Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (dalam Bahasa Indonesia berarti Maskapai Siaran Radio Hindia Belanda) adalah sebuah stasiun radio pemerintah Hindia Belanda yang kemudian mengubah namanya menjadi Radio Republik Indonesia (RRI) setelah kemerdekaan Indonesia.


NIROM pertama kali mengudara pada tahun 1934. Salah satu pemancar yang paling terkenal adalah Bataviaasche Radio Vereniging (BRV) yang melakukan siaran dari Hotel des Indes. Pada tahun 1928 di Amsterdam, NIROM didirikan dengan rencana untuk menyiarkan siaran radio ke seluruh Jawa dan kemudian ke seluruh Hindia Belanda dalam waktu tiga tahun. Namun, karena persiapan teknis yang diperlukan, NIROM baru dapat memulai siarannya pada tahun 1934.


Awalnya, NIROM hanya melakukan siaran dalam bahasa Belanda, tetapi mulai tahun 1935, siaran-siarannya juga dilakukan dalam bahasa-bahasa setempat. Penggunaan bahasa-bahasa setempat semakin dominan dalam siaran-siaran NIROM pada akhir masa operasinya.


Salah satu pegawai NIROM yang terkenal di Belanda adalah pembawa acara terkenal Wim Kan, yang pada tahun 1939 mengunjungi India dan memutuskan untuk tinggal di Asia setelah invasi Jerman ke Belanda. Seorang penyiar lainnya adalah Bert Garthoff, yang pada tanggal 8 Maret 1942, setelah penyerbuan Jepang dan penyerahan pemerintah Hindia Belanda, menutup siarannya dengan kata-kata: "Wij gaan nu sluiten. Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin." yang berarti "Kami akan menutup siaran kami sekarang. Selamat tinggal, hingga waktu yang lebih baik. Hidup Sang Ratu." Meskipun demikian, NIROM masih melanjutkan siarannya selama seminggu lagi dan menyiarkan lagu kebangsaan Belanda yang berjudul "Wilhelmus van Nassouwe". Ketika Jepang mengetahui musik yang disiarkan tersebut, tiga pegawai siaran NIROM dihukum mati.


NIROM memulai siarannya pada 1934. Pemancar yang paling terkenal adalah Bataviaasche Radio Vereniging (BRV) yang siarannya dilakukan dari Hotel des Indes.[1] Pada 1928 di Amsterdam, NIROM didirikan, yang direncanakan akan menangani pemancaran siaran ke seluruh Jawa, dan dalam tiga tahun kemudian ke seluruh Hindia Belanda. Namun karena persiapan-persiapan teknis yang harus dilakukan, baru pada 1934 NIROM mulai dapat memancarkan siarannya.

Mulanya NIROM hanya melakukan siaran dalam bahasa Belanda, tetapi sejak 1935, siaran-siarannya juga dilakukan dalam bahasa-bahasa setempat. Penggunaan bahasa-bahasa setempat hampir mewarnai keseluruhan siarannya pada akhir masa NIROM.

Pegawai NIROM yang paling terkenal di Belanda adalah seorang pembawa acara terkenal Wim Kan, yang pada tahun 1939 mengunjungi India dan setelah invasi Jerman ke Belanda kemudian memutuskan tinggal di Asia. Penyiar lainnya adalah Bert Garthoff yang setelah penyerbuan Jepang dan menyerahnya pemerintah Hindia Belanda pada 8 Maret 1942, menutup siarannya dengan kata-kata: Wij gaan nu sluiten. Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin. ("Selamat berpisah, hingga waktu yang lebih baik kelak. Hidup Sang Ratu!"). Namun NIROM masih mengadakan siaran seminggu lagi dan, yang membuat tercengang para pendengarnya, masih menyiarkan lagu kebangsaan Belanda berjudul: Wilhelmus van Nassouwe. Ketika Jepang mengetahui musik yang disiarkan itu, tiga pegawai siaran NIROM dihukum mati.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Siaran radio yang pertama di Indonesia (waktu itu bernama Nederlands Indie - Hindia Belanda) ialah Bataviase Radio Vereniging (BRV) di Batavia (Jakarta Tempo dulu) dan Tangerang sehingga resminya didirikan pada tanggal 16 Juni 1925 di Weltevreden (Jakarta Pusat sekarang) dan resmi mengudara dari Hotel des Indes dengan siaran lokal (Stadzender) pada gelombang 157.89 meter dan 61.66 meter untuk "Program Nasional" (Archipelzender).

