Jalut

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jalut adalah seorang tokoh yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Ia merupakan seorang berperawakan raksasa dari Dinasti Bukhtanashar.[1] Serangkaian kisah Jalut tersebut dikabarkan dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 246 hingga 251.

Untuk penjelasan kisah lebih rinci, Muslimin dapat merujuk buku tafsir yang juga menjelaskan kisah tersebut lebih rinci sesuai riwayat Muhammad dari para shahabatnya. Tafsir Ath Thabari pun memaparkan kisah tersebut hingga berpuluh halaman. Ibnu Katsir juga mengisahkannya dalam Kitab Stories of The Prophet Tafsir Ibn Katsir.[2]

Kisah[sunting | sunting sumber]

Kisah Jalut bermula ketika Bani Israil mengalami masa suram nan gelap. Pasca Nabi Musa wafat, kondisi agama mereka makin lama makin terkikis. Padahal saat Yusya, pengikut setia Musa, memimpin mereka, tanah Palestina dapat dengan mudah direbut.

Namun Yusya pun menemui ajal mengakhiri tugasnya menjalankan amanah Musa. Sejak itulah Bani Israil dilanda kegalauan dan keterpurukan. Sekian lama tak ada nabi diutus, mereka terlunta-lunta bagai domba tanpa pengembala.

Di tengah kekosongan kepemimpinan, masyarakat Israil mulai melupakan agama. Mereka melakukan banyak dosa bahkan membunuh para nabi yang semestinya diharapkan memimpin mereka. Kondisi mereka berubah menjadi masyarakat kafir, zalim dan durhaka. Allah pun murka sehingga mencabut kekuasaan mereka. Bani Israil diusir, tabut pun dirampas oleh musuh mereka.

Sebuah kaum yang kuat dan kejam bernama Amaliqah atau sebagian menyebut Balthata, terus saja menyerang Bani Israil. Kaum tersebut menahan para pembesar Bani Israel, menculik anak-anak, mengambil alih kawasan taklukan mereka kemudian menarik upeti semena-mena. Saat itu benar-benar menjadi bencana hebat dan sengsara yang amat bagi Bani Israil. Kaum penjajah tersebut dipimpin oleh Jalut.

Di tengah penindasan, Bani Israil pun mengharapkan Allah mengutus seorang nabi yang akan menyelamatkan mereka. Padahal sebelumnya mereka selalu membunuh para nabi, hingga tak tersisa keturunan Lawi yang dipercaya Bani Israil sebagai marga yang layak menjadi pemimpin mereka. Satu-satunya keturunan Lawi yang tersisa dan dapat diharapkan hanyalah seorang wanita bernama Hubla.

Bani Israil pun melindunginya agar dapat melahirkan anak calon nabi mereka. Hubla pun terus berdoa disaat kehamilannya agar dapat memiliki seorang putra. Allah pun memenuhi doa sang wanita shalihah tersebut. Lahirlah anak laki-laki yang kemudian oleh ibunya diberi nama Shamu'il atau Syamwil atau Sham'un, yang artinya Allah telah mendengar permohonan saya.

Singkat cerita, Shamu'il pun kemudian diutus Allah untuk mengemban risalah para nabi. Kepada Shamu'il, Bani Israil berharap dapat mengakhiri penindasan kaum Amaliqah. Hingga suatu hari, Bani Israil meminta Shammil mengangkat seorang pemimpin untuk mereka berjihad di jalan Allah melawan penindasan. Mereka berkata kepada Shamil, "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami dapat berperang di bawah pimpinannya di jalan Allah."

