Energi ramah lingkungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Energi hijau)

Revolusi industri dimulai sejak dua abad yang lalu, yakni saat ditemukan cara meningkatkan efisiensi kerja menggunakan sumber energi fosil. Energi murah ini telah menjadi bagian dari kemajuan yang terjadi dalam beberapa abad terakhir. Industri berkembang pesat menjadikan kehidupan semakin baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, akses energi merupakan salah satu dasar kekuatan yang mendorong pembangunan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa “Energi sangat penting untuk hampir setiap tantangan dan peluang besar yang dihadapi dunia saat ini.” Namun, meskipun sumber energi fosil membawa banyak manfaat, sayangnya juga membawa dampak negatif yang signifikan.[1] Hal ini membuat sumber energi fosil dikategorikan sebagai energi yang tidak ramah lingkungan.

Istilah energi ramah lingkungan hingga saat ini dikenal luas sebagai energi yang bersumber dari alam dan bukan energi fosil, seperti energi terbarukan yang didefinisikan sebagai energi yang dapat diperbarui dan tidak pernah habis. Energi ramah lingkungan kerap pula didefinisikan sebagai sumber energi yang tidak mencemari lingkungan. Hal ini dikaitkan dengan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya yang diyakini sebagai penyebab utama dari efek yang dikenal sebagai pemanasan global yang mendorong terjadinya perubahan iklim.

Terdapat sebuah kajian akademik berjudul “Nuklir Sebagai Solusi dari Energi Ramah Lingkungan yang Berkelanjutan untuk Mengejar Indonesia Sejahtera dan Rendah Karbon pada Tahun 2050[2] yang disusun oleh tim dari Universitas Sebelas Maret (UNS). Kajian akademik ini telah menghasilkan beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menilai seberapa ramah lingkungan sebuah sumber energi.

Kriteria energi ramah lingkugan tersebut adalah:

  1. Rendah emisi gas rumah kaca
  2. Minim penggunaan lahan
  3. Tidak membahayakan ekosistem
  4. Penanganan limbah yang tepat
  5. Berkelanjutan secara sumber daya alam (bahan baku dan bahan bakar)
  6. Berkelanjutan secara ekonomi

Rendah emisi gas rumah kaca[sunting | sunting sumber]

Gas rumah kaca merupakan pendorong utama perubahan iklim. Komponen terbesar dalam gas rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2). Pada tahun 2018, 87% emisi CO2 global berasal dari bahan bakar fosil dan industri.[1] Selain itu, komponen terbesar kedua adalah metana (CH4). Metana memiliki kemampuan mengikat panas 30 kali lebih tinggi dari pada CO2. Energi ramah lingkungan seharusnya mengemisikan CO2 maupun gas rumah kaca lainnya dalam jumlah yang rendah, bahkan hampir tidak ada. Baik pada proses pra-pembangunan pembangkit, saat beroperasi, hingga dekomisioning. Sumber energi yang mengemisikan gas rumah kaca paling rendah antara lain: tenaga hidro, tenaga surya, tenaga angin, tenaga geothermal, dan tenaga nuklir.

Emisi gas rumah kaca dari beberapa sumber energi (Sumber: IPCC)
Sumber energi Siklus hidup emisi gas rumah kaca

(gram CO2 equivalen per kWh)

Surya 48
Geothermal 38
Hidro 24
Nuklir 12
Angin 11

Minim penggunaan lahan[sunting | sunting sumber]

Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia di permukaan bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dan akan memengaruhi kebutuhan hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut sering kali mengorbankan fungsi lahan sebagai ekosistem, hutan, dan habitat biologis. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan energi membutuhkan teknologi pembangkit listrik yang menggunakan lahan semininal mungkin. Namun harus menghasilkan output dalam skala besar agar fungsi lahan untuk kebutuhan lain tetap dapat terpenuhi.[2] Energi yang ramah lingkungan seharusnya memiliki densitas energi yang tinggi sehingga penggunaan lahan menjadi minimal.

