Jamila dan Sang Presiden

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 6 April 2013 15.39 oleh EmausBot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:Q6147786)
Jamila dan Sang Presiden
Berkas:Jamila dan sang presiden.jpg
Poster promosi
SutradaraRatna Sarumpaet
ProduserRatna Sarumpaet
Raam Punjabi
Ditulis olehRatna Sarumpaet
PemeranAtiqah Hasiholan
Christine Hakim
Eva Celia Latjuba
Dwi Sasono
Fauzi Baadila
Surya Saputra
Penata musikThoersi Argeswara
SinematograferShamir
PenyuntingSastha Sunu
DistributorSatu Merah Panggung
MVP Pictures
Tanggal rilis
30 April 2009 (2009-04-30)
Durasi87 menit
NegaraIndonesia
AnggaranRp6,5 milyar[1]

Jamila dan Sang Presiden (dirilis secara internasional dengan judul Jamila and the President) adalah sebuah film drama dari Indonesia yang dirilis pada tahun 2009 yang disutradarai oleh Ratna Sarumpaet dan dibintangi oleh Atiqah Hasiholan dan Christine Hakim. Film ini menceritakan kisah hidup seorang pekerja seks komersial (PSK) yang dipenjara karena membunuh seorang menteri.

Film ini diadaptasi dari sebuah karya drama berjudul Pelacur dan Sang Presiden, yang ditulis Ratna setelah menerima sebuah hibah dari UNICEF untuk menelaah perdagangan anak di Indonesia dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah tersebut. Dalam mempersiapkan skenario, Ratna menghabiskan beberapa bulan untuk mewawancarai PSK di berbagai kota. Film ini menghabiskan waktu tiga tahun untuk diproduksi, biarpun sebagian besar pemain dan kru sudah ikut serta dalam pementasan drama tersebut sebelumnya.

Setelah dirilis pada tanggal 30 April 2009, Jamila mendapatkan respon yang cukup hangat di Indonesia. Di kancah internasional, film ini ditampilkan di beberapa festival film dan mendapatkan penghargaan di Perancis, Italia, dan Taiwan.[2][3] Film ini juga sempat diajukan ke Academy Award ke-82 untuk Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tidak dinominasikan.[4][5]

Alur

Film ini dimulai dengan narasi dari Jamila (Atiqah Hasiholan) bahwa dia adalah korban perdagangan manusia, diikuti beberapa adegan kehidupan malamnya yang mewah tetapi tidak membahagiakan. Setelah mendengar berita bahwa seorang menteri, Nurdin (Adjie Pangestu), telah dibunuh, Jamila menyerahkan diri kepada polisi. Ini mengejutkan Ibrahim (Dwi Sasono), yang menyukai Jamila; Ibrahim berusaha membebaskan Jamila. Atas perintah presiden, Jamila ditempatkan di suatu lembaga permasyarakatan (LP) di luar kota Jakarta; di sana, dia berada di bawah pengawasan sipir Ria (Christine Hakim).

Di LP itu, Ria membaca buku harian Jamila dan mengetahui latar belakangnya. Ternyata Jamila dijual ibunya kepada mucikari, yang kemudian menjualnya kepada keluarga kaya. Saat tinggal dengan keluarga tersebut, Jamila diperkosa oleh ayah angkat dan kakak angkatnya. Sebagai balasan, Jamila membunuh kakaknya itu lalu melarikan diri; sementara itu, ibu angkatnya (Jajang C. Noer) membunuh suaminya atas perilakunya yang biadab. Jamila menjadi pekerja di pasar, tetapi sekali lagi harus melarikan diri ketika mengetahui ada yang hendak memerkosanya. Dia berlindung dalam suatu diskotek, yang kemudian dirazia polisi; Jamila, yang disangka merupakan seorang pekerja seks komersial (PSK) di tempat itu, ditangkap. Setelah dibebaskan, Jamila dibesarkan seorang PSK tua yang baik hati, bernama Susi (Ria Irawan) yang sebelumnya juga tertangkap dalam razia tersebut.

