Nama-nama Tiongkok

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 05.12 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 6 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q3044828)

Penamaan Cina, China, atau Tiongkok (dari kata Zhong Guo / 中国) adalah kontroversi pilihan penggunaan istilah ini secara resmi dan benar politis (bahasa Inggris: Politically Correct) dan ditinjau dari sejarah, dan etimologi asal muasalnya di dunia.

Nama Sinitik

Pada zaman modern ini, istilah Zhongguo/Zhōngguó (baca: Cong1 Kuo2) digunakan untuk merujuk kepada seluruh daratan Tiongkok/中國本部 (termasuk Taiwan), Manchuria, Mongolia Dalam, Xinjiang, Tibet. Sebagai lawannya, Han merujuk pada kelompok etnis Han, yang sebagian besar terkonsentrasi di pusat daratan Tiongkok (中國本部), Manchuria, dan sedikit saja di ketiga bagian lainnya. Tidak ada istilah khusus yang merujuk pada tempat yang didiami oleh orang Han ini dalam bahasa Tionghoa

Zhonghua/Zhōnghuá (baca: Cong1 Hua2) adalah istilah literatur yang digunakan secara sinonim dengan Zhongguo; istilah ini hanya muncul pada nama-nama resmi Zhōnghuá Rénmín Gònghéguó dan Zhōnghuá Mínguó. Istilah Tang digunakan secara sinonim dengan Han di bagian selatan.

Zhongguo dan Zhonghua

Konsep "zhōngguó" - Lingkaran di tengah adalah "Tianzi"/Putra Langit; dua lingkaran di luarnya adalah para pejabat. Lingkaran terluar adalah negara-negara vasal. Di luar tersebut adalah "di luar peradaban", tempat tinggal bangsa Yi, Man, Rong, dan Di.

"Zhōngguó" dalam berbagai bahasa:

  • Indonesia: Tiongkok
  • Jepang: Chūgoku (中国; ちゅうごく)
  • Korea: Jungguk, Chungguk (중국; 中國)
  • Vietnam: Trung Quốc
  • Manchu: Dulimbai gurun
  • Mongol: Dumdadu ulus (Думдад улс)
  • Tibet: Krung-go (ཀྲུང་གོ་)
  • Uighur: Junggo (جۇڭگو)
  • Zhuang: Cunghgoz (karakter yang lebih tua: Cungƅgoƨ)

"Zhōnghuá" dalam berbagai bahasa:

  • Indonesia: Tionghoa/Tionghua
  • Jepang: Chūka (中華; ちゅうか)
  • Korea: Junghwa, Chunghwa (중화; 中華)
  • Vietnam: Trung Hoa

Tang

Nama Tang/Táng (唐, baca: Dang2) berasal dari dinasti Tang, yaitu zaman keemasan kedua sepanjang sejarah Tiongkok. Pada zaman itulah seluruh daratan Tiongkok dipersatukan, dan bagian selatannya melebur menjadi bagian yang tak terpisahkan; maka dari itu, biasanya orang-orang dari selatan-lah yang menamakan dirinya orang Tang/Tangren (唐人, baca: Dang2 Ren2).

"Tángrén" dalam berbagai bahasa:

  • Indonesia: Tenglang

Huaxia

Nama Huaxia/huáxià (华夏, baca: Hua2 Sia4) merupakan kombinasi dari dua kata:

  • Hua yang berarti sejahtera.
  • Xia yang dapat berarti dinasti Xia

Istilah ini dulu sering digunakan untuk menunjukkan pada lembah sungai Kuning/Huang He, dengan analogi Zhonghua, yang berarti "pusat yang sejahtera", sebelum istilah Han menjadi populer.

Tianxia

Nama Tianxia/Tiānxià (天下, baca: Dien1 Sia4) berarti "di bawah kolong langit". Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks perang saudara atau masa-masa perpecahan, dan siapa pun yang berhasil menyatukan seluruh daratan akan disebut telah memerintah Tianxia, atau semua di bawah kolong langit. Hal ini cocok dengan teori kepemimpinan tradisional bangsa Tionghoa bahwa sang kaisar adalah pemimpin seluruh dunia, bukan hanya sebuah kekaisaran.

