Hawalah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

hawalah (Bahasa Arab: ﺣﻮٵﻟﻪ) bermakna “mengalihkan” atau “memindahkan”.[1][2] Di dalam istilah ilmu fiqih hawalah berarti pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut.[1][2][3]

Sebagai contoh: Ahmad meminjamkan uang Rp.2000 kepada Bobi.[1] Sedangkan Bobi memiliki piutang terhadap Cepot dengan jumlah yang sama, yakni Rp.2000.[1] Dan ketika Ahmad menagih hutangnya terhadap Bobi, Bobi berkata “ si Cepot memiliki hutang sejumlah Rp.2000 kepadaku, dan engkau dapat menagih kepadanya”.[1] Tetapi, hawalah hanya dapat terjadi apabila terdapat sebuah kesepakatan diawal di antara ketiganya.[1]

Asas[sunting | sunting sumber]

Menurut kelompok Hanafi asas hawalah ada dua yaitu pernyataan yang diucapkan oleh Muhil (sang pemindah hutang) dan pernyataan menerima yang diucapkan oleh Muhtal (pemberi hutang) dan Muhal alaih (orang yang menanggung hutang Muhil).[4] Sedangkan menurut kesepakatan ulama ahli fiqih (ijma), asas hawalah ada enam macam yaitu:

  1. Muhil, yakni orang yang memindahkan hutangnya kepada orang lain.[1][4][5]
  2. Muhtal, yakni orang yang bersedia piutangnya di bayarkan oleh oleh pihak ketiga .[1][4][5]
  3. Muhal alaih, yakni orang yang dibebani untuk melunasi hutang si pemberi piutang (muhtal).[1][4][5]
  4. Muhal bih, yakni adanya hak yang dipindahkan,yakni berupa hutang.[1][4][5]
  5. Adanya piutang Muhil terhadap Muhal alaih.[1][4][5]
  6. Adanya Shigat, yakni ucapan pemindahan hutang si muhil kepada muhtal.[5]

Contoh untuk mengilustrasi 6 asas di atas adalah sebagai berikut:

Muhil adalah Bobi, Muhtal adalah Anton sedangkan Muhal alaih adalah Cepot.[1] Dalam kontrak hawalah perkataan yang diucapkan oleh Muhil atau Bobi mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada Anton, “Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada Cepot”.[1] Sementara itu Anton dan Cepot menyetujui dengan mengucapkan " Kami setuju".[1] Dengan demikian kontrak hawalah tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.[1]

Persyaratan[sunting | sunting sumber]

Syarat yang harus terpenuhi untuk terjadinya sebuah pemindahan hutang dari pihak penghutang kepada pihak ketiga adalah sebagai berikut:

  1. Kerelaan dari Muhil, yakni orang yang memindahkan hutangnya kepada orang lain telah setuju untuk melunasi hutangnya.[1][4][5] Karena kerelaan dari seorang muhil merupakan syarat terjadinya kontrak hawalah.[1][4][5]
  2. Adanya persetujuan dari pemberi hutang atau Muhtal yang haknya dialihkan kepada orang lain.[1][4][5]
  3. Keberadaan hutang (yang dilimpahkan) tetap di dalam jaminan atau dijamin pelunasannya.[1][4][5]
  4. Adanya kesepakatan di antara orang yang menanggung hutang (Muhal alaih) dengan orang yang mengalihkan hutang (Muhil).[1][4][5]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.

Hawalah Muthlaqoh[sunting | sunting sumber]

Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang mengalihkan kewajiban membayar hutangnya kepada pihak ketiga tanpa didasari adanya hutang pihak ketiga dengan orang yang memberi hutang.[1] Sebagai contoh: Ahmad berhutang kepada Beni dan Ahmad mengalihkan hak penagihan Beni kepada Cepot, sementara Cepot tidak punya hubungan hutang dan pituang kepada Beni, maka apabila hal seperti ini terjadi, hawalah ini disebut Muthlaqoh.[1]

Hawalah Haq[sunting | sunting sumber]

Hawalah Haq' adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang.[1] Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang.[1] Ini terjadi jika piutang Anton selaku Muhil mempunyai hutang kepada piutang Beni.[1]

Berakhir[sunting | sunting sumber]

Sebuah kontrak hawalah akan berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:

  1. Dibatalkannya kontrak hawalah oleh tiap-tiap pihak yang terkait.[1]
  2. Muhal alaih (orang yang menanggung hutang) telah melunasi kewajibannya yang berupa hutang kepada Muhtal (orang yang memberikan hutang).[1]
  3. Muhtal (orang yang memberikan hutang) telah membebaskan muhal alaih (orang yang menanggung hutang) dari kewajiban membayar hutang.[1]
  4. Muhal alaih telah meninggal atau ia mengingkari adanya kontrak hawalah di antara mereka (muhtal, muhil dan muhal alaih). Sedangkan, Muhal yakni orang yang memberikan hutang tidak dapat menghadirkan saksi dan bukti.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac (Indonesia) Ahmad Saread, Lc. "Fiqih Muamalah" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-07. 
  2. ^ a b (Indonesia) Tim IslamicHouse.com. "Ringkasan Fiqih Islam" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2018-12-22. 
  3. ^ Sunarto, Achmad (1991). Terjemahan Fat-hul Qarib. Al Hidayah. 
  4. ^ a b c d e f g h i j k Dib Al-Bugha, Dr.Mustafa (2012). Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi'i. Noura Books. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k Mas'ud, Drs.Ibnu (2000). Fiqih Mazhab Syafi'i. CV.Pustaka Setia.