Lareh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Lareh adalah suatu wilayah pemerintahan era tanam paksa Hindia Belanda setingkat kadipaten atau kabupaten sekarang ini yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Minangkabau atau Sumatera Barat sekarang.

Lareh biasa disebut juga kelarasan. Sebuah wilayah lareh dikepalai oleh Angku Lareh (Tuanku Laras) atau Kapalo Lareh (Kepala Laras)

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Lareh dalam bahasa Minang artinya jatuh seperti daun pepohonan yang sudah kering akan "lareh" (jatuh/gugur) dengan sendirinya apalagi ditiup angin. Dari kata lareh atau laras inilah dibentuk kata kelarasan, keselarasan atau harmoni. Menurut tambo adat Minangkabau, ada kisah tentang kata lareh ini. Dahulu di sebuah puncak bukit (entah dimana posisinya sekarang) terdapat sebuah pohon besar yang mempunyai tiga dahan. pada suatu hari terjadi pohon ini digoyang oleh angin kencang, maka jatuhlah dahannya yang tiga tersebut ke tiga penjuru, satu jatuh (lareh) ke arah Tanah Datar, satu lagi lareh ke arah Agam dan yang terakhir jatuh ke arah limapuluh kota. Oleh karena itu disebut Lareh itu sebagai 3 luhak. Secara istilah Lareh berarti suatu sistem budaya yang menghendaki adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada dalam sistem tersebut.

Pembagian Lareh menurut Adat Minangkabau[sunting | sunting sumber]

Ada 3 Lareh menurut Adat Minangkabau, yaitu:

  1. Lareh Koto Piliang, menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik yang digagas oleh Datuak Katumangguangan. Kelarasan ini banyak dipakai di Kabupaten Tanah Datar, sebagian Kabupaten Solok dan Daerah Rantau Minangkabau.
  2. Lareh Bodi Chaniago atau dikenal sebagai Adat Perpatih di Negeri Sembilan, Malaysia, menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis yang digagas oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Kelarasan ini banyak dipakai di Kabupaten Lima Puluh Kota, sebagian Provinsi Riau dan Negeri Sembilan, Malaysia.
  3. Lareh Nan Panjang Dipimpin oleh Datuak Bandaro Kayo yang berkedudukan di Nagari Pariangan, Kota Padang Panjang. Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaian di antara Kelarasan Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Di dalam pepatah adat disebutkan:

Pisang sikalek-kalek hutan Pisang simbatu nan bagatah Bodi Chaniago inyo bukan Koto Piliang inyo antah

Pranala luar[sunting | sunting sumber]