Jiangshan

Nama Jiangshan/Jiāngshān (江山, baca: Ciang1 San1) berarti "Sungai dan Gunung". Istilah ini hampir mirip dengan Tianxia, dan artinya adalah seluruh dunia, dengan diwakili oleh bentang alam yang paling berarti di peradaban Lembah Sungai Kuning, yaitu Sungai dan Gunung. Istilah ini sering dipakai dalam kalimat "merancang sungai dan gunung" yang berarti menjaga dan meningkatkan pemerintahan di seluruh dunia.

Jiuzhou

Nama Jiuzhou/Jiǔzhōu (九州, baca: Ciu3 Cou1) berarti "sembilan wilayah". Istilah ini bermula pada pertengahan zaman negara-negara berperang. Pada masa itu, wilayah Sungai Kuning dibagi menjadi sembilan wilayah geografis; demikianlah nama tersebut tercipta.

Shenzhou

Nama Shenzhou/Shénzhōu (神州, baca: Sen2 Cou1) berarti "tanah dewa". Istilah ini muncul pada periode yang sama dengan istilah Jiuzhou. Shenzhou adalah kesembilan wilayah pada Jiuzhou secara bersama-sama yang merupakan negara superpower di dunia.

Sihai

Nama Sihai/Sìhǎi (四海, baca: Sê1 Hai3) berarti "empat lautan". Istilah ini berasal dari pengertian kuno bahwa dunia adalah datar dan daratan peradaban Lembah Sungai Kuning ada di tengah-tengah dunia dengan dikelilingi oleh empat lautan. Arti yang lain adalah seluruh dunia itu sendiri, yang dibatasi oleh lautan tidak bertepi di empat penjuru.

Dalu

Nama Dalu/Dàlù (大陸, baca: Ta4 Lu4) berarti "tanah besar", atau "benua". Sering digunakan untuk menunjuk pada seluruh daratan Tiongkok dalam konteks politis; Hong Kong dan Macau dan Taiwan tidak termasuk dalam pengertian istilah ini. Namun daerah istimewa dan kepulauan termasuk.

Nama-nama yang tercantum di catatan sejarah non-Zhongguo

Nama-nama berikut dipakai di negara-negara di Asia, terutama di Asia Timur dan Asia Tenggara, dan biasanya diturunkan dari bahasa-bahasa Tionghoa (中国语文) yang dipelajari lewat jalur darat. Nama-nama ini biasanya memiliki kemiripan dengan bahasa Tionghoa, dikarenakan pengaruh Zhong Guo dan bahasanya pada negara-negara di sekitarnya dan kebudayaan bangsa Asia yang tidak berbeda jauh membuat cara pengucapan namanya tidak jauh berbeda.

Nama-nama yang muncul dan digunakan di bahasa-bahasa Eropa, pada kebalikannya, jauh berbeda dengan aslinya, karena melalui jalur laut dan tidak memiliki kemiripan dengan yang dipakai di negara asalnya.

Lalu bangsa Eropa menjajah negara-negara Asia, dan membawa bahasa mereka, serta cara pengucapan dalam bahasa mereka ke dalam negara-negara jajahannya, sehingga terjadi berbagai versi dalam bahasa-bahasa di Asia untuk nama Zhong Guo. Sebagai contohnya adalah bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris yang menjajah Indonesia, serta pengaruh budaya Amerika Serikat yang membuat bahasa Indonesia memiliki dua istilah (yang ramai dipertentangkan) untuk nama Zhong Guo, yaitu Tiongkok dan Cina.

