Mohd Salleh bin Abdul Karim

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Haji Mohd Salleh bin Abdul Karim (lahir di Bukit Pasir, Muar, Johor, 1916 – meninggal di Jakarta, 21 April 1959 pada umur 43 tahun) adalah seorang pejuang dari Johor, Malaysia. Beliau lahir di Tanjung Olak Batu, Bukit Pasir, Muar, Johor pada tahun 1916. Masa mudanya banyak dihabiskan dengan menuntut ilmu dari beberapa orang guru termasuk guru di kampung istrinya, Hajjah Esah Haji Abdul Rashid, di Kayu Ara Pasong, Pontian, Johor.

Di antara guru-guru Haji Mohd Salleh adalah Haji Hussein (belajar agama dan Al-Quran), Haji Alias, Haji Adam dan Haji Ahmad. Ia juga turut belajar dari Haji Abdul Fadhil bin Abu Bakar Banten yang membawa ajaran Wirid Khaujakan di Johor setelah mendapatkan izin Sultan Ibrahim dan telah diangkat sebagai kepala kelompok Wirid Khaujakan di Batu Pahat, Johor.

Haji Mohd Salleh, atau yang lebih dikenal sebagai Penghulu Salleh, Panglima Salleh atau "Kiai Salleh" atau "Panglima Salleh Selempang Merah" adalah seorang pahlawan Melayu keturunan Banjar yang melawan kekejaman komunis saat setelah kekalahan Jepang selama Perang Dunia II. Ada beberapa orang kampung menggelarnya Salleh Hitam atau Salleh Keling karena kulitnya yang agak sedikit gelap.

Dikatakan juga Haji Mohd Salleh pernah bergabung MPAJA (Rakyat Malaya Anti Jepang) atau Komunis pada tahun 1942 atas desakan berbentuk paksaan oleh agen Komunis. Ia juga diangkat sebagai Ketua Komunis Melayu Seri Medan pada tahun tersebut. Tetapi ia tidak pernah memperlakukan orang atau membantu Komunis secara langsung. Malah pajak untuk MPAJA yang dikutip oleh beliau dari orang kampung digunakan untuk kenduri ni'mat (sebuah acara syukuran warga setempat) dan jamuan makan untuk orang kampung.

Jasa

Kepemimpinan Haji Mohd Salleh mulai dipegang tahun 1942 karena keberhasilannya menyatupadukan dan memimpin penduduk Melayu dari Daerah Batu Pahat dari berbagai suku yaitu Banjar, Jawa, Bugis dan Melayu untuk menentang MPAJA saat zaman pemerintahan Jepang sampai zaman Administrasi Militer Britania (BMA) dan zaman darurat.

Sebelum kedatangan pihak Inggris, pihak Malayan People Anti-Japanese Army (MPAJA) yang dikenal dengan berbagai nama seperti Bintang Tiga (Lambang tiga bintang di topi), bucu Tiga (merujuk topi mereka yang berbucu tiga) dan Ketumbu Gila yang sebelum itu berjuang melawan Jepang di bawah payung Partai Komunis Malaya. Komunis telah mengambil kesempatan untuk berkuasa dan bertindak kejam terhadap orang-orang yang dianggap bekerjasama dengan Jepang. Mereka tidak mengenal korban dan menghukum siapa saja yang dianggap bersalah dengan menurut undang-undang mereka dimana terjadi pengadilan di pengadilan yang disebut Mahkamah Rakyat di hutan. Lazimnya mereka yang dibicarakan akan ditemukan bersalah dan dikenakan hukuman mati.

Kekejaman Askar Bintang Tiga merajalela di Malaya termasuk di daerah Batu Pahat dan Muar di Johor. Masyarakat Melayu di kawasan Parit sulong, Batu Pahat, Johor, yang pada saat itu tidak memiliki kelengkapan senjata api untuk mempertahankan diri telah memilih Haji Mohd Salleh untuk memimpin aliansi untuk mempertahankan diri dari kekejaman Askar Bintang Tiga.

Bintang Tiga juga menmperkenalkan peraturan yang menyebabkan Orang Melayu menjadi marah dan melawan mereka. Antara peraturan tersebut adalah:

  • Mengutip pajak uang dari penduduk Batu Pahat keturunan Melayu, Cina dan India dengan tinggi sekali.
  • Memaksa penduduk lokal menyerahkan hasil panen kepada MPAJA.
  • Merampok hasil panen, tanaman dan ternak penduduk kampung.
  • Menculik wanita muda tidak peduli anak dara, janda atau istri orang untuk dijadikan anggota komunis dan penggalak keturunan.
  • Memaksa penduduk lokal bergabung MPAJA dengan tanpa alasan.
  • Menyerang kampong dan membunuh orang sipil yang tidak berdosa tanpa alasan.
  • Mengadakan Mahkamah Rakyat yang tidak adil melaksanakan hukuman seperti Melarang orang Islam salat berjamaah dengan alasan membuang waktu.

Dengan hanya bersenjatakan parang panjang dan praktik Ayat Empat, Haji Mohd Salleh telah memimpin masyarakat Batu Pahat untuk menggempur kubu Askar Bintang Tiga di Bukit Berdiri dan Bukit Alam, Parit Sulong, di Parit Lubok, Semerah, di Kangkar Senanga, dan di Ayer Kuning, Bakri, Muar. Tim pejuang di bawah pimpinan Haji Mohd Salleh terkenal dengan sebutan tentara parang panjang dan Selempang Merah yaitu jenis kain selendang berwarna merah yang disediakan kepada setiap orang ketika menghadapi atau berhadapan dengan musuh.

Ada berbagai kisah mengenai kehebatan ilmu kebatinan Haji Mohd Salleh dan pengkutnya mengklaim banyak Askar Bintang Tiga melihat ribuan pejuang yang tinggi menggalah menuju mereka untuk mencabut nyawa mereka, sedangkan yang datang itu hanyalah Panglima Salleh dan pasukanya yang diperkirakan berjumlah seratus orang saja.

Walau apapun yang sebenarnya terjadi, yang jelas adalah Haji Mohd Salleh bin Abdul Karim membatasi kegiatan Askar Bintang Tiga pada masa itu secara efektif sampai pihak Inggris kembali menjajah Malaya.

Kegagahan dan keberanian Haji Mohd Salleh diakui oleh kebawah Duli Sultan Johor Almarhum Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar yang bertitah pada tanggal 26 Desember 1945 bahwa Haji Mohd Salleh adalah Panglima Melayu. Sejak itu Haji Mohd Salleh mendapat gelar Panglima.

Sebagai jasa Haji Mohd Salleh, DYMM Sultan Johor telah memberi beliau Medali Ibrahim Sultan (PIS) pada 17 September 1955. Haji Mohd Salleh menghembuskan napas yang terakhir karena terserang penyakit radang paru-paru di Rumah Sakit Sultanah Aminah Johor pada 21 April 1959.

Rujukan

  • Buku Panduan Wirid Khaujakan disusun oleh Ahli Jawatankuasa Khaujakan bersama Ahli Majlis Fatwa Johor
  • Panglima Salleh Selempang Merah oleh Zaharah Nawawi. September 1986 ISBN 983-62-00552-7

Pranala luar