Kabupaten Bandung

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kabupaten Bandung
Transkripsi bahasa daerah
 • Aksara Sundaᮘᮔ᮪ᮓᮥᮀ
Dari atas, kiri ke kanan: Kawah Putih, Rancabali, Panorama Ciwidey, Tugu Juang Siliwangi, Baleendah, Panorama Soreang
Bendera Kabupaten Bandung
Lambang resmi Kabupaten Bandung
Julukan: 
Bumi Parahyangan, Indung Bandung
Motto: 
Répéh rapih kerta raharja
(Sunda) Sederhana, rapi, damai, dan tenteram
Peta
Peta
Kabupaten Bandung di Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung
Peta
Kabupaten Bandung di Jawa
Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung
Kabupaten Bandung (Jawa)
Koordinat: 7°01′19″S 107°31′41″E / 7.0219354°S 107.52807468°E / -7.0219354; 107.52807468
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Barat
Tanggal berdiri8 Agustus 1950[1]
Dasar hukumUU Nomor 14 Tahun 1950[1]
Hari jadi20 April 1641 (umur 382)
Ibu kotaSoreang
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 31
  • Kelurahan: 10
  • Desa: 270
Pemerintahan
 • BupatiH. Dadang Supriatna
 • Wakil BupatiH. Sahrul Gunawan
Luas
 • Total1.768 km2 (683 sq mi)
Populasi
 (30 Juni 2023)[3][4]
 • Total3.723.179
 • Kepadatan2,100/km2 (5,500/sq mi)
Demografi
 • AgamaIslam 97,98%
Kristen 1,89%
- Protestan 1,40%
- Katolik 0,49%
Buddha 0,09%
Hindu 0,02%
Lainnya 0,02%[3]
 • BahasaIndonesia, Sunda
 • IPMKenaikan 73,16(2022)
( Tinggi )[5]
Zona waktuUTC+07:00 (WIB)
Kode BPS
3204
Kode area telepon022
Pelat kendaraanD xxxx V**/Y**/Z**
Kode Kemendagri32.04
DAURp 2.176.386.196.000,00 (2020)
Semboyan daerahBandung Bedas
Flora resmiKina
Fauna resmiSurili
Situs webwww.bandungkab.go.id


Kabupaten Bandung (Sunda: aksara Sunda: ᮘᮔ᮪ᮓᮥᮀ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kecamatan Soreang. Tahun 2021, penduduk Kabupaten Bandung berjumlah 3.723.179 jiwa dengan kepadatan 2.100 jiwa/km².[3] Kabupaten Bandung merupakan "induk" dari wilayah Bandung Raya yang kemudian dimekarkan menjadi wilayah Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Wilayahnya didominasi oleh wilayah pegunungan yang sejuk, menjadikan tempat wisata alam di Kabupaten Bandung sangatlah beragam. Kabupaten Bandung juga menjadi tempat dari hulu Sungai Citarum.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Makam para bupati Bandung (tahun 1918)

Awal terbentuknya Kabupaten Bandung[sunting | sunting sumber]

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedang Larang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi Kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.

Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.[butuh rujukan]

Lukisan Adipati Ukur

Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun1632. Setelah "pemberontakan" Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya. Selain itu juga dilakukan reorganisasi pemerintahan di Priangan untuk menstabilkan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Daerah Priangan di luar Sumedang dan Galuh dibagi menjadi tiga Kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Parakanmuncang dan Kabupaten Sukapura dengan cara mengangkat tiga kepala daerah dari Priangan yang dianggap telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Ketiga orang kepala daerah dimaksud adalah Ki Astamanggala, umbul Cihaurbeuti diangkat menjadi mantri agung (bupati) Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tanubaya sebagai bupati Parakanmuncang dan Ngabehi Wirawangsa menjadi bupati Sukapura dengan gelar Tumenggung Wiradadaha. Ketiga orang itu dilantik secara bersamaan berdasarkan "Piagem Sultan Agung", yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Dengan demikian, tanggal 9 Muharam Taun Alip bukan hanya merupakan hari jadi Kabupaten Bandung tetapi sekaligus sebagai hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang.

