Malu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hawa menutupi tubuhnya dan menundukkan kepalanya karena rasa malu, Eve After the Fall.

Malu adalah salah satu bentuk emosi manusia.[1] Malu dicirikan dengan perasaan aprehensi (gelisah), kurangnya rasa nyaman, atau canggung tekhususnya pada saat seseorang tersebut berada di area dengan banyak orang. Hal ini biasa terjadi pada situasi-situasi baru atau orang yang tidak dikebal; orang yang pemalu dapat memilih untuk menghindari situasi-stuasi ini. Meski malu dapat menjadi ciri orang dengan harga diri rendah, ciri yang paling mendefinisikan malu adalah ketakutan mengenai apa yang orang pikirkan mengenai perilaku orang tersebut, Ketakutan akan reaksi negatif ini, seperti diledek atau dikritik dapat membuat seorang pemalu untuk mundur. Wujud lebih parah malu dapat dirujuk sebagai kecemasan sosial atau fobia sosial.[2][3]

Dalam beberapa buku, misalnya buku berjudul Shame: Theory, Therapy, Theology karya Stephen Pattison dan Shame: Exposed Self karya Michael Lewis, malu identik dengan perasaan yang dialami Hawa di Surga ketika ia melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah Khuldi.[1][4] Pada saat itu dikisahkan Hawa merasa malu karena dia sadar bahwa dirinya telanjang setelah ia melakukan perbuatan dosa, yaitu memakan buah khuldi yang dilarang oleh Tuhan.[1][4]

Karakter rasa malu[sunting | sunting sumber]

Rasa malu dapat terjadi di mana saja.[1] Malu dapat muncul pada diri seseorang terkait dengan psikologi, teologi, filosofi, dan sosiologi.[5] Menurut Calr Schneider dalam buku Shame, Exposure, Privacy, rasa malu terbagi dalam dua kategori, yaitu rasa malu yang berhubungan dengan kehinaan seseorang dan rasa malu yang terkait dengan kesopanan.[5] Schneider berpendapat bahwa rasa malu kehinaan lebih diutamakan sehingga rasa malu kesopanan dapat diabaikan.[5] Namun, keduanya tetap diperlukan oleh manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan.[5]

Menurut para penulis abad pencerahan seperti Thomas H. Burgess, Charles Darwin, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, dan Nietzsche, manusia secara kodrat memang memiliki rasa malu kesopanan dan nilainya positif dalam interaksi sosial.[5] Rasa malu yang berhubungan dengan kesopanan ini memiliki fungsi positif untuk menjamin adanya kesopanan, privasi, kesusilaan, dan kebijaksanaan.[5] Fungsi rasa malu adalah untuk menetapkan batasan-batasan yang tepat guna mencegah hal yang melanggar kehormatan orang lain.[5] Rasa malu menjaga batasan-batasan jati diri.[5] Menurut Schneider, malu membimbing seseorang untuk berlaku mempertahankan integrasi, dan oleh karena itu sangat erat dengan disiplin etika.[5]

Fakta[sunting | sunting sumber]

Dalam dunia psikologi dan antropologi, malu bersentuhan dengan dimensi psikologi manusia, malu merupakan emosi bawaan manusia yang terhubung dengan rasa bersalah, kesombongan, dan kesadaran diri.[1] Rasa malu membawa perilaku manusia kepada depresi dan asosial.[1] Seseorang yang mengalami rasa malu berarti ia sedang mengalami konflik dalam dirinya, yaitu konflik karena dirinya melakukan negosiasi nilai antara kenyataan dan naluri, jika naluri dan kenyataan itu tidak selaras, maka terjadi konflik, dan timbul rasa malu.[1]

Rasa malu menyebabkan seseorang menjadi mudah marah, kemudian menarik diri dari lingkungan karena kehilangan kepercayaan diri, dan ada banyak orang yang menutupi penyebab rasa malu dengan bersikap narsis.[1] Narsis menjadi puncak perilaku untuk menghindari rasa malu.[1]

Sifat malu yang berlebihan juga dapat menjadi masalah ketika sifat malu tersebut mulai mengganggu kehidupan orang tersebut secara signifikan, atau ketika tercipta kondisi di mana mereka justru menghindari apa yang seharusnya mereka lakukan seperti misal menghindari perbincangan dengan teman kerja, kesulitan berinteraksi dan lain sebagainya.[6]

Rasa Malu dan Kekristenan[sunting | sunting sumber]

Malu dan rasa beragama, terutama dalam kekristenan memiliki hubungan yang rumit.[4] Seseorang yang memiliki iman atau kepercayaan akan kehadiran Tuhan yang melihat perbuatannya bisa sangat mudah sekali mengalami rasa malu.[4] Namun, konsep tentang Allah sebagai Bapa dalam kekristenan menolong manusia untuk lebih cepat pulih dari keterpurukan akibat rasa malu dengan catatan hubungan orang yang bersangkutan dengan figur bapa yang ada dalam pikirannya adalah hubungan yang dekat dan dewasa.[4] Hal ini menolong seseorang untuk dapat mengungkapkan perasaannya kepada figur Bapa yang kemudian ia percayai sebagai Tuhan.[4] Namun, jika seseorang memiliki konsep figur Bapa yang otoriter, justru ia akan semakin menyembunyikan perasaan malunya secara berlebihan dan biasanya orang yang merasa malu justru menghindar dari kegiatan keagamaan karena takut kepada Tuhan.[4]

