James W. Fowler

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

James W. Fowler adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat. Teori James W. Fowler dipengaruhi perkembangan masa kecil dan suasana keluarga di mana dia dibesarkan dan bertumbuh menjadi seorang peneliti dibidang psikologi, khususnya psikologi agama. Ketertarikannya kepada bidang ini sangat dipengaruhi oleh suasana pengalaman spiritualitas lingkungan yang membesarkannya serta pengalaman penelitian yang digelutinya.[1]

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Keluarga dan Masa Kanak-kanak[sunting | sunting sumber]

James W. Fowler lahir di North Carolina, Amerika Serikat, pada tanggal 12 Oktober 1940.[1] Ketika usianya menginjak umur 12 tahun, yaitu pada tahun 1952, dia di bawa keluarganya pindah ke Asheville, North Carolina. Ayahnya direktur eksekutif di Methodist Summer Conference Center dan pendeta gereja Methodis. Imannya berkembang dan mendalam di tengah-tengah keluarga. Dalam perkembangan selanjutnya Fowler melakukan refleksi teologis atas persoalan-persoalan pengalaman imannya. Dia juga mengambil keputusan untuk menjadi pendeta, mengikuti jejak ayahnya.[2]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Gereja Methodis tempat Fowler melayani

James W. Fowler menempuh pendidikan diploma teologi dari Drew Theological Seminary. Kemudian melanjutkan pembinaan di pusat pendalaman rohani dan kebudayaan di Interpreter House. Di kampus tersebut Fowler mengalami pencerahan. Selanjutnya ia melanjutkan studi di Harvard University pada program agama dan masyarakat . Pada tahun 1971, dia meraih gelar doktor.[2]

Pergumulan[sunting | sunting sumber]

Fowler belajar di Harvard University

Pergumulan Fowler pada usia 44 tahun - 45 tahun. Teori psikologinya dimulai perubahan orientasi disekitar teologi praktis dan dampak dari Teologi Pastoral pedagogis. Teori perkembangan iman dikembangkan dari setiap pertemuan seminar, konferensi dan lokakarya pendidikan agama. Seperti seminar dimensi kognitif Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg dan dunia perasaan dan imajinasi dari Sigmund Freud, Erik Erikson, dan Carl Gustav Jung. Secara khusus melalui pertemuan pastoral konseling. Fowler berefleksi dari konsele yang mengungkapkan pengalaman hidupnya dengan jujur dan terbuka. Fowler mengalami titik balik dalam hidupnya, ketika pertanyaan seputar diri dan gaya hidup dan iman menjadi cerminan dirinya sendiri. Dengan demikian tersingkaplah proses perkembangan dan fungsi sebuah gaya hidup beriman yang eksistensial.[2][3]

Tahap siklus hidup dari teori Erikson adalah pola dasar Fowler untuk memahami perkembangan pribadi yang unik dan kompleks. Maka dialog juga bertujuan menolong konsele menemukan jatidirinya. Termasuk kepekaan fenomenologis karya Erikson, Fowler semakin memahami dunia perasaan dan gambaran visual yang mewarnai eksistensi manusia. Dari percakapan ditemukan pengalaman konseli, bahwa ada pola dan tema yang sama. Pertama, kehidupan orang dewasa dipengaruhi oleh formatif dan deformatif pada masa kanak-kanak. Ini membuktikan bahwa ada korelasi gaya kepercayaan dan pola identitas pribadi. Kedua, pada segmen usia tertentu, kepercayaan pribadi selalu berkisar pada tema-tema khusus sesuai dengan tahap perkembangan psiko-kognitif dan sosial. Fowler mengatakan tujuan percakapan adalah bagaimana konselor mampu mengembangkan seni mendengarkan orang lain secara aktif.[3] Maka dialog menjadi suatu kegiatan hermeneutis, di mana dua pribadi mengungkapkan rasa dan makna hidup dengan terus terang, sehingga konselor dapat merasakan dan menangkap ungkapan keberadaan konseli yang sesungguhnya.[3]

