Perkembangan kanon Perjanjian Baru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 25 Mei 2011 14.57 oleh Kenrick95Bot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-jaman +zaman))

Kata kanon digunakan sebagai istilah teknis untuk merujuk pada koleksi kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Meskipun pembentukan kanon Perjanjian Baru sudah dimulai sejak zaman apostolik, tetapi pengakuan pada seluruh Perjanjian Baru baru tercapai setelah beberapa abad kemudian.

Mitos

Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa kanon Perjanjian Baru muncul oleh dekrit kepausan dan oleh keputusan Konsili Ekumenis. Sebagian lagi percaya bahwa kanonisasi Perjanjian Baru adalah hasil adikodrati, misalnya seperti kisah: delegasi pada Konsili Nicea berkeinginan untuk tahu mana buku kanonik dan yang tidak. Lalu mereka berdoa dan kemudian Tuhan menunjukkan kepada mereka buku-buku kanonik dengan ajaib dengan berpindahnya tumpukan buku-buku kanonik. Menurut cerita ini, keajaiban ini terjadi sementara doa berlangsung, dan dengan demikian kanon Perjanjian Baru terbentuk. Kisah ini tidak memiliki sumber yang jelas dan diragukan kredibilitasnya.

Kanon Perjanjian Baru pada Jemaat mula-mula

Kanon Perjanjian Baru dimulai dengan beredarnya kisah kehidupan Yesus secara lisan. Salah satu bukti dari hal ini adalah saat Paulus berbicara kepada para penatua di Efesus bahwa ada orang-orang yang menggunakan kisah kehidupan Yesus yang muncul di mana-mana.[1] Tradisi lisan tentang kisah kehidupan Yesus ini berlanjut hingga abad kedua [2] Pada saat yang sama, pada generasi pertama orang Kristen telah muncul catatan tertulis tentang kehidupan Yesus. Lukas bersaksi pada saat itu “banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di antara kita”, [3] sehingga dapat diasumsikan bahwa gereja-gereja telah memiliki Injil yang tertulis sebelum akhir Abad Pertama. Justin Martyr, sekitar tahun 150 M, menggunakan istilah ta euaggelia sebagai sebutan pada catatan-catatan tentang kehidupan Yesus ini. [4]

Selain Injil, karya Kristen yang lain juga telah beredar di jemaat mula-mula, di antaranya adalah surat-surat Paulus. Paulus menulis untuk memenuhi masalah spesifik di beberapa jemaat tertentu, dan dia mendorong distribusi surat-suratnya. [5] Sebelum meneruskan suratnya kepada jemaat lain, jemaat setempat biasanya akan membuat salinan. Dengan cara ini surat-surat Paulus pertama disalin dan kemudian koleksi salinan ini tumbuh. Koleksi surat-surat Paulus sudah ada di zaman apostolik seperti mengisyaratkan oleh Petrus[6], sekitar tahun 65 M. Hal ini dikuatkan juga oleh Clement dari Roma yang menyatakan,"bawalah surat-surat Rasul Paulus diberkati" dalam suratnya pada jemaat di Korintus sekitar tahun 100 M [7]Permintaan Clement ini tidak hanya menunjukkan bahwa surat ini telah disimpan di Korintus, tetapi juga menunjukkan bahwa Clement kemudian memiliki salinan surat-surat Paulus di Roma.

Bukti lain sehubungan dengan distribusi awal tulisan-tulisan Paulus adalah dari Ignatius dan Polikarpus, keduanya menulis pada awal abad kedua. Sekitar tahun 117 M, Ignatius menulis dari Smirna ke jemaat di Efesus bahwa Paulus "di dalam semua suratnya menyebut kamu dalam Kristus Yesus". [8] Pada pertengahan abad kedua, Polikarpus menulis kepada jemaat di Filipi tentang Paulus bahwa "ketika ia tidak ada di antara kamu, ia menulis surat pada kamu, yang jika kamu pelajari hati-hati, kamu akan menemukan cara dalam membangun iman yang telah diberikan kepada kamu." Polikarpus juga mengutip pernyataan Paulus dalam Efesus 4:26 sebagai "Kitab Suci". [9] Hal ini jelas menunjukkan bahwa baik Ignatius dan Polikarpus mengetahui dengan baik surat-surat Paulus, dan mereka mengharapkan gereja-gereja juga mempelajari surat-surat tersebut. Dapat disimpulkan bahwa tampaknya koleksi surat-surat Paulus telah memiliki distribusi luas beberapa dekade setelah kematiannya.