Mendengarnya, Shammil tak lantas percaya. Ia meragukan Bani Israil yang memang gemar membangkang. Ia pun menjawab, "Bisa jadi saat kalian nanti diwajibkan berperang, kalian tidak mau berperang," ujar sang nabi. Namun Bani Israil ngotot dan ingin permintaan mereka terpenuhi, "Bagaimana mungkin kami enggan berperang di jalan Allah, padahal kami telah terusir?!" seru mereka.[1]

Shammil pun menengadahkan tangannya, berdoa meminta Allah mengutus seorang raja yang akan memimpin Bani Israil. Allah pun memberinya petunjuk. Di pagi hari, seorang pemuda tampan, gagah perkasa, shalih dan cerdas, bernama Thalut tengah mencari keledainya di depan rumah Shammil. Tiba-tiba, Shammil mendapati tanda dari tanduk binatang dan tongkatnya.

Allah memberi petunjuk pada Shammil bahwa orang yang akan menjadi raja ialah yang tinggi badannya setinggi tongkat tersebut dan mampu membuat minyak dalam tanduk binatang mendidih. Ketika Thalut memasuki rumah Shammil, minyak dalam tanduk tersebut mendidih. Shammil pun mengukur tinggi badannya didapati seukuran tongkat. Nabi Shammil pun yakin, Thalut lah yang akan memimpin Bani Israil.

Namun saat Shammil mengumumkan Thalut akan menjadi pemimpin Bani Israil, serta merta bangsa Yahudi itu menolak. Pasalnya, Thalut hanyalah seorang pengembala miskin. Ia bukan keturunan Lawi bin Yakub bukan pula keturunan Yahuza bin Yakub. Lawi dan Yahuza merupakan saudara Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub bin Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim. Keturunan tersebut diyakini Bani Israil sebagai rumpun para nabi dan raja yang memimpin kaum mereka, keturunan Lawi sebagai nabi dan keturunan Yahudza sebagai raja. Padahal berdasarkan silsilah, Thalut masih keturunan Yakub.

Ia merupakan keturunan Bunyamin bin Yaqub, adik laki-laki Yusuf yang shalih. Namun tetap saja, Bani Israil menolak Thalut menjadi pemimpin mereka. "Bagaimana mungkin seorang pengembala miskin menjadi raja kami, bagaimana mungkin kami dipimpin bukan dari keturunan Yehuda. Bagaimana mungkin Thalut memerintah kami padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan darinya," desus mereka kesal.

Nabi Shammil pun menjawab ringan, "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Tentu, Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Namun Bani Israil tetap menolak. Hingga akhirnya Shammil pun menjanjikan sebuah bukti bahwa Talut lah yang diperintahkan Allah untuk memimpin Bani Israil. "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan Harun. Sungguh itu menjadi tanda bagimu, jika kamu memang beriman," tutur Shammil.

Tabut merupakan peti kayu berlapis emas tempat menyimpan Taurat. Tabut yang diyakini Bani Israil membawa ketenangan dan kemakmuran tersebut tersebut direbut musuh yang menindas dan menguasai wilayah mereka. Lalu terbuktilah tanda tersebut, malaikat membawa Tabut tersebut dan menjatuhkannya pada Bani Israil. Talut pun kemudian terbukti diutus sebagai raja Bani Israil.

Dengan segera, Thalut mengumpulkan keuatan Bani Israil untuk melawan kelompok penindas pimpinan Jalut. Talut pun memilih 80 ribu pemuda sebagai prajuritnya. Mereka berbaris dengan perlatan lengkap dan berangkat untuk memerangi tentara Jalut. Jalanan sahara membuat pasukan begitu lelah dan sangat kehausan. Di tengah perjalanan, Allah menguji pasukan Thalut dengan sungai yang mengalir diantara Yordania dan Palestina.

Thalut telah mewanti-wanti agar pasukannya tak meminum air sungai tersebut kecuali seciduk tangan saja untuk menghilangkan dahaga. "Sungguh Allah akan menguji kalian dengan sungai. Siapapun yang meminum air dari sungai itu maka ia tidak akan menemaniku," ujar Thalut.[3]

Namun nafsu menguasai sebagian besar pasukan Thalut. Mereka pun melanggar perintah pemimpin mereka dengan meminum air sungai tersebut sepuas-puasnya. Dari 70 ribu pasukan, hanya sekitar 300an orang saja yang mematuhi Thalut.

