Perceraian

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Cerai hidup)

Perceraian adalah kebalikan dari pernikahan dan berakhirnya suatu perkawinan. Perceraian merupakan terputusnya hubungan antara suami istri oleh suami atau hakim yang mencerai, keputusan hakim tersebut dengan menjalankan prosedur proses alur persidangan berawal dari tahapan Majelis Hakim Pembacaan gugatan, Jawaban tergugat, Pembuktian dari penggugat dan tergugat hingga putusan hakim sampai Mahkamah Syar'iy (Pengadilan Agama) memberikan dokumen keputusan perceraian hingga akta cerai. Seperti disebabkan oleh kegagalan suami atau istri dalam menjalankan kewajiban peran masing-masing sesuai syariat Agama. Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah berdasarkan hukum yang berlaku.[1] Keharusan perceraian dilakukan di depan sidang pengadilan agama ini sejalan dengan ketetapan syari’at Islam bahwa madharat haruslah dihilangkan, dan turunan dari qaidah tersebut apabila terjadi perbenturan antara maslahat dan madharat maka maslahat yang lebih diutamakan.[2] Artinya tugas dan fungsi hakim pengadilan agama merupakan tugas suci, dan dalam hal perkara perceraian hakim pengadilan agama bertugas untuk mewujudkan kembali keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.[3] Dalam Islam bahwa perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.

Alur proses persidangan perkara permohonan perceraian di pengadilan agama, "Majelis hakim berupaya mendamaikan pengugat dan tergugat, namun bilamana penggugat meminta majelis hakim untuk melanjutkan perkara tersebut, maka majelis hakim membacakan gugatan penggugat disaksikan tergugat dan pengugat selanjutnya tergugat menyampaikan sanggahan jawaban secara tertulis atau langsung, replik, duplik, dilanjutkan pembuktian dalil-dalil penggugat kepada tergugat, namun bilamana dalil-dalil tersebut tidak dapat dibuktikan maka Majelis Hakim menolak gugatan pengugat tersebut, jika dapat dibuktikan maka Majelis Hakin melakukan pembuktian atas jawaban sanggahan tergugat serta melanjutkan alur proses melanjutkan hingga putusan Hakim,"[4] yang seadil-adilnya tanpa meninggalkan kode etik dan pedoman Perilaku Hakim[5]. Tindak pidana penerbitan Akta Cerai adalah penerbitan tanpa mengacu pada surat-surat yang dilampirkan pada Putusan Hakim. Seperti disebabkan oleh tindak pidana UU 1/2023 KUHP pasal 263, 264, 391, 392, 266, 274, 394 sampai dengan pasal 276. Surat dalam hal ini adalah segala surat yang tertulis dengan tangan dicetak maupun ditulis memakai mesin tik dan lain sebagainya[6]

Dinamika kompleks individu rumah tangga[sunting | sunting sumber]

Dinamika kehidupan dalam lingkup rumah tangga semakin hari semakin kompleks, sementara pasangan suamu istri dituntut untuk menghadapi kondisi tersebut dengan segenap upaya yang bisa dikerahkan oleh kedua belah pihak. Konflik yang timbul dari upaya penyelesaian masalah ketika tidak terpecahkan dan terselesaikan akan menggangu dan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam hubungan suami istri tersebut (Dewi dan Basti 2008:43).

Akibat kondisi ini maka sering timbul pertengkaran yang pada akhirnya membuat mereka merasa bahwa perkawinan mereka tidak seperti yang diharapkan dan merasa kecewa. Untuk mengatasi rasa kecewa tersebut suami istri harus mengadakan negosiasi, jika negosiasi berhasil maka hubungan suami istri akan membaik, sebaliknya jika suami istri tidak menegosiasikan maka tidak menutup kemungkinan perkawinan tersebut mengalami kehancuran atau penceraian. Karim, (1999 dalam Ihromi, 2004: 137) menyatakan, perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing, dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Sedangkan, menurut Dariyo (2003: 160) perceraian (divorce) merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak direncanakan dan dikehendaki kedua individu yang sama-sama terikat dalam perkawinan.

Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Selain itu, perceraian adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan, biasanya terjadinya perceraian karena hadirnya penghasut dari keturunan sedarah sehingga melakukan intervensi berlebihan dengan tujuan perceraian itu terjadi. Dari kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian merupakan berakhirnya hubungan suami istri karena ketidakcocokan antara keduanya serta dapat dibuktikan oleh pihak pengugat dan diputuskan oleh hukum.

Badrus (2003: 45) mengemukakan bahwa perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan, menyempurnakan cinta antar suami istri karena perselingkuhan perasaan dengan orang lain atau keturunan sedarah, dan juga terlalu menurut dengan hasutan keturunan sedarah.