Surat-surat selain dari Paulus juga telah beredar luas pada jemaat yang mula-mula. Surat Petrus yang Pertama yang ditujukan pada orang-orang Kristen di lima propinsi di Asia Kecil adalah dalam bentuk surat edaran.[10] Yakobus juga menulis suratnya dalam bentuk yang sama : "kepada kedua belas suku yang tersebar di perantauan". [11] Yohanes mengirimkan kitab Wahyu pada tujuh gereja di provinsi Romawi di Asia, khususnya dia mengungkapkan bahwa kitab itu adalah inspirasi ilahi.[12]

Dari bukti itu adalah jelas bahwa buku-buku yang berasal dari zaman para rasul yang baik menceritakan kehidupan Yesus atau surat yang berisi pesan penting dari rasul sangat dihargai oleh Gereja dan dianggap otoritatif.

Kanon Perjanjian Baru tahun 140-180

Orang pertama yang mengumpulkan kanon Perjanjian Baru adalah Marcion. Marcion mengaku sebagai juru tafsir Surat-surat Paulus, tidak menerima seluruh Perjanjian Lama, dan juga menolak buku-buku tertentu yang beredar sejak jemaat yang mula-mula. Kanon Marion terdiri dari: Injil Lukas, tulisan-tulisan Rasul Paulus, dan buku karangan Marion sendiri, yang disebut Antitesis, yang berisi argumentasinya untuk menolak Perjanjian Lama. Koleksi surat-surat Paulus, yang disebut Apostolikon, terdiri dari sepuluh surat Paulus: Galatia, 1 dan 2 Korintus, Roma, 1 dan 2 Tesalonika, "Laodikia" (Efesus), Kolose, Filipi, dan Filemon. Dia ditolak 1 dan 2 Timotius, Titus, dan Ibrani, dan ia juga mengubah naskah buku-buku itu agar selaras dengan teologi yang ia percayai.

Justin Martyr, yang hidup sezaman dengan Marcion, menulis beberapa karya sekitar tahun 150 M, di mana ia memperlakukan Injil setara dengan Perjanjian Lama. Ia menggambarkan gereja Kristen yang ia layani, pada pertemuan mereka melakukan pembacaan Riwayat, Tulisan Para Rasul dan Tulisan-tulisan dari Nabi (yaitu Perjanjian Lama) sebelum khotbah [13] Menulis untuk pembaca kafir, Justin menggunakan istilah sastra, apomneμmoneumata, "riwayat," untuk injil [14] tetapi tidak jelas apakah yang ia dimaksudkan adalah keempat buku Injil atau sebagian saja. Dengan menyebutkan Injil sebelum Perjanjian Lama, ia menunjukkan bahwa Injil diberikan posisi sederajat dengan Perjanjian Lama. Justin juga menyatakan bahwa Injil telah telah disusun oleh para rasul atau murid-murid para rasul. [15] Tulisan-tulisan Justin bukan hanya mengutip dari Injil tetapi juga dengan Roma, 1 Korintus, Galatia, Efesus, Kolose, 2 Tesalonika, Ibrani, 1 Petrus, Kisah Para Rasul, dan Wahyu [16]

Tatian, murid dari Justin, menganggap buku Matius, Markus, Lukas,dan Yohanes adalah kanonik dengan menyebutnya Diatessaron (harfiah, "Melalui empat"), tetapi ia menganggap buku ini sebagai bagian dari karya apokrif. Tampaknya pada abad kedua telah terbentuk standar dan telah beredar keempat injil di gereja berbahasa Syria. [17] Theophilus dari Antiokhia (wafat tahun 181 M) menempatkan Injil ditingkat yang sama dengan kitab nabi-nabi dari Perjanjian Lama, dan menyatakan bahwa karya-karya itu ditulis oleh pneumatophoroi, "dituntun oleh Roh”. [18] Buku Wahyu juga telah sangat dihargai saat itu oleh Justin Martyr, [19] Theophilus, [20] dan Apollonius. [21]

Kanon Perjanjian Baru pada akhir Abad II

Eksistensi kanon Perjanjian Baru, dalam arti penerimaan umum pada kompilasi buku yang membentuk Perjanjian Baru, semakin jelas pada akhir abad kedua. Gereja-gereja di beberapa daerah dalam wilayah Kekaisaran Romawi memiliki daftar kompilasi yang berbeda-beda. Dari Roma terdapat dokumen yang disebut Fragmen Muratori; dari Galia terdapat kesaksian Irenaeus dari Lyons; dari Afrika terdapat Tertullian dari Carthage, dan dari Mesir terdapat Clement dari Alexandria. Daftar sistematis tertua buku-buku Perjanjian Baru adalah fragmen Muratori, nama penemunya, L.A Muratori, yang ditemukan dari perpustakaan sebuah biara di Milan tahun 1740. Awal dan akhir dokumen tidak lengkap, menggunakan bahasa Latin Barbar, dan pengejaan yang buruk. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa fragmen ini ditulis menjelang akhir abad kedua. Pada fragmen itu terdapat daftar buku yang dapat dibaca secara terbuka di gereja, dan juga menyebutkan beberapa buku yang tidak harus dibaca.

