Perang Dayak Desa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Dayak Desa
Bagian dari Pendudukan Jepang di Kalimantan Barat
Tanggal1944-Juni 1945[1]
Sampai 1948[2]
LokasiSanggau, Kalimantan Barat
Hasil Kemenangan Suku Dayak Desa
Pihak terlibat
Kekaisaran Jepang Suku Dayak Desa
Tokoh dan pemimpin
Letnan Nagatani Pang Suma
Pang Rati
Pang Iyo
Djampi (tokoh Dayak Iban)
Kekuatan
tidak diketahui tidak diketahui
Korban
tidak diketahui tidak diketahui

Perang Dayak Desa adalah sebuah perang kelanjutan dari Perang Majang Desa yang terjadi pada zaman Belanda dan pertengahan zaman Jepang, yakni pada 1944-Juni 1945 yang dilatarbelakangi perlakuan Jepang yang sewenang-wenang terhadap Suku Dayak Desa.

Latar belakang

Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan undangan (sekitar tahun 1930). Sultan Syarif pada akhirnya dibunuh juga oleh Jepang pada tahun 1943

Pada masa Kolonial Belanda, ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh Pang Suma, dan dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.[3]

Selanjutnya, pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.[4] Karena romusha yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini. Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk menebang pohon dan merakitkan kayu dan dihilirkan entah kemana.[4] Begitu juga di bidang pertambangan, di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang bekerja disana, terbanyak adalah Orang Dayak.[4]

Sultan Pontianak, Syarif Muhammad Alkadrie (kanan, duduk) bersama Residen K.A. James (kemungkinan di kiri). Difoto oleh fotografernya O. Horst, Offiser Adiministratif, Kontroler, dan Asisten Residen (foto diambil tahun 1920)

Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan Peristiwa Mandor, pada tanggal 23 April 1943 banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap. Adapun, Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang.[2] Sultan Pontianak mati dalam penjara; sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya.[5]

Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), yang mau dikawini oleh seorang mandor Jepang yang bernama Osaki[6] dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir. Perkawinan ini dilarang oleh ayahnya, Pang Linggan.[7] Pada saat itu, mereka sedang kerja paksa, mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung kepala Pang Linggan.[6] Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih baik membunuh duluan.[7] Rakyat yang tak tahan oleh diinjak-injak dan ditindas Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma dan Pang Linggan.[7]

Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa berawal dari Peristiwa Suak Garong. Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.[8] Adapun pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh untuk menjadi mata-mata buruh-buruh kasar.[9]

Buruh-buruh kasar itu dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan kelaparan. Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar.[10] Yamamoto tahu, sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui. Namun, yang ada di kampung itu adalah Pang Rontoi, seorang tua dari kampung itu. Ia pukuli Pang Rontoi namun beruntung Pang Rontoi membalasnya.[10]

Kejadian awal

Sesudah kejadian ini, maka dilaporkanlah kejadian-kejadian ini kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki.[7][10] Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan, namun Osaki meninggal tanpa perlawanan.[6] Sesudahnya, warga desa segera membuat pesta adat notong.[11]

Pihak Jepang kaget. Mereka mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.[12]

Perlawanan rakyat Dayak

Pra-kemerdekaan

Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku Dayak dari Ketapang, hingga Sekadau berkumpul berkenaan panggilan dari mangkok merah. Beredarnya mangkok merah ini sebagai pertanda melawan Jepang. Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang.[11] Ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh yang perlu ditumpas.[11]

Peristiwa 2 pembunuhan ini tersebar ke Pontianak, khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Di saat yang bersamaan pula, barulah mereka bermufakat khawatir akan diserang Jepang.[7] Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.[12][11] Setelahnya, para pemuka adat segera mengirimkan Mangkok Merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.[11]

Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung. Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.[13] Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sesampai ekspedisi ini di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.[12][3]

Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma. Maka, dalam kesempatan yang terjepit ini, Pang Suma dan Djampi menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa. Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945. Waktu bersamaaan dengan A. Timbang bersama dengan sejumlah panglima adat lainnya, Pang Suma bertahan di Meliau.[14]

Pada tanggal 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.[a] Di Pemura dan Temura, pecahlah pertempuran; Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya, sementara Apae dan Panglima Beli tewas seketika. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah, dan Pang Suma kemudian meninggal dunia.[14]