Berdirinya Kabupaten Bandung, berarti di daerah Bandung terjadi perubahan terutama dalam bidang pemerintahan. Daerah yang semula merupakan bagian (bawahan) dari pemerintah kerajaan (Kerajaan Sunda-Pajararan kemudian Sumedanglarang) dengan status yang tidak jelas, berubah menjadi daerah dengan status administratif yang jelas, yaitu Kabupaten. Setelah ketiga bupati tersebut dilantik di pusat pemerintahan Mataram, mereka kembali ke daerah masing-masing. Sajarah Bandung (naskah) menyebutkan bahwa Bupati Bandung Tumeggung Wiraangunangun beserta pengikutnya dari Mataram kembali ke Tatar Ukur. Pertama kali mereka datang ke Timbanganten. Di sana bupati Bandung mendapatkan 200 cacah. Selanjutnya Tumenggung Wiraangunangun bersama rakyatnya membangun Krapyak, sebuah tempat yang terletak di tepi Ci Tarum dekat muara Ci Kapundung, (daerah pinggiran Kabupaten Bandung bagian Selatan) sebagai ibukota Kabupaten. Sebagai daerah pusat Kabupaten Bandung, Krapyak dan daerah sekitarnya disebut Bumi Tatar Ukur Gede.

Wilayah administratif Kabupaten Bandung di bawah pengaruh Mataram (hingga akhir abad ke-17), belum diketahui secara pasti, karena sumber akurat yang memuat data tentang hal itu tidak/belum ditemukan. Menurut sumber pribumi, data tahap awal Kabupaten Bandung meliputi beberapa daerah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanah medang.

Boleh jadi, daerah Priangan di luar Wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura dan Galuh, yang semula merupakan wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, merupakan wilayah administrative Kabupaten Bandung waktu itu. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Karapyak, wilayahnya mencakup daerah Timbanganten, Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung dan lain-lain, termasuk daerah Kuripan, Sagaraherang dan Tanahmedang.

Kabupaten Bandung sebagai salah satu Kabupaten yang dibentuk Kesultanan Mataram dan berada di bawah pengaruh penguasa kerajaan tersebut, sistem pemerintahan Kabupaten Bandung memiliki sistem pemerintahan Mataram. Bupati memiliki berbagai jenis simbol kebesaran, pengawal khusus dan prajurit bersenjata. Simbol dan atribut itu menambah besar dan kuatnya kekuasaan serta pengaruh Bupati atas rakyatnya. Besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati, antara lain ditunjukkan oleh pemilikan hak-hak istimewa yang biasa dmiliki oleh raja. Hak-hak dimaksud adalah hak mewariskan jabatan, hak memungut pajak dalam bentuk uang dan barang, hak memperoleh tenaga kerja (ngawula), hak berburu dan menangkap ikan dan hak mengadili.

Dengan sangat terbatasnya pengawasan langsung dari penguasa Mataram, maka tidaklah heran apabila waktu itu Bupati Bandung khususnya dan Bupati Priangan umumnya berkuasa seperti raja. Ia berkuasa penuh atas rakyat dan daerahnya. Sistem pemerintahan dan gaya hidup bupati merupakan miniatur dari kehidupan keraton. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti patih, jaksa, penghulu, demang atau kepala cutak (kepala distrik), camat (pembantu kepala distrik), patinggi (lurah atau kepala desa) dan lain-lain.

Kabupaten Bandung berada dibawah pengaruh Mataram sampai akhir tahun 1677. Kemudian Kabupaten Bandung jatuh ke tangan Kompeni. Hal itu terjadi akibat perjanjian Mataram–Kompeni (perjanjian pertama) tanggal 19-20 Oktober 1677. Di bawah kekuasaan Kompeni (1677-1799), Bupati Bandung dan Bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan Kompeni. Sistem pemerintahan Kabupaten pada dasarnya tidak mengalami perubahan, karena Kompeni hanya menuntut agar bupati mengakui kekuasaan Kompeni, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Dalam hal ini bupati tidak boleh mengadakan hubungan politik dan dagang dengan pihak lain. Satu hal yang berubah adalah jabatan bupati wedana dihilangkan. Sebagai gantinya, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon–Priangan (Cheribonsche Preangerlandan).

