Devaluasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Devaluasi adalah kebijakan moneter yang diambil oleh pemerintah untuk melakukan penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang luar negeri khususnya pada mata uang asing yang sangat berpengaruh dalam perdagangan internasional. Tujuan dari kebijakan moneter yang diambil oleh pemerintah dengan melakukan intervensi agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil dan menjaga nilai ekspor dan impor serta menjaga nilai devisa negara.[1] Keputusan pemerintah untuk melakukan devaluasi menghasilkan pengendalian moneter bagi ekonomi negara pada periode kebijakan moneter saat penerapan dilakukan. Hasil devaluasi ini kemudian akan mempengaruhi kembali kebijakan moneter pemerintah pada periode berikutnya.[2] Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing. Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah.

Sistem kurs tetap[sunting | sunting sumber]

Pemerintah suatu negara atau bank sentral dapat menetapkan kurs secara resmi dalam sistem kurs tetap. Dalam penetapan ini, bank sentral atau pemerintah akan selalu melakukan intervensi secara aktif. Tujuan intervensi ini adalah untuk menjaga nilai kurs yang telah ditetapkan selalu pada kondisi yang stabil. Bank sentral atau pemerintah akan melakukan kegiatan revaluasi atau devaluasi ketika kurs resmi dapat membahayakan sistem perekonomian negara. Cara yang dilakukan umumnya adalah pinjaman asing, pengetatan keuangan, pengendalian harga dan upah, serta pembatasan aliran modal keluar.[3]

Pembentukan[sunting | sunting sumber]

Devaluasi dapat terjadi ketika terjadi perbedaan kurs antar mata uang. Perbedaan ini umumnya timbul karena mata uang suatu negara yang tidak diperdagangkan secara bebas. Ketidakbebasan ini umumnya disebabkan oleh adanya kebijakan restriksi oleh pemerintah suatu negara. Mata uang ini kemudian akan dijual tidak resmi. Proses penjualannya dapat melalui pasar gelap maupun pasar selain pasar gelap. Potensi terjadinya devaluasi meningkat ketika kurs resmi dan kurs pasar gelap mengalami perbedaan yang tinggi. Perbedaan ini juga kadang disertai dengan depresiasi.[4]

Kasus[sunting | sunting sumber]

Mata uang di Eropa[sunting | sunting sumber]

Negara-negara di Eropa pernah mengalami ketidakstabilan pada pasar valuta asing akibat revaluasi dan devaluasi. Kondisi yang terjadi ialah fluktuasi nilai kurs antara yen, mark dan dolar. Ketiga kurs ini masih tetap stabil sampai akhir berlakunya Sistem Bretton Woods. Revaluasi hanya terjadi pada kurs mark pada tahun 1961. Pada periode-periode selanjutnya, mata uang negara lainnya melemah akibat kenaikan nilai mata uang dolar Amerika Serikat. Pada akhir 1970an, penurunan nilai terhadap mark oleh dolar mencapai setengah dari nilai awalnya. Revaluasi dolar kembali terjadi pada tahun 1985 dengan nilai penaikan hingga 100 persen. Revaluasi ini dilakukan dengan pemotongan separuh nilai eksternal dolar terhadap mark. Hal yang sama berlaku pada mata uang Euro, franc, pound sterling dan lira dengan kondisi devaluasi pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke-21 Masehi.[5]

Devaluasi di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Walaupun Presiden Soeharto selalu berpidato soal tidak ada devaluasi, tetapi sepanjang pemerintahannya telah terjadi 4 kali devaluasi.

21 Agustus 1971[sunting | sunting sumber]

Masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) melalui Menkeu Ali Wardhana. Amerika Serikat pada 15 Agustus 1971 harus menghentikan pertukaran dolar dengan emas. Presiden Richard Nixon cemas dengan terkurasnya cadangan emas AS jika dolar dibolehkan terus ditukar emas, sedang nilai waktu itu US$34,00 sudah bisa membeli 1 ons emas. Soeharto tidak bisa mengelak dari dampak gebrakan Nixon dan Indonesia mendevaluasi Rupiah pada 21 Agustus 1971 dari Rp378,00 menjadi Rp415,00 per 1 US$.

15 November 1978[sunting | sunting sumber]

Devaluasi kedua terjadi pada 15 November 1978 pada masa pemerintahan Orde Baru. Devaluasi pertama terjadi pada 21 Agustus 1971.Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Ali Wardhana. Walaupun Indonesia mendapat rezeki kenaikan harga minyak akibat Perang Arab-Israel 1973, tetapi Pertamina justru nyaris bangkrut dengan utang US$10 miliar dan Ibnu Sutowo mengundurkan diri sebagai dirut pada 1976. Tetap tidak bisa dihindari devaluasi kedua oleh Soeharto pada 15 November 1978 dari Rp415,00 menjadi Rp625,00 per 1 US$.[6]

30 Maret 1983[sunting | sunting sumber]

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada saat itu Menkeu Radius Prawiro mendevaluasi rupiah 48%, jadi hampir sama dengan menggunting nilai separuh. Kurs 1 dolar AS naik dari Rp702,50 menjadi Rp970,00.

12 September 1986[sunting | sunting sumber]

Masa Pemerintahan Presiden Soeharto melalui Menkeu Radius Prawiro. Pada 12 September 1986 Radius Prawiro kembali mendevaluasi rupiah sebesar 47%, dari Rp1.134,00 ke Rp1.664,00 per 1 dolar AS.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Devaluasi". Cerdasco. (dalam bahasa Inggris). 2019-07-19. Diakses tanggal 2020-10-28. 
  2. ^ As c a r y a (2002). Instrumen-instrumen pengendalian moneter (PDF). Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. hlm. 40. ISBN 979-3363-02-9. 
  3. ^ Kartawinata, dkk. (2014). Bisnis Internasional (PDF). Bandung: PT. Karya Manunggal Lithomas. hlm. 39. ISBN 978-602-99118-7-9. 
  4. ^ Sriyono dan Herlinda Maya Kumalasari (2020). Buku Ajar Keuangan Internasional (PDF). Sidoarjo: Umsida Press. hlm. 101. ISBN 978-623-6833-33-9. 
  5. ^ Dullien, dkk. (2016). Kapitalisme yang Layak (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia. hlm. 15. ISBN 978 0 7453 3109 6. 
  6. ^ "Sejarah Devaluasi Rupiah 1978 & Menggunungnya Utang Pertamina". Tirto.id. Diakses tanggal 2020-10-21. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]