Sementara itu, Panglima Kilat berhasil menggerakkan dan menyampaikan pengumuman Perang Dayak Desa terhadap Jepang.[15] Setelah 3 orang pimpinan mereka meninggal, Agustinus Timbang beserta pasukannya yang semula terkepung berhasil meloloskan diri. Maka, semenjak 17 Juli 1945-31 Agustus 1945, Meliau dikuasai kembali oleh Jepang.[16]

Sewaktu & seusai kemerdekaan

Meski sebetulnya Indonesia sudah merdeka semenjak 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan belum sampai ke pelosok-pelosok Kalimantan Barat. Maka dalam usaha mengusir penjajah, M. Th. Djaman guru di Nyandang, dan sejumlah tokoh masyarakat lain dari Balai Karangan, Bonti, Kembayan, dan Balai Sebut di antaranya YAM Linggi, melangsungkan pertemuan di Kapuas Sanggau. Setelah diadakan perudingan, Agustinus Timbang melanjutkan gerakan bersenjata di Lape.[16]

Adapun Angkatan Perang Majang (APMD) Desa kembali diaktifkan, didirikan pada 13 Mei 1944 dan dipimpin oleh Pang Dadan. Di kepengurusan awal ini, APMD dianggotai oleh sejumlah pemuka adat, bahkan ada yang termasuk Orang Cina.[b] Usaha APMD menyerang Sanggau Kapuas berhasil, wilayah ini berhasil dikuasai. Namun demikian, pimpinan APMD kecewa karena pewaris kekuasaan Kerajaan Sanggau, Gusti Ali Akbar menyerahkan kekuasaannya ke Bunken Kanrikan setempat. Sebagai akibatnya, kerabatnya, Gusti Ismail merasa adanya persimpangan jalan dalam menghadapi Jepang.[16]

Selanjutnya, Gusti Ismail dan Gusti Sohor bersama pimpinan APMD lainnya menyerukan pertempuran terbuka. Dalam berbagai pertempuran, di kedua pihak banyak jatuh korban.[17] Meski Jepang menyerah kepada Sekutu, perlawanan rakyat tetap berlanjut. Bahkan, APMD memasuki Kota Pontianak utnuk memerangi Belanda.[18]

Warisan sejarah

Pada Juni 1980, Laksus Pangkopkamtibda Kalbar, Untung Sridadi bersama gubernur Kalbar Soedjiman melakukan serah terima dari ahli waris APMD seperti YAM Linggi, dan Agustinus Timbang berupa 5 tengkorak pasukan Jepang sewaktu Perang Dayak Desa dan sebilah samurai milik Takeo Nagatani. Selanjutnya barang-barang ini diserahkan ke Pemerintah Jepang diwakili K. Tasima dan wakil keluarga Nagatani dan Yoshida dari Kedutaan Besar Jepang di Indonesia di Jakarta untuk dibawa pulang ke Tokyo, Jepang.[18]

Catatan bawah

  1. ^ Kelima panglima adat di bawah Pang Suma adalah Libau, Jap, Tapang, Sulang, dan Burung (Usman & Din 2009, hlm. 88).
  2. ^ Mereka itu adalah Temanggung Bagok, Pang Perada, Mohammad Natsir, Naga, Tan Sin Anh, Pang Peah, Panglima Burung, Abang Syahdansyah, Pang Suma, Pang Linggan, Agustinus Timbang, Gompang dan Pang Lapeng (Usman & Din 2009, hlm. 89).

Referensi

  1. ^ Heidhues 2003, hlm. 206.
  2. ^ a b Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 27.
  3. ^ a b Surya Kelana, Filosofi Perang Dayak.
  4. ^ a b c Usman & Din 2009, hlm. 83.
  5. ^ Heidhues 2003, hlm. 207.
  6. ^ a b c Usman & Din 2009, hlm. 86.
  7. ^ a b c d e Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 28.
  8. ^ Usman & Din 2009, hlm. 84.
  9. ^ Usman & Din 2009, hlm. 84-85.
  10. ^ a b c Usman & Din 2009, hlm. 85.
  11. ^ a b c d e Usman & Din 2009, hlm. 87.
  12. ^ a b c Ahok, Ismail & Tjitrodarjono 1992, hlm. 29.
  13. ^ Usman & Din 2009, hlm. 87-88.
  14. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 88.
  15. ^ Usman & Din 2009, hlm. 88-89.
  16. ^ a b c Usman & Din 2009, hlm. 89.
  17. ^ Usman & Din 2009, hlm. 89-90.
  18. ^ a b Usman & Din 2009, hlm. 90.

Bibliografi