Sementara itu, di luar LP sejumlah kelompok menuntut agar Jamila dijatuhi hukuman mati. Di dalam LP, seorang penjaga (Surya Saputra) merasa kasihan atas nasib Jamila dan berusaha membantunya. Namun, Jamila mengabaikannya. Ria, biarpun mulai agak bersimpati kepada Jamila, sempat bertengkar mulut dengannya mengenai pembunuhan Nurdin; ini membuat Jamila ditempatkan di sel isolasi.

Beberapa hari kemudian, Jamila divonis dan dijatuhi hukuman mati, yang akan dilaksanakan dalam waktu 36 jam. Ria mengunjungi Jamila di selnya dan menyatakan bahwa dia berniat menghubungi presiden untuk meminta penangguhan eksekusi. Jamila menolak, lalu menceritakan pengalamannya mencari adiknya Fatimah di Kalimantan dan bagaimana dia sempat membunuh orang yang menempatkan Fatimah dalam bordil walaupun gagal menemukan adiknya itu.

Sehari sebelum hukuman mati Jamila dilaksanakan, Ibrahim bertemu dengan Susi, yang menceritakan hubungan cinta Jamila dengan Nurdin. Jamila mengandung anak Nurdin dan menyuruh menteri itu bertanggung jawab, tetapi Nurdin malah menghilang, lalu mempermalukan Jamila di muka umum dan menyatakan bahwa dia hendak menikahi wanita lain. Ketika mereka berdua bertemu di hotel, Nurdin mengancam Jamila dengan pistol; untuk membela diri, Jamila mengambil pistol itu dan membunuh Nurdin. Setelah kilas balik itu selesai, terlihat Jamila berjalan menuju tempat eksekusinya; presiden tidak mengindahkan permohonan penangguhan dari Ria. Bunyi tembakan pistol pun terdengar, mengimplikasikan bahwa akhirnya Jamila dihukum mati. Fakta-fakta mengenai perdagangan anak dan prostitusi kemudian ditayangkan.

Produksi

Jamila disutradarai oleh Ratna Sarumpaet, seorang aktivis hak perempuan.[4] Film ini, yang merupakan film pertama yang disutradari Ratna, disadur dari sebuah drama ciptaannya, berjudul Pelacur dan Sang Presiden; drama tersebut pernah dipentaskan oleh "Teater Satu Merah Panggung" pada tahun 2006 di lima kota.[6][7][8] Ratna didorong untuk menulis cerita ini pada tahun 2005, setelah UNICEF mendekatinya dan meminta agar dia membuat survei atas perdagangan anak di Asia Tenggara dan menyadarkan masyarakat akan masalah tersebut.[7][9] Saat menulis skenario, Ratna mewawancarai PSK di Surabaya, Surakarta, Garut, dan Kalimantan dalam periode enam bulan; hasil telaahan ini digunakan untuk Jamila pula.[10]

Ratna menampilkan putrinya, Atiqah Hasiholan, dalam peran utama,[9] sementara artis senior Christine Hakim– seorang teman akrab Ratna– diseleksi sebagai pemeran Ria; Ria Irawan dipilih sebagai pemeran Susi. Awalnya, Atiqah menganggap bahwa tokohnya itu seorang "PSK jalang biasa", tetapi setelah mendalami dunia Jamila, dia mulai beranggapan bahwa tokohnya itu "seorang korban kehidupan".[7] Agar pemeranannya lebih baik, Atiqah mengunjungi beberapa lokalisasi dan berbicara dengan PSK di sana untuk mendalami motivasi mereka; dia menarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah faktor utama.[8] Saudara Ratna, Sam Sarumpaet, bertugas sebagai wakil sutradara, dan dapat menolong Ratna ketika terjadi masalah teknis.[11]

Sebagian besar pemain dan kru, termasuk Atiqah, sudah pernah ikut serta dalam pementasan drama tersebut.[6][11] Ratna menyatakan bahwa produksi film ini menghabiskan dana Rp6,5 milyar dan waktu tiga tahun.[1]