Pergumulannya tentang mana yang harus dia utamakan, apakah kepentingan diri sendiri atau melaksanakan kemanusiaan sebagai tugas Allah.[4] Sebab karier ilmiah terlalu bersifat destiny, karena jiwa dari destiny adalah kepentingan pribadi, akuisme, ambisi dan harapan duniawi sebagai bentuk dari aktualisasi diri.[4] Sementara, dia juga sadar akan penggilan Allah atas hidupnya dan keinginan karier ini bersifat vocation.[4] Keduanya bertolak belakang, Folwer tidak memilih untuk menjadikan dirinya pusat, tetapi sebaliknya membuktikan hidup demi kepentingan orang lain dan menghayati pilihan hidupnya sebagai mitra Roh dan melakukan kehendak Allah.[4] Teori perkembangan iman dicapai bila seseorang mampu bertanya tentang apa kehendak Allah atas hidupnya.[4] Folwer mengambil keputusan dengan meninggalkan jambatannya di Harvard dan memilih tugas sebagai pembina calon pendeta di Bishop Candler School of Theology dan peneliti di Center for Faith Development.[2]

Tahap-tahap Iman[sunting | sunting sumber]

James mulai dari menyelidiki perkembangan dari gambaran, kepercayaan, dan nilai, serta komitmen yang menuntun dan memberi makna pada kehidupan individu-individu.[5] Adapun tingkat perkembangan iman atau rohani yakni iman intuitif-projektif; iman mitis-literal; iman sintetik-konvensional; iman individuatif-reflektif; iman konjuktif; dan iman universal.[5] Tahap-tahap iman tersebut menurut Fowler dipengaruhi oleh aspek kepercayaan.[3] Di mana kepercayaan memiliki sifat ilmiah yang mengandung unsur empiris dalam diri manusia.[3]

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Kepercayaan adalah fakta dari pengalaman pribadi dalam menemukan makna kehidupan.[6] Kepercayaan menyangkut tindakan konkret yang aktif dan menerima dengan pasif.[6] Sikap kepercayaan itu dipengaruhi oleh religiositas seseorang pada konteks.[6] Kepercayaan merupakan proses dan dinamika seseorang dalam bersosialisasi, karena dasar kepercayaan dibangun atas dasar perspektif suatu kelompok beriman pada tataran tradisi kepercayaan tradisional disertai dengan rasa percaya dan setia, bahkan menumbuhkan penyerahan diri sepenuhnya kepada yang dipercayai.[3] Di sini manusia secara naluriah menyadari adanya transendensi dan berusaha mencari kebenaran dengan melibatkan keberadaannya baik faktor pribadi, budaya dan karakter. Maka, perkembangan kepercayaan merupakan ciri khas manusia secara universal dalam perkembangan pada proses menjadi manusia yang utuh.[7]

Pilihan hidup sebagai mitra Roh

Fowler mendefenisikan kepercayaan dengan iman yang bebas dari unsur-unsur doktrinal, pengakuan iman, maupun lambang-lambang keagamaan. Kepercayaan yang dilatih secara rutin dan sangat pribadi. Maka, iman adalah cara percaya dan menanggapi hidup secara pribadi sesuai dengan keberadaanya, bukan pada aspek keagamaannya.[2]

Karya Tulis James W. Fowler[sunting | sunting sumber]

  • Becoming Adult, Becoming Christian: Adult Development and Christian Faith (1984) (revised 1999 ISBN 0-7879-5134-X)

Faith Development and Pastoral Care (1987) ISBN 0-8006-1739-8

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b (Indonesia)Gema. Jurnal Teologi Duta Wacana. Vol 57. 39
  2. ^ a b c d e (Indonesia)Agus Cremers. Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: Kanisius. 1995. 15, 27-28, 29, 17, 18, 30-32, 36, 15-16, 34, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44.
  3. ^ a b c d e f (Inggris) James W. Fowler. Stages Of Faith, The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning. San Franscisco: Harper and Row. 1981. xi, xii.
  4. ^ a b c d e (Inggris) James W. Fowler. Becoming Adult, Becoming Christian, Adult Development and Christian Faith. San Franscisco: Harper and Row. 1984. ix.
  5. ^ a b (Indonesia)Howard John Clinebell. Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling pastoral. Yogyakarta: Kanisius. 2002. 149-150.
  6. ^ a b c (Inggris)James W. Fowler, The Enlightnment and Faith Development Theory. Journal of Empirical Theology, Vol. I. 1988. 30-31.
  7. ^ (Inggris) D.S. Browning. Practical Theology: The Emerging Fiels in Theology, Church and World. San Francisco: Harper and Row. 1983.160-161

Lihat Pula[sunting | sunting sumber]