Hak asasi manusia di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hak asasi manusia di Indonesia diterangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dan peraturan-peraturan perundang-undangan di bawahnya; beberapa di antaranya dijamin sebagai dampak dari amandemen undang-undang dasar di era Reformasi. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengurus hal-hal terkait hak asasi manusia di dalam pemerintahan, sedangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), didirikan pada masa pemerintahan Orde Baru pada tahun 1993, adalah lembaga hak asasi manusia nasional di negara ini. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersifat independen dari pemerintah dan memiliki akreditasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tindakan pemerintah Indonesia telah dianggap mengkhawatirkan oleh para pendukung hak asasi manusia. Baik Human Rights Watch, dan Amnesty International mengkritik pemerintah Indonesia dalam berbagai hal.

Sejarah hukum[sunting | sunting sumber]

Naskah asli UUD 1945[sunting | sunting sumber]

Di dalam naskah asli UUD 1945, terkandung berbagai hak dan kewajiban dasar untuk warga negara, tetapi istilah "hak asasi manusia" sendiri tidak disebutkan di dalam naskahnya, baik itu dalam pembukaannya, batang tubuhnya, ataupun bagian penjelasannya.[1] Menurut pakar hukum Indonesia Mahfud MD, hak asasi manusia berbeda dengan hak asasi warga negara (HAW) yang terkandung dalam UUD 1945, karena HAM dianggap sebagai hak yang melekat pada diri manusia secara kodrati, sementara HAW bersifat partikularistik dan didapat oleh seseorang karena ia adalah Warga Negara Indonesia.[2][3] Di sisi lain, pakar hukum seperti Soedjono Sumobroto mengatakan bahwa HAM sebenarnya tersirat dalam UUD 1945 melalui Pancasila. Selain itu, dalam pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan UUD 1945 terdapat paling tidak 15 prinsip hak asasi manusia:[4]

  1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (Alinea I Pembukaan UUD 1945)
  2. Hak akan warga negara (Pasal 26)
  3. Hak akan kesamaan dan persamaan di depan hukum (Pasal 27 ayat (1))
  4. Hak untuk bekerja (Pasal 27 ayat (2))
  5. Hak akan hidup layak (Pasal 27 ayat (2))
  6. Hak untuk berserikat (Pasal 28)
  7. Hak untuk menyatakan pendapat (Pasal 28)
  8. Hak untuk beragama (Pasal 29)
  9. Hak untuk membela negara (Pasal 30)
  10. Hak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31)
  11. Hak akan kesejahteraan sosial (Pasal 33)
  12. Hak akan jaminan sosial (Pasal 34)
  13. Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan (Penjelasan Pasal 24 dan 25)
  14. Hak mempertahankan tradisi budaya (Penjelasan Pasal 32)
  15. Hak mempertahankan bahasa daerah (Penjelasan Pasal 36)

Sementara itu, pakar hukum seperti Kuntjoro Purbopranoto mengamati bahwa jaminan HAM dalam UUD 1945 memang ada, tetapi pencantumannya tidak sistematis. Menurut Purbopranoto, hanya ada empat pasal yang berisi ketentuan hak asasi, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 31.[5][6] Pakar hukum Solly Lubis juga berpendapat bahwa perumusan hak-hak dalam UUD 1945 memang sangat sederhana dan singkat.[7] Menurut pakar hukum Majda El Muhtaj, hal ini wajar akibat jangka waktu penyusunan UUD 1945 yang terlampau singkat untuk mengejar waktu agar UUD 1945 dapat menjadi landasan negara Indonesia yang baru saja merdeka. Konstitusi ini sendiri berlaku dari tanggal 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1945, tetapi pemberlakuannya tidak efektif akibat kondisi sosial dan politik yang saat itu tidak kondusif.[8]

Pemikiran terkait HAM sudah muncul sejak pra kemerdekaan dan yang paling terlihat adalah Indische Partij yaitu hak untuk mendapatkan kermerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama yaitu hak merdeka. HAM di Indonesia terus berkembang hingga diadopsi menjadi bagian daripada konstitusi negara. Perlindungan HAM di Indonesia lebih jelas diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asaso Manusia. UU tersebut berisikan hak hidup dan hak untuk tidak dihilangkan nyawa secara paksa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, ha katas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serat dalam pemerintahan, hak Wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur HAM, UU tersebut juga mengatur kewajiban dasar serta tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penekan hak asasi manusia.

