Hamka

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Berkas:Buya Hamka.jpg
Hamka
Lahir(1908-02-17)17 Februari 1908
Belanda Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Hindia-Belanda
Meninggal24 Juli 1981(1981-07-24) (umur 73)
Indonesia Jakarta
KebangsaanIndonesia Indonesia
Karya terkenalTafsir Al-Azhar
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Minat utama
Tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan sejarah Islam
Dipengaruhi

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik.

Kehidupan awal

Rumah yang ditempati oleh Hamka bersama neneknya selama di Maninjau, yang setelah direnovasi pada tahun 2001 dijadikan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka

Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 13 Muharram 1362] di Minangkabau, Sumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya, yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.

Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah, Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia belajar mengaji dan tidur di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang tak punya tempat di rumah.[1] Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di luar itu, ia suka mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional Minangkabau.[2] Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui novel-novelnya, Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu dalam karya-karyanya.

Mengenyam pendidikan

Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah Sekolah Desa dan belajar ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca di sekolah tersebut.[3][4] Pada masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman yang seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi, bercari-carian, bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti anak-anak lainnya bermain.[2] Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga belajar di Diniyah School setiap sore.[5] Namun sejak dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di Sekolah Desa.[6][7] Ia berhenti setelah tamat kelas dua.[8] Setelah itu, ia belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya kembali ke surau.[9] Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu yang—sebagaimana diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.[10]

Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai, bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena merasa jenuh dan memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri.[2] Ia lebih senang berada di sebuah perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalnya di kelas.[11][12] Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?"[13][14]

Sebagai usaha untuk menunjukkan diri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat tahun, ia memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa ke Parabek, sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung lama.[5] Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa. Namun, usaha yang pertama sempat terjegal oleh ayahnya.

Merantau ke Jawa

Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan sebutan "Si Bujang Jauh".[13] Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya, Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi. Namun setiba di Bengkulu, Hamka terkena wabah penyakit cacar, sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan kembali ke Padang Panjang.[11] Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak terbendung. Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia kembali berangkat ke pulau Jawa.

Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah.[15][16] Melalui pamannya itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.[17] Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi dan komunisme. Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.[18] Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam.[19] Selanjutnya pada tahun 1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan mulai tampil berpidato di beberapa tempat.[20][21]

Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa, ia mengaku memiliki semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada perbedaan antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap salah, seperti tarekat, taklid, dan khirafat, maka di Jawa lebih berorientasi kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.

Menunaikan ibadah haji

Suasana pelaksanaan haji di Masjidil Haram, Mekkah. Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah

Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang.[22] Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi,[23] dan Majalah Tabligh Muhammadiyah.[24] Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah",[25] bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan baik.[26] Berbagai kritikan yang ia terima di tanah kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang.

Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk mempelajari bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama.[27] Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri.[28] Selama di Mekkah, ia menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.[29][30] Di tempat ia bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia-Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia.[26] Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang.[31] "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim.[32] Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.[33]

Karier di Medan

Selama di Medan, ia banyak menulis artikel di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi.[34] Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.[23] Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.[35] Setahun berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh, dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu.

Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR meluluhlantakkan sebagian besar Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di Gatangan, Pasar Usang

Sewaktu di Medan, orang-orang di kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput dan membujuk Hamka pulang.[22] Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau, sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Sejak saat itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang,[36] ia kembali meninggalkan kampung halamannya.

Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936.[37] Di Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution, yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.[38][39] Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".[40] Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927.[41] Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.[42] Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah Hidup.[43][39] Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang dipimpinnya dibredel oleh Jepang, yang ketika itu berkuasa di Indonesia.[44]

Karier dan kehidupan selanjutnya

Muhammadiyah

Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,[45] Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1925 di Sungai Batang.[46] Selain itu, ia sempat menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.[47][48]

Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928, Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya. Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta, ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.[49] Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[50] Selama di Makassar, ia sempat menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan.[35] Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang, ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.[48][51]

Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H. Mohammad Said.[52] Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.[53] Jabatan ini ia rengkuh hingga tahun 1949.[54]

Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto. Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya, sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa uzur.[55] Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.[56]