Densitas energi dari beberapa sumber energi (Sumber: [3])
Sumber energi Densitas energi

(Joule per meter kubik)

Surya 0,0000015
Geothermal 0,05
Hidro 0,5 – 50
Nuklir 1.500.000.000.000.000
Angin 7

Tidak membahayakan ekosistem[sunting | sunting sumber]

Ekosistem melibatkan komponen biotik (makhluk hidup meliputi manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme) dan komponen abiotik (tidak hidup). Menjaga keseimbangan ekosistem menjadi penting karena setiap ekosistem memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan bumi. Pemanfaatan energi dalam sebuah pembangkit listrik di suatu wilayah pasti membawa dampak pada ekosistem di sekitarnya.[2] Besaran dampak tentu akan berbeda-beda. Dampak terhadap ekosistem dari proses pembangkitan listrik dapat dinilai berdasarkan data empiris. Data tersebut diperoleh dari peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar pembangkit.

Diketahui bahwa tenaga angin berpotensi mengancam populasi burung dan kelelawar. Tenaga angin mengeluarkan polusi suara, efek kedipan cahaya (shadow flicker effect), dan derau suara frekuensi rendah dari putaran turbin serta beberapa dampak lainnya yang berpengaruh pada kesehatan manusia maupun lingkungan di sekitarnya. Tenaga surya juga berpotensi mengancam populasi burung. Bahkan ladang tenaga surya yang berada di gurun dapat mengancam populasi reptil dan kura-kura gurun. Pemasangan panel surya juga memerlukan pembukaan lahan yang luas, sehingga dapat menimbulkan risiko erosi dan pemadatan tanah.

Sementara itu, tenaga hidro juga memerlukan lahan yang sangat luas untuk dijadikan bendungan. Habitat alami bagi hewan, tumbuhan, bahkan penduduk menjadi rentan terganggu. Bendungan juga dapat mengubah suhu air alami, kimia air, beban lumpur, dan karakteristik aliran sungai. Pegalihan sistem aliran juga dapat mengganggu jalur migrasi ikan. Tenaga geothermal berpotensi menyebabkan kerusakan geiser dan lansekap akibat pengeboran ke bawah permukaan. Pencemaran sumber air dan penyakit gangguan pernapasan yang disebabkan oleh paparan gas asam sulfida. Selain itu juga berpotensi menyebabkan fracking dan gempa minor serta amblesan.

Tenaga nuklir memiliki potensi dampak dari penggunaan air sebagai pendingin. Selain itu, kemungkinan kontaminasi akibat zat radioaktif jika terjadi kebocoran maupun kecelakaan yang menyebabkan zat radioaktif lepas ke lingkungan. Seperti kecelakaan Chernobyl (1986) yang terjadi mengakibatkan pelepasan zat radiaoaktif ke lingkungan. Namun, UNSCEAR mengatakan bahwa "selain peningkatan kasus kanker tiroid, tidak ada bukti adanya dampak kesehatan masyarakat yang besar akibat paparan radiasi 20 tahun setelah kecelakaan”. Selain itu, hal yang berkaitan dengan zat radioaktif sangat ketat diatur dan diawasi oleh regulator nasional maupun internasional.

Kesimpulannya, energi ramah lingkungan seharusnya yang berdampak sangat minim terhadap keseimbangan ekosistem, terutama pada saat beroperasi. Perkembangan teknologi juga merupakan faktor yang menentukan besaran dampak suatu pembangkit terhadap lingkungannya. Serta energi ramah lingkungan seharusnya memiliki pengawasan yang jelas dan ketat oleh pihak berwenang. Sehingga memberikan kejelasan beban tanggung jawab terhadap dampak yang dihasilkan.

Energi ramah lingkungan seharusnya yang berdampak paling sedikit terhadap keseimbangan ekosistem, terutama pada saat beroperasi. Karena tidak mungkin ada pemanfaatan energi yang sama sekali tidak memberi dampak pada lingkungan di sekitarnya. Jadi, keputusan yang paling penting adalah memilih jenis energi untuk pembangkit yang memiliki dampak seminimal mungkin. Solusi terhadap permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan penelitian dan pengembangan teknologi.