Chin

Para pakar tidak mencapai kata sepakat dari mana asal muasal nama ini. Kemungkinan asal-usulnya:

Marco Polo secara spesifik menggunakan istilah Chin, yang dipercaya berasal dari bahasa Persia, yaitu lingua franca atau bahasa persatuan pada Jalur Sutera. Barbosa (1516) dan Garcia de Orta (1563) menggunakan istilah China.[butuh rujukan]

Bahasa-bahasa di dunia yang menggunakan variasi dari istilah ini:

  • Amharik: Chayna (dari Inggris)
  • Azerbaijan: Çin (IPA /tʃin/)
  • Basque: Txina (IPA /'tʃinə/)
  • Belanda: China
  • Bengali: Chin (চীন IPA: /ʧin/)
  • Katalan: Xina (IPA /'ʃinə/)
  • Ceko: Čína (ˈʧiːna)
  • Inggris: China (ˈʧaɪnə)
  • Esperanto: Ĉinujo atau Ĉinio atau Ĥinujo
  • Filipina: Tsina
  • Georgia: ჩინეთი (IPA ʧi:nεti:)
  • Jerman: China (IPA /'çi:na/, dalam beberapa dialek selatan /'ki:na/) (lihat Kina)
  • Hindi: Chīn चीन (IPA /'ʧi:n/)
  • Indonesia: Cina (IPA /ʧina/) ─ digunakan sejak kedatangan perantau pada abad ke-17 [1][2] dan secara resmi pada tahun 1967. Alternatifnya adalah China (1990an) dan Tiongkok (1900-1967) dan setelah reformasi sekitar tahun 2001.
  • Interlingua: China
  • Irlandia: An tSín (IPA /ən ˈtʲi:nʲ/)
  • Italia: Cina (IPA /ˈʧi:na/)
  • Jepang: Shina (支那) — dipertimbangkan sebagai istilah yang kasar, dan sekarang hampir tidak pernah dipakai dan dihindari karena takut menyakiti hubungan bilateral kedua negara. Istilah yang resmi digunakan adalah Chūgoku.
  • Korea: Jin, Chin
  • Malayalam: Cheenan/Cheenathi
  • Palawi: Čīnī
  • Perancis: Chine (IPA /ʃin/)
  • Persia: Chin چين (IPA /ʧin/)
  • Polandia: Chiny (IPA /'xinı/)
  • Portugis: China (IPA /'ʃinɐ/)
  • Slowakia: Čína (IPA /ʧi:na/)
  • Spanyol: China (IPA /'ʧina/)
  • Tamil: Cheenaa
  • Thailand: Jiin (จีน)
  • Turki: Çin (IPA /ʧin/)
  • Urdu: Čīn چين (IPA /ʧi:n/)
  • Welsh: Tsieina

Dalam bahasa Tionghoa 支那 Zhīnà merupakan istilah pinjaman balik dari bahasa Jepang yang bermakna menghina dan tidak pernah digunakan.

China

Nama China dalam bahasa Inggris, yang diadopsi pula oleh banyak bahasa lainnya, dapat merujuk pada:

Cina

Istilah Cina berasal dari nama Ahala Qin (baca Ch'in), dinasti 'Chin' (abad 3SM) dinasti pertama yang mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah sebuah pemerintahan pusat yang sangat kuat dan besar pengaruhnya. Walaupun masa pemerintahan dinasti itu tidak lama (sekitar 225 SM sampai 210 SM), dinasti ini mendirikan kerajaan pertama dan merintis bentuk kerajaan yang berjalan terus selama lebih dari 2000 tahun sampai revolusi republik pada tahun 1913.

Menurut hasil riset Leo Suryadinata, telah digunakan sejak awal abad-17. Teks-teks semi klasik di Cina sendiri sempat menggunakan istilah Zhina [1]

Kekaisaran Chin terkenal karena di bawah kaisar pertamanya Shih Huang Ti (penulisan Kaisar Qin) dibangun pemerintahan terpusat dalam bentuk kekaisaran, dan selama pemerintahannya dilakukan pembakuan ukuran dan berat, ketepatan, dan sistem penulisan. Kaisar itu memerintahkan pembangunan tembok besar sepanjang 2400 KM untuk mempertahankan diri dari serangan bangsa Barbar. Bangga akan dinasti 'Chin' yang menjadi tonggak sejarah pendirian Imperium pertama, Tembok Raksasa Cina, rintisan tulisan Chin, serta keteraturan dan ketertiban pemerintahan, orang-orang yang tinggal di negeri itu menyebut diri mereka sebagai 'orang-orang (dari negeri) Chin,' sehingga ketika terjadi perjumpaan dengan negara-negara Barat, negara itu disebut sebagai China dan orangnya disebut Chinese.