Salah satu kewajiban utama Bupati terhadap kompeni adalah melaksanakan penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan menyerahkan hasilnya. Sistem penanaman wajib itu disebut Preangerstelsel. Sementara itu bupati wajib memelihara keamanan dan ketertiban daerah kekuasaannya. Bupati juga tidak boleh mengangkat atau memecat pegawai bawahan bupati tanpa pertimbangan Bupati Kompeni atau penguasa Kompeni di Cirebon. Agar bupati dapat melaksanakan kewajiban yang disebut terakhir dengan baik, pengaruh bupati dalam bidang keagamaan, termasuk penghasilan dari bidang itu, seperti bagian zakat fitrah, tidak diganggu baik bupati maupun rakyat (petani) mendapat bayaran atas penyerahan kopi yang besarnya ditentukan oleh Kompeni.

Hingga berakhirnya kekuasaan Kompeni–VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun temurun oleh enam orang bupati. Tumenggung Wiraangunangun (merupakan bupati pertama) angkatan Mataram yang memerintah sampai tahun 1681. Lima bupati lainnya adalah bupati angkatan Kompeni yakni Tumenggung Ardikusumah yang memerintah tahun 1681-1704, Tumenggung Anggadireja I (1704-1747), Tumenggung Anggadireja II (1747-1763), R. Anggadireja III dengan gelar R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) dan R.A. Wiranatakusumah II yang memerintah dari tahun 1794 hingga tahun 1829. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak ke Kota Bandung.[butuh rujukan]

Lahirnya Kabupaten Bandung[sunting | sunting sumber]

Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada tanggal 9 bulan Muharram tahun Alif atau sama dengan hari sabtu tanggal 20 April 1641 Masehi. Bupati pertamanya adalah Tumenggung Wiraangunangun (1641-1681 M). Dari bukti sejarah tersebut ditetapkan bahwa 20 April sebagai Hari Jadi Kabupaten Bandung. Jabatan bupati kemudian digantikan oleh Tumenggung Nyili salah seorang putranya. Namun Nyili tidak lama memegang jabatan tersebut karena mengikuti Sultan Banten. Jabatan bupati kemudian dilanjutkan oleh Tumenggung Ardikusumah, seorang Dalem Tenjolaya (Timbanganten) pada tahun 1681-1704.

Selanjutnya kedudukan Bupati Kabupaten Bandung dari R. Ardikusumah diserahkan kepada putranya R. Ardisuta yang diangkat tahun 1704 setelah Pemerintah Hindia Belanda mengadakan pertemuan dengan para bupati se-Priangan di Cirebon. R. Ardisuta (1704-1747) terkenal dengan nama Tumenggung Anggadiredja I setelah wafat dia sering disebut Dalem Gordah. sebagai penggantinya diangkat putra tertuanya Demang Hatapradja yang bergelar Anggadiredja II (1707-1747).

Pada masa Pemerintahan Anggadiredja III (1763-1794) Kabupaten Bandung disatukan dengan Timbanganten, bahkan pada tahun 1786 dia memasukkan Batulayang ke dalam pemerintahannya. Juga pada masa Pemerintahan Adipati Wiranatakusumah II (1794-1829) inilah ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Karapyak (Dayeuhkolot) ke tepi sungai Cikapundung atau alun-alun Kota Bandung sekarang. Pemindahan ibu kota itu atas dasar perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Daendels tanggal 25 Mei 1810, dengan alasan daerah baru tersebut dinilai akan memberikan prospek yang lebih baik terhadap perkembangan wilayah tersebut.