Stasiun radio di Indonesia semasa penjajahan Belanda dahulu mempunyai status swasta. Karena sejak adanya BRV tadi, maka muncullah badan-badan radiosiarn lainnya Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM) di Batavia (Jakarta Tempo dulu), Tangerang, Bandoeng dan Medan, Solosche Radio Vereniging (SRV) di Soekararta, Mataramse Vereniging Voor Radio Omroep (MAVRO) di Jogjakarta, Vereniging Oosterse Radio Luisteraars (VORO) di Bandoeng, Vereniging Voor Oosterse Radio Omroep (VORO) di Soerakarta, Chineese en Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO) di Soerabaja, Eerste Madioense Radio Omroep (EMRO) di Madioen dan Radio Semarang di Semarang.

Di Medan, selain NIROM juga terdapat radio swasta Meyers Omroep Voor Allen (MOVA) yang di usahakan oleh tuan Meyers dan Algeemene Vereniging Radio Omroep Medan (AVROM). Di antara sekian banyak badan radio siaran tersebut, NIROM adalah yang terbesar dan terlengkap oleh karena mendapat bantuan penuh dari pemerintah Hindia Belanda.

Perkembangan NIROM yang pesat itu disebabkan pula keuntungannya yang besar dalam bidang keuangan yakni dari "pajak radio". Semakin banyak pesawat radio dikalangan masyarakat, semakin banyak uang yang diterima oleh NIROM. Dengan demikian, NIROM dapat meningkatkan daya pancarnya, mengadakan stasiun-stasiun relay, mengadakan sambungan telepon khusus dengan kota-kota besar, dll.

Pada waktu itu terdapat saluran telepon khusus antara Batavia, Bogor, Soekaboemi, Bandoeng, Tjirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Jogjakarta, Magelang, Soerabaja, Tangerang, Depok, Bekasi, Malang yang jumlahnya kira-kira 1,2 juta meter saluran telepon untuk memberi modulasi kepada pemancar-pemancar di kota-kota itu. Dengan Demikian NIROM dapat mengadakan siaran sentral dari Semarang, Bandung, Soerabaja, Jogjakarta ataupun Solo.

Hal itu beda sekali dengan badan-badan radio siaran lainnya yang berbentuk perkumpulan swasta, terutama yang diusahakan bangsa pribumi, yang hidupnya dari iuran para anggota.

Munculnya perkumpulan-perkumpulan stasiun radio di kalangan bangsa Indonesia disebabkan kenyataan, bahwa NIROM memang dapat bantuan dari pemerintah Hindia Belanda itu lebih bersifat perusahaan yang mencari keuntungan finansial dan membantu kukuhnya penjajahan di Hindia Belanda. Pada saat itu pemerintah penjajahan Belanda menghadapi semangat kebangsaan di kalangan penduduk pribumi yang berkobar sejak tahun 1908, lebih-lebih setelah tahun 1928.

Sebagai pelopor timbulnya radio siaran usaha bangsa Indonesia ialah Solosche Radio Vereniging (SRV) yang didirikan pada tanggal 1 April 1933. Dalam hubungan dengan itu patut di catat nama Mangkunegoro VII seorang bangsawan Solo dan seorang Insinyur bernama Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo yang berhasil mewujudkan SRV itu.

Sejak tahun 1933 itulah berdirinya badan-badan radio siaran lainnya, usaha bangsa Indonesia di berbagai kota besar seperti disebutkan di atas, berdirinya SRV, MARVO, VORL, CIRVO, EMRO, dan Radio Semarang itu pada mulanya dibantu oleh NIROM,oleh karena NIROM mendapat bahan siaran yang bersifat ketimuran dari berbagai perkumpulan tadi. Tetapi kemudian ternyata NIROM merasa khawatir perkumpulan-perkumpulan radio ketimuran tadi membahayakan baginya.

Pada tahun 1936 terbetik berita, bahwa mulai tahun 1937 "Siaran Ketimuran seluruhnya akan dikuasai oleh NIROM sendiri". Ini berarti bahwa mulai tahun 1937 subsidi dari NIROM akan dicabut, setidak-tidaknya akan dikurangi, karena NIROM tidak akan lagi mereplay siaran-siaran radio milik pribumi, setidak-tidaknya kalau terpaksa mereplay hanya sedikit sekali. Seperti diketahui subsidi NIROM itu semula diberikan berdasarkan perhitungan jam-mereplay.