Dalam Yohanes 1:18 dikatakan, "Tidak seorang pun pernah melihat Allah."[4] Ayat ini, oleh beberapa orang dianggap menolong, tetapi juga dapat menghancurkan seseorang yang sedang mengalami rasa malu.[4] Jika Allah selalu melihat manusia, sedangkan manusia tidak melihatnya, tetapi mengimaninya, seseorang akan terbantu untuk tidak terjatuh pada perbuatan penyebab rasa malu.[4] Namun, setelah melakukan perbuatan yang menurutnya memalukan, seseorang yang kemudian mendapati konsep Allah yang tersembunyi (hasil perenungan atas teks Yohanes 1:18) tadi justru semakin parah mengalami ketertekanan akibat perasaan malu, yaitu ketika seseorang melihat Allah yang tersembunyi melalui simbol, metafora, dan pengajaran dalam gereja maupun di mana pun dia berada.[4]

Malu dalam Pandangan Islam[sunting | sunting sumber]

Menurut Fadhulullah Al-Jailani, malu adalah perubahan yang menyelubungi seseorang lantaran khawatir kepada sesuatu yang tercela, sesuatu yang sejatinya buruk.[7] Rasa malu dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu yang terberi, yang disebut gharizi dan yang diusahakan yang disebut muktasab.[7]

Rasa malu dalam Islam sangat dihargai, bahkan Allah sendiri dipercayai memiliki rasa malu.[7] Hal ini terdapat dalam sebuah Hadits, "Sesungguhnya Allah ta-ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia Malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia" (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani di dalam Irwa Al-Ghalil, VII/ 367).[7] Oleh karena itu Rasul sangat menganjurkan umat Islam untuk menghiasi diri dengan rasa malu.[7] Malu dalam Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai akibat karena melangar aturan, kurang bersungguh-sungguh dalam menyembah, malu karena rasa hormat, malu karena ingin memuliakan orang lain, malu karena kekerabatan, malu karena merasa hina dan kecil, malu karena cinta, malu dalam rangka beribadah, malu karena punya kemuliaan dan harga diri, malu kepada diri sendiri.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i (Inggris)Michael Lewis, Shame: Exposed Self, New York: The Free Press, 1992, Hal. 1-7
  2. ^ "Shyness and social phobia". Royal College of Psychiatrists. 2012. Diakses tanggal 17 January 2014. 
  3. ^ Lewis, Helen B. (1971), Shame and guilt in neurosis, International University Press, New York, hlm. 63, ISBN 0-8236-8307-9 
  4. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris)Stephen Pattinson., Shame: Theory, Therapy, Theology, New York: Cambridge University Press, 2000, Hal. 229-237
  5. ^ a b c d e f g h i (Indonesia)Robert H. Albers., MALU, Sebuah Perspektif Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1998
  6. ^ "Sifat Malu dan Cara Meningkatkan Percaya Diri". Satu Persen. 2020-08-07. Diakses tanggal 2020-10-07. 
  7. ^ a b c d e f (Indonesia)Mahmud Al-Mishri., Manajemen Akhlak Salaf Membentuk Akhlak Seroang Muslim Dalam Hal Amanah, Tawadhu', dan Malu, Solo: Pustaka Arafah, 2007, Hal. 176-203

Rujukan lebih Lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Bradshaw, J. (1988) Healing the Shame That Binds You, HCI. ISBN 0-932194-86-9
  • Gilbert, P. (2002) Body Shame: Conceptualisation, Research and Treatment. Brunner-Routledge. ISBN 1-58391-166-9
  • Gilbert, P. (1998) Shame: Interpersonal Behavior, Psychopathology and Culture. ISBN 0-19-511480-9
  • Goldberg, Carl (1991) Understanding Shame, Jason Aaronson, Inc., Northvale, NJ. ISBN 0-87668-541-6
  • Hutchinson, Phil (2008) Shame and Philosophy. London: Palgrave MacMillan. ISBN 0-230-54271-9
  • Lamb, R. E. (1983) Guilt, Shame, and Morality, Philosophy and Phenomenological Research, Vol. XLIII, No. 3, March 1983.
  • Lewis, Michael (1992) Shame: The Exposed Self. NY: The Free Press. ISBN 0-02-918881-4
  • Middelton-Moz, J. (1990) Shame and Guilt: Masters of Disguise, HCI, ISBN 1-55874-072-4
  • Miller, Susan B. (1996) Shame in Context, Routledge, ISBN 0-88163-209-0
  • Morrison, Andrew P. (1996) The Culture of Shame. Ballantine Books. ISBN 0-345-37484-3
  • Morrison, Andrew P. (1989) Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic Press. ISBN 0-88163-082-9
  • Nathanson, D., ed. (1987) The Many Faces of Shame. NY: The Guilford Press. ISBN 0-89862-705-2
  • Schneider, Carl D. (1977) Shame, Exposure, and Privacy. Boston: Beacon Press, ISBN 0-8070-1121-5
  • Uebel, Michael. (2012) Psychoanalysis and the Question of Violence: From Masochism to Shame, American Imago, 69.4: 473-505.
  • Vallelonga, Damian S. (1997) An empirical phenomenological investigation of being ashamed. In Valle, R. Phenomenological Inquiry in Psychology: Existential and Transpersonal Dimensions. New York: Plenum Press, 123-155.