Djawoto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revisi sejak 1 Oktober 2010 05.34 oleh TjBot (bicara | kontrib) (~{{lifetime}}; kosmetik perubahan)

Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam) berasal dari keluarga pangreh praja.

Menjadi guru

Setelah menamatkan sekolah menengahnya, Djawoto mengikuti kursus guru dan kemudian ia menjadi guru di berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara, Pamong Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta. Ia mengabdikan dirinya sebagai guru selama 15 tahun.

Terjun ke dunia politik

Pada tahun 1927 ia tinggal di Makassar dan menjadi sekretaris PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto cabang Makassar. Namun tak lama kemudian ia pindah dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Makassar.

Terjun ke dunia pers

Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik dalam Praktek" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari.

Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita "Domei", satu-satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang.

Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara" dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.

Bergabung di kubu Sosialis

Ketika PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono, Djawoto bergabung dengan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) di bawah pimpinan Sjahrir. Dan setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Partai Sosialis yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Ia menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan dari partai tersebut. Ketika Partai Sosialis pecah pada bulan Februari 1948, kelompok Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) sementara kelompok Amir Sjarifuddin membentuk Partai Sosialis. Djawoto tidak memilih salah satu dari keduanya, melainkan memusatkan perhatian dan tenaganya pada Kantor Berita Antara.

Perjuangan

Pada masa revolusi kemerdekaan, Djawoto ikut aktif berjuang bersama-sama dengan para pemuda lainnya. Ia termasuk salah seorang yang bersama-sama dengan Adam Malik, Chaerul Saleh, Sukarni, B.M. Diah, Anwar Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Pandu Karta Wiguna, Wikana, Supeno, Trimurti, Dr. Muwardi, Sudiro ("mBah"), Sutomo ("Bung Tomo"), Chailid Rasjidi, Maruto Nitimihardjo, dll. terlibat dalam "Peristiwa Rengasdengklok", yang memaksa Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei 1961. Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.

Kiprah di dunia internasional

Pada tahun 1950-an Djawoto memimpin Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Sebagai ketua PWI pusat, pada 1962 Djawoto mengemukakan kepada Presiden Soekarno usul penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia Afrika di Bandung. Konferensi ini terselenggara pada 1965, sementara gagasan awalnya telah tercetus sejak Konferensi Asia Afrika pada 1955. Sebelumnya, pada 24 April 1963 ia terpilih menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).

Menjadi anggota DPR-GR dan MPRS

Djawoto diangkat menjadi anggota DPR-GR, anggota MPRS, anggota Pengurus Besar Front Nasional dan juga anggota Dewan Pertimbangan Pers (1963). Pada tahun 1964 ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Cina dan Republik Rakyat Mongolia yang berkedudukan di Beijing.

Terdampar di Beijing

Ketika G30S meletus, Djawoto dan keluarganya tidak kembali ke Indonesia karena khawatir keselamatan nyawanya terancam. Karena itu Djawoto dan keluarganya menetap di Beijing.

Setelah peristiwa G30S itu, Soekarno tersingkir dan terjadilah pembersihan besar-besaran di Indonesia atas semua orang yang pernah terlibat dalam pemerintahan Soekarno dan mereka yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 16 April 1966 Djawoto sendiri kemudian melepaskan jabatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Rakyat Mongolia. Pada tanggal 20 April 1966 memimpin sidang Sekretariat Persatuan Wartawan Asia-Afrika di Beijing.

Setelah menetap di Tiongkok selama sekitar 15 tahun, Djawoto beserta keluarganya pindah ke Belanda pada 1979, hingga ia meninggal dunia pada 24 Desember 1992.

Keluarga

Djawoto menikah dengan Hasnah Sutan Diatas (meninggal dunia 4 November 2005), yang berasal dari Minangkabau dan dikaruniai empat orang anak: Djoko Martono, Ratna Aprilia, Ratni Utami, dan Ratni Lestari.

Pranala luar