Raden Aria Adipati Wiranatakusumah IV (masa jabatan 1846-1874) dan pengikutnya (sekitar tahun 1870)

Setelah kepala pemerintahan dipegang oleh Bupati Wiranatakusumah IV (1846-1874), ibu kota Kabupaten Bandung berkembang pesat dan dia dikenal sebagai bupati yang progresif. Dialah peletak dasar master plan Kabupaten Bandung, yang disebut Negorij Bandoeng. Tahun 1850 dia mendirikan pendopo Kabupaten Bandung dan Masjid Agung. Kemudian dia memprakarsai pembangunan Sekolah Raja (Pendidikan Guru) dan mendirikan sekolah untuk para menak (Opleiding School Voor Indische Ambtenaaren). Atas jasa-jasanya dalam membangun Kabupaten Bandung di segala bidang dia mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda berupa Bintang Jasa, sehingga masyarakat menjulukinya dengan sebutan Dalem Bintang.

Pada masa pemerintahan R. Adipati Kusumahdilaga, rel kereta api mulai dibangun, tepatnya tanggal 17 Mei 1884. Dengan masuknya rel kereta api ini ibu kota Bandung kian ramai. Penghuninya bukan hanya pribumi, bangsa Eropa, dan Cina pun mulai menetap di ibu kota, dampaknya perekonomian Kota Bandung semakin maju. Setelah wafat penggantinya diangkat R.A.A. Martanegara, bupati ini pun terkenal sebagai perencana kota yang cemerlang. Martanegara juga dianggap mampu menggerakkan rakyatnya untuk berpartisipasi aktif dalam menata wilayah kumuh menjadi permukiman yang nyaman. Pada masa pemerintahan R.A.A. Martanegara (1893-1918) atau tepatnya pada tanggal 21 Februari 1906, Kota Bandung sebagai ibu kota Kabupaten Bandung berubah statusnya menjadi Gementee (Kotamadya).

R. A. A. Wiranatakoesoema V (Dalem Haji, masa jabatan 1912-1931 dan 1935-1945) sebagai wakil Volksraad di Congres van Prijaji-Bond (Kongres Perhimpunan Priyayi) di Surakarta tahun 1929

Periode selanjutnya Bupati Bandung dijabat oleh Aria Wiranatakoesoema V (Dalem Haji) yang menjabat selama 2 periode, pertama tahun 1920-1931 sebagai bupati yang ke-12 dan berikutnya tahun 1935-1945 sebagai bupati yang ke-14. Pada periode tahun 1931-1935 R.T. Sumadipradja menjabat sebagai Bupati ke-13.

Masa Kemerdekaan[sunting | sunting sumber]

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Selanjutnya bupati ke-15 adalah R.T.E. Suriaputra (1945-1947) dan penggantinya adalah R.T.M. Wiranatakusumah VI alias Aom Male (1948-1956), kemudian diganti oleh R. Apandi Wiriadiputra sebagai bupati ke-17 yang dijabatnya hanya 1 tahun (1956-1957).

Bupati berikutnya adalah Letkol. R. Memet Ardiwilaga (1960-1967). Kemudian pada masa transisi (Orde Lama ke Orde Baru) dilanjutkan oleh Kolonel Masturi. Pada masa Pimpinan Kolonel R.H. Lily Sumantri tercatat peristiwa penting yaitu rencana pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung yang semula berada di Kotamadya Bandung ke Wilayah Hukum Kabupaten Bandung, yaitu daerah Baleendah. Peletakan batu pertamanya pada tanggal 20 April 1974, yaitu pada saat Hari Jadi Kabupaten Bandung yang ke-333. Rencana pemindahan ibu kota tersebut berlanjut hingga jabatan bupati dipegang oleh Kolonel R. Sani Lupias Abdurachman (1980-1985).

Atas pertimbangan secara fisik geografis, daerah Baleendah tidak memungkinkan untuk dijadikan sebagai ibu kota kabupaten karena sering dilanda banjir, maka ketika jabatan bupati dipegang oleh Kolonel H.D. Cherman Affendi (1985-1990), ibu kota Kabupaten Bandung pindah ke lokasi baru yaitu Soreang. Di tepi Jalan Raya Soreang, tepatnya di Desa Pamekaran inilah dibangun Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung seluas 24 hektare, dengan menampilkan arsitektur khas gaya Priangan. Pembangunan perkantoran yang belum rampung seluruhnya dilanjutkan oleh bupati berikutnya yaitu Kolonel H.U. Djatipermana, sehingga pembangunan tersebut memerlukan waktu sejak tahun 1990 hingga 1992.