Pada bagian awal yang hilang dari Fragmen Muratori ada sebuah rujukan pada injil Matius; ini diikuti oleh notasi pada Injil Markus, kemudian Lukas disebut ketiga, dan kemudian Injil Yohanes, sehingga patut diduga bahwa Injil Matius terdapat pada bagian awal fragmen yang hilang. Kisah Para Rasul adalah buku berikutnya, dan buku-buku yang mengikutinya, antara lain: 1 dan 2 Korintus, Efesus, Filipi, Kolose, Galatia, 1 dan 2 Tesalonika, Roma, Filemon, Titus, 1 dan 2 Timotius, Yudas, 1 dan 2 Yohanes. Tetapi naskah buku Ibrani, Yakobus, 1 dan 2 Petrus, dan 3 Yohanes tidak ada. Fragman itu juga berisi naskah-naskah dari buku yang diragukan dan naskah dari buku yang ditolak, misalnya: Wahyu Petrus, fragmen menyatakan bahwa meskipun beberapa orang menerimanya tetapi sebagian orang lain menolak untuk dibaca di gereja; Surat-surat ke Aleksandria dan Laodikia dan Gembala Hermas ditolak sama sekali.

Kanon Perjanjian Baru versi Irenaeus direkonstruksi berdasarkan kutipan kitab. Dia mengakui keempat Injil sebagai satu-satunya yang kanonik dan ia menyebutnya sebagai empat pilar gereja.[22] Dia juga menerima 13 Surat-surat Paulus, 1 Petrus, 1 dan 2 Yohanes, Kisah Para Rasul, dan Wahyu. Irenaeus tidak mengutip dari Ibrani, Yakobus, 2 Petrus,3 Yohanes, dan Yudas; mungkin Irenaeus menolak buku-buku itu sebagai bagian kanon Perjanjian Baru. Di sisi lain, Irenaeus dianggap Gembala Hermas buku kanonik, saat ia memperkenalkan kutipan dari buku tersebut dengan kata-kata, "Kitab Suci menyatakan". [23]

Tulisan-tulisan Tertullian mengungkapkan banyak gambaran yang sama sehubungan dengan kanon Perjanjian Baru. Meskipun dia mengutip Surat kepada Orang Ibrani, dia tidak menganggapnya sebagai kanonik, walaupun ia percaya bahwa surat itu ditulis oleh Barnabas. [24] Pada awalnya Tertullian menerima Gembala Hermas, tetapi kemudian menolaknya sebagai bagian dari kanon.

Clement dari Alexandria, seorang perwakilan dari Gereja Timur, menunjukkan sikap yang lebih liberal terhadap naskah-naskah kanon dibandingkan dengan sikap Gereja Barat. Selain empat Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, ia juga menggunakan Injil apokrif Ibrani dan Injil apokrif Mesir. Kanon Perjanjian Baru versi Clement terdapat juga 14 buku dari Paulus, termasuk Ibrani, 1 Petrus, 1 dan 2 Yohanes, Yudas, Kisah Para Rasul, dan Wahyu, Surat Barnabas, Wahyu Petrus, dan beberapa buku non-kanonik. Yakobus, 3 Yohanes, dan 2 Petrus tidak ada dalam daftar, tetapi tidak dapat dipastikan apakah karena Clement menolaknya atau karena tidak memiliki naskah tersebut. Tulisan-tulisan Clement jelas menunjukkan bahwa buku-buku yang sudah ditolak di Gereja Barat sebagai bukan kanonis masih tetap digunakan di Gereja timur tanpa keraguan.

Secara umum Kanon Perjanjian Baru pada akhir abad kedua menunjukkan bahwa keempat Injil, 13 surat-surat Paulus, 1 Petrus, 1 dan 2 Yohanes, Yudas, Kisah, dan Wahyu umumnya diakui sebagai kanonik. Sementara Gereja Barat masih meragukan Yakobus, 2 Petrus, 3 Yohanes, dan Ibrani, orang-orang di Gereja Timur bebas untuk menggunakannya ditambah tulisan-tulisan apokrif tertentu sebagai kanonik.