Krantzler (dalam Machasin, 2006:33) menyatakan bahwa perceraian bagi kebanyakan orang adalah sebagai masa transisi yang penuh kesulitan terutama jika dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat tentang perceraian. Jika masyarakat memandang perceraian sebagai suatu yang tidak patut, maka dalam proses penyesuaian kembali seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi. Perceraian dapat terjadi apabila pasangan suami isteri sudah tidak mampu menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi diantara mereka dengan catatan kedua belah pihak tidak di intervensi penghasut yang memiliki tujuan perceraian itu terjadi.

Sebenarnya dapat dikatakan bahwa perceraian selamanya menjadi hal buruk, kadang perceraian memang jalan terbaik bila melihat dampak yang akan terjadi pada anak maupun anggota keluarga lain apabila pernikahan tetap dilanjutkan contoh seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (Farida, 2007:17). Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perceraian adalah berakhirnya hubungan suami istri sebagai akibat dari kegagalan dalam mengembangkan, menyempurnakan cinta antar suami istri dan keturunan sedarah dikarenakan kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan dengan terpaksa karena dihadapkan pada dua pilihan, sehingga mereka berhenti melakukan kewajiban sebagai suami istri., namun terkadang perceraian merupakan jalan terbaik bila melihat dampak yang akan terjadi pada anak maupun anggota keluarga lain apabila pernikahan tetap dilanjutkan.[7]

Jenis perceraian[sunting | sunting sumber]

Cerai hidup[sunting | sunting sumber]

Cerai hidup adalah seseorang yang telah berpisah sebagai suami-istri karena bercerai dan belum kawin lagi. Dalam hal ini tidak termasuk mereka yang mengaku cerai walaupun belum/atau telah resmi secara hukum sebelum ada pengakuan dari pemilik akad ialah suami, dan juga alasan dalih-dalih harus dapat dibuktikan secara hukum negara ataupun hukum agama dan hukum adat dengan minimal terbuktinya dengan 3 (tiga) barang bukti, dan keterangan para saksi-saksi dari pihak suami dan dari pihak istri, diputuskan oleh hakim. Tidak sah gugatan tersebut apabila saksi hanya diadakan dari satu pihak saja contoh: dari suami begitupun sebaliknya, para saksi wajib menyampaikan keterangan yang sebenarnya dan tidak direkayasa serta kesaksian palsu, hal ini berdasarkan Penerapan Pasal 22 ayat 2 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 76 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989.[8][9][10] Serta tidak termasuk mereka yang hanya hidup terpisah tetapi masih berstatus kawin, misalnya suami/istri ditinggalkan oleh istri/suami ke tempat lain karena sekolah, bekerja, mencari pekerjaan, atau untuk keperluan lain bak korban intervensi campur tangan oknum dan penyekapan oleh oknum. Wanita yang mengaku belum pernah kawin tetapi pernah hamil, dianggap cerai hidup.[10][11]

Cerai mati[sunting | sunting sumber]

Cerai mati adalah perceraian yang diakibatkan salah satu pasangan telah meninggal dunia.

Cerai gugat[sunting | sunting sumber]

Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan karena kehendak Istri untuk melepaskan ikatan perkawinan dalam Islam disebut Khulu.[12][13] Karena takut tidak dapat hukum-hukum Allah SWT yaitu taat kepada suami dengan adanya iwadh (tebusan) yang diberikan kepada suami sebagai tebusan dirinya agar suami mewnceraikannya dengan menggunakan lafaz khulu atau semakna dengan itu dari suami. Adapun yang menjadi landasan Cerai Gugat adalah Al-Qur'an, hadis Nabi Muhammad SAW dan ijma' ulama.[12] Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 229. Adapun akibat dari Cerai Gugat:

  1. Bagi istri yang meminta cerai kepada suaminya, melawan suami tanpa alasan yang dibenarkan oleh tuntutan dari Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan-larangan agama Islam (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum) maka tidak dapat masuk surga karena mencium bau surga saja tidak bisa.[12]
  2. Dengan adanya cerai gugat mantan Istri menguasai dirinya secara penuh, segala urusan mantan istri berada ditangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah uang kepada suaminya guna untuk melepaskan dirinya itu, sejumlah uang tersebut ditetapkan dan ditentukan oleh penerima sakral ialah suami.[12]
  3. Cerai gugat berakibat jatuhnya talak ba'im shugra. Jadi Cerai Gugat mengurangi jumlah talak tetapi suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, apabila suami ingin kembali kepada Istrinya maka harus dengan akad nikah baru.[12]
  4. Akibat cerai gugat pada anak yang belum mumayyiz, mencari uang sendiri berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia maka kedudukannya digantikan. Sedangkan pada anak yang sudah mumayyiz, bisa mencari uang sendiri anak memiliki hak khiyar (memilih) yakni memilih untuk mendapat hak hadhanah ayah atau ibunya.[12]