Tanggal 5 Desember 2000, Kolonel H. Obar Sobarna, S.I.P. terpilih oleh DPRD Kabupaten Bandung menjadi Bupati Bandung dengan didampingi oleh Drs. H. Eliyadi Agraraharja sebagai Wakil Bupati. Sejak itu, Soreang betul-betul difungsikan menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 2003 semua aparat daerah, kecuali Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Kebersihan, Kantor BLKD, dan Kantor Diklat, sudah resmi berkantor di kompleks perkantoran Kabupaten Bandung. Pada periode pemerintahan Obar Sobarna, yang pertama dibangun adalah Stadion Olahraga, yakni Stadion Si Jalak Harupat. Stadion ini merupakan stadion bertaraf internasional yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Bandung. Selain itu, berdasarkan aspirasi masyarakat yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, Kota Administratif Cimahi berubah status menjadi kota otonom.

Jembatan Kamojang, Cukang Monteng Ibun

Tanggal 5 Desember 2005, Obar Sobarna menjabat Bupati Bandung untuk kali kedua didampingi oleh H. Yadi Srimulyadi sebagai Wakil Bupati, melalui proses pemilihan langsung. Pada masa pemerintahan yang kedua ini, berdasarkan dinamika masyarakat dan didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian dari 5 perguruan tinggi, secara yuridis terbentuklah Kabupaten Bandung Barat bersamaan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Ibu kota Kabupaten Bandung Barat terletak di Kecamatan Ngamprah). Bupati Bandung Barat masa jabatan 2008-2013 adalah Abubakar.[6]

Geografi[sunting | sunting sumber]

Persawahan di daerah Pameungpeuk

Kabupaten Bandung terletak di Cekungan Bandung dengan ciri khas dataran tinggi luas di bagian tengah yang dikelilingi pegunungan di sebelah barat, selatan, utara dan timurnya. Sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang mengalir di kawasan ini sebelum masuk ke waduk Saguling. Sebagian besar Kecamatan padat penduduk di Kabupaten ini seperti Majalaya, Soreang, Banjaran, Rancaekek, Dayeuhkolot, Margahayu, Cileunyi, Baleendah, dan Bojongsoang terletak di dataran ini. Karakteristik dataran ini memiliki area persawahan yang sangat luas dengan sistem irigasi yang cukup baik, diselingi pemukiman padat penduduk di tiap-tiap kota kecamatannya. Namun, lahan sawah terus-menerus berkurang tiap tahunnya akibat alih-fungsi menjadi lahan properti.[7] Lahan sawah yang tercatat dilindungi (LSD) dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang tahun 2021 seluas 30.000 hektare dilaporkan Bupati Dadang Supriatna tersisa 17.000 hektare semata.[7]

Irigasi Cisangkuy Floodway

Meskipun termasuk dataran tinggi, kawasan ini terutama di daerah Dayeuhkolot dan Baleendah kerap kali dilanda banjir di beberapa titik setiap musim hujan dikarenakan elevasi kedua daerah ini memang yang paling rendah di Bandung Raya sehingga aliran sungai yang ada di Cekungan Bandung semuanya bermuara ke sungai Citarum yang berada di sekitar daerah ini. Hal ini diperparah dengan drainase yang buruk, pencemaran sungai, serta pendangkalan sungai yang cepat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten untuk menanggulangi banjir, seperti membangun kolam retensi, pengerukan sungai, membangun terowongan air curug jompong untuk mempercepat aliran sungai citarum, juga program Citarum Harum yang melibatkan TNI. Hasilnya area banjir memang lebih bisa dikendalikan walapun jika ada hujan deras di daerah hulu tetap saja jadi genangan.

