Biji-bijian menahun

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perbandingan sistem akar antara wheatgrass, sebuah kandidat biji-bijian menahun, dibandingkan dengan gandum yang merupakan tumbuhan semusim

Biji-bijan menahun adalah biji-bijian (utamanya serealia) yang mampu hidup dalam waktu lebih dari dua tahun dan mampu menghasilkan beberapa kali sepanjang usia hidupnya. Berbeda dengan tanaman serealia lainnya yang umumnya hanya hidup dalam waktu semusim, biji-bijian menahun hidup lebih dari semusim. Dan berbeda dengan pohon buah, kacang pohon, maupun rerumputan penghasil hijauan, yang umumnya tidak menjadi bahan pangan utama manusia. Berbagai ilmuwan menganggap versi menahun dari biji-bijian ini mampu menjadikan usaha pertanian penghasil biji-bijian lebih berkelanjutan.[1][2][3]

Cara pandang[sunting | sunting sumber]

Sebuah laporan yang dibangun oleh program United Nations’ Millennium Ecosystem Assessment tahun 2005 menyebutkan bahwa pertanian merupakan ancaman tertinggi bagi keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem dibandingkan dengan aktivitas manusia lainnya.[4] Biji-bijian menahun dapat mengurangi ancaman ini berdasarkan pemikiran bahwa:

  • Kebanyakan lahan pertanian (69% total lahan pertanian dunia) ditujukan untuk menghasilkan serealia dan biji-bijian yang memberi makan 70% manusia[5]
  • Semua tanaman penghasil biji-bijian saat ini umumnya tanaman semusim yang ditanam pada tanah yang harus dibajak
  • Pembajakan berkali-kali membuat tanah berada pada risiko terdegradasi dan rusak[4]
  • Dilema utama pertanian ini dapat dihindari dengan mengembangkan tanaman biji-bijian menahun yang tidak membutuhkan pembajakan tanah selama beberapa tahun. Teknologi pertanian tanpa pengolahan tanah telah berkembang untuk penanaman biji-bijian semusim namun masih kurang mampu melindungi tanah dibandingkan usaha penanaman biji-bijian menahun.[6][7]

Metode pengembangan biji-bijian menahun[sunting | sunting sumber]

Tiga cara dalam mengembangkan biji-bijian menahun:[2][6][8]

  1. Lungkang gen utama dari beberapa tanaman penghasil biji-bijian hasil domestikasi mencakup tumbuhan menahun, meskipun mereka ditanam secara semusim. Kacang gude adalah contoh tanaman legum yang memiliki varietas smusim dan menahun.[9] Jika varietas semusim yang memiliki hasil paling banyak disilangkan dengan varietas yang paling berumur panjang, maka varietas yang tangguh, menahun, dan banyak menghasilkan dapat dikembangkan.
  2. Lungkang gen sekunder dan tersier dari berbagai tanaman penghasil biji-bijian hasil domestikasi mencakup spesies dari tanaman menahun.[8] Pertukaran gen dan sifat antara spesies, terutama antara versi domestikasi dan versi liar, dimungkinkan meski sulit.
  3. Tumbuhan liar penghasil biji-bijian yang kaya lemak, protein, dan mineral dapat didomestikasikan tanpa membutuhkan hibridisasi. Ilmu genetika dan pemuliaan tanaman modern mampu mempercepat proses domestikasi dari ribuan tahun (seperti yang dilakukan nenek moyang manusia) menjadi hanya beberapa tahun saja.[3] Rodale Institute dan Land Institute telah memiliki proyek pemuliaan tanaman dengan subjek rerumputan menahun Thinopyrum intermedium.[1][6]

Kemungkinan kerugian budi daya tanaman penghasil biji-bijian menahun[sunting | sunting sumber]

  1. Kemungkinan tidak menyelesaikan masalah ketahanan pangan saat ini. Meski mampu dipanen berkali-kali, tanaman menahun membutuhkan waktu lama hingga mencapai usia produktif dan ekonomisnya.
  2. Menjadikan rotasi tanaman lebih sulit dan lebih lama.[10]
  3. Usia tanaman yang lebih lama dapat menjadikan hama dan gulma bertahan pada tanaman tersebut lebih lama pula.
  4. Sistem perakaran yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya pembentukan materi organik yang terlalu tinggi hingga mineral fosfor dan nitrogen sulit bergerak. Hal ini mampu menyebabkan penurunan produktivitas dan membutuhkan waktu lama untuk menyeimbangkan material organik tanah.
  5. Tanaman menahun memiliki dampak terhadap siklus hidrologi, menyerap air lebih banyak, dan mampu menyebabkan penurunan tinggi muka air tanah.[2]

Keuntungan dari tanaman biji-bijian menahun[sunting | sunting sumber]

Beberapa klaim mengenai keuntungan biji-bijian menahun:[6]

