Kerajaan Kotawaringin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 15 April 2013 04.35 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q10997467)
Kerajaan Kotawaringin

Lambang
Berdiri 1615-1948
Didahului oleh tidak diketahui
Digantikan oleh Provinsi Kalimantan Tengah
Ibu kota 1. Kotawaringin Lama
2. Pangkalanbun
Bahasa Banjar, Dayak Darat
Agama Islam Sunni mazhab Syafi'i (resmi); Kaharingan
Pemerintahan
-Raja pertama
-Raja terakhir
Monarki
Pangeran Dipati Anta-Kasuma
Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah
Sejarah
-Didirikan
-Zaman kejayaan

1615
1637-1948
Catatan (1615-1787 sebagai bawahan Banjar)

Kerajaan Kotawaringin[1] adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615[2] atau 1530[3], dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya[4] sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".[5][6] [7]

Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.[8]

Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).

Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".[9]

Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai.[10] Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya.[11] Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.[12] Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.[13]

Sejarah

Istana Kuning, pernah menjadi kedudukan resmi sultan/pangeran di Pangkalanbuun.
  • Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
  • Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
  • Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan. [10]
  • Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.[11] Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.[10]
  • Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka.[11] Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut.[14] Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
  • Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura[15], Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa [11] (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa [10] yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura). [10]
  • Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. [10] Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[11] Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju). [10]
  • Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
  • Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
  • Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan adiknya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia [10] tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
  • Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu. [11]
  • Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.[16]
  • Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.[16]
  • Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.[17]
  • Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.[16]

Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :

  1. Kabupaten Kotawaringin Barat
  2. Kabupaten Lamandau
  3. Kabupaten Sukamara

Berkas:Hindia Belanda 1930.gif

Ratu Kota Waringin[18]

Daftar Pangeran Ratu (Adipati) Kotawaringin.
Pangeran Ratu (Adipati) yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:[19][20][21]

Silsilah

  1. Saudagar Mangkubumi x Sita Rara
    1. Ampu Jatmaka(Raja Negara Dipa) x Sari Manguntu
      1. Lambu Mangkurat x Dayang Diparaja binti Aria Malingkun
        1. Puteri Huripan x Maharaja Suryaganggawangsa (anak Puteri Junjung Buih) bin Maharaja Suryanata
          1. Puteri Kalungsu x Maharaja Carang Lalean (anak Puteri Kalarang) bin Pangeran Suryawangsa bin Maharaja Suryanata
            1. Maharaja Sari Kaburungan (Raja Negara Daha)
              1. Maharaja Sukarama (Raja Negara Daha)
                1. Putri Galuh Baranakan x Raden Mantri Alu bin Raden Bangawan bin Maharaja Sari Kaburungan
                  1. Sultan Suryanullah (Sultan Banjar I)
                    1. Sultan Rahmatullah (Sultan Banjar II)
                      1. Sultan Hidayatullah (Sultan Banjar IIII)
                        1. Sultan Mustainbillah/Marhum Panembahan/Pangeran Senapati (Sultan Banjar IV) x Ratu Agung binti Pangeran Demang
                          1. Ratu Kota-Waringin/Ratu Bagawan/Pangeran Dipati Anta Kasuma (anak Putri Juluk 1/Ratu Agung binti Pangeran Demang)
                            1. Pangeran Dipati Kasuma Mandura/Raden Kasuma Taruna (anak Nyai Tapu binti Mantri Kahayan)
                              1. Raden Suta-Kasuma/Raden Pajang x Gusti Pandara
                              2. Raden Buyut Kasuma Banjar x Gusti Cabang binti Pangeran Dipati Wiranata/Raden Balah
                                1. Putri Piting (anak Gusti Cabang)
                            2. Dayang Gelang/Putri Gelang (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding x Raden Saradewa/Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din dari Kerajaan Sukadana
                              1. Raden Buyut Kasuma Matan (anak Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din)
                                1. Sultan Muhammad Zainuddin?
                            3. Raden Pamadi (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding) x Putri Intan binti Pangeran Singasari/Raden Timbako
                              1. Raden Pati
                            4. Raden Nating (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
                            5. Raden Tuan (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
                            6. Gusti Tanya (ibu Raden Jayengrana) x Raden Tukang bin Panembahan Di Darat
                            7. Raden Mataram
                            8. Putri Lanting x Raden Kasuma Wijaya
                            9. Ratu Amas (Raja Kotawaringin II)
                              1. Panembahan Kota Waringin (Raja Kotawaringin III)
                                1. Pangeran Prabu Tua (Raja Kotawaringin IV)
                                  1. Pangeran Dipati Tuha (Raja Kotawaringin V)
                                    1. Pangeran Anom
                                    2. Pangeran Panghulu (Raja Kotawaringin VI)
                                      1. Ratu Bagawan Muda (Raja Kotawaringin VII)
                                        1. Ratu Anom Kasuma Yuda (Raja Kotawaringin VIII)
                                          1. Pangeran Rahman Nata (wafat)
                                          2. Pangeran Dipati Sari Rama (anak Ratu Mangkurat)
                                            1. Ratu Tomogon
                                          3. Pangeran Nata
                                          4. Pangeran Kencana
                                          5. Ratu Sarip Banun (anak Ratu Mangkurat)
                                            1. Pangeran Bintaroh
                                              1. Syarif Osman
                                          6. Pangeran Ratu Imanuddin (anak Ratu Hayu; Raja Kotawaringin IX)[25]
                                            1. Ratu Putri
                                            2. Pangeran Ratu Anom Akhmad Hermansyah (Raja Kotawaringin X)[28]
                                              1. Pangeran Ratu Anom Alamsyah (anak Ratu Agung; Raja Kotawaringin XI)
                                              2. Tarmonzon?(wafat)
                                            3. Pangeran Ratu Sukma Negara/Pangeran Sari (Raja Kotawaringin XII)
                                              1. anak Pangeran Sukma Negara
                                                1. Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (Raja Kotawaringin XIII)
                                                  1. Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (Raja Kotawaringin XIV) x puteri dari Paku Buwono XII
                                                    1. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (Raja Kotawaringin XV)[29]
                                                    2. Pangeran Muasyidin Syah