Sekitar abad ke-7 bangsa perantau ini masuk ke Indonesia sedini abad ke-7, orang Inggris menyebutnya sebagai chinese overseas dan di Indonesia disebut sebagai 'cina perantauan', kemudian masuk ke segenap pelosok tanah air, dan sejak abad ke-11, ratusan ribu bangsa 'chin' ini memasuki kawasan Indonesia terutama dipesisir utara Pulau Jawa, pesisir selatan dan timur Sumatera, serta Barat Kalimantan.

Para perantau yang disebut "Cina baru" atau "singkeh" ini berasal dari keluarga-keluarga miskin yang terpaksa hidup jauh dari tanah kelahiran. Pola hidup mereka sangat sederhana, hidup sangat hemat, cenderung kikir.Hal itu yang sampai saat ini masih sering dijadikan mitos atau stereotipe orang Cina pelit dan egois. Perantau ini kemudian membawa keluarga mereka itu kemudian membentuk koloni 'kampung cina' atau 'pecinan'. Sejak itu istilah 'cina' menjadi populer misalnya untuk menyebut makanan seperti dodol cina, petai cina, juga untuk menyebut tempat seperti bidara cina, dan di banyak kota dimana banyak orang cina tinggal kemudian disebut sebagai 'pecinan'. Dalam perbauran dengan budaya lokal dikenal wayang 'Po Te Hi' dimana salah satu tokohnya disebut sebagai 'Puteri Cina' [3].

Makna kata "Cina" berubah pada akhir tahun 1960-an menyusul diterbitkannya sebuah Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 yang mengklaim bahwa "istilah 'Tionghoa/Tiongkok' mengandung nilai-nilai yang memberi assosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah 'Cina' tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dynasti dari mana ras Cina tersebut datang", sedangkan sesungguhnya kata "cina" tersebut berkonotasi dengan kebencian yang ditujukan untuk menghina dan merendahkan orang Tionghoa.[4]

Istilah yang digunakan untuk Cina dalam berbagai bahasa dunia

Kekuasaan Kaisar Qin dan kerajaannya telah memunculkan istilah-istilah yang berasal dari nama dinasti itu.

  • Orang Arab mengatakan "Shin", yang hingga kini masih sering dikutip sabda Nabi Muhammad SAW

.

  • Dalam bahasa Jawa digunakan "Cino" atau "Cinten" dan "Wong Cino" (merujuk pada orangnya) dalam pemakaian umum tanpa ada maksud menghina [5][6]
  • Di Indonesia istilah Cina telah digunakan secara umum semenjak kedatangan pertama orang Cina hingga sekarang.[butuh rujukan]

Keberatan akan istilah Cina

Dinasti Qin yang dipimpin oleh Kaisar Qin dikenal sebagai kaisar yang tidak segan-segan membunuh orang banyak, ia pemeluk aliran Legalis (Fajia)[butuh rujukan] yang ajarannya sangat berlawanan dengan ajaran Kong Hu Cu (Konfusius). Atas perintahnya dilakukan pembakaran atas buku-buku ajaran Kong Hu Cu dan memerintahkan hukuman dikubur hidup-hidup terhadap 500 sarjana Konfusianis. Akibat dari tindakan brutal Kaisar Qin itu, banyak rakyatnya di kemudian hari yang lebih suka menyebut diri mereka dengan kata Tangren, merujuk pada dinasti yang lebih disukai oleh rakyatnya. Di dalam bahasa Indonesia, terutama orang-orang Tionghoa yang berasal dari provinsi Fujian (Hokkian), sebutan itu menjadi Tenglang.