Berita itu cukup menggemparkan orang-orang radio di luar NIROM, karena pencabutan subsidi itu akan melemahkan badan-badan radio siaran bersangkutan.

Memang adalah maksud NIROM yang bersandarkan kekuatan penjajahan itu untuk mematikan perkumpulan-perkumpulan radio siaran ketimuran.

Pada tanggal 29 Maret 1937 atas usaha anggota Volksraad M. Soetardjo Kartokoesoemo dan seorang Insinyur bernama Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo diselenggaraka suatu pertemuan antara wakil-wakil radio ketimuran bertempat di Bandung wakil-wakil yang mengirimkan utusannya ialah: VORO (Batavia), VORL (Bandoeng), MAVRO (Jogjakarta), SRV (Solo) dan CIRCO (Soerabaja), pertemuan hari itu melahirkan suatu badan baru bernama: PERIKATAN PERKOEMPOELAN RADIO KETIMOERAN (PPRK) sebagai ketuanya adalah: Soetardjo Kartohadikoesoemo.

Tujuan PPRK yang non-komersial itu bersifat "Sociaal kultureel" semata-mata memajukan keseniaan dan kebudayaan nasional guna kemajuan masyarakat Indonesia, rohani dan jasmani.

Pada tanggal 7 Mei 1937 atas usaha PPRK diadakan pertemuan dengan besar-besaran pemerintahan untuk membicarakan hubungan antara PPRK dengan NIROM. Pertemuan itu menghasilkan suatu persetujuan bersama, bahwa PPRK menyelenggarakan siaran ketimuran, NIROM menyelenggarakan segi tekniknya.

Sejak itu PPRK berusaha keras agar PPRK dapat menyelenggarakan sendiri sepenuhnya tanpa bantuan dari NIROM. disebabkan situasi semakin panas oleh api perang di Eropa yang menyebabkan Negeri Belanda dalam keadaan sulit yang membutuhkan bantuan rakyat jajahannya, maka pemerintah Hindia Belanda menjadi agak lunak.

Seperti diketahui, tanggal 1 September 1939 Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler menyerbu Polandia yang menyebabkan timbulnya perang dunia II, dan kemudian pada tahun 1940 Jerman menduduki Denmark, Norwegia, Belgia dan Negeri Belanda.

Pada tanggal 1 November 1940 tercapailah tujuan PPRK yakni menyelenggarakan siaran yang pertama dari PPRK.

Masa Penjajahan Belanda[sunting | sunting sumber]

Jika kita membuka-buka lembaran sejarah radio Indonesia maka akan tampak bahwa adanya radio untuk pertama kalinya di Indonesia sekitar tahun 1920-an adalah untuk kepentingan penjajah Belanda.

Hubungan yang cepat antara negeri Belanda dengan daerah-daerah jajahannya seperti Hindia Belanda sangat diperlukan terutama untuk menyampaikan peraturan dan undang-undang serta berita-berita penting. Keperluan itu lebih mendesak lagi ketika pecah perang dunia pertama.

Perang Dunia I (1914-1918) memberi pengalaman kepada negeri Belanda. Ketegangan hubungan melalui telegraf laut antara negeri Belanda dan Indonesia dari saluran Inggris, yang terlibat dalam peperangan,sangat menyulitkan Belanda.Hubunga Indonesia Belanda pada waktu itu melalui saluran telegraf laut, yaitu London-Aden.

Sesudah perang Dunia I berakhir, Belanda mencari hubugan langsung dengan Indonesia, antara lain melalui udara atau radio telegrafi. Belanda berhasil mendirikan pemancar radio telegrafi di negeri Belanda, yang kemudian dititngkatkan menjadi hubungan radio telepon. Seteleh itu berkembanglah apa yang dinamakan dengan "radio amatir" di Indonesia, terutama sekali di lingkungan golongan peminat teknik radio yang sebagian besar adalah orang-orang Belenda. Tenaga-tenaga radio amatir ini banyak dibantu oleh pegawai teknik PTT. Mereka membuat alat pemancar dan alat penerima sendiri sehingga dapat megadakan hubungan dengan radio amatir di negara-negara lain yang pada waktu itu sudah cukup banyak.

