Makan bajamba

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 5 April 2013 18.21 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q6738679)

Makan bajamba atau juga disebut makan barapak adalah tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan.[1][2] Tradisi ini umumnya dilangsungkan di hari-hari besar agama Islam dan dalam berbagai upacara adat, pesta adat, dan pertemuan penting lainnya.[3][4] Secara harafiah makan bajamba mengandung makna yang sangat dalam, dimana tradisi makan bersama ini akan memunculkan rasa kebersamaan tanpa melihat perbedaan status sosial.[5][6]

Penyelenggaraan

Perempuan yang tengah membawa dulang di atas kepalanya menuju tempat dimana makan bajamba dilangsungkan

Makan bajamba dilangsungkan dalam suatu ruangan atau tempat yang telah ditentukan, dan umumnya diikuti oleh lebih dari puluhan hingga ribuan orang yang kemudian dibagi dalam beberapa kelompok. Suatu kelompok biasanya terdiri dari 3 sampai 7 orang yang duduk melingkar, dan di setiap kelompok telah tersedia satu dulang yang di dalamnya terdapat sejumlah piring yang ditumpuk berisikan nasi dan berbagai macam lauk.[3] Makan bajamba biasanya dibuka dengan berbagai kesenian Minang, kemudian diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hingga acara berbalas pantun.[5]

Terbesar

Pada 1 Desember 2006, penyelengaraan makan bajamba yang dilaksanakan dalam rangka memperingati HUT ke-123 kota Sawahlunto tercatat dalam Museum Rekor Indonesia sebagai acara makan bersama terbanyak dan terpanjang, karena diikuti oleh 16.322 orang.[7][8]

Adab

Tradisi ini diyakini berasal dari Koto Gadang, kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan diperkirakan telah ada sejak agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7. Oleh karena itu, adab-adab yang ada dalam tradisi ini umumnya didasarkan kepada ajaran Islam terutama Hadits. Beberapa adab dalam tradisi ini di antaranya adalah seseorang hanya boleh mengambil apa yang ada di hadapannya setelah mendahulukan orang yang lebih tua mengambilnya.[1][5]

Ketika makan, nasi diambil sesuap saja dengan tangan kanan. Setelah ditambah sedikit lauk pauk, nasi dimasukkan ke mulut dengan cara dilempar dalam jarak yang dekat.[9] Ketika tangan kanan menyuap nasi, tangan kiri telah ada di bawahnya untuk menghindari kemungkinan tercecernya nasi. Jika ada nasi yang tercecer di tangan kiri, harus dipindahkan ke tangan kanan lalu dimasukkan ke mulut dengan cara yang sama. Tujuan makan dengan cara tersebut agar nasi yang hendak masuk ke mulut bila tercecer tidak jatuh ke piring, sehingga yang lain tidak merasa jijik untuk memakan nasi yang ada dalam piring secara bersama-sama. Selain itu, posisi duduk juga harus tegap atau tidak membungkuk dengan cara bersimpuh (basimpuah) bagi perempuan dan bersila (baselo) bagi laki-laki. Kemudian setelah selesai, tidak ada lagi nasi yang tersisa di piring, dan makanan yang disediakan wajib dihabiskan.[3]

Referensi

  1. ^ a b M.D., Pandoe; Pour, J. (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. hlm. 236. ISBN 9797094871. 
  2. ^ "Diwarnai Makan Bajamba, Mukhlis Hadiri Maulid Surau Lubuk". Sumberonline.com. 2012-04-04. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  3. ^ a b c "Makan Bajamba Tradisi Idul Adha di Payolansek". Haluan Kepri. 2010-11-19. Diakses tanggal 2012-05-14.  Hapus pranala luar di parameter |publisher= (bantuan)
  4. ^ "Makan Bajamba, Hiasi Maulid Nabi di Pariaman". www.beritasatu.com. 2012-02-07. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  5. ^ a b c "Tradisi Makan Bajamba". Voice of Indonesia. 2012-02-27. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  6. ^ "Makan Bajamba di Sawahlunto". Faceminang.com. 2011-12-01. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  7. ^ "Makan Bajamba Meriahkan Lagi Hari Jadi Sawahlunto". Harian Haluan. 2011-12-03. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  8. ^ "Makan Bajamba Jadi Maskot dalam HUT 123 Sawahlunto". www.padangmedia.com. 2011-11-23. Diakses tanggal 2012-05-14. 
  9. ^ Tempo, Volume 23: Adat yang Sudah Langka. Badan Usaha Jaya Press. 1994.