Referensi

  • J. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron,1953,BK 17 (1860) hlm 267 ff.

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ KALIMANTAN TENGAH
  2. ^ http://iimanda.multiply.com/journal/item/2
  3. ^ Tjilik Riwut, Nila Riwut, Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan, NR Pub., 2007, ISBN 9792399526, 9789792399523
  4. ^ Wikipedia Polandia
  5. ^ Borneo, ca 1750 (abad ke-18)
  6. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. PT Balai Pustaka. ISBN 9794074101. ISBN 9789794074107
  7. ^ (Inggris)Royal Geographical Society (Great Britain) (1856). "A Gazetteer of the world: or, Dictionary of geographical knowledge, compiled from the most recent authorities, and forming a complete body of modern geography -- physical, political, statistical, historical, and ethnographical". 5. A. Fullarton. 
  8. ^ (Inggris) John Crawfurd, A descriptive dictionary of the Indian islands & adjacent countries, Bradbury & Evans, 1856
  9. ^ Kerajaan Kotawaringin Yang Pertama
  10. ^ a b c d e f g h (Melayu)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  11. ^ a b c d e f J. Pijnappel Gzn; Beschrijving van het Westeli jike gedeelte van de Zuid-en Ooster-afdeeling van Borneo (disimpul daripada empat laporan oleh Von Gaffron, 1953, BK 17 (1860), hlm 267 ff.
  12. ^ (Belanda) Perhimpunan Ilmu Alam Indonesia, Madjalah ilmu alam untuk Indonesia. Indonesian journal for natural science, Volume 10-11, 1856
  13. ^ (Belanda) Hoëvell, Wolter Robert (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch Indië. 52. Ter Lands-drukkerij. hlm. 220. 
  14. ^ Kotawaringin Lama, Wisata Budaya yang Terlupakan
  15. ^ Hikayat Banjar hlm 347: "Sudah kemudian itu maka anak Ratu Bagus di Sukadana, namanya Raden Saradewa itu, diperisterikan lawan Putri Gilang, anak Pangeran Dipati Anta-Kasuma itu.........sudah itu maka pangandika Marhum Panambahan, semasa ini anak Dipati Sukadana itu tiada lagi kupintai upati lagi seperti tatkala zaman dahulu itu. Sekaliannya upati Sukadana itu sudah kuberikan arah cucuku Si Dayang Gilang itu, jikalau ia beranak sampai kepada anak-cucunya itu. Hanya kalau ada barang kehendakku itu, aku menyuruh"....
  16. ^ a b c Awalnya Sebuah Kerajaan. Banjarmasin Post, 4 Oktober 2004
  17. ^ Tjilik Riwut, Nila Riwut, Kalimantan membangun, alam, dan kebudayaan, NR Pub., 2007, ISBN 979-23-9952-6, 9789792399523
  18. ^ Truhart P., Regents of Nations. Systematic Chronology of States and Their Political Representatives in Past and Present. A Biographical Reference Book, Part 3: Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1245-1257, ISBN 3-598-21545-2.
  19. ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1857). "Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde". 6. Lange & Co.: 241. 
  20. ^ (Belanda) "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië". 23 (2). 1861: 199. 
  21. ^ (Belanda) "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië". 53. 1861: 199. 
  22. ^ (Prancis)Sevin, Olivier (1983). Les Dayak du centre Kalimantan: étude géographique du Pays ngaju, de la Seruyan à la Kahayan. IRD Editions. ISBN 9782709907002.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)ISBN 2-7099-0700-3
  23. ^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië". 23 (1-2). Nederlandsch-Indië: 198. 
  24. ^ Silsilah Raja Kotawaringin
  25. ^ a b Padoeka Ratoe IMAN OEDDIN, Pangeran jang bertachta karadja'an KOTARIENG'AN(Belanda) Philippus Pieter Roorda van Eysinga, Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von Nederlandsch Indie. 3 boeken (in 5 pt.), 1841 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "eysinga" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  26. ^ (Inggris)Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1861). Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, Volume 23,Bagian 1-2.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  27. ^ www.kotawaringinbaratkab.go.id
  28. ^ (Melayu)Setiawati, Nani. Cerita R Kal. Tengah 2. Grasindo. ISBN 9789797320539.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan) ISBN 9797320537
  29. ^ [http://kotawaringinbaratkab.go.id/pde/index.php?option=com_content&view=article&id=396:sultan-kotawaringin-vx-dinobatkan&catid=39:berita-umum&Itemid=71 Sultan Kotawaringin XV Dinobatkan (http://kotawaringinbaratkab.go.id)