Pemena

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Siwaluh Jabu, rumah tradisional masyarakat Karo dengan beberapa geriten di Kabanjahe, Sumatera Utara.

Pemena adalah kepercayaan ataupun agama tradisional masyarakat Suku Karo. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.[1] Pemena, dalam bahasa Suku Karo, memiliki arti pertama atau yang awal.[2] Dalam hal agama yang diakui di Indonesia, Pemena dimasukkan ke dalam agama Hindu. Alasannya karena keduanya memiliki persamaan dalam hal kepercayaan, tradisi, serta ritualnya.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Suku Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad pertama setelah masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatra. Mereka beragama Hindu. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu. Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Buddha dan aksara Nagari.[1] yang merupakan awal tulisan yang ada pada suku karo, Melayu, dan Jawa kuno.[4]

Tulisen Karo.

Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan ajaran Pemena. Pemena berarti pertama, yang artinya kepercayaan awal orang suku Karo. Mereka juga mengajarkan beberapa aksara, yang kemudian menjadi Tulisen Karo. Akhirnya, orang-orang suku Karo mulai mengenal agama ini dan menganutnya.[5]

Ajaran-ajaran[sunting | sunting sumber]

Dibata[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Suku Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata. Ada tiga pemahaman Dibata menurut orang Suku Karo, yakni:[6]

  • Dibata Datas. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).
  • Dibata Tengah. Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah Ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
  • Dibata Teruh. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.

Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu Sindar Mataniari (sinar matahari) dan Si Beru Dayang. Sindar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia berada saat matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Si Beru Dayang adalah roh perempuan yang tinggal di bulan (sehingga disebut Si Beru Dayang Sinu Bulan). Si Beru Dayang sering kelihatan dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak digoncangkan angin topan.

Manusia[sunting | sunting sumber]

Manusia dalam kepercayaan masyarakat Suku Karo terdiri dari:[6]

  • Tendi (jiwa)
  • Begu (roh orang yang sudah meninggal, Hantu)
  • Kula (tubuh)

Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun, begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian.

Orang Suku Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam semesta. Setiap manusia dianggap sebagai semesta kecil. Manusia merupakan kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (napas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai "keseimbangan dalam manusia".

Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar. Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia sebagai semesta besar. Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam semesta kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "alam semesta secara luas. Oleh karena itu, banyak orang Karo melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai keseimbangan pada diri manusia.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b (Indonesia) Bangun, Roberto. 1989. Mengenal orang Karo. Jakarta: Yayasan Pendidikan Bangun.
  2. ^ (Indonesia) Tarigan, Henry Guntur dan Jago Tarigan. 1979. Bahasa Karo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  3. ^ Lestari, Khopipah Indah (2022-02-16). "Agama Pamena: Pertama yang Sering Dilupa". The Editor (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-04-03. 
  4. ^ (Indonesia) Peranginangin, Marthin Luther. 2004. Orang Karo Di antara Orang Batak. Jakarta: Pustaka Sora Mido.
  5. ^ (Indonesia) Ginting, Malem Ukur. 2008. Adat Karo. Medan: Sirulo.
  6. ^ a b (Indonesia) Tambun, P. 1952. Adat-Istiadat Karo.Jakarta: Balai Pustaka.