Keberatan di Zhong Guo

Pada tahun 1850 terjadi pemberontakan Taiping (1850) dan Bokser (1900) yang merintis revolusi pada tahun 1913. Ini mengakibatkan sikap antipati yang besar kepada bangsa Barat, sehingga dengan meningkatnya harga diri seluruh bangsa, mereka kemudian menolak sebutan China dan kembali pada premordialisme kebangsaan dan menyebut negeri mereka sebagai 'Chung-Kuo' atau 'Negara/Kerajaan Tengah/Pusat'

Setelah Restorasi Meiji 1868, Jepang muncul sebagai salah satu adikuasa. Para pemimpin Jepang menjelang abad ke-20 sadar akan akar kebudayaan mereka yang berasal dari daratan Tiongkok, namun di sisi lain mereka melihat akan kebobrokan masyarakat dan pemerintahan kekaisaran Qing itu yang tengah berada di bawah penjajahan bangsa asing. Salah satu tujuan awal mereka menginvasi Manchuria adalah untuk mengusir bangsa Barat tersebut, namun akhirnya berubah menjadi misi kolonialisme dan imperialisme. Istilah Shina yang dipakai orang Jepang digunakan untuk menghina.

Keberatan di Indonesia

Di Indonesia, pedagang dari selatan daratan Tiongkok yang sudah lebih dahulu menguasai perdagangan di Indonesia selama beberapa ratus tahun pun bentrok dengan pendatang baru bangsa Barat khususnya Belanda sehingga pada tahun 1740 di Batavia, kemudian disusul kota-kota lain, mereka berontak terhadap dominasi VOC, akibatnya VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi kepada bangsa perantau ini berupa pemberian hak-hak istimewa, bahkan kemudian mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap setingkat lebih tinggi dari warga penduduk asli.

Status istimewa ini mengakibatkan pandangan buruk penduduk pribumi terhadap para perantau tersebut. Pertama karena kolaborasi mereka dengan penjajah dan praktek dagang yang bercorak Quanxi (koneksi/kolusi) dan merugikan masyarakat pribumi, serta banyak perilaku negatif mereka.

Penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa

Sekitar akhir abad ke-19[butuh rujukan] diambilah jalan tengah penggunaan istilah Tiongkok yang diambil dari terjemahan Chung Kuo (pinyin: Zhong Guo). Pada tahun 1901 didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan (pinyin: Zhong Hua Hui Guan) terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi ini dipimpin oleh Kang Yu Wei, Liang Chi Chao, dan Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa. Penggunaan kata Tionghoa juga terpengaruh gerakan Dr. Sun Yat Sen untuk meruntuhkan Dinasti Qing dan menggantinya dengan Chung Hwa Ming Kuo (pinyin: Zhong Hua Min Guo) atau "Republik Tiongkok". Sejak saat itu mereka menyebut dirinya orang Tionghoa, yaitu dialek Hokkian dari kata bahasa Mandarin Chung Hwa (pinyin: Zhong Hua) , dan menolak disebut Cina.

Pada 1928, tokoh pergerakan Indonesia yang merasa "berutang budi" kepada masyarakat Tionghoa karena koran-korannya banyak memuat tulisan pemimpin pergerakan tersebut ─ koran Sin Po adalah koran pertama yang mengganti sebutan Hindia Belanda dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan WR Soepratman ─, sepakat mengganti sebutan Cina dengan Tionghoa. Dalam teks penjelasan UUD 1945 kata yang digunakan adalah Tionghoa pula. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru [7].

Sejak itu istilah "Tionghoa" dipakai bersama sebagai padanan istilah "Cina" yang sudah populer lebih dahulu.

Pada tahun 1948 dimasa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami debat panjang menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Adanya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis di Cina[disinyalir], beberapa orang etnis Cina atau Tionghoapun mendukungnya[butuh rujukan]. Akibatnya pada masa itu secara umum etnis Cina atau Tionghoa dicurigai secara politik. Warisan politik tersebut terus diturunkan tanpa ada yang berani menentang hingga berakhirnya Orde Baru pada 1998. Sejak saat itu banyak dialog-dialog diadakan untuk mencari solusi nama yang netral

Pelarangan penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa

Karena perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi[butuh rujukan] penggunaan istilah Tionghoa dikarenakan istilah ini digunakan oleh partai dan komunisme[8].

Pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yaitu larangan dagang bagi semua orang yang masih memiliki "kewarganegaraan Cina" di Daerah Tingkat II. Pada tahun 1959 orang Cina dipersilahkan memilih menjadi warga negara tanah leluhur (menjadi Warga Negara Asing yang tinggal di Indonesia) atau menjadi Warga Negara Indonesia. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya.

