Dikotomi Timur–Barat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Dunia Timur", biasa disebut Asia atau "Timur Jauh", yang terdiri dari tiga blok budaya yang saling tumpang tindih: Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.

Dalam sosiologi, dikotomi Timur–Barat adalah persepsi perbedaan antara dunia Timur dan kebudayaan Barat. Karena berbeda budaya alih-alih geografinya, batas Timur dan Barat masih tidak jelas dan tergantung kriteria para pihak yang menggunakan istilah ini. Sejak dulu, Asia dan negara-negara Islam dikelompokkan sebagai Timur, sedangkan Australia, Kanada, Eropa, Selandia Baru, dan Amerika Serikat dikelompokkan sebagai Barat. Istilah ini digunakan dalam studi manajemen, ekonomi, dan ilmu bahasa. Konsep ini dikritik karena tidak mempertimbangkan hibriditas kawasan.

Pembagian[sunting | sunting sumber]

Dalam konsepnya, batas Timur dan Barat bersifat kultural, bukan geografis. Karena itu pula, Australia masuk kelompok Barat dan negara-negara Islam di manapun letaknya masuk kelompok Timur.[1] Batas budaya seperti ini sulit ditetapkan di daerah-daerah yang kebudayaannya beragam seperti Bosnia dan Herzegovina; wargannya dapat menyatakan dirinya sebagai bagian dari Timur atau Barat sesuai latar etnis atau agamanya.[1] Selain itu, penduduk di wilayah lain melihat batas budaya ini dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya, sejumlah ilmuwan Eropa mendefinisikan Rusia sebagai bagian dari Timur, tetapi banyak ilmuwan yang sepakat bahwa Rusia adalah wilayah pelengkap Barat kedua,[2] Contoh lainnya, negara-negara Islam menganggap Rusia dan negara yang didominasi penganut Kristen sebagai bagian dari Barat.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Meštrovic, Stjepan (1994). Balkanization of the West: The Confluence of Postmodernism and Postcommunism. Routledge. hlm. 61. ISBN 0-203-34464-2. 
  2. ^ http://www.academia.edu/616571/Metaphorical_politics_Is_Russia_western

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

Balancing the East, Upgrading the West; U.S. Grand Strategy in an Age of Upheaval by Zbigniew Brzezinski January/February 2012 Foreign Affairs