Dalam perjalanan seratus tahun pertama Gereja Kristen banyak buku telah ditulis. Setiap sekte Kristen pada tiap-tiap daerah menghasilkan berbagai tulisan-tulisan, yang juga disebut Injil. Tulisan-tulisan ini diperbanyak dan didistribusikan secara luas di antara orang-orang Kristen hal ini memaksa orang Kristen untuk memutuskan buku apa yang harus diterima dan buku apa yang harus ditolak. Satu prinsip yang diadopsi dalam menentukan validitas sebuah buku adalah status penulis. Tulisan-tulisan yang tidak jelas status kerasulan penulisnya, mereka menolak. Pengecualian dibuat untuk Injil Markus dan Lukas, yang penulisnya dianggap berhubungan langsung dengan para rasul. Dasar lain kanonisasi adalah isi buku, meskipun beberapa buku-buku diduga penulisnya seorang rasul tetapi juga ditolak ketika mereka ditemukan mengandung unsur-unsur Gnostik. Salah satu contoh dari karya-karya tersebut adalah Injil Petrus.

Eusebius mencatat sebuah peristiwa yang menggambarkan bagaimana para pemimpin gereja memilih sebuah kanon. Sekitar tahun 200 M, Gereja di Rhosus, dekat Antiokhia, terpecah akibat penggunaan Injil Petrus. Para anggota jemaat itu menyampaikan perselisihan mereka pada Serapion, uskup Antiokhia. Dia tidak mengetahui secara rinci isi Injil Petrus sehingga memperbolehkan penggunaannya. Kemudian, ketika ia menyadari ajaran Gnostik yang dikandung Injil ini, ia menulis surat kepada jemaat di Rhosus dan mencabut izin yang sebelumnya ia berikan. Menarik untuk dicatat bahwa Serapion mengijinkan buku asing untuk dibaca di gereja karena membawa nama seorang rasul sebagai penulis, tetapi dia segera melarang buku itu sebab isi buku itu yang bertentangan dengan buku-buku kanon lain. [25]

Kanon Perjanjian Baru setelah tahun 200 M di Gereja-gereja Timur

Catatan tentang kanon Perjanjian Baru di Gereja Timur diperoleh dari Origen. Dia menulis bahwa ada perbedaan antara jemaat-jemaat dalam hal dengan isi Perjanjian Baru. Pada umumnya jemaat-jemaat di Gereja Timur menerima keempat Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, 1 Petrus, dan 1 Yohanes, dan Wahyu sebagai buku kanon, tetapi 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Ibrani, dan Yudas hanya diterima oleh sebagian jemaat. Origen juga mencatat Gembala Hermas, Injil Barnabas, dan Didakhe tetap dimasukkan dalam kitab Perjanjian Baru, tetapi jemaat-jemaat berkeyakinan bahwa buku-buku itu bukan berasal dari para rasul. [26]

Meskipun dalam catatan Origen buku Wahyu sudah diterima secara umum sebagai buku kanonik, pada abad ketiga Kristen Ortodoks mulai mempertanyakan keaslian buku ini. Dionysius, uskup Alexandria menulis sebuah risalah di mana ia menyangkal kerasulan penulis buku ini. Para ahli kitab di Aleksandria juga meragukan kitab Wahyu karena ajaran penghakiman dan realitas kerajaan surgawi pada kitab itu tidak cocok dengan teologi mereka. Sebagai hasil dari kontroversi ini, banyak jemaat-jemaat menolak buku ini sementara jemaat-jemaat lain tetap menggunakannya.

Pada saat Kekristenan disahkan menjadi agama kerajaan di Kekaisaran Romawi tahun 313, daftar buku yang diakui dan yang ditolak sebagai kanon telah terbentuk. Eusebius pada tahun 325 menulis bahwa buku-buku Perjanjian Baru dibagi atas tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri dari "Buku yang Diakui", antara lain: keempat Injil, Kisah Para Rasul, 14 surat-surat Paul (termasuk Ibrani), 1 Yohanes, 1 Petrus, dan Wahyu. Kelompok dua adalah terdiri dari "Buku yang dipermasalahkan", yang dibagi lagi menjadi “karya asli”, antara lain: Yakobus, Yudas, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, dan "karya tidak asli", antara lain: Kisah Paulus, Gembala Hermas, Wahyu Petrus, Surat Barnabas, dan buku Didakhe. Kelompok ketiga adalah "Tulisan-tulisan sesat dan fasik", seperti: Injil Petrus, Thomas, Matthias. [27]

Catatan Eusebius menunjukkan dengan jelas bahwa orang Kristen memisahkan kitab-kitab kanon dari yang bukan kanon sebelum agama Kristen menjadi agama kerajaan di awal abad keempat. Buku-buku yang ia klasifikasikan sebagai "Buku yang Diakui" dan "Buku yang dipermasalahkan – karya asli” adalah 27 buku-buku Perjanjian Baru yang diakui sebagai kanonik oleh semua orang Kristen dewasa ini.