Terjadinya pemberontakan PKI (G30S PKI)pada tahun 1965 dan kecurigaan akan dukungan RRC (yang kala itu disebut sebagai Republik Rakyat Tiongkok (RRT)) membuat pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967 mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina dilakukan di Indonesia, pengubahan sebutan kata Tionghoa-Tiongkok kembali menggunakan kata Cina dan mengubah singkatan RRT menjadi RRC (Republik Rakyat Cina), serta Taiwan yang dengan nama Republik Cina. Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 [9] dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 [10] yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan (yaitu istilah yang digunakan secara khusus untuk menunjuk pada orang Tionghoa-Indonesia dan berkonotasi negatif) yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Bakin pun mengawasi gerak-gerik para "WNI keturunan" tersebut melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) terpaut dengan masalah komunisme.

Kompromi diplomatik dan penggunaan di media

  • Pada awal 1990-an Pemerintah RRC dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) melakukan perundingan. Saat perundingan ini terjadi untuk membuka kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang terputus karena politik Soeharto pada masa itu, ada ganjalan dalam penyebutan nama negara. Pemerintah RI ingin mempertahankan sebutan "Republik Rakyat Cina" dan sebaliknya pemerintah RRT ingin menggunakan istilah Indonesia "Republik Rakyat Tiongkok". Setelah perundingan mencapai kebuntuan, diambil jalan tengah dengan memperkenalkan penggunaan kata China (baca: Chaina) dari bahasa Inggris. Kompromi diplomatik ini menyebabkan kerancuan bahasa Indonesia hingga saat ini; dalam kosakata bahasa Indonesia pengucapan "China" oleh masyarakat umum tetap adalah "ci-na". Pengucapaan menggunakan ejaan bahasa Inggris oleh sebagian kalangan dianggap melanggar asas berbahasa Indonesia (dan juga ratusan kata pinjaman dari bahasa Inggris lainnya). Pengucapan ini antara lain digunakan oleh Metro TV, stasiun TV nasional Indonesia. Penulisannya sendiri digunakan oleh surat kabar Kompas dan seluruh jajaran penerbitan Kompas-Gramedia. Surat kabar JawaPos merupakan salah satu koran nasional terbesar yang menggunakan istilah Tionghoa-Tiongkok.


Sin

Nama yang asalnya kemungkinan berbeda dari Chin, namun tidak kalah misterius. Kemungkinan asal-usulnya:

  • Bahasa Ibrani: Sin[11] סִין
  • Bahasa Arab: in صين
  • Bahasa Latin: Sinæ

Bahasa Inggris dan melaluinya bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa lainnya menggunakan istilah ini sebagai prefiks atau kata sifat: Sino- (seperti: Sino-Taipei), Sinitik (rumpun bahasa Sinitikus)

Sinae

Nama Sinae merupakan nama kuno dalam bahasa Yunani dan Romawi untuk orang-orang yang tinggal di selatan Seres (lihat bagian berikutya) di bagian pucuk timur dunia yang tidak dapat didiami. Referensi untuk istilah ini termasuk catatan mengenai sebuah kota yang oleh orang-orang kuno disebut sebagai "metropolisnya Sinae", yang tidak dapat dilacak oleh ahli-ahli modern keberadaannya. Walaupun nama Sinae kemungkinan besar berasal dari sumber etimologi yang sama dengan istilah Sin, namun hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai asal kata ini.

Ser

Nama Ser pemakaiannya lebih awal daripada Sin , kemungkinan masih berhubungan.

  • Bahasa Yunani: Seres, Serikos
    • Sêr (σηρ), berarti "ulat sutera", kemungkinan diturunkan dari kata sī (丝, baca: Sê1) yang berarti "sutera" dalam bahasa Tionghoa.
    • Serikos (σηρικος), berarti "dibuat dari sutera"
    • Seres (σηρες) berarti "tempat sumber sutera"
  • Bahasa Latin: Serica ("sutera")

Kina

Nama Kina (ʃi:na) dan variasinya digunakan terutama di Eropa Utara dan Timur pada saat ini.