Dengan maksud untuk mengobarkan kesadaran radio dikalangan masyarakat, pemerintah Belanda memberi kesempatan kepada mereka yang berminat dan memenuhi persyaratan untuk membuat pemencar dan penerima siaran radio sendiri.

pihak PTT bagian teknik radio memberikan bantuan teknik seperlunya. Perkumpulan-perkumpulan radio dibentuk dan dapat mengadakan hubungan satu sama lain.

lambat laun timbul hasrat untuk menyelenggarakan siaran radio dengan programnya.

Lahirlah perkumpulan siaran radio pertama Indonesia pada tanggal 16 Juni 1925 di Batavia, dengan nama "Bata viase Radio Vereniging" disingkat BRV yang menurut aktanya didirikan untuk waktu 29 tahun.

BRV didukung oleh wartawan dan pengusaha Belenda; dengan demikian sedikit banyak ada tujuan komersial dalam siaranya, berupa propaganda perusahaan dan perdagangan. Sudah tentu siaran radio yang pertama lahir di Indonesia ini menggunakan Bahasa Belanda dan tempat siaranya di salah satu ruangan Hotel des Indes yang terletak disudut Harmoni.

  • NEDERLANDS INDISCHE RADIO OMROEP (NIROM)

Dengan berkembangnya siaran radio yang dipelopori BRV, pemerintah Hindia Belanda menganggap sudah waktuny untuk mengadakan peraturan-peraturan tentang penyiaran radio (radio omroep).

Pada tahun 1934 diresmikan apa yang disebut "Radiowet" (Undang-undang Radio). Dengan lahirnya Radiowet diresmikan pula perkumpulan radio yang di beri nama "Nederlands Indische Radio Omroep atau NIROM.

NIROM dapat lisensi dari pemerintah India Belanda untuk menyelenggarakan siaran radio dengan program yang lengkap. Kepada NIROM diberikan hak untuk menerima apa yang disebut "iuran pendengar" (Luister bijdrage), sebesar & 1.50 sebulan untuk setiap pesawat radio. sementara itu kota-kota besar di Pulau Jawa seperti di Bandoeng, Tjirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Solo, Jogjakarta, Magelang, Soerabaja dan Malang di dirikan stasiun-stasiun relay. PTT menyediakan pula saluran telpon khusus untk menghubungkan pemancar NIROM pusat dengan studio-studio tersebut yang disebut NIROM lijen. NIROM dapat mengadakan siaran-siaran sentral dari salah satu tempat yang dilalui NIROM Lijin.

Dengan fasilitas-fasilitas tersebut maka NIROM sebenarnya adalah sebuah badan setengah resmi dari pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun pertama program siaran NIROM dititik beratkan kepada siaran bahasa Belanda, kemudian di perluas dengan programa "ketimuran" yang ditujukan kepada pendengar-pendengar bahasa Indonesia. Dengan pembayaran yang besar, NIROM dapat menarik orkes dan penyanyi terbaik. Melalui siaran-siaran yang di selingi dengan bermacam-macam pidato, uraian dan ceramah, NIROM menyebarkan doktrin-doktrin dari "etische politiek" pemerintah kolonial untuk mengimbangi makin meningkatnya pergerakan kebangsaan di Indonsia.

Sejak bangkit dan semakinya pergerakan kebangsaan dengan lahirnya "Sumpah Pemuda" tanggal 28 Oktober 1928, pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa pergerakan kebangsaan itu sangat membahayakan kekuasaan kolonialnya dan karna itu harus dihancurkan. Sementara itu di samping NIROM lahirlah perkumpulan-perkumpulan siaran radio yang suudah mulai dengan memperhatikan mutu acara. Hal ini merupakan tantangan bagi NIROM.

Dengan pecahnya perang dunia II dan didudukinya negeri Belanda oleh Jerman pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mengubah poitiknya di Indonesia, dengan cara memberikan konsensi politik. Tindakan ini tercermin juga dalam siaran-siaran NIROM pada tahun 1940. Politik pendekatan terhadap rakyat Indonesia itu lebih ditingkatkan setelah pecahnya perang pasifik dan tentara Jepang sudah mendekati Indonesia pada awal tahun 1942.

  • BANGKITNYA RADIO KEBANGSAAN

Dengan progrma-prograna siaran yang baik dan penyelenggaraan acara siaran yang menarik, NIROM berhasil "mengalihkan" perhatian masyarakat dari masalah-masalah politik, dan politik golongan pemimpin yang juga senang kesenian dan kebudayaan, untuk lebih banyak bergerak di bidang tersebut.