Faktor penyebab & hukum perceraian[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa faktor utama yang biasa menjadi penyebab perceraian, tidak ada tanggung jawab, faktor stabilitas ekonomi disebabkan karena pernikahan dini, ikut campur tangan pihak ketiga tujuan perceraian. Selain beberapa faktor tersebut ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya perceraian seperti cemburu tanpa dasar, selingkuh perasan dengan keturunan sedarah, penghasutan, intervensi dengan tujuan perceraian, dipenjara, kawin paksa, penganiayaan (kekerasan dalam rumah tangga). Sering kali juga muncul sebagai penyebab perceraian.[14]

Dalam hukum positif Indonesia, perceraian hanya dapat diperbolehkan jika memiliki dasar serta bukti yang akurat seperti disebabkan oleh sebab-sebab seperti yang disebutkan di bawah ini:[15]

  • Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.[16][17]
  • Salah satu keturunan sedarah Istri/suami melakukan penghasutan perceraian, kecuali terpaksa di karekan pelaku penghasutan dalam keadaan sakit jiwa[18]
  • Ikut campur tangan pihak ketiga keturunan sedarah (Intervensi perceraian), terkecuali keturunan sedarah terindikasi penyakit iri (merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain)[19]
  • Perselisihan akibat intervensi yang mengarah pada perceraian "catatan hasil sidik polri".[20]
  • Ketika seseorang Istri/suami memenuhi kebutuhan emosionalnya secara intim, non-seksual kepada keturunan sedarah "mengakibatkan perceraian objek keturunan sedarah".[21]
  • Salah satu pihak melakukan peralihan agama atau murtad.[22]

Penyebab perceraian menurut agama Islam[sunting | sunting sumber]

4 (empat) Alasan Perceraian Yang Diperbolehkan Islam yang menjadi dasar mutlak Pengadilan Agama Islam di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menentukan kategori alasan dalil-dalil Penggugat mengajukan gugatan Lihat Khulu.[23]

Dampak perceraian menurut agama pada umumnya[sunting | sunting sumber]

Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah mempunyai anak maupun yang belum sebagai berikut:[24]

Dagun (2002:113) menyatakan perceraian akan berdampak mendalam bagi setiap anggota keluarga. Kejadian ini akan menimbulkan banyak perubahan, baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1991:480) mengkategorikan akibat yang ditimbulkan dari perceraian itu dalam dua hal, yaitu: (a) Membuat keluarga menghadapi tekanan ekonomi secara tiba-tiba dimana tanggungjawab finasial menjadi bertambah, yaitu disatu sisi suami harus menghidupi keluarga yang diceraikannya dan disisi lain harus menghidupi keluarganya yang baru. (b) Mengakibatkan tekanan psikologis, baik bagi mantan pasangan maupun bagi anak mereka. Orang tua maupun anak mereka merasa terisolasi dari lingkungan sosial yang semula dekat. Belum lagi, kondisi mental anak, yang pada umumnya merasa terkucilkan dari kasih sayang orang tuanya.

Pada dasarnya perceraian itu menimbulkan dampak yang kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi keturunannya. Meskipun perceraian disatu sisi bukan cara yang baik untuk menyalesaikan suatu masalah rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan pembangunan ekonomi rumah tangga, hubungan individu dan sosial antar dua keluarga menjadi rusak. Dan yang lebih berat adalah berkaitan dengan perkembangan psikis anak mereka, yang pada giliranya akan mempengaruhi perilakunya. Menurut Dariyo (2003:168), yang telah melakukan perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak negatif. Hal-hal yang dirasakan akibat perceraian tersebut diantaranya:

Dampak terhadap suami atau istri[sunting | sunting sumber]

Akibat perceraian adalah suami-istri hidup sendiri-sendiri, suami atau istri dapat bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan status suami, istri dan anak serta terhadap harta kekayaannya. Dengan adanya perceraian akan menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat dipertanggungjawabkan perkembangan masa depannya. Perceraian mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena kehilangan pasangan hidup, karena setiap orang tentunya mempunyai cita-cita supaya mendapatkan pasangan hidup yang abadi. Jika pasangan yang diharapkan itu hilang akan menimbulkan kegoncangan, seakan-akan hidup tidak bermanfaat lagi, karena tiada tempat untuk mencurahkan dan mengadu masalah-masalah untuk dipecahkan bersama. Jika kesepian ini tidak segera diatasi aakan menimbulkan tekanan batin, merasa rendah diri, dan merasa tidak mempunyai harga diri lagi.

Traumatis pada salah satu pasangan hidup Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan kehidupan pernikahan dan ternyata harus berakhir dalam perceraian, akan dirasakan kesedihan, kekecewaan, frustasi, tidak nyaman, tidak tentram, dan khawatir dalam diri.