Rujukan

Catatan kaki
  1. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 78.
  2. ^ a b c Shobahussurur 2008, hlm. 17.
  3. ^ Rahzen 2007, hlm. 246.
  4. ^ Yusuf 2003, hlm. 40.
  5. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 198.
  6. ^ Reid dan Marr 1983, hlm. 40.
  7. ^ Yusuf 2003, hlm. 41.
  8. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 260.
  9. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1966, hlm. 26.
  10. ^ Yani 2010.
  11. ^ a b Azra 2002, hlm. 267.
  12. ^ Abidin 2005, hlm. 170.
  13. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 368.
  14. ^ Roesmar 2002, hlm. 27.
  15. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 238.
  16. ^ Hamka 1982, hlm. 149.
  17. ^ Hakim 2005, hlm. 26.
  18. ^ Yusuf 2003, hlm. 43.
  19. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 20.
  20. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 24.
  21. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 470.
  22. ^ a b Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 529.
  23. ^ a b Tamara, dkk 1983, hlm. 198.
  24. ^ Abidin 2005, hlm. 231.
  25. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 471.
  26. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 46–47.
  27. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 329.
  28. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 98.
  29. ^ Hakim 2005, hlm. 31.
  30. ^ Mohammad 2006, hlm. 61.
  31. ^ Rosidi 2008, hlm. 346.
  32. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 25.
  33. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 21.
  34. ^ Aiyub 2000, hlm. 142.
  35. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 201.
  36. ^ Hamka 1986, hlm. 318.
  37. ^ Yusuf 2003, hlm. 45.
  38. ^ Zakariya 2006.
  39. ^ a b Safrudin 2008, hlm. 202.
  40. ^ Teeuw 1980, hlm. 104.
  41. ^ Teeuw 1980, hlm. 105.
  42. ^ Mahayana 2007, hlm. 168.
  43. ^ Hamka 1975, hlm. 28.
  44. ^ Mohammad 2006, hlm. 62.
  45. ^ Leirissa 1994, hlm. 89.
  46. ^ Hamka 1983, hlm. 73.
  47. ^ Abidin 2005, hlm. 171.
  48. ^ a b Yusuf 2003, hlm. 48.
  49. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 472.
  50. ^ Tamara, dkk 1983, hlm. 384.
  51. ^ Hakim 2005, hlm. 27.
  52. ^ Toer, dkk 1999, hlm. 246.
  53. ^ Kenang-kenangan 70 tahun... 1983, hlm. 20.
  54. ^ Muhammadiyah 2005, hlm. 144.
  55. ^ Shobahussurur 2008, hlm. 24.
  56. ^ Al-Kumayi 2004, hlm. 30.
Daftar pustaka
  • Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002). Ensiklopedia Islam, Jilid 4. Departemen Agama. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. ISBN 979-8276-65-5. 
  • Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. ISBN 979-177-850-7. 
  • Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Gema Insani. ISBN 979-560-219-5. 
  • Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The Other Press. ISBN 983-954-174-9. 
  • "Cukup Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011. Diakses tanggal 20 Desember 2011. 
  • Daneel, Inus (2005). Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century. Rodopi. ISBN 904-201-971-9. 
  • Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia. University of California Press. ISBN 052-008-547-7. 
  • Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN 054-286-357-X. 
  • Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-437-5. 
  • Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN 185-065-336-4. 
  • Hamka, Afif (2008). Buya Hamka. Uhamka Press. ISBN 602-804-007-X. 
  • Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas. Penerbit Buku Kompas. ISBN 979-709-487-1. 
  • Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka (1983). Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas. 
  • Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. 
  • Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas. 
  • Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan. 
  • Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES. 
  • Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa. Bandung: Mizan. 
  • Mahayana, Maman S (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4. 
  • Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia. 1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626. 
  • Teeuw, A (1980). Sastra Baru Indonesia. 1. Ende: Nusa Indah. OCLC 222168801. 
  • Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia. Blora Institute. ISBN 979-150-938-7. 
  • Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis: Biografi Pemikiran dan Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia. 
  • Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji hingga Hamka. Grafiti Pres. 
  • Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Penamadani. ISBN 979-976-700-8. 
  • Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam Kontemporer. Gramedia Pustaka Utama. 
  • Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 979-379-723-1. 
  • Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral Agama. UII Press. ISBN 979-333-306-5. 
  • Rosidi, Ajip (2008). Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-910-095-X. 
  • Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari Hamka ke Aa Gym. Pustaka Nuun. ISBN 979-983-531-3. 
  • "Palagan Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses tanggal 12 Juni 2012. 
  • "Hamka Menggebrak Tradisi". Tempo. Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Juni 2012. Diakses tanggal 4 Juni 2012. 

Pranala luar

Didahului oleh:
Tidak ada
Ketua MUI
19771981
Diteruskan oleh:
Syukri Ghozali