Adapun wilayah yang terletak di Pegunungan yaitu Ciwidey, Pasirjambu, Pangalengan dan Kertasari di selatan serta Cimenyan dan Cilengkrang di bagian utara. Karakteristik wilayah ini yang berbukit-bukit cocok untuk berbagai macam perkebunan seperti Teh, Kopi, Kina dan Sayuran serta menjadi objek wisata yang menawarkan keindahan dan kesejukan alam.

Beberapa Gunung yang ada di Kabupaten Bandung antara lain: Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), Gunung Papandayan (2.262 m), dan Gunung Manglayang (1.818 m).

Iklim[sunting | sunting sumber]

Dengan Morfologi wilayah pegunungan dengan rata-rata kemiringan lereng antara 0-8 %, 8-15 % hingga di atas 45 %. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm per tahun. Suhu udara berkisar antara 12 °C sampai 24 °C dengan kelembaban antara 78 % pada musim hujan dan 70 % pada musim kemarau.

Batas Wilayah[sunting | sunting sumber]

Utara Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang
Timur Kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang
Selatan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur
Barat Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Bupati[sunting | sunting sumber]

Kantor Bupati Bandung, Soreang
No Bupati Mulai jabatan Akhir jabatan Prd. Wakil Bupati
25 Dadang Supriatna 26 April 2021 Petahana 29 Sahrul Gunawan

Dewan Perwakilan[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Kabupaten Bandung dalam dua periode terakhir.[8][9]

Partai Politik Jumlah Kursi dalam Periode
2014-2019 2019-2024
PKB 5 Kenaikan 6
Gerindra 7 Steady 7
PDI-P 9 Penurunan 7
Golkar 12 Penurunan 11
NasDem 2 Kenaikan 5
PKS 6 Kenaikan 10
PPP 1 Penurunan 0
PAN 2 Kenaikan 4
Hanura 1 Penurunan 0
Demokrat 5 Steady 5
Jumlah Anggota 50 Kenaikan 55
Jumlah Partai 10 Penurunan 8


Kecamatan[sunting | sunting sumber]

Kabupaten Bandung terdiri dari 31 kecamatan, 10 kelurahan, dan 270 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 3.522.724 jiwa dengan luas wilayah 1.767,96 km² dan sebaran penduduk 1.992 jiwa/km².[10][11]

Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Bandung, adalah sebagai berikut:

Kode
Kemendagri
Kecamatan Jumlah
Kelurahan
Jumlah
Desa
Kodepos[12] Status Daftar
Desa/Kelurahan
32.04.16 Arjasari 11 40379 Desa
32.04.32 Baleendah 5 3 40375 Desa
Kelurahan
32.04.13 Banjaran 11 40377 Desa
32.04.08 Bojongsoang 6 40354 Desa
32.04.44 Cangkuang 7 40361 Desa
32.04.25 Cicalengka 12 40395 Desa
32.04.27 Cikancung 9 40396 Desa
32.04.07 Cilengkrang 6 40392 Desa
32.04.05 Cileunyi 6 40393 Desa
32.04.17 Cimaung 10 40374 Desa
32.04.06 Cimenyan 2 7 40399 Desa
Kelurahan
32.04.29 Ciparay 14 40381 Desa
32.04.39 Ciwidey 7 40362 Desa
32.04.12 Dayeuhkolot 1 5 40353 Desa
Kelurahan
32.04.36 Ibun 12 40384 Desa
32.04.11 Katapang 7 40355 Desa
32.04.31 Kertasari 8 40386 Desa
32.04.46 Kutawaringin 11 40356 Desa
32.04.33 Majalaya 11 40382 Desa
32.04.10 Margaasih 6 40351 Desa
32.04.09 Margahayu 1 4 40352 Desa
Kelurahan
32.04.26 Nagreg 8 40397 Desa
32.04.30 Pacet 13 40385 Desa
32.04.14 Pameungpeuk 6 40376 Desa
32.04.15 Pangalengan 13 40378 Desa
32.04.35 Paseh 12 40383 Desa
32.04.38 Pasirjambu 10 40364 Desa
32.04.40 Rancabali 5 40363 Desa
32.04.28 Rancaekek 1 13 40394 Desa
Kelurahan
32.04.34 Solokanjeruk 7 40387 Desa
32.04.37 Soreang 10 40311-40319 Desa
TOTAL 10 270