Kanon Perjanjian Baru di Gereja berbahasa Yunani

Salah satu faktor penting dalam menyelesaikan masalah kanon dalam Gereja berbahasa Yunani adalah deklarasi Athanasius dari Alexandria, dalam Surat Paskah ke-39 tahun 367. Sebagai orang terkemuka pada masanya, Athanasius mengatakan bahwa kanon Perjanjian Baru terdiri dari 27 buku. Dari semua karya apokrif, ia menyatakan Didakhe dan Gembala Hermas dapat digunakan untuk mendidik calon di kelas baptisan meskipun bukan buku kanonik.

Meskipun arahan Athanasius hanya mengikat secara hukum di wilayah Mesir di mana dia mengakui pemimpin spiritual, namun kepribadiannya yang kuat membuat gereja yang berbahasa Yunani di wilayah lain juga dipengaruhi oleh keputusannya.

Kanon Perjanjian Baru di Gereja berbahasa Suriah

Sejarah pembentukan kanon berbeda untuk gereja berbahasa Suriah, yang terletak di perbatasan timur kekaisaran Romawi, di daerah Eufrat Utara, Mesopotamia, dan Persia. Injil mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Siriah sebelum tahun 200, seperti yang ditunjukkan oleh Naskah Curetonian dan Naskah Sinaitic.

Hanya sedikit yang diketahui tentang terbentuknya kitab Perjanjian Baru antara gereja-gereja Suriah. Dari Doctrina Addai, yang ditulis sekitar tahun 350, tampak bahwa surat-surat Paulus dan Kisah Para Rasul digunakan di gereja-gereja berbahasa Suriah bersama dengan Perjanjian Lama dan Injil. Tetapi tidak diketahui bagaimana awalnya gereja-gereja Suriah mengakui buku-buku ini. Dari naskah kuno yang berasal dari abad ketiga yang ditemukan di salah satu biara di Gunung Sinai hanya diperoleh buku: keempat Injil, Kisah Para Rasul, dan surat-surat Paulus, termasuk Ibrani.

Pada Naskah Kitab berbahasa Suriah yang lebih baru, Peshitta, terdapat: Kisah Para Rasul, 14 surat-surat Paulus, dan 1 Petrus, 1 Yohanes, dan Yakobus. Jadi selama bertahun-tahun kanon Perjanjian Baru berbahasa Suriah terdiri dari 22 buku, tetapi kemudian sebagain gereja diterima kanon dari 27 buku, sementara yang lain tetap menggunakan 22 buku.


Referensi

  1. ^ Kisah Para Rasul 20:30
  2. ^ Ecclesiastical History iii. 39. Halaman 2–4
  3. ^ Lukas 1:1
  4. ^ ch. 14; The Ante-Nicene Fathers, vol. 9, halaman 255
  5. ^ Kolose. 4:16
  6. ^ 2 Petrus 3:15, 16
  7. ^ 1 Clement, bab. 47; Ante-Nicea Fathers, vol. 9, hal 243
  8. ^ Ignatius to the Ephesians, ch. 12;The Ante-Nicene Fathers, vol. 1, halaman 55
  9. ^ Polycarp to the Philippians, ch. 3; The Ante-Nicene Fathers, vol. 1, halaman 33
  10. ^ 1 Petrus 1:1
  11. ^ Yakobus 1:1
  12. ^ Wahyu 1:1-3; 22:18, 19
  13. ^ First Apology, bab 67.
  14. ^ First Apology, bab 66
  15. ^ Dialog, bab 103.
  16. ^ Dialog, bab 81.
  17. ^ Dialog, hal 122.
  18. ^ To Autolycus ii. 22; iii. 12.
  19. ^ Dialogue ch. 81
  20. ^ Eusebius Ecclesiastical Sejarah iv 24.
  21. ^ Eusebius Ecclesiastical Sejarah xviii
  22. ^ Against Heresies iii. 11. 8
  23. ^ ibid. iv 20,2
  24. ^ On Modesty bab 20
  25. ^ Ecclesiastical History vi. 12
  26. ^ Commentaria in Matthaeum, Tomus XVII. 30.
  27. ^ ibid. iii. 25, Loeb ed., vol. I, pp. 257, 259),

Lihat pula