Penanganan limbah yang tepat[sunting | sunting sumber]

Salah satu penyumbang limbah utama dunia adalah kegiatan industri. Semua kegiatan industri termasuk pembangkit listrik menghasilkan limbah, baik limbah berbahaya maupun tidak berbahaya. Energi yang ramah lingkungan seharusnya memiliki limbah dengan volume yang sedikit, terkungkung atau tidak terbuka bebas ke lingkungan, dikelola dengan tepat oleh pihak yang bertanggung jawab, serta diawasi dengan ketat oleh pihak berwenang. Makin kecil volume limbah yang dihasilkan tentu akan makin mudah untuk ditangani, makin ekonomis, dan makin kecil pula dampak negatifnya terhadap lingkungan. Limbah menjadi isu karena pada konsentrasi dan kuantitas tertentu, limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia.[2] Seperti limbah abu batu bara yang lepas ke lingkungan diketahui berdampak pada kesehatan manusia bahkan dapat menyebabkan kematian. Limbah yang dihasilkan sumber energi nuklir adalah satu-satunya yang dikungkung dan dikelola dengan aturan yang sangat ketat. Pengelolaan limbah nuklir dilakukan dengan prinsip “from cradle to grave”.

Berkelanjutan secara sumber daya alam[sunting | sunting sumber]

Ketersediaan sumber daya alam (SDA) untuk energi berkelanjutan harus menjamin untuk pemakaian jangka panjang. Pemanfaatan SDA sangat erat kaitannya dengan kegiatan penambangan. Sementara kegiatan ini memiliki dampak tersendiri terhadap lingkungan dan masyarakat. Mulai dari menipisnya sumber daya yang tidak terbarukan, rusaknya ekosistem, pencemaran, berbagai gangguan kesehatan, dan sebagainya. Hal ini tentu saja mengurangi atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam pemenuhan energi untuk pembangkit listrik, SDA digunakan sebagai bahan bakar dan material bakan baku. Penggunaan SDA untuk keduanya sangat dipengaruhi oleh densitas energi dari sumber energi yang digunakan. Semakin tinggi densitas energinya maka semakin sedikit pula kebutuhan SDA sebagai bahan bakar maupun material bahan baku. Artinya, akan semakin sedikit pula kegiatan penambangan yang dilakukan untuk memperoleh SDA tersebut. Serta akan menjamin ketersediaan SDA untuk pemakaian jangka panjang.

Berkelanjutan secara ekonomi[sunting | sunting sumber]

Energi merupakan penggerak utama roda perekonomian sebuah negara, yakni sebagai aspek penting dalam kegiatan industri. Pertumbuhan sektor industri memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian dan peningkatan kesejahteraan. Agar hal tersebut terjadi, dibutuhkan akses terhadap penyediaan energi yang terjangkau alias murah. Namun dalam praktiknya, energi yang murah diperoleh dengan bantuan subsidi. Dan subsidi tersebut diperoleh dari pajak yang dibebankan kepada rakyat. Terlebih melakukan subsidi pada dua sisi, yakni subsidi terhadap Biaya Pokok Penyediaan (BPP) dan subsidi terhadap harga jual. Hal ini tidak akan menciptakan keberlanjutan.

Kesimpulan[sunting | sunting sumber]

Telah dilakukan kajian yang mencoba menjabarkan definisi baru dari energi ramah lingkungan, yaitu energi yang mengemisikan sedikit gas rumah kaca, menggunakan lahan yang minimal, tidak mengancam keseimbangan ekosistem pada saat beroperasi, dan memiliki penanganan limbah yang terstandar dan diawasi. Serta memenuhi aspek berkelanjutan baik secara sumber daya alam (mencakup bahan baku maupun bahan bakar) maupun ekonomi yang tidak membebani lingkungan, negara maupun masyarakat.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "What are the safest and cleanest sources of energy?". Our World in Data. Diakses tanggal 2021-12-13. 
  2. ^ a b c d "Pendaftaran lomba | Login". nuklirenergihijau.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-13. Diakses tanggal 2021-12-13. 
  3. ^ Layton, Bradley E. (2008). "A Comparison of Energy Densities of Prevalent Energy Sources in Units of Joules per Cubic Meter". International Journal of Green Energy. 5: 438–455. doi:10.1080/15435070802498036.