Demografi[sunting | sunting sumber]

Jumlah penduduk kabupaten berdasarkan Kementerian Dalam Negeri data catatan sipil per tanggal 30 Juni 2022 sebanyak 3.655.878 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak ini Kabupaten Bandung merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Kabupaten Bogor. Sebelumnya Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat merupakan bagian dari kabupaten Bandung. Kota Cimahi dimekarkan pada tahun 2001, sementara Kabupaten Bandung Barat dimekarkan pada tahun 2007.[13] Sebelum dimekarkan, jumlah penduduk kabupaten pada tahun 2000 sebanyak 4.151.894 jiwa. Jumlah migrasi penduduk Indonesia ke kabupaten Bandung pada tahun 2000 sebanyak 142.943 jiwa.[14]

Suku bangsa[sunting | sunting sumber]

Sebagian besar penduduk kabupaten Bandung adalah suku Sunda. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia 2000, orang Sunda di kabupaten Bandung sebanyak 3.842.694 jiwa atau 92,55 % dari total penduduk 4.141.894 jiwa yang terdata. Sementara penduduk dari suku lainnya sebagian besar adalah orang Jawa, diikuti orang Batak, Tionghoa, Minangkabau, Betawi, kemudian Cirebon, dan suku lainnya. Berikut adalah besaran penduduk Kabupaten Bandung berdasarkan suku bangsa menurut data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000;[14]

No Suku Jumlah
(2000)
%
1 Sunda 3.842.694 92,55%
2 Jawa 186.000 4,48%
3 Batak 22.852 0,55%
4 Tionghoa 10.510 0,25%
5 Minangkabau 6.791 0,17%
6 Betawi 6.114 0,15%
7 Cirebon 1.724 0,04%
8 Banten 498 0,01%
9 Suku lainnya 74.711 1,80%
Kabupaten Bandung 4.151.894 100%

Industri[sunting | sunting sumber]

Kebun Teh Cukul Pangalengan

Di Kabupaten Bandung terdapat beberapa jenis industri skala menengah yang tersebar di beberapa wilayah. Industri di Kabupaten Bandung Pada umumnya berfokus pada jenis industri tekstil dan garmen serta bagai macam produk turunannya. Wilayah yang terdapat cukup banyak pabrik antara lain Majalaya, Dayeuhkolot, Pameungpeuk, Solokanjeruk dan Katapang.

Kesehatan[sunting | sunting sumber]

Catatan BKKBN menyebutkan bahwa Kabupaten Bandung, bersama dengan Cianjur, Kota Cirebon, dan Garut, di tahun 2022, menjadi daerah berstatus darurat stunting. Hal ini disebabkan persentase stunting pada anak berusia di bawah 12 tahun[butuh rujukan] mencapai lebih dari 30%.[15]

Transportasi[sunting | sunting sumber]

Simpang Susun Cileunyi

Kabupaten Bandung merupakan salah satu titik simpul jaringan jalan raya di Jawa Barat. Tol Purbaleunyi menghubungkan Jakarta dan Bandung yang ujungnya berada di kecamatan Cileunyi. Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan yang menuju Bandar Udara Internasional Kertajati, wilayah Rebana, Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian utara juga bermula di Cileunyi. Jalan Nasional Bandung–YogyakartaSurabaya (Jalur Selatan) yang melintasi beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung bagian timur merupakan urat nadi yang sangat penting bagi arus transportasi di Jawa Barat. Jalan Nasional Bandung–Cirebon juga melintasi kawasan Cileunyi. Jalan Nasional CimahiCidaun menghubungkan Kota Bandung ke kawasan Pantai Selatan Jawa melewati Kecamatan Soreang, Pasirjambu, Ciwidey dan Rancabali. Jalan Tol Soreang-Pasirkoja menghubungkan Kota Bandung dengan Soreang, memberikan akses yang lebih cepat menuju objek wisata Bandung Selatan.

