Hukum Suluh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Hukum Suluh adalah sebuah istilah di dalam hukum Islam untuk menyelesaikan suatu pertentangan atau perselisihan.[1] Kata “suluh” dalam bahasa Arab berarti “memutuskan pertentangan”.[1] Mengadakan perdamaian adalah suatu hal yang diperintahkan di dalam agama Islam.[1] Suluh akan menjadi sah bila disertai dengan adanya sebuah ikrar, yakni pernyataan orang yang didakwa atas barang yang didakwakan kepadanya. Misal: "Saya mengaku bahwa harta ini adalah milik si Fulan".[1]

Persyaratan[sunting | sunting sumber]

Sebuah perdamaian baru dapat terjadi apabila terdapat syarat-syarat di bawah ini:

  • Terdakwa dan pendakwa sepakat untuk melakukan perdamaian tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.[2]
  • Selain itu, hal-hal yang sedang diperselisihkan merupakan hal yang berharga dan berwujud.[2] Kemudian ketika menyusun pernyataan perdamaian, kalimatnya harus jelas dan tidak ambigu.[2]
  • Adanya Ikrar,yakni pernyataan orang yang didakwa atas barang yang didakwakan kepadanya telah jelas bendanya.[3]
  • Terhadap sebuah perkara yang dapat melahirkan harta. Seperti pada masalah qisos atau yang lebih dikenal dengan hukum nyawa dibayar dengan nyawa.[3] Hukum ini dapat melahirkan harta, apabila terdakwa dapat membayar uang pengganti yang telah disepakati oleh keluarga pihak pendakwa.[3]

Variasi[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa variasi dari hukum suluh:

  • Perdamaian antara umat Muslim dengan orang non-Muslim.[4]
  • Perdamaian antara pemimpin dengan kaum bugah, yakni kaum yang tidak tunduk kepada pemimpin atau kaum pemberontak.[4] Yang dimaksud dengan pemimpin adalah pemimpin tertinggi sebuah lembaga.[4] Seperti: Presiden,GubernurdanLurah.[4]
  • Perdamaian antara suami dengan istri.[4]
  • Perdamaian dalam urusan muamalat,yakni urusan mengenai pergaulan antar-manusia dengan kehidupan bermasyarakat.[4] Misalnya saja hukum jual-beli, hutang-piutang.[4]

Ragam[sunting | sunting sumber]

Suluh Ibrak[sunting | sunting sumber]

Suluh Ibrak adalah suatu bentuk perdamaian di mana seseorang yang mendakwa telah bersedia mengurangi sebagian dari haknya, dalam arti memberikan sebagian dari hutangnya.[5] Misalnya, Ahmad mempunyai tanggungan hutang kepada Ali sebanyak Rp 2.500.[4] Kemudian terjadi suatu kesepakatan perdamaian, yakni pihak Ali meminta pembayaran hutangnya itu dikurangi menjadi Rp. 1.500 saja.[4] Dengan begitu Rp. 1.000 dari sisa hutangnya telah dibebaskan.[4][5] Tetapi, tidak sah menggantungkan sebuah perdamaian (Suluh Ibrak) yang disertai dengan janji.[4][5] Seperti ucapan: “Apabila nanti sudah datang permulaan bulan, maka aku akan berdamai denganmu”.[4][5] Dalam perkataan ini, sang pendakwa seakan-akan masih mengharapkan bahwa hutangnya dapat dibayar penuh oleh terdakwa.

Suluh Mu’awadhah[sunting | sunting sumber]

Suluh Mu'awadhah ialah berpindahnya seseorang dari haknya kepada hak yang lain, seperti pendakwaan seseorang terhadap sebuah rumah atas orang yang didakwa, dan terdakwa telah iqrar terhadap dakwa berdamai dengan terdakwa tentang masalah rumah itu, diganti dengan enda yang kelihatan, seperti pakaian, maka Suluh ini hukumnya sah.[4][5] Di dalam Suluh Mu’awadhah ini berlaku hukum jual beli, maka seolah-olah dalam contoh tersebut si telah menjual kepada terdakwa sebuah rumah yang dibeli dengan pakaian.[4][5] Ketika dalam keadaan demikian itu, maka bagi terdakwa berlaku hukum jual beli di dalam berbagai perdamaian, seperti hak mengembalikan barang sebab terdapat cacat dan tercegah mentasarrufkan sebelum menerima barangnya.[4][5]

Jika pendakwa mendamai terdakwa atas sebagian benda yang didakwakan, maka Suluh ini dinamakan dengan Suluh Hibah atau Suluh Hathithah. Di dalam Suluh Hibah berlaku hukum-hukum hibah sebagaimana hukum hibah pada umumnya.[4][5] Akan tetapi tidak sah Suluh Hathithah dengan mengucapkan kata “jual beli” kepada sebagian benda yang ditinggalkan, seperti hanya bila pendakwa menjual benda yang didakwakan kepada terdakwa yang dibeli dengan sebagian benda itu.[4][5]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Tujuan dari Hukum Suluh adalah:

  • Meningkatkan kesatuan dan persatuan.[2]
  • Menyelesaikan perselisihan yang berlarut-larut.[2]
  • Mewujudkan keharmonisan.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d DRS.H.Imron Abu Amar (1995). Terj. Fat-hul Qarib. Menara Kudus. 
  2. ^ a b c d e f (Indonesia) Nurhakim. "Memahami Hukum Islam tentang Wakalah dan Suluh beserta hikmahnya". 
  3. ^ a b c (Indonesia) "Fiqih Muamalah". 
  4. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q H. Sulaiman Rasjid (1986). Fiqih. Sinar Baru Algesindo. 
  5. ^ a b c d e f g h i Dr. Musthafa Dib Al-Bugha (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’i. Noura books.