Hak cipta di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.

Sejarah hak cipta di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern. Meski alasan utamanya adalah "agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karya bangsa asing tanpa harus membayar royalti," keluarnya Indonesia dari Konvensi Bern ternyata juga memiliki alasan politis yang berkaitan dengan sengketa Irian Barat:[1] Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 (undang-undang yang sama, dengan perubahan signifikan, masih berlaku di Belanda) dianggap hukum kolonial dan pemerintah menyatakan Indonesia tidak ingin menjadi anggota Konvensi Bern hingga disahkannya undang-undang baru tentang hak cipta.[1] Selain itu, tidak diundangnya Indonesia sebagai negara merdeka untuk menandatangani revisi Konvensi Bern di Brussel pada tahun 1948—saat Indonesia masih dalam perang kemerdekaan—merupakan alasan lain.[1]

Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang kini berlaku.

Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual PropertyrightsTRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 19972.

Jangka waktu perlindungan hak cipta[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun untuk karya yang diketahui penciptanya dan karya kolaboratif atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat untuk karya yang dibuat oleh badan hukum, fotografi, dan karya anonim (UU 28/2014 bab IX dan pasal 58), kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran (UU 28/2014 bab IX dan pasal 63)., atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama rundang-undangan yang berlaku" (UU 28/2014 bab IX dan pasal 38).

Penegakan hukum atas hak cipta[sunting | sunting sumber]

Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling lama sepuluh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling banyak empat miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 28/2014 bab XVII).

Perkecualian dan batasan hak cipta[sunting | sunting sumber]

Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri[2].

Hak cipta foto umumnya dipegang fotografer, namun foto potret seseorang (atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU Hak Cipta Indonesia secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam pasal 19–23.

Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)[2]. ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan

Menurut UU No.28 Tahun 2014 pasal 42, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.

Pasal 43 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Pencatatan ciptaaan di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, pencatatan ciptaan bukan merupakan suatu kewajiban bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Pelindungan hak cipta timbul sejak ciptaan diwujudkan dan diumumkan.[2] Namun, surat pencatatan ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal dalam suatu sengketa.[3] Sesuai yang diatur pada bab X Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), yang kini berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.[4] Pencipta atau pemegang hak cipta dapat mencatatkan ciptaannya secara langsung maupun dengan menunjuk perwakilan (Konsultan Kekayaan Intelektual).[5] Permohonan pencatatan ciptaan dikenakan biaya.[6] Ciptaan yang telah dicatatkan melalui DJKI masuk ke dalam daftar umum ciptaan.[7] Daftar umum dapat diakses di Pangkalan Data Kekayaan Intelektual Diarsipkan 2023-06-06 di Wayback Machine. yang dikelola oleh DJKI.

Asosiasi Hak Cipta di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Asosiasi Hak Cipta di Indonesia antara lain:[8]

  • KCI: Karya Cipta Indonesia
  • ASIRI: Asosiasi Industri Rekaman Indonesia
  • ASPILUKI: Asosiasi Peranti Lunak Indonesia
  • APMINDO: Aliansi Penerbit Musik Indonesia
  • ASIREFI: Asosiasi Rekaman Film Indonesia
  • PAPPRI: Persatuan Artis Penata Musik Rekaman Indonesia
  • IKAPI: Ikatan Penerbit Indonesia
  • MPA: Motion Picture Assosiation
  • BSA: Bussiness Software Assosiation
  • YRCI: Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia
  • WAMI: Wahana Musik Indonesia
  • RAI: Royalti Anugerah Indonesia
  • SELMI: Sentra Lisensi Musik Indonesia

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Simorangkir, JCT (1961). Hak Tjipta. Jakarta: Gunung Agung.  Sebagaimana dikutip dalam Antons, Christoph (2008). "Copyright Law Reform and the Information Society in Indonesia" (PDF). Dalam Fitzgerald, Brian; Gao, Fuping; O'Brien, Damien; Shi, Sampsung Xiaoxiang. Copyright Law, Digital Content and the Internet in the Asia-Pacific (PDF). Sydney: Sydney University Press. hlm. 235–256. ISBN 978-1920898-72-4. 
  2. ^ "Angka 1 Ketentuan Umum Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  3. ^ "PENCATATAN CIPTAAN E-HAK CIPTA DAN KEDUDUKAN SURAT PENCATATAN CIPTAAN DALAM MENJAMIN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENCIPTA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA oleh M. Jeffry Stanzah Hutabarat dan Tatty A. Ramli". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-08. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  4. ^ "Pasal 64 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  5. ^ "Ayat (1) Pasal 66 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  6. ^ "Huruf c ayat (2) Pasal 66 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  7. ^ "Ayat 1 Pasal 69 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-11. Diakses tanggal 2018-11-17. 
  8. ^ Junus, E., Aspek Hukum dalam Sengketa Hak Kekayaan Intelektual Teori dan Praktik, 2003

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]