HAM merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Demikian pula hak dan kewajiban warga negara yang merupakan salah satu materi pokok yang diatur dalam setiap undang-undang dasar sesuai dengan paham konstitusi negara modern. Indonesia yang merupakan anggota PBB secara tidak langsung harus bisa menerapkan dan mengimplementasikan nilai-nilai HAM internasional dengan menyesuaikan falsafah Pancasila dan UUD 1945, serta perkembangan kebudayaan Indonesia.

Reformasi yang terjadi dalam system pemerintahan di Indonesia berdampak pula pada cara penegekan hukum dan perlindungan hak asasi setiap individu. hal ini terlihat di dalam system demokrasi yang Indonesia terapkan dengan salah satu cirinya proteksi konstitusional atau kekuasaan negara didasarkan kepada konsitusi (rechtstaats) bukan kepada kekuasaan belaka, tentunya konstitusi Indonesia di dalamnya mengatur hak asasi manusia.

Kewajiban dalam menghormati HAM tercermin di dalam pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai agama dan keprcayaan masing-masing, hak untuk memperoleh Pendidikan dan pengajaran. Bahkan setelah UUD 1945 diamandemen salah satu nilai-nilai HAM yang cukup disuarakan adalah hak perempuan dan hak atas lingkungan hidup.

Konstitusi RIS 1949[sunting | sunting sumber]

Seusai Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Revolusi Nasional Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949 mulai diberlakukan. Konstitusi ini memang tidak secara gamblang menyebut kata "hak asasi manusia".[9] Walaupun begitu, Konstitusi RIS 1949 secara jelas mengatur hak asasi manusia dalam Bagian V yang berjudul "Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia". Di bagian ini terkandung 27 pasal, yaitu Pasal 7 hingga 33.[10] Selain itu, Konstitusi RIS 1949 juga menjabarkan kewajiban dasar negara yang terkait dengan upaya penegakan HAM dalam Bagian 6 "Asas-asas Dasar", dan bagian ini sendiri terdiri dari 8 pasal. Penekanan terhadap HAM ini merupakan pengaruh dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.[11]

Sejarah HAM dalam Konstitusi di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Perdebatan HAM oleh Pendiri Bangsa (UUD 1945) atau Konsepsi HAM Sebelum Kemerdekaan

Indonesia memberlakukan UUD 1945 pada masa perkembangan kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia ini diproklamasikan, para sesepuh bangsa ini telah menyalakan api semangatnya dalam menggagas serta memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Gagasan-gagasan tersebut dapat kita telaah dalam Risalah monumentalnya Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karya-karya politik yang ditulis oleh H.O.S Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesia Menggugat” dan Moh. Hatta dengan judul “Indonesia Merdeka” yang dibacakan di hadapan Pengadilan Hindia Belanda.

Pada saat sebelum diberlakukannya UUD 1945, muncul berbagai perdebatan yang dilontarkan oleh para pendiri bangsa diantaranya terjadi dalam sidang BPUPKI. Pada saat itu Soekarno menyampaikan pendapatnya, begitu juga dengan Mohammad Hatta yang menyatakan bahwa adanya kebutuhan HAM dalam UUD akan mengakibatkan kekuasaan tidak terbatas dalam negara. Tercapainya kesepakatan yaitu mencantumkan muatan HAM yang sebelumnya ditentang oleh Soekarno karena dinilai sebagai cerminan nilai barat dan bertolak dengan cita Negara kekeluargaan. Meskipun tidak secara langsung memuat pencantuman HAM, namun muatan pasal tersebut cukup menjadi bagian dari cerminan HAM di Indonesia saat itu. Terkait pencantuman HAM ada tiga pandangan diantaranya:[2]

  • Pertama, mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif.
  • Kedua, mereka berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif.
  • Ketiga, berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM.

Konsepsi HAM dalam Konstitusi Indonesia

Dilihat dalam sejarah bahwasanya Indonesia menganut sistem konstitusional yang mana masalah mengenai HAM menjadi materi yang sangat penting. Menurut A.A.H. Struycken, eksistensi konstitusi memuat pandangan, keinginan dan perkembangan kehidupan negara oleh tokoh-tokoh bangsa yang menginginkan terbentuknya negara hukum yang menjamin terlindunginya HAM. Berbicara mengenai konsepsi HAM dalam konstitusi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari diskursus panjang antara kelompok yang tidak menyetujui dengan kelompok yang bersikeras agar ketentuan HAM diakomodir dalam muatan materi konstitusi.