Tema

Ratna menyatakan bahwa film ini tentang "begitu buruknya dampak kemiskinan pada moralitas manusia dan kehidupannya";[4] dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo, dia menyatakan bahwa dia tidak mempunyai pesan politik, tetapi hanya hendak menunjukkan fakta.[12] Nauval Yazid, dalam resensi untuk The Jakarta Post, menulis bahwa film ini merupakan bagian dari genre "wanita-yang-selalu-tersiksa", yang menurut dia sering dijumpai dalam dunia perfilman Indonesia; dia membandingkannya dengan Ponirah Terpidana (1984), yang dibintangi Hakim dan Slamet Rahardjo.[6] Anissa S. Febrina, yang juga menulis untuk The Jakarta Post, menyatakan bahwa film ini menunjukkan "keadaan naas mereka yang jarang diakui [penonton]: korban perdagangan anak dan wanita."[7]

Gaya penceritaan

Sebagian besar latar film ini ialah di dalam penjara. Sebuah resensi dalam koran Jakarta Globe mencatat bahwa Jamila mempunyai "rasa yang spartan", yang didukung oleh pengambilan gambarnya. Film ini menggunakan keheningan untuk memprovokasi respons emosional dari penonton, dengan sejumlah kilas balik untuk mendorong cerita.[10] Tokoh presiden tidak pernah muncul dalam film ini; dia justru diwakili melalui pengambilan gambar jarak jauh (long shot) Istana Merdeka.[1]

Rilis dan pencapaian

Jamila diluncurkan di FX Plaza di Jakarta pada tanggal 27 April 2009 dan dirilis secara luas pada tanggal 30 April.[13] Film ini mendapat respon yang cukup hangat. Yazid menulis bahwa film ini "sudah tentu salah satu film Indonesia yang penting akhir-akhir ini" dan memuji peranan Hakim; namun, dia merasa bahwa peranan Atiqah terlalu teatris.[6] Sebuah resensi dalam Jakarta Globe menyatakan bahwa film ini "menarik karena subjek dramatisnya dan perjalanan cerita yang pas", tetapi tidak menjawab semua pertanyaan penonton karena jumlah tokoh yang diwujudkan.[10] Marcel Thee dan Armando Siahaan, yang menulis dalam koran yang sama pada bulan Desember 2009, memilih Jamila sebagai film Indonesia terbaik tahun 2009; mereka merasa bahwa perjuangan tokoh utama "menyajikan cerita bak naik roller coaster".[14] Aguslia Hidayah, yang menulis dalam majalah Tempo, menyatakan bahwa film ini terasa seakan tidak memiliki klimaks; dia juga merasa bahwa peranan Atiqah terlalu teatris dan peranan Hakim datar.[1] Eko Hendrawan Sofyan, yang membuat resensi untuk Kompas, menulis bahwa film ini mengingatkan penonton bahwa kemiskinan dan prostitusi masih menjadi masalah besar yang harus ditangani secepatnya.[13]

Di Indonesia, Jamila mendapatkan nominasi beberapa penghargaan. Pada Festival Film Indonesia 2009, film ini memperoleh nominasi untuk enam penghargaan, yaitu Film Bioskop Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, Penyuntingan Terbaik, Tata Suara Terbaik, dan Tata Artistik Terbaik;[15] tetapi tidak ada satu pun yang diraih.[16] Di luar negeri, Jamila ditayangkan di beberapa festival film, termasuk di Bangkok, Hong Kong, dan Australia; pada Asiatica Film Mediale 2009 di Roma, Italia, Jamila meraih NETPAC Award.[2] Pada Asia Pacific Film Festival ke-53 di Taipei, Taiwan, film ini meraih penghargaan Penyuntingan Terbaik.[3] Jamila diajukan untuk Film Berbahasa Asing Terbaik pada Academy Award ke-82,[4] tetapi tidak dinominasikan.[5] Pada Vesoul International Film Festival of Asian Cinema 2010 di Vesoul, Perancis, Jamila meraih dua penghargaan, yaitu Prix de Public (pilihan penonton) dan Prix Jury Lyceen (penghargaan juri sekolah menengah atas);[2][17] menurut The Jakarta Post, film ini membuat para penonton Eropa syok karena temanya tentang perdagangan anak, yang sudah umum di Asia.[9]

Rujukan

Catatan kaki
Bibliografi

Pranala luar