John Wesley

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 17.48 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 36 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q213393)
Berkas:Jwesleysitting.JPG
John Wesley, pendiri Gereja Metodis

John Wesley (28 Juni 1703 – 2 Maret 1791) adalah seorang teolog Inggris.[1] John merupakan anak seorang pendeta dari gereja Anglikan.[1] Ayahnya bernama Samuel Wesley dan ibunya adalah Susanna Annesley.[1] John juga memiliki seorang adik yang dilahirkan pada tahun 1707 (Charles Wesley).[1] Ia dikenal sebagai pendiri Gereja Metodis.[1]

Biografi

John Wesley hidup di tengah-tengah masyarakat Inggris yang sedang terbagi dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas bangsawan, kelas menengah dan kelas bawah.[1] Pada saat itu juga, terjadi kesenjangan sosial antara kelas bawah dan kelas mengengah ke atas.[1] Kesenjangan sosial ini dipengaruhi oleh sistem ekonomi industri hasil dari Revolusi Industri.[1] Wesley melihat ketimpangan antara si kaya dan si miskin.[1] Sekelompok orang yang berkuasa terus memperkaya diri mereka, sementara itu sebagian besar rakyat kelas bawah menderita kelaparan dan terjangkit penyakit.[1]

Pada tahun 1714 John masuk ke sekolah Chartehouse di London.[2] Ia belajar di sekolah tersebut hingga tahun 1720 kemudian pindah ke universitas Oxford.[2] Pada tahun 1724, ia mendapat gelar sarjana muda dan menerima jabatan diaken pada tahun 1725.[2] Selanjutnya pada tahun 1726, dia menjadi asisten dosen di Lincoln College, Oxford sambil menyelesaikan gelar sarjananya.[2] Pada tahun 1727, dia berhasil mendapat gelar sarjana kemudian diangkat menjadi imam pembantu ayahnya di Epworth.[2] Pada tahun 1735, Wesley pergi untuk menginjili ke daerah Georgia.[2] Namun, ia tidak berhasil melakukan penginjilan di Georgia.[2]

Pada waktu John Wesley kembali ke Inggris pada tahun 1738, ia semakin menyadari kebutuhan spiritualnya.[2] Ia mulai menyadari bahwa ia dipanggil untuk memberitakan Injil kepada seluruh bangsa Inggris.[2] Dalam perjalanannya di sekeliling Inggris, ia berhasil memikat banyak orang, khususnya kaum buruh, untuk percaya kepada Injil.[2]

Pokok Pemikiran

Pembenaran dan Pengudusan

John Wesley sangat menekankan doktrin pembenaran dan pengudusan. Dasar dari konsep pembenaran adalah konsep manusia yang berdosa dan benar-benar terpisah dari Allah sehingga tidak mungkin menyelamatkan dirinya sendiri, serta Allah yang begitu mengasihi manusia dan berkenan menyelamatkan sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu, keselamatan adalah benar-benar anugerah dari Allah belaka dan manusia menerima pembenaran dari Allah.[3] Wesley memiliki doktrin tentang “jaminan” yang membuatnya berbeda dengan para reformator dan Gereja Katolik Roma, yaitu konsep kepastian yang sungguh tentang keselamatan sehingga tidak perlu ada keraguan dan pertanyaan tentang keselamatan, ataupun pekerjaan manusia yang dilakukan untuk mendapatkan ataupun memastikan keselamatan itu.[3]

Akan tetapi, pembenaran dan jaminan hanyalah awal.[4] Manusia berdosa yang telah mendapatkan pembenaran Allah harus melanjutkan proses “pengudusan” dalam seluruh kehidupannya hingga akhir masa hidupnya.[4] Proses pengudusan ini sangat ditekankan Wesley dalam doktrinnya mengenai “kesempurnaan Kristen” (en.Christian Perfection).[4] “Kesempurnaan Kristen” tidaklah berarti bahwa manusia dapat menjadi sempurna seperti Allah atau benar-benar lepas dari kesalahan moral. [4] Wesley tetap menyadari keterbatasan manusia dan bahwa hanya Allah yang memiliki kesempurnaan absolut dan percaya bahwa kesempurnaan manusia baru datang dalam kehidupan mendatang di dalam Kristus, namun ia juga percaya bahwa pemulihan Kristus dimulai sejak manusia menjalani kehidupannya yang terbatas dan kesempurnaan juga dimulai pada kehidupan ini.[4]

Sebenarnya apa yang Wesley maksudkan dengan doktrin ini adalah kesempurnaan dalam kasih, yaitu bagaimana menjadi seseorang yang sungguh-sungguh dipenuhi kasih yang tidak lagi diperbudak oleh kepentingan diri, melainkan senantiasa mengasihi Allah dan sesama.[4] Untuk dapat menjalani proses kesempurnaan tersebut sepanjang kehidupan ini, maka Wesley menerapkan disiplin moral yang keras terhadap anggotanya.[4]