  • Albania: Kinë (IPA /kinə/)
  • Bosnia: Kina
  • Denmark: Kina
  • Estonia: Hiina
  • Finlandia: Kiina
  • Hungaria: Kína (IPA /ki:nɒ/)
  • Islandia: Kína
  • Kroasia: Kina
  • Lituanian: Kinija
  • Makedonia: Кина (Kina)
  • Norwegia: Kina
  • Romania: China (IPA /ki:na/)
  • Serbia: Кина (IPA /ki:na/)
  • Swedia: Kina (IPA /'ɕi:na/)
  • Yunani: Κίνα (Kína)

Cathay

Nama Cathay dan variasinya diturunkan dari nama suku Khitan, kelompok etnis yang mendominasi daratan Manchuria pada abad ke-10. Nama bangsa ini selamat dari kepunahan berkat bangsa Rusia yang menggunakan istilah Китай (Kitay) untuk menyebut Zhong Guo. Karena dominasi Manchuria yang lama pada zaman Dinasti Qing (dinasti terakhir dan dinasti yang membuka diri kepada bangsa Eropa), maka nama ini melekat penggunaannya pada bahasa-bahasa Eropa, terutama setelah istilah ini digunakan untuk menterjemahkan petualangan Marco Polo di negeri Oriental tersebut. Nama ini terus digunakan sampai sekarang dan juga digunakan di bahasa Inggris kuna (Cathay), bahasa Portugis (Catai), dan bahasa Spanyol (Catay). Istilah Cathay juga diabadikan menjadi nama perusahaan penerbangan Cathay Pacific yang utamanya melayani penerbangan dari dan ke Cathay.

  • Inggris: Cathay
  • Italia: Catai
  • Kazan Tatar (Rusia tengah): Qıtay
  • Latín pertengahan: Cataya, Kitai
  • Mongol klasik: Хятад (Hyatad/Kitad)
  • Portugis: Cataio/Catai
  • Rusia, Bulgaria: Китай (Kitai/Kitay)
  • Slovenia: Kitajska (IPA /'ki:tajska/)
  • Spanyol: Catay
  • Turkmenistan: Hitaý
  • Uigur: Hyty
  • Ukrainia: Kytai (Китай)

Tabgach

Nama Tabgach berasal dari metatesis "Tuoba" (*takbat), suku yang dominan di Xianbei. Menunjuk pada bagian utara Zhong Guo yang didiami oleh masyarakat separo Xianbei, separo Tionghoa.

  • Yunani Pertengahan: Taugats
  • Orhon Kok-Turk: Tabgach/Tamgach

Nikan

Nama Nikan berasal dari etonim Manchuria yang tidak jelas asalnya yang merujuk pada kelompok etnis Han; akar kata ini juga dikonjugasikan menjadi kata kerja nikara(-mbi) yang berarti "berbicara bahasa Tionghoa".

Karena istilah ini hanya merujuk pada sekelompok orang (bangsa), bukan entitas politik (negara), maka nama Zhong Guo diterjemahkan ke dalam bahasa Manchuria sebagai Nikan gurun, yang berarti "negara para Han".

  • Bahasa Daur: Niaken ([nja.kən] atau [ɲa.kən]).[12] - Niaken gurun - niakendaaci-->nikara(-mbi).

Kara

Nama Kara dalam bahasa Jepang (から; dalam kanji kanji 唐 atau 漢) dipercaya oleh sejarawan dan pakar bahasa Jepang sebagai nama kuno untuk Zhong Guo. Nama ini juga tercatat digunakan untuk menunjuk Korea, yang dijelaskan oleh para ahli merupakan bagian dari Zhong Guo pada masa penggunaan kata Kara ini.

Dari kata ini diturunkan kata Karate (空手), yang berarti "tangan kosong" ─ pada mulanya ditulis 唐手, yang dapat merujuk pada asal muasal bela diri tersebut, yaitu negeri Kara.