Adapun kelompok yang tidak menyetujui diwakili oleh Soekarno dan Soepomo, sementara kelompok yang menyetujui diwakili oleh Moh. Hatta dan M. Yamin. Menurut Soekarno dan Soepomo, tidak disetujuinya konsepsi HAM dituangkan dalam Pasal-pasal konstitusi karena negara Indonesia yang akan didirikannya adalah negara yang berasaskan kekeluargaan atau gotong-royong yang menolak individualisme. Semantara argumentasi Moh. Hatta dan M. Yamin untuk memasukkan HAM di dalam konstitusi agar rakyat mempunyai rasa berani menyatakan pendapatnya dan pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang. Lebih jauh, Moh. Hatta tidak keberatan atas penolakan terhadap individualisme dan liberalisme, akan tetapi Hatta lebih berhati-hati dikhawatirkan dengan keinginan memberikan kekuasaan seluas-luasnya kepada negara, bisa memicu negara yang akan didirikan terjebak dalam ruang otoritarianisme.

Berangkat dari berbagai varian argumentasi para tokoh di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan terkait konsepsi HAM dalam konstitusi Indonesia, bahwa keputusan mencantumkan muatan materi HAM dalam konstitusi bukan persoalan yang sederhana, ada banyak kajian teoritis baik dari perspektif sejarah, filosofis, maupun sosiologis. Bahkan dalam perkembangannya, ketentuan HAM tidak selesai sampai di konstitusi, ada banyak peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang HAM. Ini lah bukti konkret, bahwa HAM adalah sesuatu yang esensial, yang paling berharga dalam diri manusia dan patut mempunyai perhatian lebih dalam pengaturannya, sebagai rujukan dasar bagi rakyat untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia.

HAM Pra Amandemen/Euforia Pengakuan HAM

Pasca kemerdekaan, UUD 1945 merupakan sebuah wadah HAM yang paling mendasar di Indonesia. Namun, seiring perjalanan bernegara dan berbangsa, Indonesia mengalami perubahan konstitusional dari UUD 1945 menjadi RIS pada tahun 1949-1950. Konstitusi RIS termuat 22 pasal mengenai HAM dalam batang tubuh Konstitusi RIS. Sehingga dalam konstitusi RIS sangat terlihat implementasi muatan DUHAM tahun 1948. RIS pun tidak berlangsung lama di Indonesia, pada tahun 1950-1959 konstitusi kembali berubah menjadi UUDS dengan diundangkannya UU No.7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang berisi 146 pasal.

Menurut catatan Soepomo, setidaknya terdapat tiga perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasan tentang HAM.

  • Pertama, hak dasar mengenai kebebasan beragama atau keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan, dan sebagainya tertuang pada Pasal 18 Konstitusi RIS oleh UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi.
  • Kedua, di dalam Pasal 21 UUDS diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada konstitusi RIS.
  • Ketiga, dasar perekonomian sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 UUD 1945, diadopsi ke dalam Pasal 38 UUDS.

Perkembangan HAM dalam Era Reformasi/Pasca Amandemen I-IV

Perubahan UUD 1945 hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia.[4] Dampak dari amandemen menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, utamanya pemerintah, meskipun pada tahun pertama reformasi ditandai oleh konflik horizontal, antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran hak asasi dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sendiri.

Dalam hal perlindungan dan penegakan HAM, amandemen UUD 1945 memberikan jaminan yang lebih komprehensif. Hal ini berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang hanya memuat pasal-pasal HAM secara garis besar saja. Di dalam UUD 1945 setelah amandemen selain mengatur HAM secara garis besar, UUD tersebut juga mencantumkan bab khusus HAM, yaitu BAB XA yang memuat sebanyak 10 pasal mulai Pasal 28A hingga Pasal 28J. Ketentuan HAM dalam UUD NRI 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka seluruh ketentuan terkait HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaannya oleh negara. Hal tersebut menjadi konsekuensi yuridis didubahnya muatan materi konstitusi terkait HAM, sehingga negara tidak bisa beralasan apapu untuk tidak mentaati ketentuan-ketentuan norma tersebut.

Lembaga[sunting | sunting sumber]

Sejumlah lembaga berkaitan dengan pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia, antara lain:

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 55.
  2. ^ Mahfud MD 2000, hlm. 165-166.
  3. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 87.
  4. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 88.
  5. ^ Purbopranoto 1975, hlm. 26.
  6. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 90.
  7. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 91.
  8. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 92-93.
  9. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 94.
  10. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 57.
  11. ^ El Muhtaj 2017, hlm. 93.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]