Etnobotani

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
etnobotani adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dan tumbuhan

Etnobotani (dari "etnologi" - kajian mengenai budaya, dan "botani" - kajian mengenai tumbuhan) adalah suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan tumbuhan.[1] Penelitian etnobotani diawali oleh para ahli botani yang memfokuskan tentang persepsi ekonomi dari suatu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat lokal.[1] Ahli etnobotani bertugas mendokumentasikan dan menjelaskankan hubungan kompleks antara budaya dan penggunaan tumbuhan dengan fokus utama pada bagaimana tumbuhan digunakan, dikelola, dan dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat, misalnya sebagai makanan, obat, praktik keagamaan, kosmetik, pewarna, tekstil, pakaian, konstruksi, alat, mata uang, sastra, ritual, serta kehidupan sosial.[2]

Kini ilmu etnobotani mengarah kepada sasaran untuk mengembangkan sistem pengetahuan masyarakat lokal terhadap tanaman obat sehingga dapat menemukan senyawa kimia baru yang berguna dalam pembuatan obat-obatan modern untuk menyembuhkan penyakit-penyakit berbahaya seperti kanker, AIDS dan jenis penyakit lainnya.[2]

Ilmu etnobotani akan sangat efektif apabila diterapkan pada masyarakat lokal.[3] Untuk itu perlu dilakukan penyuluhan terhadap masyarakat setempat.[3] Para ahli etnobotani terlebih dahulu harus mengetahui nama-nama tumbuhan yang akan dipelajari, selain nama latin, mengetahui nama sebutan suatu tumbuhan di suatu daerah juga penting.[3] Setelah itu para ahli dapat mempelajari pemafaatan tumbuhan tersebut dalam bidang ekonomi tanpa mengabaikan faktor ekologisnya.[3] Setelah itu studi lanjutan dapat dilakukan dengan lebih spesifik dan terfokus dengan mengumpulkan sejumlah informasi lain.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah perkembangan sejarah etnobotani:[2]

Nicotiana tabacum
  • 1492: Colombus menemukan pemanfaatan tembakau (Nicotiana tabacum) di Cuba. Kolonisasi yang memiliki kepentingan ekonomi sekaligus eksplorasi keilmuan (1663-1870)
  • 1873-1980: muncul ilmu etnobotani
  • 1873: Power menulis buku tentang aboriginal botany
  • 1895: Harsberger menulis tentang ethnobotany
  • 1900: Davis Barrow muncul sebagai doktor etnobotani pertama ‘The Ethnobotany of the Coahuilla Indian of Southern California
  • 1920: Publikasi tanaman obat di India
  • 1980: etnobotani dikenal oleh masyarakat akademis dan awam
  • 1981: jurnal etnobotani. Pada dekade terakhir diterbitkan beberapa jurnal hasil penelitian etnobotani: Journal of Ethnobiology, Journal of Ethnopharmacology, Ethnobotany, Ethnoecology
  • 1983: Perhimpunan Masyarakat Etnobotani yang diprakarsai oleh Perhimpunan Arkeologi Amerika

Di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pada abad ke-18, Rumphius telah membuat Herbarium Amboinense yang kemudian mengarah ke ekonomi botani.[2] Kemudian Hasskarl pada tahun 1845 telah mencatat penggunaan lebih dari 900 jenis tumbuhan Indonesia.[2] Tahun 1982 dibangun museum etnobotani di Balai Penelitian Botani-Puslit Biologi, LIPI.[2] Selanjutnya setiap tiga tahun sekali diadakan seminar atau lokakarya etnobotani, sampai akhirnya pada tahun 1998 tercapailah Masyarakat Etnobotani Indonesia.[2] Beberapa perguruan tinggi, seperti Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, kini membangun program pascasarjana mengenai etnobotani.[2] Namun masalah yang timbul dewasa ini adalah kurangnya pendekatan partisipatif yang memungkinkan peneliti diterima di lingkungan masyarakat lokal untuk mengurangi hambatan kultural.[2]

Di Negara Lain[sunting | sunting sumber]

Di Afrika, pemerintah telah fokus pada pengetahuan tentang sistem pertanian tradisional masyarakat lokal untuk menunjang pembangunan pertanian bagi masyarakat pedesaan.[2] Sementara Australia juga fokus mempelajari cara-cara tradisional dalam pengelolaan tumbuhan dengan memperhatikan aspek ekologis.[2] Di Amerika, penelitian yang paling banyak dilakukan adalah penelitian mengenai etnobotani (sekitar 41%).[2] Di Asia, peneliti lebih memfokuskan untuk mendapatkan senyawa kimia baru untuk bahan obat-obatan.[2] Etnobotani juga mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama di beberapa negara seperti Amerika, India, China, Vietnam dan Malaysia.[2]

Persiapan[sunting | sunting sumber]

Sebelum tumbuhan dimanfaatkan, perlu diketahui terlebih dahulu informasi kegunaan tumbuhan tersebut.[4] Untuk mendapatkan informasi itu dapat dilakukan identifikasi dengan pembuatan herbarium dan membuat catatan lapangan.[4] Setelah pemanfaatan dilakukan tahap konservasi yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang telah digunakan.[4]

Herbarium[sunting | sunting sumber]

contoh penyimpanan herbarium kering

Herbarium adalah koleksi referensi suatu jenis tumbuhan yang dapat merepresentasikan morfologi tumbuhan yang meliputi batang, daun, bunga, dan buah.[4] Pembuatan herbarium dapat dilakukan dalam keadaan kering maupun basah.[4]

