Kurma (awatara)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kurma
Dewa Hindu
Awatara Wisnu yang berwujud kura-kura
Ejaan Dewanagariकुर्म
Ejaan IASTKurma
Nama lainAkupara
GolonganAwatara Wisnu
SenjataCakram atau gada
MantraOm Kurmaya Namaḥ

Dalam agama Hindu, Kurma (Dewanagari: कुर्म; ,IASTKurma, कुर्म) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Kurma disebut pula sebagai Akupara (Dewanagari: अकूपार; ,IASTAkupāra, अकूपार), yang berarti "kura-kura" atau "berbentuk kura-kura".[1][2][3][4]

Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Ksirasagara atau Ksirarnawa). Di dasar laut tersebut terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para dewa dan asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mengaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para dewa dan asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutarnya. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.

Kurma juga nama dari seorang resi, putra Gretsamada.

Mitologi[sunting | sunting sumber]

Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa, beserta Purana lainnya.

Pencarian amerta[sunting | sunting sumber]

Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para dewa dan asura (raksasa) bersidang di puncak gunung Meru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Atas saran Nārāyana (Wisnu) bersabda, mereka mencarinya di lautan susu atau laut Ksira (Ksirasagara). Setelah mendengar perintah Nārāyana, mereka berangkat ke sana. Sebagai tongkat pengaduk lautan, mereka memilih sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka). Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantaboga. Setelah mendapat izin dari Baruna (Dewa Samudra), mereka membawa gunung Mandara ke tengah laut Ksira. Kurma menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.

Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para dewa dan asura mulai memutar gunung Mandara. Para dewa memegang ekornya sedangkan para asura memegang kepalanya. Mereka berjuang mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, sementara Basuki menyemburkan bisa yang membuat pihak asura kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.

Hasil pencarian[sunting | sunting sumber]

Ilustrasi Samudramantana, atau pengadukan Ksirasagara (lautan susu) demi mendapatkan amerta.

Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:

Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura, sedangkan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya di Sangka Dwipa.

Perebutan amerta[sunting | sunting sumber]

Ilustrasi Mohini (tengah), awatara Wisnu yang berwujud wanita penggoda sedang membagikan amerta kepada para dewa (kiri), setelah merebutnya dari para asura (kanan).

Melihat tirta amerta berada di tangan para asura, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para dewa dengan asura. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan.

Para dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang raksasa bernama Rahu mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Surya dan Candra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata cakranya dan memenggal leher sang raksasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Surya dan Candra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit: 'kacchapam'". spokensanskrit.org. Diakses tanggal 2019-12-13. 
  2. ^ www.wisdomlib.org (2018-05-29). "Kamatha, Kamaṭha: 5 definitions". www.wisdomlib.org. Diakses tanggal 2019-12-13. 
  3. ^ "Sanskrit Dictionary for Spoken Sanskrit: 'Akupara'". spokensanskrit.org. Diakses tanggal 2019-12-24. 
  4. ^ "Sanskrit Dictionary: 'ambucara-ātmanā'". www.sanskritdictionary.com. Diakses tanggal 2019-12-24. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Kurma
Sebelumnya:
Matsya
Awatara Wisnu
ke-2
Berikutnya:
Waraha