Dampak terhadap anak[sunting | sunting sumber]

Perceraian dipandang dari segi kepentingan anak yaitu keluarga bagi anak-anaknya merupakan tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan Iain-Iain. Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-anak akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat lain telah adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang langsung dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak ini dijamin kehidupannya dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih. Akan tetapi, kasih sayang ibunya sendiri dan bapaknya sendiri akan berbeda dan gantinya tidak akan memberikan kepuasan kepadanya.

Traumatis pada anak, Anak-anak yang ditinggalkan Orang Tua yang bercerai juga merasakan dampak negatif. Mereka mempunyai pandangan yang negatif terhadap pernikahan, mereka akan merasa takut mencari pasangan hidupnya, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran jika perceraian itu juga terjadi pada dirinya.

Dampak terhadap harta kekayaan[sunting | sunting sumber]

Apabila terjadi perceraian maka perikatan menjadi putus, dan kemudian dapat diadakan pembagian kekayaan perikatan tersebut. Jika ada perjanjian perkawinan pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian tersebut. Dalam suatu perceraian dapat berakibat terhadap harta kekayaan yaitu harta bawaan dan harta perolehan serta harta bersama. Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

Ketidakstabilan kehidupan dalam pekerjaan Setelah bercerai, individu merasakan dampak psikologis yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis mereka tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam bekerja sehingga menggagu kehidupan kerjanya.

Berdasarkan dampak perceraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa terkadang perceraian menjadi salah satu solusi terbaik ketika permasalaham dalam rumah tangga sudah tidak mungkin lagi dikompromikan. Tetapi perceraian juga seringkali disebut membawa dampak negatif terhadap kedua pasangan dan juga berdampak mendalam bagi setiap anggota keluarganya. Terutama jika pasangan tersebut memiliki anak, tentunya dapat menimbulkan banyak perubahan, baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga. Bahkan tak jarang mereka mengalami ketidakstabilan psikologis yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman, tidak tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah.

Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tau akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa, kebijakan hakim untuk kebaikan itulah yang diharapkan masyarakat walaupun hakim harus melanggar peraturan dan perundang undangan. Untuk itu seorang Hakim yang melaksanakan hukum, karena hakim itu memang bertugas mencegah seseorang dari kedzaliman2, Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus memperhatikan serta mengusahakan jangan sampai putusan yang akan dijatuhkan memungkinkan timbulnya perkara baru. Putusan harus tuntas dan tidak menimbulkan ekor perkara baru, hakim juga harus merasakan apa bila hal tersebut terjadi pada dirinya, karena pada dasarnya seorang perempuan tidaklah menginginkan perceraian itu terjadi tampa ada penghasutan serta dukungan dari penegak hukum itu sendiri.[25]

Regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Regulasi emosi merupakan suatu cara yang dapat digunakan seseorang untuk mengontrol emosi negatif dalam diri mereka. Gross (1999) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut.[26]

Pengertian emosi[sunting | sunting sumber]

Emosi berasal dari bahasa latin movere yang artinya menggerakkan, sehingga emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan suatu keadaan. Emosi menurut Goleman (2004:239) ialah pergolakan pikiran dan perasaan, termasuk setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak. Gross, (1999) mengatakan bahwa peranan emosi tampaknya sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sangat sulit membayangkan apabila seseorang tidak memiliki emosi.

Tanpa adanya sebuah emosi, seseorang tidak akan merasa sedih bila mengalami kegagalan, merasakan kebahagiaan melihat dirinya berhasil dan sukses, atau merasa malu bila melakukan kesalahan di tempat umum. Oleh sebab itu, emosi dapat muncul dari suatu kejadian yang tidak biasa, ringan atau berat, kejadian yang bersifat pribadi maupun umum, kejadian yang sederhana sampai yang kompleks. Menurut Salovey dan Sluyter (1997) emosi adalah respon-respon yang mengarahkan tingkah laku individu dan menyediakan informasi yang dapat menolong individu mencapai tujuannya. Emosi memiliki tiga komponen, yaitu:

  1. Cognitive-experiential, komponen yang terdiri dari pikiran seseorang dan kesadaran akan bagian-bagian emosionalnya (yang sering disebut sebagai “perasaan‟)
  2. Behavioral-expressive, komponen yang terdiri dari perkataan, gerak tubuh, ekspresi wajah, postur, gestur (emosi yang terlihat)
  3. Physiological-biochemical, komponen yang terdiri dari bagian-bagian psikis dan mewakili beberapa tindakan seperti kerja otak, detak jantung, respon kulit, dan tingkat hormon (emosi yang tidak terlihat).

