerbitkan tulisan Snouck Hurgronje tentang pemahaman orang Indonesia. Brooshooft mengirim reporter ke seluruh nusantara untuk melaporkan perkembangan lokal; mereka melaporkan tentang kemiskinan, gagal panen, kelaparan dan epidemi pada tahun 1900. Pengacara dan politikus yang mendukung kampanye Brooshooft bertemu dengan Ratu Wilhelmina dan berargumen bahwa Belanda berhutang kepada rakyat Hindia Belanda sebuah 'hutang kehormatan'.[4]

Pada tahun 1901, Ratu, di bawah nasihat dari perdana menterinya dari Partai Kristen Anti-Revolusi, Abraham Kuyper, secara resmi mendeklarasikan "Kebijakan Etis" yang baik yang bertujuan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Hindia. Penaklukan Belanda atas Hindia menyatukan mereka sebagai satu kesatuan kolonial pada awal abad ke-20, yang merupakan dasar implementasi Kebijakan.[5]

Para pendukung Kebijakan berpendapat bahwa transfer keuangan tidak boleh dilakukan ke Belanda sementara kondisi masyarakat pribumi nusantara buruk.

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Para pendukung Kebijakan prihatin tentang kondisi sosial dan budaya yang menahan penduduk pribumi. Mereka mencoba untuk meningkatkan kesadaran di antara penduduk asli tentang perlunya membebaskan diri dari belenggu sistem feodal dan mengembangkan diri di sepanjang garis Barat.

Pada tanggal 17 September 1901, dalam pidatonya dari tahta di hadapan Dewan Negara Belanda, Ratu Wilhelmina yang baru dinobatkan, dengan bantuan Perdana Menteri Abraham Kuyper[3], secara resmi mengartikulasikan kebijakan baru - bahwa pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral kepada penduduk asli Hindia Belanda yang dapat diringkas dalam 'Tiga Kebijakan' Irigasi, Transmigrasi, dan Edukasi.

Irigasi[sunting | sunting sumber]

Bangunan irigasi di Jember, Jawa Timur, dibangun c. 1927-1929.

Kebijakan tersebut mendorong upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat biasa melalui program irigasi, pengenalan layanan perbankan untuk penduduk pribumi, dan subsidi untuk industri dan kerajinan pribumi.

Emigrasi[sunting | sunting sumber]

Kebijakan tersebut pertama kali memperkenalkan konsep transmigrasi dari Jawa yang padat penduduk ke daerah yang kurang padat di Sumatra dan Kalimantan, dimulai dengan skema yang disponsori pemerintah sejak tahun 1905 dan seterusnya. Namun, jumlah orang yang pindah selama periode Politik Etis merupakan sebagian kecil dari peningkatan populasi di Jawa selama periode yang sama.

Edukasi[sunting | sunting sumber]

Potret kelompok anak-anak pribumi yang menghadiri sekolah Koning Willem III, Weltevreden, Batavia, 1919-1920.

Pembukaan pendidikan Barat bagi penduduk asli Indonesia baru dimulai pada awal abad ke-20; pada tahun 1900. Hanya 1.500 yang bersekolah di Eropa dibandingkan dengan 13.000 orang Eropa. Akan tetapi, pada tahun 1928, 75.000 orang Indonesia telah menyelesaikan pendidikan dasar Barat dan hampir 6.500 sekolah menengah, meskipun ini masih merupakan sebagian kecil dari populasi.[6]

Penilaian[sunting | sunting sumber]

Kebijakan tersebut merupakan upaya serius pertama untuk membuat program pembangunan ekonomi di daerah tropis. Ini berbeda dari "misi memperadabkan" dari kekuatan kolonial lainnya dalam menekankan kesejahteraan material daripada transfer budaya. Komponen pendidikan dari Kebijakan ini terutama bersifat teknis karena tidak bertujuan untuk menciptakan pria dan wanita Belanda berkulit coklat. Kebijakan tersebut kandas pada dua masalah. Pertama, anggaran yang dialokasikan untuk program-program Kebijakan tidak pernah cukup untuk mencapai tujuannya, akibatnya banyak pejabat kolonial menjadi kecewa dengan kemungkinan mencapai kemajuan yang langgeng. Ketegangan finansial dari Depresi Hebat mengakhiri Kebijakan secara definitif. Kedua, program pendidikan dari Kebijakan memberikan kontribusi yang signifikan bagi Kebangkitan Nasional Indonesia, memberikan alat intelektual kepada orang Indonesia untuk mengatur dan mengartikulasikan keberatan mereka terhadap pemerintahan kolonial. Akibatnya, banyak kalangan kolonial yang memandang Kebijakan tersebut sebagai kesalahan yang bertentangan dengan kepentingan Belanda.[1]

Penyimpangan[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

  • Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

  • Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

  • Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Kritik[sunting | sunting sumber]

Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

Politikus etis terkemuka[sunting | sunting sumber]

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Cribb, Robert (1993). "Development Policy in the Early 20th Century", in Jan-Paul Dirkse, Frans Hüsken and Mario Rutten, eds, Development and Social Welfare: Indonesia’s Experiences under the New Order (Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde), pp. 225-245.
  2. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300. London: Macmillan. hlm. 151. ISBN 0-333-57690-X. 
  3. ^ a b Heslam, Peter S. (2020). "An Ethical Policy for an Islamic People: The Colonial Policy of the Kuyper Cabinet (1901–1905) and the Challenge of Human Development". Journal of Markets & Morality. 23 (2): 297–317. 
  4. ^ a b Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. hlm. 17. ISBN 0-521-54262-6. 
  5. ^ Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. hlm. 18. ISBN 0-521-54262-6. 
  6. ^ Vickers, Adrian (2005). A History of Modern IndonesiaPerlu mendaftar (gratis). Cambridge University Press. hlm. 40. ISBN 0-521-54262-6. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]