Tidaklah mengherankan jika dalam waktu singkat muncullah perkumpulan-perkumpulan siaran radio Bahasa Indonesia, yang tujuan utamanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Berturut-turut lahirlah SRV (Solosche Radio Vereniging) di kota Solo pada tahun 1933, VORO (Vereniging Oostersche Radio Omroep) di Batavia pada tahun 1934 kemudian VORL (Vereniging Oostersche Radio Luistraas) di Bandoeng, CIRVO (Chinesse en Intreemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java) di Soerabaja. EMRO (Eerste Madioense Radio Omroep) di Madiun dan MAVRO (Mataramse Vereneging Voor Radio Omroep) di Jogjakarta. Dan pada tahun itu pula di Solo muncul lagi sebuah perkumpulan siaran dengan nama SRI singkatan dari Siaran Radio Indonesia, sedang pada tahun 1936 di Semarang berdiri Radio Semarang.

Jika awal kelahirannya, siaran-siaran radio bangsa Indonesia itu masih menggunakan istilah "ketimuran" untuk "Indonesia", maka SRI di Solo sudah terang-terangan mencantumkan perkataan "Indonesia" pada namanya. Bagaimana pergerakan kebangsaan tak dapat di bendung. Perlahal-lahan masuklah unsur politik dalam siaran-siaran radio ketimuran.

Pada tanggal 28 Maret 1937, wakil-wakil dari VORO (Batavia), VORL (Bandoeng), MAVRO (Jogjakarta), SRV (Soerakarta) dan CIVRO (Soerabaja) di bawah pimpinan Soetarjo Karto Hadikoesoemo, mengambil keputusan untuk mendirikan "Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK).

Usul PPRK disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pertemuan di Batavia tanggal 7 Mei 1937, yang dirumuskan dalam bahasa Belanda sebagai berikut: "Ggrondlagen Voor Een regeling tot deelname door de federasi PPRK aanden Oostersen Omroep in Nederlands-Indie over de Nirom zenders". artinya: Dasar-dasar bagi peraturan ikut sertanya federasi PPRK dalam penyelenggaraan siaran ketimuran di Hindia Belenda melalui pemancar-pemancar NIROM.

Dalam kenyataanya, PPRK masih harus berjuang tiga tahun lebih sebelum persetujuan tersebut dapat direalisasikan. Pada tanggal 16 Agustus Soetarjo Karto Hadi Koesumo bersama pemimpin-pemimpin dalam pergerakan Volksraad, mengajukan mosi dan mosi tersebut disetujui.

Dengan demikian, pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengambil langkah-langkah untuk merealisasikan persetujuan 7 Mei 1937. Namun masih diperlukan waktu dua tahun, sebelum pemerintah Hindia Belanda menetapkan dengan surat keputusan tanggal 30 Juni 1940, agar siaran ketimuran diserahakan kepada NIROM, Siaran PPRK yang pertama melalui pemancar NIROM, diudarakan tanggal 1 November 1940.

  • SOLOSCHE RADIO VERENIGING (SRV)

Secara resmi SRV didirikan tanggal 1 April 1933. Dengan demikian,SRV lebih dulu mengudara daripada NIROM. Sebeum SRV didirikan di Solo sudah ada pemancar radio yang dihadiahkan oleh SP. Mangkunegara VII kepada perkumpulan kesenian "Javaansche Kunstkring Mardi Raras Mangkunegaran", untuk menyiarkan klenengan ketoprak dan wayang orang.

Kekuatan pemancaranya tidak besar, hanya dapat didengar sekitar Solo saja. Sedang jumlah pesawat radio hanya sekitar 20 buah.

Menyadari pentingnya kesenian Jawa untuk dikembangkan, maka atas prakarsa Ir. Sarsito diusahakan pemancar yang lebih kuat dan dibentuk perkumpulan khusus untuk penyiaran radio. Maka lahirlah SRV tanggal 1 April 1933. Siarannya selain di daerah Jawa, dapat di tangkap di daerah Soematra, Borneo, dan Celebes.

SRV berkembang dan membentuk beberapa kring diberbagai kota di Jawa yang akhirnya menjelma menjadi perkumpulan radio tersendiri.

Sementara itu tahun 1934 berdirilah VORO (Vereniging Voor Oostersche Radio Omroep) di Batavia.

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Belakangan hotel ini berganti nama menjadi Hotel Duta Indonesia, yang kemudian dibongkar dan di atasnya dibangun Hotel Duta Merlin dan kompleks pertokoan)