Kim Simin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 7 April 2013 00.25 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 5 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q490362)
Kim Simin

Kim Simin (Hangul: 김시민, Hanzi: 金時敏, 1554-1592) adalah seorang jenderal dan patriot Korea pada masa Dinasti Joseon. Ia terkenal akan kepahlawanannya dalam perjuangannya yang heroik mempertahankan Kastil Jinju dari serbuan Jepang ketika Toyotomi Hideyoshi menginvasi Korea yang dikenal dalam sejarah sebagai Perang Tujuh Tahun atau Perang Imjin.

Kehidupan awal

Kim dilahirkan di Provinsi Chungcheong pada tahun 1554, ayahnya adalah Kim Chunggap (김충갑). Ia adalah keturunan generasi ke-12 dari jenderal terkenal semasa Dinasti Goryeo, Kim Banggyeong (김방경).

Tahun 1578, ia lulus ujian pemerintah untuk masuk militer dan diberi jabatan sebagai pelatih pasukan. Ia mendapati bahwa kondisi persenjataan maupun mental prajurit Joseon pada waktu itu dalam kondisi yang tidak layak dan ia merasa tidak puas dengan metode pelatihan yang ada. Karenanya, ia menghadap menteri perang untuk menyampaikan mengenai masalah ini, ia mengingatkan bahwa negara akan terjerumus dalam bahaya besar bila terjadi krisis mendadak dengan tentara yang tidak layak seperti sekarang ini. Namun sarannya tidak diindahkan oleh menteri perang dengan alasan saat itu adalah masa damai dan tidak akan ada krisis seperti itu, militer yang kuat hanya akan membuat rakyat menjadi takut.

Walau ditolak, Kim masih berkali-kali mengajukan proposal untuk membentuk tentara yang tangguh, namun berkali-kali pula mendapat penolakan. Karena merasa pendapatnya tidak pernah didengar, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari militer. Di depan sang menteri perang, ia melepaskan seragam militernya, setelah mengembalikannya pada sang menteri, ia meninggalkan ruang pertemuan. Tahun 1583, Nitangae, salah satu kepala suku Jurchen (Manchu) memberontak terhadap pemerintah Joseon di Hoeryeong, Kim kembali masuk tentara di bawah komando jenderal Jeong Eonsin. Sebagai wakil komandan, ia memberi kontribusi besar dalam menumpas pemberontakan suku Jurchen.

Invasi Jepang dan Pengepungan Kastil Jinju

Tahun 1591, ia diangkat sebagai pejabat militer di Kastil Jinju. Setelah meninggalnya I Gyeong, jenderal penjaga kastil itu dan meletusnya Perang Imjin pada tahun berikutnya, Kim menjadi komandan penjaga kastil itu. Ia memerintahkan pembuatan 170 meriam ukuran besar dan kecil untuk memperkuat pertahanan kastil itu.

Dalam perang, ia mengalahkan pasukan Jepang di Sacheon dan Goseong, serta menangkap seorang komandan mereka di Jinhae. Atas jasa-jasanya itu, ia diangkat sebagai komandan tertinggi pasukan Gyeongsang Timur. Setelah menerima jabatan itu, sekali lagi ia berjasa mengalahkan Jepang di Geumsan.

Ukita Hideie dan Hosokawa Tadaoki dari pihak Jepang sepakat untuk mencaplok Kastil Jinju dengan pertimbangan jatuhnya kastil itu akan membuka jalan ke Provinsi Jeolla dan mereka dapat menyerbu pasukan gerilyawan pimpinan Gwak Jae-u yang bersembunyi di sekitar wilayah itu. Ukita juga bermaksud merebut kembali Changwon, sebuah benteng kecil yang menuju ke Kastil Jinju. Untuk itu, Jepang mempersiapkan 200.000 pasukannya untuk merebut Changwon dan Kastil Jinju.

Setelah berhasil menduduki Changwon, pasukan Jepang mengarah ke Kastil Jinju. Mereka berharap kembali memperoleh kemenangan dengan mudah disana. Namun jenderal Kim menantang mereka dan dengan gigih ia bertahan bersama 3800 orang yang terdiri atas prajurit dan rakyat. Situasi sangat genting karena jumlah mereka kalah jauh dengan penyerangnya. Tak lama sebelumnya Kim baru saja memperlengkapi pasukannya dengan sekitar 170 pucuk senapan arquebus, setara dengan jumlah yang dimiliki Jepang. Ia juga telah melatih mereka menggunakan senjata itu dan yakin akan kesanggupannya mempertahankan kastil itu.

Pasukan Jepang menyerbu kastil itu, mereka memakai tangga untuk memanjat tembok, menara-menara penyerang dikerahkan untuk menduduki tempat yang tinggi. Pihak Korea membalas serangan itu dengan tembakan meriam, panah dan senapan. Hosokawa mencoba strategi lain dengan menggunakan pasukan senapannya untuk melindungi pasukan yang memanjat tembok. Strategi ini tidak berhasil karena pasukan Korea mengabaikan hujan peluru, mereka lebih fokus menghancurkan tangga-tangga Jepang dengan batu maupun kapak. Pasukan Jepang menderita kerusakan besar ketika pasukan Korea menembakkan peluru ke arah pasukan mereka yang memanjat.

Kematian

Pada hari ketiga pertempuran, Kim gugur setelah sebuah peluru mengenai dahinya. Pasukan Jepang terus menyerang dengan sengit pasukan Korea yang baru kehilangan komandannya itu., mereka mempergencar serangan untuk menjatuhkan moral pasukan Korea. Namun sisa pasukan Kim terus bertahan, upaya Jepang untuk menaiki tembok masih belum membuahkan hasil sekalipun dengan bantuan pasukan senapan. Situasi di kastil semakin kritis sejak gugurnya Kim ditambah lagi amunisi makin lama makin menipis.

Untunglah, pasukan milisi pimpinan Gwak Jae-u tiba pada suatu malam dengan 3000an gerilyawannya. Namun bagaimanapun jumlah mereka belum cukup untuk menandingi pasukan lawan. Maka Gwak memerintahkan anak buahnya untuk mengalihkan perhatian musuh dengan membunyikan terompet dan membuat suara-suara gaduh. Pasukan Jepang mengira musuhnya mendapat bala bantuan besar sehingga tidak berani untuk mengambil risiko, mereka memutuskan untuk mundur dan membubarkan kepungan terhadap Kastil Jinju. Mundurnya pasukan Jepang membangkitkan semangat pasukan Korea, moral mereka untuk mengusir pasukan asing semakin membara.

Tahun 1604, setelah berakhirnya perang dengan Jepang, Kim secara anumerta mendapat gelar Sangnakgun (상락군; 上洛君) dan nama kehormatan Chungmu (충무; 忠武) bersama dengan laksamana Yi Sunsin, pahlawan besar Korea lainnya.

Pranala luar