Insiden Lembah Beka'a

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Insiden Lembah Beka'a terjadi pada 9 Juni 1982 yang melibatkan duel antar Angkatan Udara Syria dengan Israel. Peristiwa ini terjadi ketika Israel mengadakan "aksi polisionil" dengan mengadakan Invasi ke Libanon Selatan ( Operation Peace for the Galilee) guna membersihkan kekuatan PLO yang sering mengadakan serangan ke wilayah Israel.

Israel mengadakan serangan ke posisi posisi militer Syria di lembah Beka'a guna menetralisir kekuatan udara Syria yang mengotrol Libanon sekaligus mencegah Syria untuk tidak ikut campur dalam menggelar kekuatan di Libanon selatan serta melancarkan Militer Israel memasuki Libanon. Operasi ini ternyata mengalami sukses besar.

Langkah pertama Israel adalah melumpuhkan sistem radar dan rudal pertahanan Syria di kawasan itu. Jaringan intelijen Israel menginformasikan bahwa Syria telah memperoleh sistem rudal anti serangan udara yang diperoleh dari Uni Soviet yang baru diantaranya adalah SA-6 Gainfull selain sistem udara yang lama diantaranya adalah SA-2 Guideline. Israel mengembangkan pesawat tanpa awak RVP yang digunakan sebagai pesawat intai dan umpan (drone) serta berhasil mengadakan riset elektronika guna mengacaukan gelombang radio komunikasi dan sistem radar. Sistem ini digunakan pada pesawat Boeing 707 yang dimodifikasi sebagai pesawat radar dan pengacau radar.

Langkah selanjutnya, Israel menerbangkan drone untuk mengumpan sistem radar Syria. Dengan didukung peralatan elektronika yang modern, Israel berhasil mengecoh radar Syria sehingga sistem rudal anti pesawat SAM (Surface to Air Missile/Rudal darat ke Udara) Syria menembaki pesawat umpan tersebut. Kemudian Israel melumpuhkan sistem radar tersebut sehingga pihak operator radar dan SAM Syria berusaha memantau dengan bantuan optik (mata). Pada saat itulah unit pesawat A-4 Skyhawk dan F-15 Eagle Angkatan Udara Israel menghancurkan posisi-posisi rudal SAM tersebut.

Angkatan Udara Syria tidak tinggal diam dan langsung mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya yang terdiri dari MiG-21 Fishbed, MiG-23 Flogger, dan Su-22 Fitter buatan Uni Soviet yang berjumlah seratus pesawat (sedangkan Israel total hanya mengerahkan kekuatan sekitar 40 pesawat termasuk F-16). Namun keunggulan diudara berada ditangan Israel, selain teknologi pesawat Israel yang lebih maju dibandingkan Syria, ditambah pengalaman pilot serta sistem pengacau radar dan komunikasi yang melumpuhkan sistem komunikasi pesawat Angkatan udara Syria yang masih dituntun dari radar darat. Hasilnya, Israel berhasil merontokkan seratus pesawat tempur Syria tersebut tanpa ada kerugian sedikit di pihak Israel. Syria berusaha mengacaukan radio dan radar yang dimiliki Israel dengan kekuatan yang dimilikinya. Tetapi teknologi radio yang tertinggal membuat pihak operator radio Syria gagal.

Akibat peristiwa itu, Syria mengalami kerugian besar. Selain kehilangan sejumlah besar radar, rudal dan pesawat tempur, Syria kehilangan pilot-pilot angkatan udaranya yang gugur dalam peristiwa itu. Uni Soviet juga berusaha mengembangkan teknologi radar, rudal SAM dan pesawat tempur terbaru untuk mengimbangi kekuatan udara Israel yang notabene buatan Amerika Serikat. Muncullah pesawat tempur MiG-23 rancangan terbaru, MiG 29 Fulchrum dan Su-27 Flanker, selain rudal SAM SA-8 Gacko dan SA-10 yang kemudian digelar di lembah beka'a. Uni Soviet juga mengirimkan bantuan berupa MiG-23 Flogger terbarunya dan MiG-29 kepada Syria, namun sebagian sumber militer mengatakan Soviet mengurangi bantuannya karena utang luar negeri Syria yang semakin membengkak kepada Uni Soviet.

Bagi Israel sendiri, keberhasilan insiden itu memuluskan jalanya ke Libanon Selatan yang didudukinya sampai akhir tahun 2000. Namun demikian, Perang Yom Kippur masih menghantui Israel sehingga berusaha keras memiliki keunggulan teknologi militer di kawasan Timur Tengah. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Angkatan Udara Israel memiliki supremasi atas negara-negara Arab sejak Perang Enam Hari 1967 hingga kini. Namun sumber sumber militer Israel sendiri mengatakan bahwa pihaknya merencanakan operasi udara tersebut selama 13 tahun.