Kereta Cepat[sunting | sunting sumber]

Kereta Cepat Jakarta–Bandung mempunyai stasiun akhir di Wilayah kabupaten Bandung yakni di desa Cibiru Hilir Kecamatan Cileunyi.

Angkutan Kota[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa trayek angkutan kota di Kabupaten Bandung yang menghubungkan antar kecamatan maupun menghubungkan kabupaten Bandung dengan Kota Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Trayek tersebut antara lain:

Mikrobus[sunting | sunting sumber]

Trans Metro Pasundan[sunting | sunting sumber]

Kereta Api[sunting | sunting sumber]

Stasiun[sunting | sunting sumber]

Kabupaten Bandung memiliki 2 stasiun KA Cikuray, 6 stasiun KA Garut Cibatuan, KA Lokal Bandung Raya maupun 1 stasiun High Speed Train Indonesia yang masih beroperasi, diantaranya:

Pariwisata[sunting | sunting sumber]

Kabupaten Bandung dan tempat wisata merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Sejak dulu dataran tinggi Bandung Selatan dan Bandung Utara menawarkan beragam objek wisata yang menyuguhkan pemandangan alam yang sangat indah. Bentangan kebun teh yang bertebaran dari Rancabali sampai Kertasari, danau-danau hening dan sunyi seperti Situ Patenggang, Kawah Putih, Situ Cisanti dan Situ Cileunca, sampai sumber-sumber air panas yang keluar dari gunung-gunung vulkanik Bandung Selatan merupakan magnet bagi wisatawan untuk selalu berkunjung ke Kabupaten Bandung.[butuh rujukan]

Potensi Wisata[sunting | sunting sumber]

Galeri[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Pembentukan Daerah-Daerah Otonom di Indonesia s/d Tahun 2014" (PDF). www.otda.kemendagri.go.id. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 Juli 2019. Diakses tanggal 2 Juli 2022. 
  2. ^ "Geografi Kabupaten Bandung di Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Bandung". www.bandungkab.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-09. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  3. ^ a b c "Visualisasi Data Kependudukan - Kementerian Dalam Negeri 2023". www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 3 Desember 2023. 
  4. ^ "Kabupaten Bandung Dalam Angka 2020". www.bandungkab.bps.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-09. Diakses tanggal 9 Juni 2020. 
  5. ^ "Indeks Pembangunan Manusia 2022-2023". www.bps.go.id. Diakses tanggal 2 Desember 2023. 
  6. ^ "Abubakar Dilantik Jadi Bupati Bandung Barat". Suara Karya Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-09-12. Diakses tanggal 2011-03-24. 
  7. ^ a b Husodo, Hendro (8 Agustus 2022). "Luas Sawah Menyusut Tersisa 17.000 Hektare". Pikiran Rakyat. Soreang. hlm. 2. 
  8. ^ [1] Diarsipkan 2019-01-27 di Wayback Machine. Soreang Online - Pelantikan 50 Anggota DPRD Kabupaten Bandung Berlangsung Sederhana
  9. ^ KPU Tetapkan Parpol Terpilih 55 Kursi DPRD Kabupaten Bandung Inilah Koran
  10. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 
  11. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendagri nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 25 Oktober 2019. Diakses tanggal 15 Januari 2020. 
  12. ^ Kode Pos Kabupaten Bandung
  13. ^ "Pembentukan Daerah-Daerah Otonom di Indonesia s/d Tahun 2014" (PDF). www.otda.kemendagri.go.id. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-07-12. Diakses tanggal 17 September 2022. 
  14. ^ a b "Karakteristik Penduduk Jawa Barat Hasil Sensus Penduduk 2000" (pdf). www.jabar.bps.go.id. 1 November 2001. hlm. 72–73. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-19. Diakses tanggal 17 September 2022. 
  15. ^ Arifianto, Bambang; Fahas, Eva; Nurulliah, Novianti; Kasumaningrum, Yulistyne (19 Agustus 2022). "Jabar Masih Harus Terus Berbenah". Pikiran Rakyat. Bandung. hlm. 1. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]