Menurut Santrock (2007:6), emosi sering diistilahkan juga dengan perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well-being dirinya. Jadi emosi timbul karena terdapat suatu situasi yang dianggap penting dan berpengaruh dalam diri individu. English and English (Yusuf 2008:114) menyatakan bahwa emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activities”. Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Anak yang mengalami emosi akan merasakan perubahan motoris dan kegiatan kelenjar yang bergerak lebih cepat. Goleman (2004 Desmita 2013:116), menggunakan istilah emosi merujuk pada a feeling and its distinctive thoughts, psychological and biological states, and range of propensities to act. Menurut Crow and Crow (1990 dalam Syaodih 2005:46) mengungkapkan bahwa emosi adalah suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dalam keselamatan individu. Anak yang mengalami emosi akan melakukan penyesuaian dengan lingkungannya agar memperoleh kenyamanan, kesejahteraan dan keselamatan. LeDoux (2007 dalam Beaty (2013:159) menjelaskan sebuah emosi merupakan pengalaman subjektif, invasi kesadaran yang bersemangat, sebuah perasaan. Jadi emosi memiliki pengalaman, kesadaran diri dan menghasilkan sebuah perasaan (Yulina, 2015:78). Berdasarkan beberapa pengertian emosi di atas di dapati sebuah kesimpulan bahwasanya emosi adalah setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak. Suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Karena itu seseorang yang mengalami emosi akan melakukan penyesuaian dengan lingkungannya agar memperoleh kenyamanan, kesejahteraan dan keselamatan.

Definisi regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Regulasi emosi adalah strategi yang dilakukan individu untuk memelihara, menaikkan, dan atau menurunkan perasaan, perilaku, dan respon fisiologis secara sadar maupun tidak sadar. Regulasi emosi ini dilakukan untuk mencapai keinginan sosial dan respon fisik serta psikologis yang tepat terhadap permintaan instrinsik dan ekstrinsik Hwang (2006 dalam Fitri, 2012:2). Thompson (1991:288) menggambarkan regulasi emosi sebagai kemampuan merespon proses–proses ekstrinsik dan intrinsik untuk memonitor, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi yang intensif dan menetap untuk mencapai suatu tujuan.

Regulasi emosi menurut Gross (1999 dalam Alfian 2014:266) adalah cara individu mengolah emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson, 2001). Regulasi itu sendiri adalah bentuk kontrol yang dilakukan seseorang terhadap emosi yang dimilikinya. Regulasi dapat mempengaruhi perilaku dan pengalaman seseorang. Hasil regulasi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi, atau dihambat dalam ekspresinya. Regulasi emosi berasal dari sumber sosial. Sumber sosial ini merupakan bagian dari minat terhadap orang lain dan norma-norma dari interaksi sosial Frijda (1986 dalam Alfian, 2014:265).

Garnefski (2001:1311) menjelaskan, regulasi emosi secara kognisi berhubungan dengan kehidupan manusia, dan membantu individu mengelola, mengatur emosi atau perasaan, dan mengendalikan emosi agar tidak berlebihan. Sedangkan menurut Gross dan Thompson (2007:21) regulasi emosi adalah serangkaian proses dimana emosi diatur sesuai dengan tujuan individu, baik dengan cara otomatis atau dikontrol, disadari atau tidak disadari dan melibatkan banyak komponen yang bekerja terus menerus sepanjang waktu. Gross dan Thompson (2007:27) mengemukakan bahwa regulasi emosi yang dilakukan individu merupakan usaha individu untuk memberikan pengaruh terhadap emosi yang muncul dengan cara mengatur bagaimana individu merasakan dan mengekspresikan emosinya agar tetap dapat bersikap tenang dan berpikir jernih. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah proses yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.

Ciri-ciri regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat jika memenuhi lima dari tujuh kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004:240) yaitu :

  1. Kendali diri, dalam arti mampu mengolah emosi dan impuls yang merusak dengan efektif
  2. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain
  3. Memiliki sikap hati-hati
  4. Memiliki keluwesan dalam menangani perubahan dan tantangan
  5. Toleransi yang tinggi terhadap frustrasi
  6. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya
  7. Lebih sering merasakan emosi positif dan negatif

Strategi-strategi regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (2007 dalam Yusuf, 2015:17) ada lima proses dalam regulasi emosi yaitu pemilihan situasi, modifikasi keadaan, penyebaran perhatian, perubahan kognitif, dan perubahan respon.