  1. Akses menuju sumber pangan lebih lama. Tanaman menahun umumnya muncul dan tumbuh lebih cepat di musim semi dibandingkan tanaman musiman, sedangkan di musim dingin tanaman menahun mengalami periode dormansi di mana tanaman semusim justru mati.[11]
  2. Zona perakaran yang lebih dalam membuat tanaman menahun mampu bertahan hidup dengan input pupuk dan air lebih sedikit. Akar yang lebih dalam membuat tanaman menyerap nutrisi lebih banyak di kedalaman tanah di mana tanaman semusim tidak bisa menjangkau.[2] Volume zona perakaran yang lebih luas juga membuat akar menyerap air yang mengalir dari hujan dan irigasi lebih banyak.
  3. Pemanfaatan nutrisi tanah yang lebih efisien. Pencucian nitrogen pada pengaplikasian pupuk nitrogen pada tanaman menahun diketahui lebih rendah.[12][13]
  4. Produksi berkelanjutan pada lahan yang marjinal. Berbagai tanaman pertanian semusim sulit dilakukan pada lahan yang miskin nutrisi. Pengolahan tanah pada lahan tersebut memiliki risiko erosi yang lebih tinggi. Sistem biji-bijian menahun bersama wanatani lebih cocok pada lingkungan tersebut.[14]
  5. Mengurangi erosi tanah.[15] Sistem perakaran yang tebal mengikat tanah dan mencegah erosi oleh air maupun angin.
  6. Meningkatkan populasi hewan liar.[15] Pelepasan air ke sistem perairan lebih lambat akibat tanaman biji-bijian menahun sehingga tinggi permukaan air mampu dijaga dan mencegah terbentuknya sistem pergantian kondisi kering-banjir yang umum di berbagai tempat. Tinggi muka air yang konsisten menjaga populasi hewan air, amfibi, burung air, dan mamalia yang bergantung pada keberadaan air.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b DOI:10.1080/07352689009382298
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  2. ^ a b c d DOI:10.1126/science.1188761 10.1126/science.1188761
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  3. ^ a b National Research Council of the National Academies. 2010. Toward Sustainable Agricultural Systems in the 21st Century. National Academy Press, Washington D.C. pp 249-251.
  4. ^ a b Cassman KG, Wood S. 2005. "Cultivated systems". Chapter 26 in Millennium Ecosystem Assessment, Ecosystems and Human Well-Being: Current State and Trends. Washington (DC): Island Press. Chiras DD, Reganold JP, Owen OS. 2004 Natural Resource Conservation. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall.
  5. ^ Glover, JD, Reganold, JP. 2010. Perennial grains: Food security for the future. Issues in Science and Technology. Winter 2010:41-47.
  6. ^ a b c d DOI:[649:PFDPGC2.0.CO;2 10.1641/0006-3568(2006)56[649:PFDPGC]2.0.CO;2]
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  7. ^ DOI:10.1146/annurev.es.17.110186.001333
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  8. ^ a b Cox, T.S., et al. (2002) Breeding Perennial Grain Crops. Critical Reviews in Plant Science. 21(2):59-91..
  9. ^ Personal Authors: Snapp, S. S., Jones, R. B., Minja, E. M., Rusike, J., Silim, S. N. 2003. Pigeon pea for Africa: a versatile vegetable - and more. HortScience 38(6): 1073-1079
  10. ^ Markle, G. M.; Baron, J. J.; Schneider, B.A. 1998. Food and Feed Crops of the United States, Second Edition; Meister Publishing Co.: Willoughby, OH.
  11. ^ CC Sheaffer, Martin NP, Lamb JAFS, Cuomo GR, Jewett JG, Quering SR. 2000. Leaf and stem properties of alfalfa entries. Agronomy Journal 92:733-739.
  12. ^ DOI:10.2134/agronj2001.933477x
    Rujukan ini akan diselesaikan secara otomatis dalam beberapa menit. Anda dapat melewati antrian atau membuat secara manual
  13. ^ [1] JD Glover, SW Culman, ST DuPont, W Broussard, L Young, ME Mangan,JG Mai, TE Crews, LR DeHaan, DH Buckley, H Ferris, RE Turner, HL Reynolds and DL Wyse. 2010. Harvested perennial grasslands provide ecological benchmarks for agricultural sustainabilityAgriculture, Ecosystems & Environment. 137:3-12.
  14. ^ KG Cassman, A Dobermann, DT Walters, H Yang. 2003. Meeting cereal demand while protecting natural resources and improving environmental quality. Annual Review of Environment and Resources 28:315-358.
  15. ^ a b United States Forest Service, division of United States Deptartment of Agriculture, "FSH 2509.22 – SOIL AND WATER CONSERVATION HANDBOOK, CHAPTER 10 – WATER QUALITY MANAGEMENT FOR NATIONAL FOREST SYSTEM LANDS IN ALASKA

Pranala luar[sunting | sunting sumber]