Mereka terdiri dari orang-orang shalih, salah satu diantara mereka ialah Daud yang saat itu belum diangkat sebagai seorang nabiyullah.

Dengan berat, Thalut pun melanjutkan perjalanan hanya dengan 300 prajurit. Pasukan lain yang tamak meminum air sebanyak-banyaknya tersebut menjadi pucat dan takut berperang. Dengan jumlah yang minim, mereka maju berperang melawan pasukan Jalut yang bertubuh besar dan perkasa.

Dibawah komando Thalut, pasukan tersebut pun berdoa agar diberikan kesabaran dan kemenangan, "Ya Tuhan kami, berikanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir," panjat mereka sebelum terjun ke kancah pertempuran.

Dengan kehendak Allah, mereka pun mendapatkan kemenangan. Pemimpin Amaliqah, Jalut yang begitu hebat pun terbunuh. Namun bukan Thalut yang berhasil membunuhnya melainkan Daud. Dikisahkan, Daud muda membunuh Jalut dengan ketapel yang selalu dia bawa sebagai senjata. Tiga buah batu meluncur ke kepala Jalut hingga menewaskannya.

Menurut cerita, tiga batu tersebut bukanlah batu biasa. Selama perjalanan menuju medan peperangan, Daud mengambil tiga batu satu per satu karena batu-batu itulah yang meminta untuk dipungut. "Daud, bawalah kami ikut serta," ujar batu pertama. Setelah beberapa jarak, batu kedua pun mengucap hal sama, demikian pun batu ketiga. Daud mengambil batu tersebut dan menyimpannya. Hingga di tengah kancah pertempuran, batu itu beraksi membunuh raja Jalut yang kejam yang telah menyiksa Bani Israil.[2]

Daud merupakan salah satu anak muda yang ikut ke dalam barisan Thalut. Ayahnya memintanya untuk mengikuti jejak kedua kakaknya yang juga maju di medan perang. Namun, Daud ketika itu tidak diperkenankan berada di barisan depan dan harus menempati posisi belakang. Ia hanya melayani kedua kakaknya, khususnya ketika mereka haus dan lapas.

Dalam QS Al Baqarah ayat 250 disebutkan bahwa Allah berfirman tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir."

Atas kekuatan doa itu, mereka menyerang Jalut dan pasukannya. Pasukan Jalut tak menduga bila akhirnya mereka kesulitan menghadapi Thalut. Akhirnya, mereka berhasil dihancurkan dan menyisakan Jalut bersama orang terdekatnya.

Daud, pemuda yang sediakala hanya ada di belakang mendadak meminta izin kepada Thalut untuk menghadapi Jalut. Keinginan itu pun sempat diragukan, mengingat usianya yang masih muda. Daud pun dipandang sebelah mata oleh Jalut. Dengan sombongnya, Jalut menertawakan dan meremehkan kemampuan Daud yang ketika itu juga tidak membekali dirinya dengan senjata tajam dan hanya membawa sebuah ketapel.

Daud berhasil menghindari hujaman pedang yang terus coba ditebaskan Jalut. Di suatu kesempatan, Daud memiliki celah untuk melepaskan peluru ketapelnya ke kedua mata Jalut. Gagal menghindar, Ia pun berteriak kesakitan sebelum akhirnya roboh dengan dahi yang pecah dan mati.

Pasukan Thalut pun menang sebagaimana difirmankan dalam QS Al Baqarah ayat 251: "Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam."[4]

Sebelumnya, Thalut pernah berjanji barangsiapa yang berhasil membunuh Jalut maka akan dinikahkan dengan putrinya serta memberinya separuh kepemimpinan kerajaan Bani Israil. Daud pun mendapat bonus hadiah tersebut. Hingga usia Daud mencapai 40 tahun, Talut meregang nyawa. Daud pun menggantikan posisi Thalut menjadi raja Bani Israil. Tak hanya itu, Allah pun mengutusnya sebagai nabi dan Rasul serta diturunkan kepadanya kitab suci Zabur.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]