  1. Situation selection (pemilihan situasi): Situation selection yaitu suatu tindakan untuk memungkinkan kita berada dalam situasi yang kita harapkan dan menimbulkan emosi yang kita inginkan. Dengan kata lain strategi ini dapat berupa mendekati atau menghindar dari seseorang, tempat, atau objek berdasarkan dampak emosi yang muncul.
  2. Situation modification (modifikasi keadaan): Ini adalah usaha untuk memodifikasi satu keadaan secara langsunguntuk mendatangkansuatu keadaan baru.Modifikasi situasi yang dimaksud di sini dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan fisik eksternal maupun internal. Gross (2007:177) menganggap bahwa upaya memodifikasi "internal" lingkungan yaitu pada bagian perubahan kognitif.Misalkan jika salah satu pasangan tampak sedih, maka dapat menghentikan interaksi marah kemudian mengungkapkan dengan keprihatinan, meminta maaf, atau memberikan dukungan.
  3. Attentional deployment (penyebaran perhatian): Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi internal dari seleksi situasi.Dua strategi atensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi yang dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain, misalnya ketika seorang bayi mengalihkan pandangannya dari stimulus yang membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi.Attentional deployment bisa memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik (misalnya menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara internal (misalnya melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon pengalihan.
  4. Cognitive change (perubahan kognitif): Cognitive change adalah perubahan penilaian yang dibuat dan termasuk di sini adalah pertahanan psikologis dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya (keadaannya lebih buruk daripada saya). Pada umumnya, hal ini merupakan transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi. Perubahan kognitif mengacu pada mengubah cara kita menilai situasi di mana kita terlibat di dalamnya untuk mengubah signifikansi emosionalnya, dengan mengubah bagaimana kita memikirkan tentang situasinya atau tentang kapasitas kita untuk menangani tuntutan-tuntutannya.
  5. Response modulation (perubahan respon): Modulasi respon mengacu pada pengaruh respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku selangsung mungkin. Olahraga dan relaksasi juga dapat digunakan untuk mengurangi aspek-aspek fisiologis dan pengalaman emosi negatif, dan, alkohol, rokok, obat, dan bahkan makanan, juga dapat dipakai untuk memodifikasi pengalaman emosi.

Menurut Garnefski (2003 dalam Salamah, 2008:4) ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi, yaitu:

  1. Self blame adalah mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri Blamming others adalah mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa drinya.
  2. Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya.
  3. Refocus on planning mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa yang harus diambil dalam menghadapi perisitiwa negatif yang dialami.
  4. Positive refocusing adalah kecenderungan individu untuk lebih memikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan dan menggembirakan daripada memikirkan situasi yang sedang terjadi.
  5. Rumination or focus on thought adalah apabila individu cenderung selalu memikirkan perasaan yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi.
  6. Positive reappraisai adalah kecenderungan individu untuk mengambil makna positif dari situasi yang sedang terjadi.
  7. Putting into perspective adalah individu cenderung untuk bertingkah acuh (tidak peduli) atau meremehkan suatu keadaan.
  8. Catastrophizing adalah kecenderungan individu untuk menganggap bahwa dirinyalah yang lebih tidak beruntung dari situasi yang sudah terjadi.

Aspek-aspek regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Menurut Goleman (2004:241) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu:

  1. Strategies to emotion regulation(strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemmapuan untuk menemukan sautu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
  2. Enganging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berfikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
  3. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosis yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
  4. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi[sunting | sunting sumber]

Coon (2005 Anggreny, 2014:6) menyatakan, emosi setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan harus mengatur kondisi emosinya. Faktor faktor tersebut antara lain:

  1. Faktor lingkungan. Lingkungan tempat individu berada termasuk lingkungan keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat yang akan mempengaruhi perkembangan emosi.
  2. Faktor pengalaman. Pengalaman yang diperoleh individu selama hidup akan mempengaruhi perkembangan emosinya,. Pengalaman selama hidup dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan akan menjadi referensi bagi individu dalam menampilkan emosinya.
  3. Pola asuh orang tua. Pola asuh ada yang otoriter, memanjakan, acuh tak acuh, dan ada juga yang penuh kasih sayang. Bentuk pola asuh itu akan mempengaruhi pola emosi yang di kembangan individu.
  4. Pengalaman traumatik. Kejadian masa lalu akan memberikan kesan traumatis akan mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Akibat rasa takut dan juga sikap terlalu waspada yang berlebihan akan mempengaruhi kondisi emosionalnya.
  5. Jenis kelamin. Keadaan hormonal dan kondisi fisiologis pada laki-laki dan perempuan menyebabkan perbedaan karakteristik emosi antara keduanya. Wanita harus mengontrol perilaku agresif dan asertifnya. Hal ini menyebabkan timbulnya kecemasan-kecemasan dalam dirinya. Sehingga secara otomatis perbedaan emosional antara pria dan wanita berbeda.
  6. Usia. Kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Semakin bertambah usia, kadar hormonal seseorang menurun sehingga mengakibatkan penurunan pengaruh emosional seseorang.
  7. Perubahan jasmani. Perubahan jasmani adalah perubahan hormon-hormon yang mulai berfungsi sesuai dengan jenis kelaminnya masing-masing.
  8. Perubahan pandangan luar. Perubahan pandangan luar dapat menimbulkan konflik dalam emosi seseorang.
  9. Religiusitas. Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah Coon (2005 dalam Anggreiny, 2014:7).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah lingkungan, pengalaman selama hidup. Bentuk-bentuk pola asuh, pengalaman traumatis, usia dan juga perubahan fisik memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi pola emosi yang dikembangkan oleh individu. Temperamen pada masa bayi memegang peranan dalam perkembangan pengendalian emosi bagi setiap individu.