Morokoshi

Nama Morokoshi dalam bahasa Jepang (もろこし; dalam kanji 唐 atau 唐土) merupakan nama Zhong Guo yang sudah tidak dipakai lagi. Kemungkinan diturunkan dari pembacaan kun dari frasa Zhūyuè (諸越) / Bǎiyuè (百越), yang berarti "semua bangsa Yue" atau "ratusan (banyak) orang Yue" yang merupakan istilah kuno untuk menyebut kelompok masyarakat di bagian selatan daratan Tiongkok.

Kata benda dalam bahasa jepang Tōmorokoshi (トウモロコシ; dalam kanji 玉蜀黍), yang menunjuk pada tepung maizena, nampaknya mengandung unsur yang sama, yang menjelaskan asal-usul tepung tersebut.

Mangi

Nama Mangi dibawa oleh Marco Polo yang berasal dari kata Manzi yang digunakan, terutama oleh orang utara untuk menyebut orang barbarian dari selatan, yaitu penduduk daratan selatan. Hal tersebut dibawa sejak perpecahan Utara dan Selatan yang dimulai dari Dinasti Jin dan diteruskan ke Dinasti Song yang berlawanan dengan prinsip persatuan dari dinasti-dinasti sebelumnya (seperti Dinasti Han), dan nama hinaan itu umum digunakan oleh orang utara untuk menyebut orang selatan. Nama ini sering muncul dalam dokumen Dinasti Yuan pimpinan bangsa Mongol. Nama ini sekarang tidak pernah digunakan lagi karena konotasinya yang negatif.

Referensi dan catatan

  1. ^ a b (Indonesia) menurut Leo Suryadinata dalam tulisan "Tionghoa Atau Cina, Di Era Reformasi" oleh A. Dahana
  2. ^ *Islam and Chineseness, Denys Lombard
    • Claudine Salmon dan Le carrefour javanais, Denys Lombard
    Dipakai di Batavia pada abad 17. Dimulai dengan banyaknya komunitas warga Tionghoa yang ada di Batavia, dan mendirikan semacam perkumpulan (atau gank perjudian atau bahkan rumah candu). Dalam setiap perkumpulan itu, ada ‘jagoannya’ masing-masing. Pemerintah kolonial mengangkat para jagoan-jagoan itu dengan pangkat khusus yang dikenal sebagai Kapitan Cina. Kapitan-kapitan itu mengatur jalannya komunitas warga Tionghoa agar tetap berada dalam cengkraman pemerintah kolonial. Sebagai balas jasa, pemerintah kolonial memberikan hak terbatas kepada mereka dan keluarga mereka. Hak tersebut tingkatannya hampir mirip seperti bangsawan-bangsawan rendah Jawa. Masyarakat umum, memanggil mereka, para Kapitan itu, dengan sebutan Kapitan Cina. Kemudian Pemerintah Kolonial malah ikut-ikutan memanggil mereka dengan sebutan Kapitan Cina.
  3. ^ (Indonesia) Yabina: Cina atau Tionghoa
  4. ^ Legislator wants official abolition of word ‘Cina’
  5. ^ (Indonesia) Siar News Service, diambil dari arsip surat-e. Seperti yang dikatakan Umar Khayam pada Arief Budiman pada penulisan Cina atau Tionghoa?
  6. ^ (Indonesia) Arsip surat-e dengan topik: Istilah Tiongkok dan Cina di Wikipedia Indonesia
  7. ^ (Indonesia) Blog Lembaga Kajian Agama dan Sosial: Cina, China, dan Tionghoa oleh Benny G. Setiono, Pengamat Sosial dan Politik
  8. ^ (Indonesia)Hoa Kiauw di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer.
  9. ^ (Indonesia) Cina atau Tionghoa
  10. ^ (Indonesia) Masyarakat Cina di Indonesia
  11. ^ Dalam Kejadian 10:17 disebutkan bahwa Kanaan memperanakkan orang(-orang) Sini. Beberapa orang berpendapat hal ini menunjukkan orang-orang Zhong Guo, walaupun juga dapat berarti salah satu suku bangsa Kanaan.
  12. ^ Samuel E. Martin, Dagur Mongolian Grammar, Texts, and Lexicon, Indiana University Publications Uralic and Altaic Series, Vol. 4, 1961