Patih Udara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Patih Udara atau Patih Mahodara/Maudara (versi Hikayat Banjar) atau Pate Amdura (versi Suma Oriental) adalah nama seorang patih (rakryan apatih atau hamangkubhumi) kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Dyah Ranawijaya.[1] Ia juga diketahui sebagai seorang pemegang kekuasaan terakhir sisa-sisa kerajaan tersebut (1499-1518),[2] sebelum akhirnya diambil-alih seutuhnya oleh Kesultanan Demak.

Sejarah

Menurut keterangan Babad Tanah Jawi, Patih Udara merupakan anak dari Patih Wahan, dan semula menjabat sebagai seorang adipati di Kediri.[1] Mpu Wahan adalah patih yang mendampingi raja Majapahit Dyah Ranawijaya di awal masa pemerintahannya,[3] Udara kemudian juga mendampingi Ranawijaya sebagai patih di masa akhir pemerintahannya. Pengelana Portugis Tomé Pires berkunjung ke Jawa antara tahun 1512-1515 menyebutkan dalam catatannya Suma Oriental bahwa Pate Udra (atau Pate Andura) memiliki kekuasaan yang cukup besar. Meskipun hanya sebagai patih (viso rey) dan panglima perang (capitam moor), ia sangat disegani sehingga dianggap hampir seperti raja.[4]

Masa pemerintahan Patih Udara sebagai penerus kekuasaan Dyah Ranawijaya belum dapat dipastikan secara tepat. Ranawijaya masih mengeluarkan Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, yang menceritakan pengukuhan anugerah raja kepada pendukungnya dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi. Berita dari Dinasti Ming tahun 1499 juga menyebutkan masih adanya hubungan diplomatik antara Cina dan Jawa (Majapahit).[5] Namun demikian, walikota Malaka Portugis Rui de Brito pada tahun 1514 dan penulis Portugal Duarte Barbosa pada tahun 1518 hanya menyebutkan adanya seorang "raja kafir" yang masih berkuasa di pedalaman Jawa tanpa menyebutkan nama. Sedangkan laporan Antonio Pigafetta tahun 1522 mengesankan tidak ada lagi Majapahit, serta Pati Unus lah sebagai penguasa atas bekas wilayah kerajaan tersebut antara tahun 1518-1521.[2] Maka diperkirakan Udara berkuasa atas sisa-sisa pemerintahan Majapahit pada masa antara 1499-1518.

Legenda dan fiksi

Dalam lakon wayang klithik Jawa Timur serta dalam naskah Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (no. kat. D.166) dan Serat Lampahan Damarwulan Ngarit (no. kat. G.162) koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran, Surakarta, tokoh Patih Udara disebutkan sebagai ayah dari Damar Wulan. Ia adalah bekas patih Majapahit yang mengudurkan diri, yang posisinya digantikan oleh adiknya yaitu Patih Lohgender.[6]

Pada cerita fiksi Nagasasra Sabuk Inten karya pengarang SH Mintardja, terdapat tokoh raja terakhir Majapahit bernama Hudhara yang bergelar Brawijaya VII, yang disebutkan memberikan izin kepada Raden Patah untuk memindahkan pusat kerajaan Majapahit ke Demak.[7]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b W.L. Olthof, Babad Tanah Djawi, 1941, teks bahasa Jawa, hlm. 17-18.
  2. ^ a b G.P. Rouffaer, "Wanneer is Madjapahit gevallen?", BKI, 50, 1899, hlm. 144; H.J. de Graaf en Th. G. Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java, 1974, hlm. 47.
  3. ^ OJO,XCI, baris ke-2.
  4. ^ Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, I, 1944, hlm. 175-176.
  5. ^ Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, hlm. 36.
  6. ^ Romania (2009). "Serat Langendriya Episode Damarwulan Ngarit (Suatu Tinjauan Filologis)" (PDF). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diakses tanggal 28 Juni. 
  7. ^ Februana, Ngarto (2007). "Sepak Terjang Para Pendekar". Tempo. Diakses tanggal 16 Juni.