Perceraian menurut agama[sunting | sunting sumber]

Islam[sunting | sunting sumber]

Pernikahan dalam Islam adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan apabila hubungan tidak dapat dilanjutkan maka harus diselesaikan secara baik-baik hukum islam yang berlaku. Perceraian memang tidak dilarang oleh peraturan dan Perundang undangan di Republik Indonesia, namun Allah SWT membenci perceraian. Islam membimbing umatnya agar tidak memecah-belah persaudaraan di antara sesama muslim.[27] Oleh sebab itu semestinya gugatan dalil-dalil oleh pengugat perceraian bilamana yang tidak termasuk dosa besar dalam Islan dan tindakan Pidana di tolak oleh Hakim Pengadilan agama serta diselesaiakn sendiri oleh pasangan suami istri tersebut. Permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya yaitu Khulu.[28]

Pernikahan adalah salah satu sunnah Nabi Muhammad S.A.W. yang akanlah kita mendapat pahala jika melakukannya.

Perceraian sendiri adalah suatu hal yang halal untuk dilakukan. Namun halnya, jikalau sepasang suami-istri melakukan perceraian, alkisah mengatakan bahwa 'Arsy terguncang sebegitu dahsyatnya. Oleh karena hal tersebut, Allah membenci perceraian, meski telah dikatakan bahwa hal ini adalah halal

Perceraian memang tidak dilarang dalam agama Islam, namun Allah membenci sebuah perceraian. Sebelum perceraian kita mengenal istilah talak. Menurut Kompilasi Hukum Islam, dalam Pasal 117 menyatakan bahwa talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah, talak menurut hukum adalah ikrar suami yang diucapkan di depan sidang pengadilan agama. Sedangkan apabila talak dilakukan atau diucapkan di luar pengadilan, maka perceraian sah secara hukum agama saja, tetapi belum sah secara hukum negara karena belum dilakukan di depan sidang pengadilan agama.[29]

Cerai gugat atau khulu yaitu melawan suami dan hukumnya adalah haram, karena hak untuk memutuskan sakral suci pemilik akad ialah suami, apabila terputus oleh suami maka sang istri ber-status haram atau murtad dan seorang suami dipaksa kafir, padahal hatinya sang suami tetap tenang dalam beriman, ia tidak berdosa (QS. An-Nahl: 106).[30] Namun bilamana pemilik akad menyatakan tidak maka gugatan pengugat ditolak oleh hakim ketua pengadilan agama sebab gugatan yang tidak memiliki dasar.[31] Karena yang dimaksud fasakh adalah pembatalan akad pernikahan, pengajuan pembatalan pernikahan diperbolehkan diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan dari berlangsungnya akad pernikahan, jika lebih dari enam bulan masih hidup bersama suami istri maka mengajukan pembatalan pernikahan tidak diperbolehkan lagi dianggap gugur atau kedaluarsa. Pembatalan perkawinan, hal ini bukan dinamakan talak dengan tulisal lain thalaq karena tidak memiliki hitungan quru seperti talak pada umumnya yang menyebabkan putusnya hubungan suami istri. Namun fasakh ini terjadi karena sebab putusnya hakim di pengadilan agama Islam,[32][33] bagian ini terdiri dari alasan memutuskan (pertimbangan) yang biasanya dimulai dengan kata "menimbang" dan dari dasar memutuskan maka apa yang diutarakan dalam bagian 'duduk perkaranya' terdahulu yaitu keterangan tergugat dan keterangan saksi-saksi berikut dalil-dalilnya, alat-alat bukti yang diajukan harus di timbang semua secara seksama satu persatu, tidak boleh ada yang terlewatkan dari pertimbangan, diterima atau ditolak.[34]

Kristen/Katolik[sunting | sunting sumber]

Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya perceraian oleh pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik Roma.

Gereja Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai berikut:

Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan perkawinan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu ada tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9). Karena Injil merupakan dasar kehidupan umat Kristen, maka tidak ada alasan apapun untuk mengadakan perceraian. Selain itu juga terdapat pengajaran lain di Alkitab mengenai hal ini, misalnya pada 1 Korintus 7.