Langkah pembuatan herbarium di lapangan diawali dengan pemberian label, kemudian dibungkus koran dan dimasukkan plastik kedap udara, lalu ditambahkan alkohol 70%.[4] Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan herbarium di laboratorium yang diawali dengan penggantian koran.[4] Setelah itu dioven pada suhu 60 °C selama 2-7 hari, kemudian dimasukkan ke lemari pendingin -20 °C selama 1-2 minggu.[4] Setelah itu baru disusun dalam kertas herbarium yang berukuran sekitar 30X40cm, pemberian label, dan disimpan dalam Ruang Koleksi Herbarium.[4] Langkah ini kemudian diakhiri dengan identifikasi, yaitu pencocokan koleksi di Herbarium Nasional/internasional dan dibandingkan dengan spesimen tipe atau publikasi pertama, kemudian membuat referensi.[4]

Konservasi[sunting | sunting sumber]

Konservasi adalah pengelolaan/pemeliharaan kualitas lingkungan, sumberdaya dan keseimbangan antar komponen lingkungan di suatu kawasan dengan menerapkan prinsip keberlanjutan.[5] Konservasi mencakup aspek perlindungan, penelitian dan pemanfaatan secara lestari dalam tingkat ekosistem, jenis dan genetik.[5] Konservasi dapat dilakukan secara in situ maupun ex situ.[5]

Konservasi in situ dilakukan di dalam habitat aslinya, misalanya dengan pembuatan taman nasional dan hutan lindung.[6] Suku talang mamak dan Suku anak dalam memiliki kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam, mereka juga dapat dikatakan melaukan konservasi in situ.[6] Sedangkan konservasi ex situ merupakan komplemen dari konservasi in situ.[6] Konservasi ex situ dilakukan di luar habitat aslinya, misalnya dengan pembangunan kebun raya, kebun botani, atau taman hutan raya.[6] Di Indonesia terdapat beberapa kebun raya, baik yang sudah beroperasi maupun yang sedang dibangun, antara lain:[5]

  1. Kebun Raya Bogor
  2. Kebun Raya Cibodas
  3. Kebun Raya Purwodadi
  4. Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali
  5. Di Jawa: Kebun Raya Kuningan dan Kebun Raya Baturaden
  6. Di Sumatra: Kebun raya Liwa, Jambi, Pulau Samosir, dan Batam
  7. Di Kalimantan: Kebun Raya Sambas, Sanggau, Balikpapan, dan Katingan
  8. Di Sulawesi: Kebun Raya Enrekang, Puca, dan Tomohon

Aplikasi[sunting | sunting sumber]

kunyit dapat dimanfaatkan sebagai obat kudis dan mengurangi panas dalam

Aplikasi etnobotani memiliki dua aspek penting, yaitu:[5]

  • Botani Ekonomi, yaitu aplikasi etnobotani untuk membantu mengembangkan perekonomoan suatu daerah dalam berbagai bidang, seperti bidang pertanian, seni, dan farmasi. Pada bidang pertanian dilakukan identifikasi manfaat jenis tumbuhan tertentu dan konservasi secara tradisional.[5] Di bidang seni dan kerajinan dilakukan pengembangan sumber pendapatan dengan membuat suatu kerjinan tertentu menggunakan tumbuhan yang terdapat di lingkungan sekitar. Sedangkan pada bidang farmasi dilakukan identifikasi fitokimia berdasarkan pengetahuan tradisional.[5]
  • Ekologi, yang meliputi pengelolaan dan pemanfaatan tumbuhan yang dilakukan secara lestari dan tidak merusak alam, serta praktik konservasi guna mempertahankan keanekaragaman hayati.[5]

Skala komersial[sunting | sunting sumber]

Pada skala komersial, informasi etnobotani dapat dimanfaatkan untuk industri, pestisida hayati, obat, pangan, dan pembuatan minuman.[5]

Kopi, teh, aren, dan lontar adalah contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam bidang industri, sedangkan Pohon mimba (Azadirachta indica) dapat dimanfaatkan sebagai pestisida hayati.[5] Untuk obat dapat digunakan beberapa tumbuhan seperti nanas, lidah buaya, petai, pepaya, kunyit, dan asam jawa.[5] Untuk pangan dapat memanfaatkan tumbuhan seperti gandum, kentang, padi, jagung, ubi jalar, singkong, dan sagu.[5]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b (Inggris) Sood SK, Nath R. and Kalia, D.C. 2001. Ethnobotany of Cold Desert Tribes of Lahoul-Spiti (N.W. Himalaya). New Delhi: Deep Publications.Page 45-47.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n (Inggris) Acharya D,Anshu S. 2008. Indigenous Herbal Medicines: Tribal Formulations and Traditional Herbal Practices. Jaipur:Aavishkar Publishers Distributor. ISBN 978-81-7910-252-7. page 440.
  3. ^ a b c d e (Inggris) Purwanto Y. 2004. The Ethnobiological Society of Indonesia. J Tropic Etnobiol 1(1):3-5.
  4. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) de Vogel EF. (ed.). 1987. Manual of Herbarium Taxonomy: Theory and Practice. Jakarta: UNESCO. Page. 59-61.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l (Inggris) Hirsch LP. 1994. Ex-Situ Conservation of Biodiversity in the Context of Development: Report of an International Meeting. Washington DC: Smithsonian Institution.Page. 97.
  6. ^ a b c d MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsell J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hlm 15-16.