Dengan demikian ada tiga poin yang menjadi dasar pemikiran Wesley dalam doktrin “kesempurnaan seorang Kristen”, yaitu (1) pembenaran, dalam pemikiran Reformasi, tidak cukup bila tidak membawa orang pada transformasi kehidupan; (2) bahwa anugerah yang menusia terima melalui Kristus mampu untuk melakukan transformasi hidup manusia; (3) bahwa kasih adalah esensi dari kehidupan baru dalam Kristus.[3]

Etika John Wesley

Uang

Sumber pemikiran Wesley paling penting dalam pembicaraan mengenai uang dan konsep ekonominya adalah sebuah kotbahnya yang berjudul “The Use of Money”(Inggris).[3] Isinya dapat diringkaskan dalam tiga hal: (1) mengumpulkan sebanyak kita bisa, (2) menyimpan sebanyak yang kita bisa, dan (3) memberi sebanyak yang kita bisa. Maksud pernyataan (1) ialah kita harus produktif dalam bekerja.[3] Maksud pernyataan (2) adalah supaya kita bijaksana dalam menggunakan uang dan tidak boros. [3] Kemudian pernyataan (3) berkata bahwa dalam memberi, kita adalah pelayan-pelayan Tuhan yang menyadari semua adalah milik-Nya.[3]

Jika melihat ajaran Wesley ini tanpa melihat konteksnya, seolah kita akan melihat ajaran ini seperti ajaran Calvinis yang, menurut penelitian Max Weber, merupakan spirit kapitalisme karena mengajarkan orang untuk bekerja keras dan menabung sebanyak-banyaknya untuk menjadi modal.[4] Karena itulah, kita perlu melihat konteks kepada siapa Wesley mengalamatkan khotbah ini. Wesley tidak berbicara untuk para “kapitalis” atau anggota-anggota “kalangan atas” gereja, melainkan pada orang-orang dari kelas pekerja yang berpenghasilan minim, yang begitu sulit untuk menyumbang pelayanan diakonia gereja.[4] Karena itu, “menyimpan apa yang kita bisa” bukan dimaksudkan untuk menjadi kapital atau investasi, namun supaya hidup dalam kesederhanaan.[4] Kemudian “memberi apa yang kita bisa” berarti adanya kehidupan yang saling membagi kepada yang miskin, bukan dengan kelebihan namun dalam kekurangan.[4]

Kemiskinan

Wesley berpendapat bahwa sistem ekonomi industri hasil dari Revolusi Industri telah menghasilkan kesenjangan sosial yang begitu besar.[3] Karena itu, ia menentang pendapat yang mengatakan bahwa orang miskin itu malas. Menurutnya, sistem yang ada memang lebih mengutamakan alat ketimbang manusia, bahkan kuda dan hewan ternak lebih diperhatikan karena menghasilkan untung besar daripada manusia.[3] Hal inilah yang membuat situasi masyarakat semakin buruk dengan kriminalitas, kebodohan, dan sebagainya. Wesley kemudian berupaya mengubah situasi tersebut dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi anak miskin, tempat bagi janda-janda, mengunjungi penjara-penjara untuk berkhotbah dan menyarankan perbaikan-perbaikan kondisi di sana, mendirikan lembaga peminjaman untuk melepaskan orang dari rentenir, menulis buku tentang pengobatan sederhana, dan sebagainya.[4]

Perbudakan

Wesley berbicara dengan sangat keras untuk menentang perbudakan. Dalam tulisan-tulisannya, ia mengutuk perdagangan budak sebagai tindakan orang yang menjual budak dan yang membeli budak sebagai bukan manusia, melainkan serigala.[5] Ia juga mengatakan bahwa tugas seorang Kristen adalah mewartakan pembebasan dari Allah dan menentang perbudakan.[5] Selain itu, Wesley juga menentang hukum yang melegalkan perbudakan dengan mengatakan: “apakah hukum, hukum manusia, dapat mengubah hakikat alami seseorang?” [5]


Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j Tuttle, Robert G. 1978. John Wesley: His Life and Theology. Michigan. Zondervan Publishing House.
  2. ^ a b c d e f g h i j Lane,Tonny.2005.Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani.Jakarta:BPK Gunung Mulia.ISBN 979-9290-92-9
  3. ^ a b c d e f g h i (Inggris)J. Philip Wogaman.1994. Christian Ethics: A Historical Introduction. London: SPCK. Hal. 152.
  4. ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris)Waldo Beach, H. Richard Niehbuhr. 1955. Christian Ethics: Sources of the Living Tradition. New York: The Ronald Press Company. Hal. 359-360
  5. ^ a b c (Inggris)R.E.O White. 1981. The Changing Continuity of Christian Ethics. Exeter: The Paternoster Press. Hal. 274-275.

Pranala luar