Tata cara rujuk Islam[sunting | sunting sumber]

Rujuk berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surat al-Baqarah (2) ayat 228 yang memiliki keterkaitan dengan Hukum di Indonesia, Hukum adat Indonesia Lihat Rujuk

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Fachrina, Rinaldi Eka Putra (2013). "Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat". Antropologi Indonesia. 34 (2): 102. ISSN 1693-167X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-18. Diakses tanggal 2020-11-19. 
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-19. 
  3. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/01/hakikat-perceraian-berdasarkan-ketentuan-hukum-islam-di-indonesia/
  4. ^ https://hukumkeluarga.id/proses-perceraian-di-pengadilan-agama/
  5. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/10-prinsip-kode-etik-hakim-yuk-cari-tahu-di-sini-lt630335ad22e26/
  6. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/unsur-unsur-dan-bentuk-pemalsuan-dokumen-lt54340fa96fb6c
  7. ^ https://rasindogroup.com/tentang-persarakan-dan-emosi/
  8. ^ https://www.pa-penajam.go.id/images/PDF/SK-STANDAR-PELAYANAN-2021.pdf
  9. ^ https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/22_PUU-XV_2017.pdf
  10. ^ a b https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/pembuktian-dalam-perkara-perceraian-oleh-muhamad-isna-wahyudi-1010
  11. ^ https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/variabel/35
  12. ^ a b c d e f https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/2056/maraknya-isteri-menggugat-cerai-suami-di-pengadilan-agama-padang.html
  13. ^ https://repository.ptiq.ac.id/id/eprint/295/1/MARJIANTO%202012.pdf
  14. ^ Budhy Prianto, Nawang Warsi Wulandari, Agustin Rahmawati (2013). "Rendahnya Komitmen Dalam Perkawinan Sebagai Penyebab Perceraian". Komunitas. 5 (2): 209. ISSN 2460-7320. 
  15. ^ "Mengenal Pengacara Perceraian di Indonesia - Kantor Hukum Jakarta". Kantor Hukum Jakarta. 2018-07-18. Diakses tanggal 2018-07-19. 
  16. ^ https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/61f219f882b87/layangan-putus-potret-penyebab-perceraian-di-indonesia#:~:text=Data%20menunjukkan%2C%20beberapa%20faktor%20penyebab,(KDRT)%2C%20hingga%20poligami
  17. ^ https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/61f219f882b87/layangan-putus-potret-penyebab-perceraian-di-indonesia#:~:text=Data%20menunjukkan%2C%20beberapa%20faktor%20penyebab,(KDRT)%2C%20hingga%20poligami.
  18. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/03/delik-penghasutan-dalam-pasal-160-kuhp/
  19. ^ https://www.mfferdiansyah.com/2018/09/perceraian-nafkah-dalam-keluarga-dan.html
  20. ^ https://hot.liputan6.com/read/4496079/intervensi-adalah-campur-tangan-dalam-perselisihan-ketahui-negara-yang-pernah-mengalami
  21. ^ https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210628121733-284-660262/arti-dan-tanda-tanda-umum-selingkuh-perasaan#:~:text=Selingkuh%20perasaan%20atau%20emosional%20adalah,lain%20yang%20bukan%20pasangan%20romantisnya.
  22. ^ https://www.hukumonline.com/klinik/a/cara-mengurus-surat-cerai-beserta-pengajuan-gugatannya-lt618110a95e0c1
  23. ^ https://www.sahijab.com/tips/5043-4-alasan-kuat-perceraian-dalam-islam-diperbolehkan
  24. ^ Gunawan (2014). "Dampak-Dampak Perceraian Terhadap Para Pihak Yang Melakukan Perceraian". Diakses pada 20 November 2020.
  25. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/13/dinamika-kehidupan-dalam-lingkup-rumah-tangga/
  26. ^ https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/5699/BAB%20II.pdf?sequence=13&isAllowed=y#:~:text=Regulasi%20emosi%20merupakan%20suatu%20cara,mengalami%20atau%20mengekspresikan%20emosi%20tersebut.
  27. ^ https://www.inews.id/lifestyle/muslim/hukum-perceraian-dalam-islam-lengkap-dengan-dalil-dan-macam-macam-talak
  28. ^ https://media.neliti.com/media/publications/335429-khulu-dalam-persfektif-hukum-islam-257082fa.pdf
  29. ^ http://pa-pulangpisau.go.id/berita/arsip-berita-pengadilan/149-artikel/1711-keharusan-perceraian-di-pengadilan-agama
  30. ^ https://www.merdeka.com/quran/an-nahl/ayat-106
  31. ^ https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-manado/baca-artikel/13958/Putusan-NO-Niet-Ontvankelijke-Verklaard-Berbagai-Macam-Cacat-Formil-yang-Melekat-pada-Gugatan.html
  32. ^ https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/pengertian-dan-sebab-fasakh-pernikahan-dalam-fiqih-perkawinan-Rrrh0
  33. ^ https://www.republika.co.id/berita/8242/quru
  34. ^ https://media.neliti.com/media/publications/240258-pertimbangan-hukum-tentang-putusan-hakim-d83a6b90.pdf

Pranala luar[sunting | sunting sumber]